Emma menelan ludah terpaksa. Dia tentu tidak bisa menghadapi keluarga Duran karena kedua orang tua Gina itu tidak diberitahu apapun tentang rencana penyamaran Gina–bahkan Emma sebagai mata-mata Gina.
Sebagai cara menghindar, Emma pura-pura menyalakan walkie talkie untuk bicara dengan anak buahnya.“Tuan, saya harus masuk untuk mengawasi Annie,” izin Emma.Meskipun sedikit keberatan, Wijaya nyatanya mengizinkan Emma pergi. Dan kini dia hanya sendirian menghadapi kedua orang tua Gina yang datang menghampirinya dengan wajah tegap selayaknya mengajak berperang.“Maafkan kami karena baru datang sekarang,” ucap Leo Duran, mengulurkan jabatan tangan pada Wijaya.Sadar akan tatapan orang-orang padanya, Wijaya membalas jabat tangan itu dengan raut sedih. Dia bahkan menarik Leo ke dalam pelukannya.“Terima kasih karena sudah berkunjung, Tuan Leo, dan Nyonya Eli,” ucap Wijaya.Eli menggigit bibir, menahan diri sendiri untuk tidak m“Kamu mau makan dimana?” tanya Damian, sesekali melirik Gina yang duduk di sampingnya.Demi menghibur Gina yang sedih–meski Damian tidak tahu alasannya maka mereka pun memutuskan untuk makan siang di luar. Ini adalah kali pertama bagi mereka, menghabiskan waktu makan siang berdua di luar rumah.Damian sengaja memilih lokasi yang cukup jauh dari rumah, supaya tidak bertemu dengan orang-orang yang sekiranya kenal dengan mereka. Meskipun Gina telah bekerja lama di rumah Damian, dia untungnya tidak pernah terlibat dalam perkumpulan para pembantu di komplek. Hal ini dilakukan Gina dengan sengaja, karena dia tidak ingin penyamarannya ketahuan.“Bagaimana kalau di sini?” tanya Damian ketika dia telah memarkirkan mobilnya di sebuah restoran outdoor.Bukannya terhibur, yang ada Gina tambah sedih. Restoran yang mengusung tema fast food dengan konsep outdoor itu bukanlah restoran baru baginya. Dia dan Sean sering datang ke sana, karena re
“Hentikan, Andrea … “ Annie memejamkan mata demi menahan emosinya. Dia berusaha berbicara lebih pelan pada Andrea.“Aku tidak bohong! Dia benar-benar Gina!” Andrea tetap kukuh dengan pendapatnya.Annie tidak mau berdebat. Dia sengaja memutus sambungan secara sepihak, tak mau lagi mendengarkan omong kosong Andrea lebih lama.Kini tatapannya nanar memandang testpack yang dia genggam erat di tangan kiri. Dua garis itu berwarna merah marun, sangat jelas namun cukup membuat banyak tekanan di hati Annie.“Bagaimana jika ini anak Steve?” Annie mulai berbincang dengan dirinya sendiri.“An! Sampai kapan mau di dalam toilet?!!” Suara Jeslyn berteriak sangat kencang dari luar toilet.“Kenapa, Jes?” sahut Annie.“Ada klien, nih! Dia nungguin di luar ruanganmu,” jawab Jeslyn.Annie buru-buru merapikan pakaian dan mematut diri sebentar di depan cermin. Dia berusaha memasang wajah senormal dan seramah mungkin, seakan tidak terjadi apapun. Setelah menyimpan testpack itu di dalam dompet, Annie bergega
“Damian,” Annie berbicara lirih sambil menggenggam tangan Damian. Tubuhnya lemas, mual dan nyeri pada bagian punggung belakang. Annie yakin ini semua adalah efek dari kehamilannya.“Istirahatlah, An. Biar Fiona buatkan teh hangat untukmu. Nanti aku juga akan nyuruh dia beli obat,” Damian berusaha menenangkan, dengan menyuruh Annie tiduran di atas sofa besar.“Mama jangan sakit, Ma,” Tasya ikut duduk bertopang dagu, demi menemani Annie.Annie tersenyum dan mengelus rambut Tasya. “Ganti baju dulu, dong. Biar Mama seneng,” Annie meminta Tasya untuk mengganti pakaian sekolahnya.Gadis kecil itu berlari masuk ke dalam kamar, untuk berganti pakaian rumah yang lebih santai. Dan kini hanya ada Damian dan Annie di ruang TV, saling berhadapan namun hening.“Maafkan aku,” ujar Annie tiba-tiba.“Maaf atas apa?”“Semuanya,” Annie hendak menangis. Dia tidak punya banyak waktu, sebelum kehamilannya makin membesar. Dia harus b
“A-apa maksud Nyonya Andrea?” Tercekat tenggorokan Emma ketika Andrea dengan lantang menyebut Fiona sebagai Gina.Entah apa yang terjadi, namun Emma perlu lebih waspada terhadap Andrea.“Coba amati lebih jelas,” suruh Andrea. “Dia benar-benar Gina!”Emma berpura-pura mengamati foto itu lebih detil. Padahal dalam otaknya kini tengah merangkai berbagai alasan yang bisa dia gunakan untuk mencegah Andrea makin curiga.“Saya meragukannya, Nyonya … ““APA?!” pekik Andrea, hampir saja menjadi pusat perhatian. “Bagaimana bisa kamu menyimpulkan begitu? Dia jelas-jelas Gina!”Emma lalu mengeluarkan ponselnya sendiri, dan memperlihatkan sebuah foto. Foto dimana Gina tengah berada di bandara. Gina yang masih berambut panjang gelombang, dengan baju mahal dan tampilan sangat berkelas.“Anak buah saya menemukan Nyonya Gina dalam perjalanan menuju Jepang,” aku Emma.Andrea merampas ponsel itu, melotot demi mempercayai penglihat
