“Fi, apa kamu punya anak?” ulang Damian sekali lagi.
Wajah Gina pucat pasi saat Damian tanpa terduga menanyakan hal paling pribadi itu kepadanya. Bukan karena Gina ingin menutupi, namun ini bukanlah saat yang tepat. Dia ingin mengungkapkan semuanya, setelah tujuan awalnya untuk balas dendam selesai.“Kalau aku punya anak, aku tidak mungkin bekerja di tempatmu setiap hari, Damian,” aku Gina berusaha tenang.Damian melipat bibir. Dia berusaha mencari celah kejujuran di balik ucapan Gina.“Apa kamu yakin?”“Coba bayangkan, Damian. Kamu sendiri punya anak, jadi pasti tahu maksudku,” Gina mencondongkan posisi duduk menghadap Damian. “Andaikan aku punya anak, bukankah aku tidak sanggup untuk tinggal di rumahmu? Atau jika aku sanggup, bukankah aku akan membawa anakku?”“Jika kamu punya, tidak masalah bagiku, Fi. Aku mencintaimu dengan tulus,” Damian terus mencoba agar Gina bicara jujur padanya.Gina tersenyum getir. “Aku tidak“Sepertinya kita harus pulang, Damian,” Gina bergegas berdiri saat melirik jam tangannya.Damian masih enggan, dan dia malah makin merenung di tempat duduknya.“Damian?” panggil Gina.Damian menoleh dengan senyum penuh arti. “Fi, kamu pasti tahu kalau aku sangat mencintaimu, kan? Aku ingin melakukan apapun agar kita bisa bersama,”Gina mengerjapkan mata. Tak paham dengan maksud dan arah pertanyaan Damian.“Jadi kuharap, tidak ada kebohongan diantara kita. Apapun itu,” lanjut Damian.Gina mengangguk. “Aku pasti akan selalu jujur padamu,” timpalnya.“Jika bohong–” Suaranya tercekat. “Aku tidak akan memaafkanmu,”Giliran Gina yang membisu. Dia ingin selalu jujur pada Damian, namun keadaan memaksanya untuk makin berbohong lagi dan lagi kepada pria itu. Pria paling tulus dan kesepian yang pernah dia kenal. Versi pria dari dirinya sendiri.***“Steve, berhenti–” Annie tak kuasa menahan tubuh Steve ya
"Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu tersenyum ramah saat Ajeng mulai masuk menginjakkan kakinya ke dalam restoran Jepang mewah, Okuzono Dining.Ajeng melangkah mantap. "Saya ada janji bertemu dengan Nona,""Nona? Mari saya antar," Resepsionis itu mengisyaratkan salah satu pramusaji untuk mengarahkan Ajeng ke ruang khusus yang telah dipesan Emma–yang menyamar sebagai Nona untuk pertemuan mereka.Emma sudah duduk di dalam ruangan itu, dengan makanan pembuka yang tersaji mewah di meja panjang. Dia lalu mengangkat gelasnya, menyambut Ajeng."Selamat siang, Nona," sapa Ajeng ramah.Dia tentu harus memberikan kesan yang ramah untuk klien pentingnya ini."Silahkan duduk," Emma mempersilahkan Ajeng untuk duduk di depannya agar mereka bisa saling berhadapan."Maaf saya datang terlambat," sesal Ajeng, karena Emma yang justru datang lebih dulu.Emma menggeleng, mengulaskan senyum santai."Tidak masalah. Aku memang senang datang lebih awal dari waktu bertemu,"Kemudian dia mengangkat sebu
“Annie telah membunuh anakku satu-satunya, Sean,” tandas Gina, lancar.Ajeng, yang kebetulan memiliki ingatan fotografis, tak perlu bertanya kembali mengenai nama yang baru saja disebut Gina.Sean, sudah tentu Sean Wijaya–seperti yang tertulis di surat warisan.“K-kenapa–” Ajeng bahkan tak sanggup untuk melanjutkan pertanyaannya. “Kenapa Annie tega melalukan itu, Nyonya Gina?” Tapi sebagai pengacara, dia harus mengetahui segala hal agar bisa membantu kliennya lebih maksimal.Gina terdiam. Dia bisu memandangi seluruh hidangan mewah di depannya.“Jika membunuh anak sekecil Sean memerlukan alasan, maka Annie tak ubahnya seorang iblis,” jawabnya.Ajeng menggigit bibir. “Tapi Annie memiliki anak. Kenapa dia tega … ““Annie akan melakukan apapun untuk kliennya,” sambar Emma, ikut tersulut emosi.“Aku hanya meminta perlindunganmu,” Gina mulai menyumpit salah satu hidangan. “Aku ingin surat warisan yang asli itu aman,”
