Gina bergegas mengecek Tasya di kamarnya, dan betapa dia terkejut saat melihat Tasya duduk di atas ranjang sambil membenamkan dirinya di dalam selimut.Gina buru-buru membuka selimut itu, dan Tasya menangis tersedu-sedu.“Kenapa Papa sama Mama bertengkar, Mbak?” isak Tasya. “Apa salah Tasya?”Gina tak sanggup menatap wajah sembab Tasya lebih lama. Dia memeluk gadis kecil itu, berusaha menenangkan dengan segala afirmasi positif yang dia bisa.Sayup-sayup Gina bisa mendengar teriakan Annie yang makin keras–kini diselingi pecahan kaca yang nyaring. Gina menutup kedua telinga Tasya dengan telapak tangannya.“Kenapa Papa sama Mama bertengkar? Tasya salah apa?” racau Tasya, menyalahkan dirinya sendiri.Gina makin memeluk erat tubuh Tasya. Setiap kali dia memandang gadis itu, dia akan langsung teringat akan Sean, sehingga hatinya sakit melihat tangisan Tasya.“Bukan salah Tasya, kok. Papa sama Mama cuman lagi berdebat, ada yang
Emma mematut diri di depan cermin, sengaja untuk menghilangkan semua jejak kebersamaannya dengan Steve semalam. Bahkan saat melihat cermin pun, ada rasa jijik terhadap dirinya sendiri.Bagaimana bisa Emma mencapai puncak saat bersama Steve? Bahkan dia nyaris berteriak penuh kenikmatan.Emma membuang muka. Harusnya dia menggunakan akal sehatnya. Bagaimana pun, Steve tak ubahnya predator, yang akan memangsa siapapun di dekatnya.“Jangan lupa hubungi aku saat kamu kesepian,” tukas Steve setelah mengenakan seluruh pakaiannya.Emma hanya diam, kesal bukan main. Kekesalan pada dirinya.Tiba-tiba Steve mengecup kepala Emma. “Tak kusangka, seorang tangan kanan sepertimu, bisa membuatku sangat bergairah. Melebihi Annie,” bisik Steve.Emma menepis tubuh Steve yang berada di dekatnya. Dan Steve hanya tertawa lebar melihat reaksi Emma. Setelah mengucapkan salam, dia pamit pergi.“Halo, Nyonya,” sapa Emma. Dia memutuskan untuk menghu
Dengan kedua kaki yang tegak dan tak gentar, Annie mantap memasuki halaman luas kediaman Wijaya siang ini.Memakai pakaian serba hitam–sebagai bentuk penghormatan pada Sean, Annie memberanikan diri untuk ikut hadir dalam upacara peringatan 100 hari kematian Sean.Dari kejauhan, Emma bisa melihat sosok Annie yang turun dari mobilnya, dan mulai berjalan mendekati rumah induk. Emma yang telah siap dengan walkie talkie di tangan, segera menghubungi anak buahnya untuk lebih mempererat pengawasan pada Annie.“Apakah acaranya sudah dimulai?” tanya Annie, pada Emma yang memang berjaga di depan pintu utama.Emma mengangguk. “Silahkan masuk, An,” jawabnya sembari mempersilahkan Annie.Setelah menarik nafas sangat panjang–demi menata hati dan keberanian Annie mantap maju melangkahkan kakinya, masuk ke dalam rumah besar Wijaya.Disana, sudah banyak sekali keluarga dan kolega yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa serta memberikan pengho
Emma menelan ludah terpaksa. Dia tentu tidak bisa menghadapi keluarga Duran karena kedua orang tua Gina itu tidak diberitahu apapun tentang rencana penyamaran Gina–bahkan Emma sebagai mata-mata Gina.Sebagai cara menghindar, Emma pura-pura menyalakan walkie talkie untuk bicara dengan anak buahnya.“Tuan, saya harus masuk untuk mengawasi Annie,” izin Emma.Meskipun sedikit keberatan, Wijaya nyatanya mengizinkan Emma pergi. Dan kini dia hanya sendirian menghadapi kedua orang tua Gina yang datang menghampirinya dengan wajah tegap selayaknya mengajak berperang.“Maafkan kami karena baru datang sekarang,” ucap Leo Duran, mengulurkan jabatan tangan pada Wijaya.Sadar akan tatapan orang-orang padanya, Wijaya membalas jabat tangan itu dengan raut sedih. Dia bahkan menarik Leo ke dalam pelukannya.“Terima kasih karena sudah berkunjung, Tuan Leo, dan Nyonya Eli,” ucap Wijaya.Eli menggigit bibir, menahan diri sendiri untuk tidak m
