“D-Damian?” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut Gina, sesaat setelah Damian melepaskan kecupannya di bibir Gina.
Kesenduan yang tadi nampak di kedua mata Damian, perlahan mulai pudar. Tergantikan oleh tatapan teduh.“Maafkan aku, Fi. Aku … Aku tidak bisa menahan perasaanku,” ucap Damian.“Perasaan apa?” Gina bisa menebak jawabannya–dia tetap ingin memastikan.Meskipun hal ini adalah hal yang diinginkan Gina demi melancarkan balas dendamnya, namun dia tidak menyangka jika ada perasaan nyaman saat Damian menyentuh tubuhnya.Perasaan yang aneh, dan Gina tidak bisa menghindarinya.“Aku tidak tahu apakah ini cinta. Tapi aku senang kamu ada di dekatku,” aku Damian. “Setelah ada kamu, entah kenapa, aku mulai bisa membangkitkan inspirasi untuk menulis,”Gina ikut tersenyum. “Aku senang jika kehadiranku membuatmu semakin maju, Damian,” ucap Gina pelan.“Maafkan aku, Fi,”“Kenapa kamu terus meminta maaf?Langkah Emma mantap pagi ini. Sembari memegang erat sebuah amplop coklat di depan dada, dia berjalan lantang memasuki ruang kerja Wijaya–setelah mengetuk pintu.“Apa yang kamu dapatkan?” tanya Wijaya, terus fokus pada berbagai lembaran dokumen di depannya.Banyak yang harus dia tanda tangani, meski hari ini adalah hari libur.Emma tidak menjawab. Dia hanya bergerak menyerahkan amplop coklat itu ke hadapan Wijaya.“Apa ini?” Wijaya memandang amplop itu keheranan.“Saya mendapatkan sesuatu yang akan sangat menguntungkan Anda, Tuan,” jawab Emma dengan senyum licik.Wijaya tampak ragu. Sambil mengelus dagu, dia mempertimbangkan perihal isi dari amplop coklat itu.“Kalau aku tidak menerimanya?”“Tidak masalah, Tuan,” Emma menunduk. “Saya hanya memberikan ini, dan Tuan bebas melakukan apapun,”Mendengar jawaban Emma yang tampak meyakinkan, membuat Wijaya segera menyambar amplop itu. Dia membukanya tak sabar.
Annie mendorong tubuh Steve menjauhinya. Dengan tubuh yang masih terbungkus selimut, dia menatap tajam ke arah Steve.“Jaga bicaramu, Steve!” seru Annie tak senang.“Apakah aku salah bicara? Bukankah memang kamu yang membunuh anak itu?”“Aku tidak pernah membunuhnya!” Annie menunjuk ke arah Steve. “Jangan karena kamu tahu segalanya, kamu berhak bicara seperti itu padaku,”Steve sama sekali tidak gentar dengan amarah Annie. Dia bahkan tersenyum santai.“Jadi, yang kulihat di rumah sakit waktu itu, kembaranmu? Begitu?” tanya Steve enteng.Dia mengetahui peristiwa kecelakaan yang menimpa Sean, bukan dari omongan Annie sendiri. Melainkan dia menyaksikan sendiri pertikaian Wijaya dan Annie di rumah sakit, yang kebetulan tempatnya bekerja.“Kau benar-benar … “ Darah Annie makin mendidih setiap melihat senyum terulas di bibir Steve.Dia merasa Steve mengejeknya.Per
Annie menggigit bibir. Dia tidak bisa melawan Wijaya, meskipun ingin. Yang bisa dia lakukan hanya mengutuki Wijaya dalam hati, dengan makian paling kotor yang pernah dia tahu.“Sayang?” panggil Andrea, yang perlahan masuk ke dalam ruang kerja Wijaya.“Ada apa ini? Kenapa suasananya tegang?” Andrea memandang Annie, Wijaya dan Emma bergantian.Saat melihat wajah pucat Annie, senyum di bibir Andrea mengembang. Dia bisa merasakan jika suaminya itu baru saja mengintimidasi Annie.“Apakah Annie mendapat kabar baik?” tanya Andrea pada Wijaya.“Belum,” Wijaya menjawab singkat. “Kamu harus melihat foto-foto itu,”Emma segera merampas lembaran foto itu dari tangan Annie, untuk ditunjukkan pada Andrea.Saat melihatnya, meledaklah tawa Andrea tanpa bisa dicegah.“Jadi, kamu cukup berani juga, ya?” Andrea terus tertawa, dengan mimik mencemooh ke arah Annie.“Aku akan menyebarkan foto-foto itu, jika dalam waktu enam
Jam menunjukkan pukul 23.00, ketika Annie membuka kasar pintu ruang kerjanya di kantor. Terlalu malam bagi siapapun untuk berada di kantor, tapi Annie tidak ingin pulang malam ini.Dia melempar tasnya serampangan, dan duduk menyandarkan diri di sofa panjang–pojok ruangan.Sepanjang hari sangatlah melelahkan. Apalagi setelah bertemu Wijaya dan mendapatkan ancaman paling serius itu.Annie tidak pernah takut dengan ancaman pembunuhan atas dirinya. Yang membuatnya takut, justru ancaman yang akan menjatuhkan harga dirinya. Harga diri yang mati-matian dia jaga, tanpa melibatkan jabatan papanya.Meskipun berasal dari keluarga sangat mampu, nyatanya Annie berjuang sangat keras hingga bisa sampai di titik ini. Menjadi pengacara handal, dengan segudang prestasi yang telah dikenali oleh banyak klien.Prestasi tertingginya, tentu–menjadi bawahan konglomerat Wijaya. Tapi tak disangka segalanya berubah runyam.Pintu tiba-tiba dibuka, dan muncu