“Akhirnya kamu datang juga,” Steve mengangkat tinggi-tinggi segelas anggur yang ada di tangannya, demi menyambut kedatangan Emma.Mereka memutuskan untuk bertemu di restoran mewah di dalam hotel berbintang lima–milik keluarga Duran.“Kenapa kamu beda dari kemarin? Kenapa wajahmu pucat?” tanya Steve keheranan.Saat pertama bertemu Steve, Emma tampil penuh percaya diri dengan tampilan seksi nan tajam. Namun kali ini, penampilannya lebih kasual dan minim riasan.“Terserah aku. Jika tidak suka, tidak masalah,” jawab Emma ketus.Steve tertawa. “Aku hanya bertanya, Nona. Bukan berarti aku tidak menyukaimu,”“Apa yang kamu inginkan?!” sentak Emma, tak senang dengan basa-basi basi dari Steve.“Tentu saja menagih janjimu. Kamu tahu, kan, tidak ada yang gratis di dunia ini?”‘Sial!’ Emma memekik dalam hati.Dia lupa akan janjinya pada Steve, saat mereka membuat kesepakatan dulu. Dia tidak menyadari jika hal itu seperti bom baginya. Steve benar-benar tidak melupakan perjanjian itu.Steve mengacun
Gina bergegas mengecek Tasya di kamarnya, dan betapa dia terkejut saat melihat Tasya duduk di atas ranjang sambil membenamkan dirinya di dalam selimut.Gina buru-buru membuka selimut itu, dan Tasya menangis tersedu-sedu.“Kenapa Papa sama Mama bertengkar, Mbak?” isak Tasya. “Apa salah Tasya?”Gina tak sanggup menatap wajah sembab Tasya lebih lama. Dia memeluk gadis kecil itu, berusaha menenangkan dengan segala afirmasi positif yang dia bisa.Sayup-sayup Gina bisa mendengar teriakan Annie yang makin keras–kini diselingi pecahan kaca yang nyaring. Gina menutup kedua telinga Tasya dengan telapak tangannya.“Kenapa Papa sama Mama bertengkar? Tasya salah apa?” racau Tasya, menyalahkan dirinya sendiri.Gina makin memeluk erat tubuh Tasya. Setiap kali dia memandang gadis itu, dia akan langsung teringat akan Sean, sehingga hatinya sakit melihat tangisan Tasya.“Bukan salah Tasya, kok. Papa sama Mama cuman lagi berdebat, ada yang
Emma mematut diri di depan cermin, sengaja untuk menghilangkan semua jejak kebersamaannya dengan Steve semalam. Bahkan saat melihat cermin pun, ada rasa jijik terhadap dirinya sendiri.Bagaimana bisa Emma mencapai puncak saat bersama Steve? Bahkan dia nyaris berteriak penuh kenikmatan.Emma membuang muka. Harusnya dia menggunakan akal sehatnya. Bagaimana pun, Steve tak ubahnya predator, yang akan memangsa siapapun di dekatnya.“Jangan lupa hubungi aku saat kamu kesepian,” tukas Steve setelah mengenakan seluruh pakaiannya.Emma hanya diam, kesal bukan main. Kekesalan pada dirinya.Tiba-tiba Steve mengecup kepala Emma. “Tak kusangka, seorang tangan kanan sepertimu, bisa membuatku sangat bergairah. Melebihi Annie,” bisik Steve.Emma menepis tubuh Steve yang berada di dekatnya. Dan Steve hanya tertawa lebar melihat reaksi Emma. Setelah mengucapkan salam, dia pamit pergi.“Halo, Nyonya,” sapa Emma. Dia memutuskan untuk menghu
Dengan kedua kaki yang tegak dan tak gentar, Annie mantap memasuki halaman luas kediaman Wijaya siang ini.Memakai pakaian serba hitam–sebagai bentuk penghormatan pada Sean, Annie memberanikan diri untuk ikut hadir dalam upacara peringatan 100 hari kematian Sean.Dari kejauhan, Emma bisa melihat sosok Annie yang turun dari mobilnya, dan mulai berjalan mendekati rumah induk. Emma yang telah siap dengan walkie talkie di tangan, segera menghubungi anak buahnya untuk lebih mempererat pengawasan pada Annie.“Apakah acaranya sudah dimulai?” tanya Annie, pada Emma yang memang berjaga di depan pintu utama.Emma mengangguk. “Silahkan masuk, An,” jawabnya sembari mempersilahkan Annie.Setelah menarik nafas sangat panjang–demi menata hati dan keberanian Annie mantap maju melangkahkan kakinya, masuk ke dalam rumah besar Wijaya.Disana, sudah banyak sekali keluarga dan kolega yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa serta memberikan pengho
Emma menelan ludah terpaksa. Dia tentu tidak bisa menghadapi keluarga Duran karena kedua orang tua Gina itu tidak diberitahu apapun tentang rencana penyamaran Gina–bahkan Emma sebagai mata-mata Gina.Sebagai cara menghindar, Emma pura-pura menyalakan walkie talkie untuk bicara dengan anak buahnya.“Tuan, saya harus masuk untuk mengawasi Annie,” izin Emma.Meskipun sedikit keberatan, Wijaya nyatanya mengizinkan Emma pergi. Dan kini dia hanya sendirian menghadapi kedua orang tua Gina yang datang menghampirinya dengan wajah tegap selayaknya mengajak berperang.“Maafkan kami karena baru datang sekarang,” ucap Leo Duran, mengulurkan jabatan tangan pada Wijaya.Sadar akan tatapan orang-orang padanya, Wijaya membalas jabat tangan itu dengan raut sedih. Dia bahkan menarik Leo ke dalam pelukannya.“Terima kasih karena sudah berkunjung, Tuan Leo, dan Nyonya Eli,” ucap Wijaya.Eli menggigit bibir, menahan diri sendiri untuk tidak m