“Fiona!!!” Annie menjerit, hingga kedua bola matanya seperti hendak keluar. Dia berlari, menaiki tangga demi bisa menampar pipi Gina sekerasnya.“Dasar wanita jalang, tak tahu diuntung!!” sentak Annie. “Aku mempekerjakanmu di sini untuk mengurus rumah, bukan mengurus suamiku!” Annie kalap. Sekali lagi dia menampar pipi Gina, hingga kedua pipi wanita itu merah sempurna.“Hentikan, An,” Damian berusaha menghentikan tindakan Annie.Namun yang ada, Annie justru menepis keras dan mendorong kuat-kuat tubuh Damian untuk melepaskannya.“Jangan ikut campur, Dam!! Kamu mau membela simpananmu ini? Hah!” bentak Annie, kini berganti pada Damian.“Aku telah memperingatkanmu sebelumnya. Tapi kamu sepertinya menyepelekanku,” Annie mengacungkan telunjuknya pada Gina yang tersungkur diam.“Mengingatkan? Apa maksudmu?” Damian balik bertanya.“Kamu pikir, aku ini bodoh, hah? Aku sudah tahu perselingkuhan kalian, jauh sebelum ini semua terjadi,” aku Annie.“Apa?” Damian terkesiap. “Oh, sepertinya pembant
Tubuh Annie hampir limbung, ketika Gina membawa nama Sean dalam pertikaian mereka. Apalagi Damian. Pria itu mematung, berusaha mencerna semuanya yang seakan bagai bebatuan besar yang dilempar lurus menembus jantungnya.Sangat cepat dan menyakitkan.Meskipun Gina tampak tersengal-sengal mengatur nafas demi bisa mengungkapkan kejujuran, namun dia tidak gentar. Dia makin maju memojokkan Annie.“Kenapa kamu membunuh Seanku, Annie Chase? Kenapa harus Sean?” tuntut Gina, mulai berlinang air mata. “Selama ini aku diam ketika Wijaya tiba-tiba mencampakkanku. Bahkan ketika tiba-tiba dia membawa pengacara untuk mengusirku. Dan pengacara itu adalah kamu. Tapi kenapa harus kalian libatkan anakku? Anak sekecil Sean, apa dosanya jika meminta ingin bersamaku? Dia hanya ingin bersamaku, dia ingin bersama ibunya yang diusir! Bagaimana jika kamu ada disisiku? Ketika Tasya memanggil namamu dan orang lain tak mengizinkannya menemuimu, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu rela nyawa Tasya hilang begitu
“Kamu tak bisa mengusirku begitu saja,” Bibir Annie gemetar. “Ini adalah rumah pemberian orang tuaku,” Suaranya pun juga turut bergetar, antara menahan kesedihan dan kemarahan.Damian tidak menjawab. Dia menatap Annie dengan bola mata gemetar, tak menyangka kata-kata itu bisa terlontar kejam dari bibir Annie–padahal kesalahan ada padanya.“Mbak Fiona!!” teriak Tasya, yang terdengar hingga Damian dan Annie menoleh ke arah Tasya–dari semi lantai dua.“Mbak Fiona mau kemana?!” teriak Tasya, berlari menghadang jalan Gina yang hendak pergi. “Jangan tinggalin Tasya, Mbak!” raung gadis kecil itu.Dengan segenap kekuatan, Gina berusaha tersenyum. Dia membungkuk, menyamakan tinggi dengan Tasya.“Mbak Fiona harus pergi, Tasya. Mbak Fiona sudah waktunya pulang,”“Nggak mau!” Tasya makin menangis. “Aku nggak mau Mbak Fiona pergi. Kalau Mbak Fiona pergi, Tasya sama siapa?”Hati Gina serasa teriris. Saat melihat Tasya, dia selalu teri
“Aku hamil, Damian … “ lirih Annie. Dia menundukkan kepala demi menutupi rasa malunya.Damian seketika berhenti. Begitu pula Gina yang sejak awal mengintip dari balik daun pintu kamar Tasya. Wanita itu spontan berlari kecil, menghampiri Tasya dan mengajak anak itu pergi meninggalkan Damian dan Annie yang bersitegang.Damian menurut saja saat Gina mengambil alih Tasya, karena dia merasa pertengkarannya dengan Annie memang tidak baik untuk didengar anaknya itu.“Apa kamu bilang?” tanya Damian–setelah memastikan Tasya pergi.Annie terisak. “Aku hamil … Kumohon jangan pergi,” jawab Annie.Damian mengerjapkan mata. Kemudian dia tersenyum tipis. Senyuman penuh kegetiran.“Apakah kamu yakin itu anakku? Bukan anak Steve?” seloroh Damian hampa.“A-apa maksudmu?!” teriak Annie. “Ini tentu anakmu, Dam. Aku istrimu!” pekik Annie sambil memegangi perutnya.“Aku pasti akan berbahagia jika benar itu anakku–” Damian memutus uca