“Kamu mau makan dimana?” tanya Damian, sesekali melirik Gina yang duduk di sampingnya.Demi menghibur Gina yang sedih–meski Damian tidak tahu alasannya maka mereka pun memutuskan untuk makan siang di luar. Ini adalah kali pertama bagi mereka, menghabiskan waktu makan siang berdua di luar rumah.Damian sengaja memilih lokasi yang cukup jauh dari rumah, supaya tidak bertemu dengan orang-orang yang sekiranya kenal dengan mereka. Meskipun Gina telah bekerja lama di rumah Damian, dia untungnya tidak pernah terlibat dalam perkumpulan para pembantu di komplek. Hal ini dilakukan Gina dengan sengaja, karena dia tidak ingin penyamarannya ketahuan.“Bagaimana kalau di sini?” tanya Damian ketika dia telah memarkirkan mobilnya di sebuah restoran outdoor.Bukannya terhibur, yang ada Gina tambah sedih. Restoran yang mengusung tema fast food dengan konsep outdoor itu bukanlah restoran baru baginya. Dia dan Sean sering datang ke sana, karena re
“Hentikan, Andrea … “ Annie memejamkan mata demi menahan emosinya. Dia berusaha berbicara lebih pelan pada Andrea.“Aku tidak bohong! Dia benar-benar Gina!” Andrea tetap kukuh dengan pendapatnya.Annie tidak mau berdebat. Dia sengaja memutus sambungan secara sepihak, tak mau lagi mendengarkan omong kosong Andrea lebih lama.Kini tatapannya nanar memandang testpack yang dia genggam erat di tangan kiri. Dua garis itu berwarna merah marun, sangat jelas namun cukup membuat banyak tekanan di hati Annie.“Bagaimana jika ini anak Steve?” Annie mulai berbincang dengan dirinya sendiri.“An! Sampai kapan mau di dalam toilet?!!” Suara Jeslyn berteriak sangat kencang dari luar toilet.“Kenapa, Jes?” sahut Annie.“Ada klien, nih! Dia nungguin di luar ruanganmu,” jawab Jeslyn.Annie buru-buru merapikan pakaian dan mematut diri sebentar di depan cermin. Dia berusaha memasang wajah senormal dan seramah mungkin, seakan tidak terjadi apapun. Setelah menyimpan testpack itu di dalam dompet, Annie bergega
“Damian,” Annie berbicara lirih sambil menggenggam tangan Damian. Tubuhnya lemas, mual dan nyeri pada bagian punggung belakang. Annie yakin ini semua adalah efek dari kehamilannya.“Istirahatlah, An. Biar Fiona buatkan teh hangat untukmu. Nanti aku juga akan nyuruh dia beli obat,” Damian berusaha menenangkan, dengan menyuruh Annie tiduran di atas sofa besar.“Mama jangan sakit, Ma,” Tasya ikut duduk bertopang dagu, demi menemani Annie.Annie tersenyum dan mengelus rambut Tasya. “Ganti baju dulu, dong. Biar Mama seneng,” Annie meminta Tasya untuk mengganti pakaian sekolahnya.Gadis kecil itu berlari masuk ke dalam kamar, untuk berganti pakaian rumah yang lebih santai. Dan kini hanya ada Damian dan Annie di ruang TV, saling berhadapan namun hening.“Maafkan aku,” ujar Annie tiba-tiba.“Maaf atas apa?”“Semuanya,” Annie hendak menangis. Dia tidak punya banyak waktu, sebelum kehamilannya makin membesar. Dia harus b
“A-apa maksud Nyonya Andrea?” Tercekat tenggorokan Emma ketika Andrea dengan lantang menyebut Fiona sebagai Gina.Entah apa yang terjadi, namun Emma perlu lebih waspada terhadap Andrea.“Coba amati lebih jelas,” suruh Andrea. “Dia benar-benar Gina!”Emma berpura-pura mengamati foto itu lebih detil. Padahal dalam otaknya kini tengah merangkai berbagai alasan yang bisa dia gunakan untuk mencegah Andrea makin curiga.“Saya meragukannya, Nyonya … ““APA?!” pekik Andrea, hampir saja menjadi pusat perhatian. “Bagaimana bisa kamu menyimpulkan begitu? Dia jelas-jelas Gina!”Emma lalu mengeluarkan ponselnya sendiri, dan memperlihatkan sebuah foto. Foto dimana Gina tengah berada di bandara. Gina yang masih berambut panjang gelombang, dengan baju mahal dan tampilan sangat berkelas.“Anak buah saya menemukan Nyonya Gina dalam perjalanan menuju Jepang,” aku Emma.Andrea merampas ponsel itu, melotot demi mempercayai penglihat