“Siapa nama mantan suamimu, Fi?” tanya Damian.
Gina tidak bergeming. Damian selalu bisa menanyakan hal-hal yang tak terduga, dan mengharuskan Gina memutar otak secepat mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan.Tak pernah terpikirkan oleh Gina, pertanyaan macam ini akan ditanyakan Damian.“Kenapa memangnya?” Gina balik bertanya.Damian berdehem. “Aku cuman penasaran–” potongnya. “Siapa si bodoh yang melepaskan wanita sepertimu,”Tawa Gina lepas, meski tidak nyaring. Dia mencoba menutupi rasa tersanjungnya dengan tawa. Meskipun dia senang dengan pujian itu, namun serasa dia tidak berhak sedetik pun menikmati pujian itu. Bagi Gina, dia hanya boleh bahagia setelah dendamnya pada orang-orang yang membunuh Sean terbayarkan.“Tapi aku serius, Fi,” ujar Damian, setelah mereka diam. “Aku benar-benar ingin menjadi bagian dalam hidupmu,”“Bagaimana dengan Annie?” sahut Gina cepat.DRasanya Annie ingin mencabik seluruh tubuh Gina. Andai saja hukum tidak berjalan di dunia ini. Namun sebagai seorang pengacara handal, dia tidak bisa bertindak dalam keadaan marah. Dia harus memikirkan segalanya secara matang dan dengan kepala dingin.“Jawab!” bentak Annie lirih. Sebisa mungkin menjaga suaranya agar tidak terdengar Tasya.Gina menarik nafas. “Saya mencintai Pak Damian,” akunya, tak mau mengangkat kepala.Annie mundur teratur mendengar jawaban klise itu. Dia menyunggingkan senyum seakan meremehkan.“Kamu yakin hanya itu? Bukan karena harta?” tanya Annie. “Karena Damian bukan pria kaya, kamu harus tahu itu. Jika keinginanmu hanyalah agar kami bercerai dan kamu bisa mendapatkan uangnya, kamu salah besar. Dia sama sekali tidak punya apapun,”Gina tak menyangka Annie akan bersikap sesantai ini saat dia melontarkan jawaban naif itu. ‘Apakah wanita ini memang diciptakan tanpa hati?’ batin Gina.Gina menggeleng
(Lima jam sebelumnya)“Dokter, ada yang menitipkan ini untuk Dokter,” Perawat yang bertugas melayani pendaftaran pasien di tempat Steve membuka praktek, menyerahkan sebuket bunga mawar merah.Steve menerimanya dengan tatapan bingung. “Dari siapa?”“Ada surat kecil di sana, Dok,” jelas perawat itu.Steve mengeceknya–dan menemukan sebuah surat kecil lalu mengangguk setelah mempersilahkan perawatnya untuk pergi.Dengan senyum tersungging, Steve mencium wangi mawar itu.‘Pasti dari Annie,” Begitu batinnya.Dan setelah puas mengamati serta menimang buket mawar itu, Steve menarik surat yang ada di dalamnya. Ketika membaca surat itu, dia mengerutkan kening heran.“Siapa?” gumam Steve pada dirinya sendiri, karena surat itu hanya berisikan sebuah nomor ponsel tanpa ada nama pemiliknya.Tok, tok!Dan pintu ruangannya tiba-tiba diketuk. Steve buru-buru melempar buket mawar itu ke sembarang arah, dan memas
“Steve? Ada apa?” seru Damian–sama sekali tidak menyangka akan kedatangan Steve.Steve tersenyum pongah, menunjukkan kharismanya kepada seluruh keluarga Annie yang sedang duduk di meja makan.Gina mundur ke belakang, kembali ke dapur dan menikmati pertunjukkan–yang telah dia rancang dari jauh. Dia mengulaskan senyum tipis yang tersembunyi, tanpa diketahui siapapun.Kerja bagus, EmDia mengirim pesan singkat kepada Emma–setelah berada sendirian di dapur. Sembari mengintip di balik dinding, dia bisa melihat muka pucat Annie yang sangat terkejut dengan kedatangan Steve.“Aku hanya ingin mampir, Dam. Kebetulan aku sedang berada di dekat sini,” ucap Steve asal.“Siapa, An?” tanya Irene, cukup tertegun dengan sikap penuh percaya dari Steve.Dengan gugup Annie berusaha menjawab. “D-dia … ““Saya Steve. Sahabat Damian–” Steve mengedarkan pandangan pada Annie. “Dan juga Annie,”‘Sialan, apa yang kamu lakukan dis
“D-Damian … “ Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Gina sebagai respon atas ajakan Damian.Gina tahu, Damian sedang tidak baik-baik saja. Hingga tanpa sadar kata-kata itu tergelincir cepat dari mulutnya tanpa sempat berpikir.“Jika aku sudah berhasil menaikkan derajatku, apakah kamu bersedia hidup denganku?” tanya Damian dengan mata bergetar putus asa.Gina membeku. Mulutnya tertutup rapat, enggan untuk menjawab. Dia tidak tahu harus menjawab apa, karena sebenarnya ini semua adalah rencana yang dia susun. Yang tanpa dia sadari, justru menyakiti Damian lebih daripada Annie.Di lain sisi, tanpa mereka sadari, Annie kini mengawasi mereka dari balik pintu pembatas antara rumah dengan halaman belakang.Wanita itu diam, berusaha menyembunyikan sosoknya agar tidak ketahuan. Meskipun hatinya berdenyut sakit, dia telah berjanji untuk memaafkan Damian. Memaafkan perselingkuhannya dengan Fiona.“An, mana suamimu?” tegur Irene.Brak! Annie cepat-cepat menutup pintu, menghalangi apapun dari jangka
