“Annie telah membunuh anakku satu-satunya, Sean,” tandas Gina, lancar.
Ajeng, yang kebetulan memiliki ingatan fotografis, tak perlu bertanya kembali mengenai nama yang baru saja disebut Gina.Sean, sudah tentu Sean Wijaya–seperti yang tertulis di surat warisan.“K-kenapa–” Ajeng bahkan tak sanggup untuk melanjutkan pertanyaannya. “Kenapa Annie tega melalukan itu, Nyonya Gina?” Tapi sebagai pengacara, dia harus mengetahui segala hal agar bisa membantu kliennya lebih maksimal.Gina terdiam. Dia bisu memandangi seluruh hidangan mewah di depannya.“Jika membunuh anak sekecil Sean memerlukan alasan, maka Annie tak ubahnya seorang iblis,” jawabnya.Ajeng menggigit bibir. “Tapi Annie memiliki anak. Kenapa dia tega … ““Annie akan melakukan apapun untuk kliennya,” sambar Emma, ikut tersulut emosi.“Aku hanya meminta perlindunganmu,” Gina mulai menyumpit salah satu hidangan. “Aku ingin surat warisan yang asli itu aman,”“Akhirnya kamu datang juga,” Steve mengangkat tinggi-tinggi segelas anggur yang ada di tangannya, demi menyambut kedatangan Emma.Mereka memutuskan untuk bertemu di restoran mewah di dalam hotel berbintang lima–milik keluarga Duran.“Kenapa kamu beda dari kemarin? Kenapa wajahmu pucat?” tanya Steve keheranan.Saat pertama bertemu Steve, Emma tampil penuh percaya diri dengan tampilan seksi nan tajam. Namun kali ini, penampilannya lebih kasual dan minim riasan.“Terserah aku. Jika tidak suka, tidak masalah,” jawab Emma ketus.Steve tertawa. “Aku hanya bertanya, Nona. Bukan berarti aku tidak menyukaimu,”“Apa yang kamu inginkan?!” sentak Emma, tak senang dengan basa-basi basi dari Steve.“Tentu saja menagih janjimu. Kamu tahu, kan, tidak ada yang gratis di dunia ini?”‘Sial!’ Emma memekik dalam hati.Dia lupa akan janjinya pada Steve, saat mereka membuat kesepakatan dulu. Dia tidak menyadari jika hal itu seperti bom baginya. Steve benar-benar tidak melupakan perjanjian itu.Steve mengacun
Gina bergegas mengecek Tasya di kamarnya, dan betapa dia terkejut saat melihat Tasya duduk di atas ranjang sambil membenamkan dirinya di dalam selimut.Gina buru-buru membuka selimut itu, dan Tasya menangis tersedu-sedu.“Kenapa Papa sama Mama bertengkar, Mbak?” isak Tasya. “Apa salah Tasya?”Gina tak sanggup menatap wajah sembab Tasya lebih lama. Dia memeluk gadis kecil itu, berusaha menenangkan dengan segala afirmasi positif yang dia bisa.Sayup-sayup Gina bisa mendengar teriakan Annie yang makin keras–kini diselingi pecahan kaca yang nyaring. Gina menutup kedua telinga Tasya dengan telapak tangannya.“Kenapa Papa sama Mama bertengkar? Tasya salah apa?” racau Tasya, menyalahkan dirinya sendiri.Gina makin memeluk erat tubuh Tasya. Setiap kali dia memandang gadis itu, dia akan langsung teringat akan Sean, sehingga hatinya sakit melihat tangisan Tasya.“Bukan salah Tasya, kok. Papa sama Mama cuman lagi berdebat, ada yang
Emma mematut diri di depan cermin, sengaja untuk menghilangkan semua jejak kebersamaannya dengan Steve semalam. Bahkan saat melihat cermin pun, ada rasa jijik terhadap dirinya sendiri.Bagaimana bisa Emma mencapai puncak saat bersama Steve? Bahkan dia nyaris berteriak penuh kenikmatan.Emma membuang muka. Harusnya dia menggunakan akal sehatnya. Bagaimana pun, Steve tak ubahnya predator, yang akan memangsa siapapun di dekatnya.“Jangan lupa hubungi aku saat kamu kesepian,” tukas Steve setelah mengenakan seluruh pakaiannya.Emma hanya diam, kesal bukan main. Kekesalan pada dirinya.Tiba-tiba Steve mengecup kepala Emma. “Tak kusangka, seorang tangan kanan sepertimu, bisa membuatku sangat bergairah. Melebihi Annie,” bisik Steve.Emma menepis tubuh Steve yang berada di dekatnya. Dan Steve hanya tertawa lebar melihat reaksi Emma. Setelah mengucapkan salam, dia pamit pergi.“Halo, Nyonya,” sapa Emma. Dia memutuskan untuk menghu
Dengan kedua kaki yang tegak dan tak gentar, Annie mantap memasuki halaman luas kediaman Wijaya siang ini.Memakai pakaian serba hitam–sebagai bentuk penghormatan pada Sean, Annie memberanikan diri untuk ikut hadir dalam upacara peringatan 100 hari kematian Sean.Dari kejauhan, Emma bisa melihat sosok Annie yang turun dari mobilnya, dan mulai berjalan mendekati rumah induk. Emma yang telah siap dengan walkie talkie di tangan, segera menghubungi anak buahnya untuk lebih mempererat pengawasan pada Annie.“Apakah acaranya sudah dimulai?” tanya Annie, pada Emma yang memang berjaga di depan pintu utama.Emma mengangguk. “Silahkan masuk, An,” jawabnya sembari mempersilahkan Annie.Setelah menarik nafas sangat panjang–demi menata hati dan keberanian Annie mantap maju melangkahkan kakinya, masuk ke dalam rumah besar Wijaya.Disana, sudah banyak sekali keluarga dan kolega yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa serta memberikan pengho