Saat terbangun dari tidurnya, Emma menyadari bahwa dia sama sekali tidak memakai pakaian. Hanya terbungkus selimut, di atas ranjangnya sendiri.Emma memekik pelan, ketika Steve tiba-tiba sudah menyeringai, berbaring di sebelahnya.“Selamat pagi, Emma,” sapanya.Emma buru-buru duduk dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.Ternyata semalam bukanlah mimpi. Dia mengingat jelas apa yang terjadi pada mereka, namun Emma berharap segalanya hanya mimpi. Bisa-bisanya dia terbujuk rayuan Steve untuk menghabiskan malam bersama, di dalam apartemennya sendiri.Kini, tidak ada lagi hal yang bisa dia sembunyikan mengingat Steve bahkan tahu tempatnya tinggal.“Tadi jam 3 pagi Nyonya Gina menelepon,” celetuk Steve.“Hah?!” Emma memekik keras, melompat dari ranjang–tak peduli meski tak berbusana.Steve terus tersenyum lebar, mengamati lekukan tubuh Emma yang indah.Emma buru-buru mengecek ponsel. Satu kesalahan fatal, dia tidak mengganti nama Gina menjadi nama yang lain. Namun siapa sangka jika a
“Fiona!!!” Annie menjerit, hingga kedua bola matanya seperti hendak keluar. Dia berlari, menaiki tangga demi bisa menampar pipi Gina sekerasnya.“Dasar wanita jalang, tak tahu diuntung!!” sentak Annie. “Aku mempekerjakanmu di sini untuk mengurus rumah, bukan mengurus suamiku!” Annie kalap. Sekali lagi dia menampar pipi Gina, hingga kedua pipi wanita itu merah sempurna.“Hentikan, An,” Damian berusaha menghentikan tindakan Annie.Namun yang ada, Annie justru menepis keras dan mendorong kuat-kuat tubuh Damian untuk melepaskannya.“Jangan ikut campur, Dam!! Kamu mau membela simpananmu ini? Hah!” bentak Annie, kini berganti pada Damian.“Aku telah memperingatkanmu sebelumnya. Tapi kamu sepertinya menyepelekanku,” Annie mengacungkan telunjuknya pada Gina yang tersungkur diam.“Mengingatkan? Apa maksudmu?” Damian balik bertanya.“Kamu pikir, aku ini bodoh, hah? Aku sudah tahu perselingkuhan kalian, jauh sebelum ini semua terjadi,” aku Annie.“Apa?” Damian terkesiap. “Oh, sepertinya pembant
Tubuh Annie hampir limbung, ketika Gina membawa nama Sean dalam pertikaian mereka. Apalagi Damian. Pria itu mematung, berusaha mencerna semuanya yang seakan bagai bebatuan besar yang dilempar lurus menembus jantungnya.Sangat cepat dan menyakitkan.Meskipun Gina tampak tersengal-sengal mengatur nafas demi bisa mengungkapkan kejujuran, namun dia tidak gentar. Dia makin maju memojokkan Annie.“Kenapa kamu membunuh Seanku, Annie Chase? Kenapa harus Sean?” tuntut Gina, mulai berlinang air mata. “Selama ini aku diam ketika Wijaya tiba-tiba mencampakkanku. Bahkan ketika tiba-tiba dia membawa pengacara untuk mengusirku. Dan pengacara itu adalah kamu. Tapi kenapa harus kalian libatkan anakku? Anak sekecil Sean, apa dosanya jika meminta ingin bersamaku? Dia hanya ingin bersamaku, dia ingin bersama ibunya yang diusir! Bagaimana jika kamu ada disisiku? Ketika Tasya memanggil namamu dan orang lain tak mengizinkannya menemuimu, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu rela nyawa Tasya hilang begitu
“Kamu tak bisa mengusirku begitu saja,” Bibir Annie gemetar. “Ini adalah rumah pemberian orang tuaku,” Suaranya pun juga turut bergetar, antara menahan kesedihan dan kemarahan.Damian tidak menjawab. Dia menatap Annie dengan bola mata gemetar, tak menyangka kata-kata itu bisa terlontar kejam dari bibir Annie–padahal kesalahan ada padanya.“Mbak Fiona!!” teriak Tasya, yang terdengar hingga Damian dan Annie menoleh ke arah Tasya–dari semi lantai dua.“Mbak Fiona mau kemana?!” teriak Tasya, berlari menghadang jalan Gina yang hendak pergi. “Jangan tinggalin Tasya, Mbak!” raung gadis kecil itu.Dengan segenap kekuatan, Gina berusaha tersenyum. Dia membungkuk, menyamakan tinggi dengan Tasya.“Mbak Fiona harus pergi, Tasya. Mbak Fiona sudah waktunya pulang,”“Nggak mau!” Tasya makin menangis. “Aku nggak mau Mbak Fiona pergi. Kalau Mbak Fiona pergi, Tasya sama siapa?”Hati Gina serasa teriris. Saat melihat Tasya, dia selalu teri