“Fi, apa kamu punya anak?” ulang Damian sekali lagi.Wajah Gina pucat pasi saat Damian tanpa terduga menanyakan hal paling pribadi itu kepadanya. Bukan karena Gina ingin menutupi, namun ini bukanlah saat yang tepat. Dia ingin mengungkapkan semuanya, setelah tujuan awalnya untuk balas dendam selesai.“Kalau aku punya anak, aku tidak mungkin bekerja di tempatmu setiap hari, Damian,” aku Gina berusaha tenang.Damian melipat bibir. Dia berusaha mencari celah kejujuran di balik ucapan Gina.“Apa kamu yakin?”“Coba bayangkan, Damian. Kamu sendiri punya anak, jadi pasti tahu maksudku,” Gina mencondongkan posisi duduk menghadap Damian. “Andaikan aku punya anak, bukankah aku tidak sanggup untuk tinggal di rumahmu? Atau jika aku sanggup, bukankah aku akan membawa anakku?”“Jika kamu punya, tidak masalah bagiku, Fi. Aku mencintaimu dengan tulus,” Damian terus mencoba agar Gina bicara jujur padanya.Gina tersenyum getir. “Aku tidak
“Sepertinya kita harus pulang, Damian,” Gina bergegas berdiri saat melirik jam tangannya.Damian masih enggan, dan dia malah makin merenung di tempat duduknya.“Damian?” panggil Gina.Damian menoleh dengan senyum penuh arti. “Fi, kamu pasti tahu kalau aku sangat mencintaimu, kan? Aku ingin melakukan apapun agar kita bisa bersama,”Gina mengerjapkan mata. Tak paham dengan maksud dan arah pertanyaan Damian.“Jadi kuharap, tidak ada kebohongan diantara kita. Apapun itu,” lanjut Damian.Gina mengangguk. “Aku pasti akan selalu jujur padamu,” timpalnya.“Jika bohong–” Suaranya tercekat. “Aku tidak akan memaafkanmu,”Giliran Gina yang membisu. Dia ingin selalu jujur pada Damian, namun keadaan memaksanya untuk makin berbohong lagi dan lagi kepada pria itu. Pria paling tulus dan kesepian yang pernah dia kenal. Versi pria dari dirinya sendiri.***“Steve, berhenti–” Annie tak kuasa menahan tubuh Steve ya
"Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu tersenyum ramah saat Ajeng mulai masuk menginjakkan kakinya ke dalam restoran Jepang mewah, Okuzono Dining.Ajeng melangkah mantap. "Saya ada janji bertemu dengan Nona,""Nona? Mari saya antar," Resepsionis itu mengisyaratkan salah satu pramusaji untuk mengarahkan Ajeng ke ruang khusus yang telah dipesan Emma–yang menyamar sebagai Nona untuk pertemuan mereka.Emma sudah duduk di dalam ruangan itu, dengan makanan pembuka yang tersaji mewah di meja panjang. Dia lalu mengangkat gelasnya, menyambut Ajeng."Selamat siang, Nona," sapa Ajeng ramah.Dia tentu harus memberikan kesan yang ramah untuk klien pentingnya ini."Silahkan duduk," Emma mempersilahkan Ajeng untuk duduk di depannya agar mereka bisa saling berhadapan."Maaf saya datang terlambat," sesal Ajeng, karena Emma yang justru datang lebih dulu.Emma menggeleng, mengulaskan senyum santai."Tidak masalah. Aku memang senang datang lebih awal dari waktu bertemu,"Kemudian dia mengangkat sebu
“Annie telah membunuh anakku satu-satunya, Sean,” tandas Gina, lancar.Ajeng, yang kebetulan memiliki ingatan fotografis, tak perlu bertanya kembali mengenai nama yang baru saja disebut Gina.Sean, sudah tentu Sean Wijaya–seperti yang tertulis di surat warisan.“K-kenapa–” Ajeng bahkan tak sanggup untuk melanjutkan pertanyaannya. “Kenapa Annie tega melalukan itu, Nyonya Gina?” Tapi sebagai pengacara, dia harus mengetahui segala hal agar bisa membantu kliennya lebih maksimal.Gina terdiam. Dia bisu memandangi seluruh hidangan mewah di depannya.“Jika membunuh anak sekecil Sean memerlukan alasan, maka Annie tak ubahnya seorang iblis,” jawabnya.Ajeng menggigit bibir. “Tapi Annie memiliki anak. Kenapa dia tega … ““Annie akan melakukan apapun untuk kliennya,” sambar Emma, ikut tersulut emosi.“Aku hanya meminta perlindunganmu,” Gina mulai menyumpit salah satu hidangan. “Aku ingin surat warisan yang asli itu aman,”