Emma menelan ludah terpaksa. Dia tentu tidak bisa menghadapi keluarga Duran karena kedua orang tua Gina itu tidak diberitahu apapun tentang rencana penyamaran Gina–bahkan Emma sebagai mata-mata Gina.Sebagai cara menghindar, Emma pura-pura menyalakan walkie talkie untuk bicara dengan anak buahnya.“Tuan, saya harus masuk untuk mengawasi Annie,” izin Emma.Meskipun sedikit keberatan, Wijaya nyatanya mengizinkan Emma pergi. Dan kini dia hanya sendirian menghadapi kedua orang tua Gina yang datang menghampirinya dengan wajah tegap selayaknya mengajak berperang.“Maafkan kami karena baru datang sekarang,” ucap Leo Duran, mengulurkan jabatan tangan pada Wijaya.Sadar akan tatapan orang-orang padanya, Wijaya membalas jabat tangan itu dengan raut sedih. Dia bahkan menarik Leo ke dalam pelukannya.“Terima kasih karena sudah berkunjung, Tuan Leo, dan Nyonya Eli,” ucap Wijaya.Eli menggigit bibir, menahan diri sendiri untuk tidak m
“Kamu mau makan dimana?” tanya Damian, sesekali melirik Gina yang duduk di sampingnya.Demi menghibur Gina yang sedih–meski Damian tidak tahu alasannya maka mereka pun memutuskan untuk makan siang di luar. Ini adalah kali pertama bagi mereka, menghabiskan waktu makan siang berdua di luar rumah.Damian sengaja memilih lokasi yang cukup jauh dari rumah, supaya tidak bertemu dengan orang-orang yang sekiranya kenal dengan mereka. Meskipun Gina telah bekerja lama di rumah Damian, dia untungnya tidak pernah terlibat dalam perkumpulan para pembantu di komplek. Hal ini dilakukan Gina dengan sengaja, karena dia tidak ingin penyamarannya ketahuan.“Bagaimana kalau di sini?” tanya Damian ketika dia telah memarkirkan mobilnya di sebuah restoran outdoor.Bukannya terhibur, yang ada Gina tambah sedih. Restoran yang mengusung tema fast food dengan konsep outdoor itu bukanlah restoran baru baginya. Dia dan Sean sering datang ke sana, karena re
“Hentikan, Andrea … “ Annie memejamkan mata demi menahan emosinya. Dia berusaha berbicara lebih pelan pada Andrea.“Aku tidak bohong! Dia benar-benar Gina!” Andrea tetap kukuh dengan pendapatnya.Annie tidak mau berdebat. Dia sengaja memutus sambungan secara sepihak, tak mau lagi mendengarkan omong kosong Andrea lebih lama.Kini tatapannya nanar memandang testpack yang dia genggam erat di tangan kiri. Dua garis itu berwarna merah marun, sangat jelas namun cukup membuat banyak tekanan di hati Annie.“Bagaimana jika ini anak Steve?” Annie mulai berbincang dengan dirinya sendiri.“An! Sampai kapan mau di dalam toilet?!!” Suara Jeslyn berteriak sangat kencang dari luar toilet.“Kenapa, Jes?” sahut Annie.“Ada klien, nih! Dia nungguin di luar ruanganmu,” jawab Jeslyn.Annie buru-buru merapikan pakaian dan mematut diri sebentar di depan cermin. Dia berusaha memasang wajah senormal dan seramah mungkin, seakan tidak terjadi apapun. Setelah menyimpan testpack itu di dalam dompet, Annie bergega
“Damian,” Annie berbicara lirih sambil menggenggam tangan Damian. Tubuhnya lemas, mual dan nyeri pada bagian punggung belakang. Annie yakin ini semua adalah efek dari kehamilannya.“Istirahatlah, An. Biar Fiona buatkan teh hangat untukmu. Nanti aku juga akan nyuruh dia beli obat,” Damian berusaha menenangkan, dengan menyuruh Annie tiduran di atas sofa besar.“Mama jangan sakit, Ma,” Tasya ikut duduk bertopang dagu, demi menemani Annie.Annie tersenyum dan mengelus rambut Tasya. “Ganti baju dulu, dong. Biar Mama seneng,” Annie meminta Tasya untuk mengganti pakaian sekolahnya.Gadis kecil itu berlari masuk ke dalam kamar, untuk berganti pakaian rumah yang lebih santai. Dan kini hanya ada Damian dan Annie di ruang TV, saling berhadapan namun hening.“Maafkan aku,” ujar Annie tiba-tiba.“Maaf atas apa?”“Semuanya,” Annie hendak menangis. Dia tidak punya banyak waktu, sebelum kehamilannya makin membesar. Dia harus b
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m