Emma membukakan pintu kamar hotel untuk Gina, setelah membungkuk hormat dan mempersilahkan majikannya itu untuk masuk ke dalam.
Hari ini keluarga Chase berlibur ke luar kota, sehingga Gina punya kesempatan untuk kembali pada kehidupan aslinya. Termasuk menemui Emma untuk membahas segala rencana mereka.“Saya mendapatkan informasi tentang orang ini,” Emma menyerahkan selembar foto hasil bidikannya diam-diam tempo hari.“Namanya Steve. Dia adalah dokter spesialis kulit dan kelamin. Selingkuhan Annie Chase,” terang Emma.Gina memperhatikan foto pria itu dengan seksama.“Dia … pria kurang ajar,” gumam Gina.“Apakah dia melecehkan Nyonya Gina?!” Nada bicara Emma sedikit naik.Gina menggeleng. “Dia sepertinya curiga padaku,” tebak Gina. “Dia merasa ada sesuatu yang kututupi, jadi kemungkinan dia akan mencari tahu,”Emma mengangguk.“Bagaimana pertemuanmu dengan Ajeng?” tanya Gina mengganti topik.“Sa"Kurang ajar … " Annie meremas seluruh lembaran foto itu.Secepatnya dia menghilangkan seluruh barang bukti sebelum Damian tahu. Bahkan nafas Annie saling memburu, merasakan ketegangan dan amarah menjadi satu.Tegang, takut Damian memergoki foto-foto itu. Dan marah, karena ada seseorang yang berniat mengancamnya.Annie memikirkan seribu kemungkinan siapa saja orang-orang yang mempunyai dendam padanya. Meski, dia yakin bahkan sepuluh jarinya pun tak kuasa untuk menghitung banyaknya orang-orang itu.Annie tahu, pekerjaannya membuat dia dibenci. Tapi dia mencintai pekerjaannya."Fiona!!" Annie berteriak sangat lantang.Demi menekan amarah, dia melampiaskannya pada Fiona."Siapkan aku air hangat," pintanya setelah Fiona tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar."Tapi saya baru saja menyiapkannya, Bu,""Siapkan lagi! Air itu kurang hangat!" seru Annie tak mau tahu.Tak ada yang bisa Fiona lakukan selain
Gina menelan ludah terpaksa, saat melihat Ajeng tersenyum licik di depannya. Wanita itu tiba-tiba datang, di malam hari saat keluarga Chase baru saja pulang dari berlibur.“Ada yang bisa saya bantu?” Gina memberi isyarat mata pada Ajeng untuk bersikap biasa, seakan tidak terjadi apa-apa diantara mereka.Sebagai seorang pengacara handal, Ajeng tak perlu berpikir dua kali untuk mengartikan isyarat Gina.Dia hanya menyerahkan sebuah amplop coklat besar pada Gina.“Nona menyuruhku menyerahkan ini secara langsung padamu,” ujar Ajeng.Gina melebarkan pandangannya. “Apa?” Dia sama sekali tidak mendapat informasi dari Emma. Kenapa Emma menyuruh Ajeng melakukan sesuatu yang beresiko membuatnya ketahuan?“Nona ingin aku memberikan ini secara langsung, agar kita bisa bertemu,”‘Oh, jadi begitu,’ tukas Gina dalam hati. Emma memang selalu punya jalan pikiran yang kadang sulit ditebak oleh Gina.“Aku tidak bisa memp
“D-Damian?” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut Gina, sesaat setelah Damian melepaskan kecupannya di bibir Gina.Kesenduan yang tadi nampak di kedua mata Damian, perlahan mulai pudar. Tergantikan oleh tatapan teduh.“Maafkan aku, Fi. Aku … Aku tidak bisa menahan perasaanku,” ucap Damian. “Perasaan apa?” Gina bisa menebak jawabannya–dia tetap ingin memastikan.Meskipun hal ini adalah hal yang diinginkan Gina demi melancarkan balas dendamnya, namun dia tidak menyangka jika ada perasaan nyaman saat Damian menyentuh tubuhnya.Perasaan yang aneh, dan Gina tidak bisa menghindarinya.“Aku tidak tahu apakah ini cinta. Tapi aku senang kamu ada di dekatku,” aku Damian. “Setelah ada kamu, entah kenapa, aku mulai bisa membangkitkan inspirasi untuk menulis,”Gina ikut tersenyum. “Aku senang jika kehadiranku membuatmu semakin maju, Damian,” ucap Gina pelan.“Maafkan aku, Fi,” “Kenapa kamu terus meminta maaf?
Langkah Emma mantap pagi ini. Sembari memegang erat sebuah amplop coklat di depan dada, dia berjalan lantang memasuki ruang kerja Wijaya–setelah mengetuk pintu.“Apa yang kamu dapatkan?” tanya Wijaya, terus fokus pada berbagai lembaran dokumen di depannya.Banyak yang harus dia tanda tangani, meski hari ini adalah hari libur.Emma tidak menjawab. Dia hanya bergerak menyerahkan amplop coklat itu ke hadapan Wijaya.“Apa ini?” Wijaya memandang amplop itu keheranan.“Saya mendapatkan sesuatu yang akan sangat menguntungkan Anda, Tuan,” jawab Emma dengan senyum licik.Wijaya tampak ragu. Sambil mengelus dagu, dia mempertimbangkan perihal isi dari amplop coklat itu.“Kalau aku tidak menerimanya?”“Tidak masalah, Tuan,” Emma menunduk. “Saya hanya memberikan ini, dan Tuan bebas melakukan apapun,”Mendengar jawaban Emma yang tampak meyakinkan, membuat Wijaya segera menyambar amplop itu. Dia membukanya tak sabar.
