“Mama hari ini nggak pulang,” ucap Annie, ketika dia dan keluarganya sedang sarapan.
“Lagi?!” pekik Tasya. “Dua hari lalu Mama nggak pulang, sekarang nggak pulang lagi?” Anak itu memprotes kesibukan Annie yang seakan tidak ada habisnya.“Ya mau gimana lagi, Tasya. Mama kan memang harus kerja,” kilah Annie, tak sanggup menatap langsung ke dalam mata Tasya.“Tapi kan Mama bisa pulang. Tasya kangen main sama Mama,” rengek Tasya.Damian sudah kehilangan selera makan. Mendengar ucapan Annie yang seakan dipikir sendiri tanpa meminta persetujuannya, membuat Damian muak. Dia membanting sendok, berjalan pergi tanpa bicara sepatah kata pun.“Mama nggak sayang sama Tasya sama Papa. Mama lebih sayang sama kerja!” Tasya ikut-ikut menyusul Damian pergi, dengan air mata yang telah mengalir.Apalah yang diketahui anak seusia Tasya. Yang dia tahu, orang tuanya harus selalu ada untuknya. Menemaninya bermain, jalan-jalan atau bahkan mengajarinya beGina diam. Cukup tak menyangka dengan pertanyaan itu.“Tidak perlu dijawab kalau kamu tidak berkenan, Fi. Maafkan aku,” sesal Damian. Dia sentuh lembut punggung tangan Gina.“Tidak apa-apa, Damian,” Gina tersenyum, meski hatinya perih saat harus mengingat rumah tangganya sendiri.“Sebuah rumah tangga tidak mungkin berakhir pada perceraian, jika tidak ada kesalahan,” ucap Gina. Dia tatap langit mendung pagi ini dengan gamang.“Rumah tanggaku hancur, semenjak mantan suamiku membawa wanita lain masuk ke dalamnya,” Gina mulai membuka cerita.Damian mendengarkan dengan seksama, meski cukup kaget dengan fakta itu. Bisa-bisanya, mantan suami Fiona mencampakkan wanita secantik dan sebaik dia?“Aku diusir sebelum aku sempat membela diri,”Damian tersentak. Dia buru-buru merengkuh Gina ke dalam dekapannya.“Maafkan aku, karena memaksamu untuk bercerita,”Gina melepaska
“Apa yang kamu lakukan seharian kemarin?” tegur Annie.Di sabtu pagi ini, tiba-tiba saja Annie bangun lebih awal daripada biasanya. Wanita itu tanpa diduga datang ke dapur, ikut bersanding di sebelah Gina saat dia sedang mempersiapkan makanan.“Saya membersihkan rumah dan menyiapkan makanan. Seperti biasanya, Bu Annie,” jawab Gina, sambil terus sibuk mempersiapkan bahan. Meski kini hatinya cukup tegang.“Oh,” Annie diam. Dia tampak kikuk berdiri di samping Gina.“Maafkan aku, karena sering nggak di rumah,” ujar Annie.“Tidak masalah, Bu Annie,”Annie diam lagi. Tampak sangat jelas atmosfer tegang menyelimuti mereka berdua. Ada sebuah beban, yang sama-sama mereka pahami namun tidak bisa diungkapkan.Tentu saja ini semua menyangkut Damian.“Apa yang mau kamu masak pagi ini?”Seharusnya pertanyaan mendasar itu bisa langsung dijawab oleh Gina dengan cepat. Tapi Gina bisa merasakan, adanya makna tersirat dib
“Gina Duran?” panggil Andrea keras.Deg! Jantung Gina sedikit tersentak. Tak menyangka ada yang tiba-tiba memanggil nama aslinya disini. Namun beruntung, dia tidak menolah. Dia hanya melirik sekilas–untuk memastikan siapakah yang memanggil.“Gina Duran?” panggil Andrea sekali lagi.Dan ketika Gina tidak merespon, Andrea pun menyerah. Meski dia tetap curiga dan yakin kalau wanita yang sedang berbelanja di sampingnya adalah Gina.“An, dimana rumahmu?” Akhirnya Andrea menelepon Annie.Kemudian dia berjalan menjauh, demi bisa leluasa menelepon Annie tanpa ada yang dengar.Seperginya Andrea, Gina seketika bernafas lega. Hampir saja dia lengah dan ketahuan oleh Andrea. Bisa-bisanya dia terlalu fokus belanja hingga tidak memperhatikan sekeliling.***“Kenapa? Kalau mau bertemu, nggak usah di rumahku!” ketus Annie.“Ada hal penting yang mau kubicarakan,”“Bertemu saja diluar,”Annie memutus sa
“Siapa nama mantan suamimu, Fi?” tanya Damian.Gina tidak bergeming. Damian selalu bisa menanyakan hal-hal yang tak terduga, dan mengharuskan Gina memutar otak secepat mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan.Tak pernah terpikirkan oleh Gina, pertanyaan macam ini akan ditanyakan Damian.“Kenapa memangnya?” Gina balik bertanya.Damian berdehem. “Aku cuman penasaran–” potongnya. “Siapa si bodoh yang melepaskan wanita sepertimu,”Tawa Gina lepas, meski tidak nyaring. Dia mencoba menutupi rasa tersanjungnya dengan tawa. Meskipun dia senang dengan pujian itu, namun serasa dia tidak berhak sedetik pun menikmati pujian itu. Bagi Gina, dia hanya boleh bahagia setelah dendamnya pada orang-orang yang membunuh Sean terbayarkan.“Tapi aku serius, Fi,” ujar Damian, setelah mereka diam. “Aku benar-benar ingin menjadi bagian dalam hidupmu,”“Bagaimana dengan Annie?” sahut Gina cepat.D