“Mama hari ini nggak pulang,” ucap Annie, ketika dia dan keluarganya sedang sarapan.“Lagi?!” pekik Tasya. “Dua hari lalu Mama nggak pulang, sekarang nggak pulang lagi?” Anak itu memprotes kesibukan Annie yang seakan tidak ada habisnya.“Ya mau gimana lagi, Tasya. Mama kan memang harus kerja,” kilah Annie, tak sanggup menatap langsung ke dalam mata Tasya.“Tapi kan Mama bisa pulang. Tasya kangen main sama Mama,” rengek Tasya.Damian sudah kehilangan selera makan. Mendengar ucapan Annie yang seakan dipikir sendiri tanpa meminta persetujuannya, membuat Damian muak. Dia membanting sendok, berjalan pergi tanpa bicara sepatah kata pun.“Mama nggak sayang sama Tasya sama Papa. Mama lebih sayang sama kerja!” Tasya ikut-ikut menyusul Damian pergi, dengan air mata yang telah mengalir.Apalah yang diketahui anak seusia Tasya. Yang dia tahu, orang tuanya harus selalu ada untuknya. Menemaninya bermain, jalan-jalan atau bahkan mengajarinya be
Gina diam. Cukup tak menyangka dengan pertanyaan itu.“Tidak perlu dijawab kalau kamu tidak berkenan, Fi. Maafkan aku,” sesal Damian. Dia sentuh lembut punggung tangan Gina.“Tidak apa-apa, Damian,” Gina tersenyum, meski hatinya perih saat harus mengingat rumah tangganya sendiri.“Sebuah rumah tangga tidak mungkin berakhir pada perceraian, jika tidak ada kesalahan,” ucap Gina. Dia tatap langit mendung pagi ini dengan gamang.“Rumah tanggaku hancur, semenjak mantan suamiku membawa wanita lain masuk ke dalamnya,” Gina mulai membuka cerita.Damian mendengarkan dengan seksama, meski cukup kaget dengan fakta itu. Bisa-bisanya, mantan suami Fiona mencampakkan wanita secantik dan sebaik dia?“Aku diusir sebelum aku sempat membela diri,”Damian tersentak. Dia buru-buru merengkuh Gina ke dalam dekapannya.“Maafkan aku, karena memaksamu untuk bercerita,”Gina melepaska
“Apa yang kamu lakukan seharian kemarin?” tegur Annie.Di sabtu pagi ini, tiba-tiba saja Annie bangun lebih awal daripada biasanya. Wanita itu tanpa diduga datang ke dapur, ikut bersanding di sebelah Gina saat dia sedang mempersiapkan makanan.“Saya membersihkan rumah dan menyiapkan makanan. Seperti biasanya, Bu Annie,” jawab Gina, sambil terus sibuk mempersiapkan bahan. Meski kini hatinya cukup tegang.“Oh,” Annie diam. Dia tampak kikuk berdiri di samping Gina.“Maafkan aku, karena sering nggak di rumah,” ujar Annie.“Tidak masalah, Bu Annie,”Annie diam lagi. Tampak sangat jelas atmosfer tegang menyelimuti mereka berdua. Ada sebuah beban, yang sama-sama mereka pahami namun tidak bisa diungkapkan.Tentu saja ini semua menyangkut Damian.“Apa yang mau kamu masak pagi ini?”Seharusnya pertanyaan mendasar itu bisa langsung dijawab oleh Gina dengan cepat. Tapi Gina bisa merasakan, adanya makna tersirat dib
“Gina Duran?” panggil Andrea keras.Deg! Jantung Gina sedikit tersentak. Tak menyangka ada yang tiba-tiba memanggil nama aslinya disini. Namun beruntung, dia tidak menolah. Dia hanya melirik sekilas–untuk memastikan siapakah yang memanggil.“Gina Duran?” panggil Andrea sekali lagi.Dan ketika Gina tidak merespon, Andrea pun menyerah. Meski dia tetap curiga dan yakin kalau wanita yang sedang berbelanja di sampingnya adalah Gina.“An, dimana rumahmu?” Akhirnya Andrea menelepon Annie.Kemudian dia berjalan menjauh, demi bisa leluasa menelepon Annie tanpa ada yang dengar.Seperginya Andrea, Gina seketika bernafas lega. Hampir saja dia lengah dan ketahuan oleh Andrea. Bisa-bisanya dia terlalu fokus belanja hingga tidak memperhatikan sekeliling.***“Kenapa? Kalau mau bertemu, nggak usah di rumahku!” ketus Annie.“Ada hal penting yang mau kubicarakan,”“Bertemu saja diluar,”Annie memutus sa