Annie mendorong tubuh Steve menjauhinya. Dengan tubuh yang masih terbungkus selimut, dia menatap tajam ke arah Steve.“Jaga bicaramu, Steve!” seru Annie tak senang.“Apakah aku salah bicara? Bukankah memang kamu yang membunuh anak itu?”“Aku tidak pernah membunuhnya!” Annie menunjuk ke arah Steve. “Jangan karena kamu tahu segalanya, kamu berhak bicara seperti itu padaku,”Steve sama sekali tidak gentar dengan amarah Annie. Dia bahkan tersenyum santai.“Jadi, yang kulihat di rumah sakit waktu itu, kembaranmu? Begitu?” tanya Steve enteng.Dia mengetahui peristiwa kecelakaan yang menimpa Sean, bukan dari omongan Annie sendiri. Melainkan dia menyaksikan sendiri pertikaian Wijaya dan Annie di rumah sakit, yang kebetulan tempatnya bekerja.“Kau benar-benar … “ Darah Annie makin mendidih setiap melihat senyum terulas di bibir Steve.Dia merasa Steve mengejeknya.Per
Annie menggigit bibir. Dia tidak bisa melawan Wijaya, meskipun ingin. Yang bisa dia lakukan hanya mengutuki Wijaya dalam hati, dengan makian paling kotor yang pernah dia tahu.“Sayang?” panggil Andrea, yang perlahan masuk ke dalam ruang kerja Wijaya.“Ada apa ini? Kenapa suasananya tegang?” Andrea memandang Annie, Wijaya dan Emma bergantian.Saat melihat wajah pucat Annie, senyum di bibir Andrea mengembang. Dia bisa merasakan jika suaminya itu baru saja mengintimidasi Annie.“Apakah Annie mendapat kabar baik?” tanya Andrea pada Wijaya.“Belum,” Wijaya menjawab singkat. “Kamu harus melihat foto-foto itu,”Emma segera merampas lembaran foto itu dari tangan Annie, untuk ditunjukkan pada Andrea.Saat melihatnya, meledaklah tawa Andrea tanpa bisa dicegah.“Jadi, kamu cukup berani juga, ya?” Andrea terus tertawa, dengan mimik mencemooh ke arah Annie.“Aku akan menyebarkan foto-foto itu, jika dalam waktu enam
Jam menunjukkan pukul 23.00, ketika Annie membuka kasar pintu ruang kerjanya di kantor. Terlalu malam bagi siapapun untuk berada di kantor, tapi Annie tidak ingin pulang malam ini.Dia melempar tasnya serampangan, dan duduk menyandarkan diri di sofa panjang–pojok ruangan.Sepanjang hari sangatlah melelahkan. Apalagi setelah bertemu Wijaya dan mendapatkan ancaman paling serius itu.Annie tidak pernah takut dengan ancaman pembunuhan atas dirinya. Yang membuatnya takut, justru ancaman yang akan menjatuhkan harga dirinya. Harga diri yang mati-matian dia jaga, tanpa melibatkan jabatan papanya.Meskipun berasal dari keluarga sangat mampu, nyatanya Annie berjuang sangat keras hingga bisa sampai di titik ini. Menjadi pengacara handal, dengan segudang prestasi yang telah dikenali oleh banyak klien.Prestasi tertingginya, tentu–menjadi bawahan konglomerat Wijaya. Tapi tak disangka segalanya berubah runyam.Pintu tiba-tiba dibuka, dan muncu
“Mama hari ini nggak pulang,” ucap Annie, ketika dia dan keluarganya sedang sarapan.“Lagi?!” pekik Tasya. “Dua hari lalu Mama nggak pulang, sekarang nggak pulang lagi?” Anak itu memprotes kesibukan Annie yang seakan tidak ada habisnya.“Ya mau gimana lagi, Tasya. Mama kan memang harus kerja,” kilah Annie, tak sanggup menatap langsung ke dalam mata Tasya.“Tapi kan Mama bisa pulang. Tasya kangen main sama Mama,” rengek Tasya.Damian sudah kehilangan selera makan. Mendengar ucapan Annie yang seakan dipikir sendiri tanpa meminta persetujuannya, membuat Damian muak. Dia membanting sendok, berjalan pergi tanpa bicara sepatah kata pun.“Mama nggak sayang sama Tasya sama Papa. Mama lebih sayang sama kerja!” Tasya ikut-ikut menyusul Damian pergi, dengan air mata yang telah mengalir.Apalah yang diketahui anak seusia Tasya. Yang dia tahu, orang tuanya harus selalu ada untuknya. Menemaninya bermain, jalan-jalan atau bahkan mengajarinya be
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m