Rasanya Annie ingin mencabik seluruh tubuh Gina. Andai saja hukum tidak berjalan di dunia ini. Namun sebagai seorang pengacara handal, dia tidak bisa bertindak dalam keadaan marah. Dia harus memikirkan segalanya secara matang dan dengan kepala dingin.“Jawab!” bentak Annie lirih. Sebisa mungkin menjaga suaranya agar tidak terdengar Tasya.Gina menarik nafas. “Saya mencintai Pak Damian,” akunya, tak mau mengangkat kepala.Annie mundur teratur mendengar jawaban klise itu. Dia menyunggingkan senyum seakan meremehkan.“Kamu yakin hanya itu? Bukan karena harta?” tanya Annie. “Karena Damian bukan pria kaya, kamu harus tahu itu. Jika keinginanmu hanyalah agar kami bercerai dan kamu bisa mendapatkan uangnya, kamu salah besar. Dia sama sekali tidak punya apapun,”Gina tak menyangka Annie akan bersikap sesantai ini saat dia melontarkan jawaban naif itu. ‘Apakah wanita ini memang diciptakan tanpa hati?’ batin Gina.Gina menggeleng
(Lima jam sebelumnya)“Dokter, ada yang menitipkan ini untuk Dokter,” Perawat yang bertugas melayani pendaftaran pasien di tempat Steve membuka praktek, menyerahkan sebuket bunga mawar merah.Steve menerimanya dengan tatapan bingung. “Dari siapa?”“Ada surat kecil di sana, Dok,” jelas perawat itu.Steve mengeceknya–dan menemukan sebuah surat kecil lalu mengangguk setelah mempersilahkan perawatnya untuk pergi.Dengan senyum tersungging, Steve mencium wangi mawar itu.‘Pasti dari Annie,” Begitu batinnya.Dan setelah puas mengamati serta menimang buket mawar itu, Steve menarik surat yang ada di dalamnya. Ketika membaca surat itu, dia mengerutkan kening heran.“Siapa?” gumam Steve pada dirinya sendiri, karena surat itu hanya berisikan sebuah nomor ponsel tanpa ada nama pemiliknya.Tok, tok!Dan pintu ruangannya tiba-tiba diketuk. Steve buru-buru melempar buket mawar itu ke sembarang arah, dan memas
“Steve? Ada apa?” seru Damian–sama sekali tidak menyangka akan kedatangan Steve.Steve tersenyum pongah, menunjukkan kharismanya kepada seluruh keluarga Annie yang sedang duduk di meja makan.Gina mundur ke belakang, kembali ke dapur dan menikmati pertunjukkan–yang telah dia rancang dari jauh. Dia mengulaskan senyum tipis yang tersembunyi, tanpa diketahui siapapun.Kerja bagus, EmDia mengirim pesan singkat kepada Emma–setelah berada sendirian di dapur. Sembari mengintip di balik dinding, dia bisa melihat muka pucat Annie yang sangat terkejut dengan kedatangan Steve.“Aku hanya ingin mampir, Dam. Kebetulan aku sedang berada di dekat sini,” ucap Steve asal.“Siapa, An?” tanya Irene, cukup tertegun dengan sikap penuh percaya dari Steve.Dengan gugup Annie berusaha menjawab. “D-dia … ““Saya Steve. Sahabat Damian–” Steve mengedarkan pandangan pada Annie. “Dan juga Annie,”‘Sialan, apa yang kamu lakukan dis
“D-Damian … “ Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Gina sebagai respon atas ajakan Damian.Gina tahu, Damian sedang tidak baik-baik saja. Hingga tanpa sadar kata-kata itu tergelincir cepat dari mulutnya tanpa sempat berpikir.“Jika aku sudah berhasil menaikkan derajatku, apakah kamu bersedia hidup denganku?” tanya Damian dengan mata bergetar putus asa.Gina membeku. Mulutnya tertutup rapat, enggan untuk menjawab. Dia tidak tahu harus menjawab apa, karena sebenarnya ini semua adalah rencana yang dia susun. Yang tanpa dia sadari, justru menyakiti Damian lebih daripada Annie.Di lain sisi, tanpa mereka sadari, Annie kini mengawasi mereka dari balik pintu pembatas antara rumah dengan halaman belakang.Wanita itu diam, berusaha menyembunyikan sosoknya agar tidak ketahuan. Meskipun hatinya berdenyut sakit, dia telah berjanji untuk memaafkan Damian. Memaafkan perselingkuhannya dengan Fiona.“An, mana suamimu?” tegur Irene.Brak! Annie cepat-cepat menutup pintu, menghalangi apapun dari jangka