“A-apa yang kamu inginkan?!” Gina makin lama makin mundur.Namun dengan isyarat mata, Andrea memerintahkan dua preman itu untuk bergerak maju. Mereka dengan cepat memegangi kedua lengan Gina.“Lepaskan aku!!” teriak Gina, berusaha keras melepaskan diri.“Ikat dia!” perintah Andrea.Lalu salah satu preman itu mengambil tali tambang–yang sengaja telah disiapkan untuk menyekap Gina. Meski terus berontak, sekuat tenaganya hingga menendang ke segala arah, tenaga Gina tentu tidak sebanding dengan dua preman itu. Emma hanya bisa memejamkan mata, tak tega melihat Gina yang dianiaya oleh Andrea.Andrea tertawa sangat keras, penuh kemenangan karena merasa telah di atas angin. Meskipun perutnya makin membesar, semangatnya untuk menganiaya tidak sirna. Dia bahkan lebih bersemangat setelah melihat Gina dan Emma tak berdaya dan bertekuk lutut di depannya.“Permainan kalian kini sudah selesai,” ucap Andrea, duduk bersilang santai di d
Dua jam telah berlalu, semenjak kepergian Damian dan Tasya dari rumah. Suasana menjadi sangat hening, menyisakan Annie yang meratapi segala kesalahannya.Sambil memeluk lutut dan bersimpuh lesu di sudut ruang TV, Annie terus menangis. Segalanya menjadi runyam, ketika dia memutuskan untuk berurusan dengan Wijaya dan keluarganya.Ataukah, segalanya menjadi runyam semenjak kedatangan Gina Duran yang menyamar?Annie menarik rambutnya, menjambak dan mencengkeram seakan ingin segera bangun dari mimpi buruk itu.Dan tiba-tiba ponsel di sampingnya berdering. Ada panggilan dari nomor baru yang tidak dia kenal. Hati kecilnya sangat berharap jika itu adalah Damian.“Halo … “ jawab Annie lemas.“An, segera ke sini. Aku punya kejutan besar untukmu,”“Andrea?” Annie mulai bangkit. “Apa yang terjadi?”“Cepat datang ke sini. Aku sudah kirimkan lokasinya,”Klik. Andrea menutup ponsel dengan cepat, dan menyisakan Annie y
Mata Andrea berbinar girang, saat akhirnya Gina secara terpaksa menuruti permintaannya. Sambil memekik senang, dia tiba-tiba menampar Emma sekerasnya.“Andre, stop!!” sentak Annie–tak suka dengan kekerasan yang dilakukan Andrea. “Kamu sedang hamil, sadarlah!”Andrea menurut. Meski seringaian kejam bak iblis belum luntur dari bibirnya, namun dia mau berhenti memukuli Emma.Annie bergegas melepaskan sumpalan di mulut Emma agar wanita itu bisa bernafas lebih bebas.Cuih! Tiba-tiba Emma meludahi Andrea. Matanya menyulutkan api kemurkaan yang nampak jelas.“Kurang ajar!” Andrea siap menampar Emma sekali lagi, namun Annie mencegah.“Stop, Andre, stop!!” teriak Annie. “Jangan libatkan dirimu yang sedang hamil dalam tindakan seperti ini. Bisa-bisa Emma menuntutmu saat keluar dari sini,”“Oh ya? Aku tidak akan membiarkannya keluar dari sini hidup-hidup,” gertak Andrea.“Tepati janjimu, jalang!” Tiba-tiba Gina mengumpat s
“Damian? Ada apa?” Ajeng kebingungan saat Damian berdiri di depan pintu rumahnya.Tanpa banyak bicara, Ajeng mempersilakan Damian untuk masuk.“Ada perlu apa? Tumben kamu datang sendirian ke sini?” tanya Ajeng heran.Dia mengenal Damian dari Annie. Dan Damian pernah datang sekali ke rumah Ajeng, bersama Annie dan Tasya saat menjenguk papa Ajeng.Damian kikuk. Dia memainkan jari-jemarinya untuk menghilangkan gugup.“Aku sudah tahu siapa Fiona. Dia adalah Gina Duran,” ucap Damian lirih.Ajeng tersentak. Dia tidak bisa menjawab, karena merasa tidak mendapatkan perintah apapun dari Gina. Maka yang bisa dia lakukan hanya diam, tidak menanggapi.Kemudian Damian meletakkan sebuah gelang berwarna putih keperakan, ke atas meja ruang tamu rumah Ajeng.“Apa ini?” tanya Ajeng.“Itu milik Gina Duran, yang tertinggal. Aku titip kembalikan ini padanya,” jawab Damian.Ajeng menggeleng cepat. “Tidak, Dam. Ini bukan urusanku. Aku hanya bekerja sebagai pengacaranya,” tolak Ajeng tegas.Ajeng memungut ge