"Mari kita bercerai, Gina!"
Gina mematung—tak bisa berkata-kata mendengar sang suami berkata dengan santai di balik meja kerjanya.
Wijaya bahkan tak peduli sama sekali dengan keberadaan Gina.
Terang-terangan, pria yang menikahi Gina 10 tahun lalu itu–mencium tangan gadis muda yang wajahnya familiar di televisi swasta.
Tangan Gina mengepal. Dia tak menyangka suaminya tanpa malu mempertontonkan perselingkuhan ini.
Belum berhenti di sana, pengacara Wijaya kini menyerahkan sebuah berkas pada Gina.
"Apa maksud semua ini? Kenapa tiba-tiba kita bercerai?" ucap Gina pada akhirnya.Wijaya sontak tersenyum miring. "Aku ingin menikahi Andrea," jawabnya enteng.
"Jika ingin menikah, silahkan kalian menikah." Gina juga menyahut santai–mencoba menunjukkan dirinya baik-baik saja.
Tidak masalah jika memang suaminya itu menikahi selingkuhannya ini. Dengan status istri pertama, kedudukan Gina masih jauh lebih tinggi. Setidaknya, sang anak juga memiliki posisi aman sebagai pewaris Wijaya. Toh, pernikahan mereka atas dasar perjodohan untuk mempertahankan kekayaan dua keluarga.
Sayangnya, ucapan Gina membuat Wijaya tersenyum kecut.
Sambil menggeleng, pria itu berkata pongah, "Tidak bisa, Gina. Andrea ingin menjadi satu-satunya ratu di hatiku."
Gina spontan melirik Andrea, yang masih berdiri pongah di samping Wijaya. Bahkan, gadis muda itu membalas tatapan Gina dengan tatapan menantang. Sangat jauh berbeda dengan imej polos-nya yang selalu dia tampilkan di televisi.
Meskipun ekspresi Gina tampak datar, dalam hati rasanya ingin sekali mencabik seluruh wajah penuh kelicikan dari perempuan itu.
"Bagaimana jika aku menolak?" tanya Gina spontan.
Wijaya sontak berdiri. Wajah pria itu tampak kesal menatap Gina.
"Tidak bisa! Kau lihat pengacaraku itu? Dia Annie, pengacara andal yang akan mengusirmu! Jadi, jangan pernah berpikir untuk melawanku."
Wijaya lantas menunjuk sosok pengacara tadi yang seketika mengangguk sebagai bentuk perkenalan dirinya pada Gina.
Melihat itu, Gina memejamkan matanya.
Kini, tidak ada yang bisa Gina lakukan, selain hanya menganga lebar.
Dia tidak percaya jika sang suami telah mempersiapkan segalanya sedemikian rapi.
"Satu lagi, Gina. Sean–anak kita–ikut bersamaku," tukas Wijaya.
Ketenangan yang coba Gina pertahankan sontak terusik setelah mendengar nama anaknya disebut. Dengan wajah memerah, ia berjalan mantap mendekat ke arah Wijaya.
"Jangan berani memisahkan aku dari Sean!" bentak Gina mendadak.
"Atau apa?" tantang Wijaya, "Apa yang bisa kau perbuat?"
Pria itu tertawa mengejek, diikuti dua perempuan di belakangnya, seakan ucapan Gina adalah lelucon bagi mereka.
Namun, Gina bertahan. Dengan tegas, wanita satu anak itu berkata lantang, "Aku ibu kandungnya. Kamu tidak bisa memisahkan aku dari Sean!"
"Gina … Gina …." Wijaya menyentuh dagu Gina. "Kamu selalu cantik saat marah."
Gina sontak menepis tangan Wijaya. Tapi, pria itu justru makin tertawa melihat respon Gina.
"Jangan buat segalanya rumit, Gina. Aku menyuruhmu pergi dari sini, sebelum aku kehabisan kesabaran," ucap Wijaya dengan sisa tawa hinaan di bibirnya.
"Biarkan Sean ikut denganku!" pinta Gina melotot tajam ke arah Wijaya.
Segera, Gina memutar badan–hendak berlari keluar demi mencari sang anak.
Sayangnya, pengacara Wijaya segera menghentikan langkah Gina.
"Segalanya akan rumit bagimu, jika kamu melawan."
"Rumit? Tidak masalah, asalkan aku bisa bersama Sean!" Gina tetap teguh dengan pendiriannya.
Brak!
Wijaya tiba-tiba menggebrak meja kerjanya dengan tatapan murka ke arah Gina.
Dia berjalan cepat, mencengkram kedua pipi Gina. "Gina Sayang, kenapa kamu tidak pernah menurut padaku?" gumamnya.
Sekuat tenaga Gina melepaskan cengkeraman Wijaya di pipinya. Namun dia tidak bisa.
Rasa perih menjalar di pipinya. Dia yakin itu akan menimbulkan bekas kemerahan nyeri, tetapi Gina tak peduli. Satu hal yang ada di pikirannya adalah menemukan sang anak segera.
"Dengar, kamu harus pergi dari sini!" Wijaya tiba-tiba berteriak, "Apa kamu tidak paham posisimu, hah? Kamu sudah tidak diinginkan!"
Wijaya bahkan mulai mencekik leher Gina.
Annie sedikit terkejut melihat tragedi itu, tapi dia segera menormalkan ekspresinya. Perempuan itu tidak ingin terlibat. Sedangkan Andrea, wanita itu justru memekik senang melihat penderitaan Gina.
"Pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaranku," ancam Wijaya, berbisik tepat di telinga Gina. "Aku bisa membunuh Sean, jika kamu menolak pergi!"
Mulut Gina mulai memegap-megap–berusaha keras mencari cara agar ada celah kosong di tenggorokannya agar oksigen bisa masuk.
Wajah Gina mulai membiru. Hal itu membuat panik Annie. Dia tidak ingin kliennya membuat masalah.
“Pak Wijaya!”
Seruan pengacara Wijaya itu sontak membuat cengkraman Wijaya lepas dari Gina, hingga wanita itu tersungkur sambil memegangi lehernya yang lebam.
Wijaya seketika sadar atas emosi yang menguasai dirinya.
Dengan cepat, dia memerintahkan asistennya untuk segera menyeret tubuh Gina pergi dari ruang kerjanya.
Gina sendiri sudah lemas.
Dia tidak punya banyak tenaga untuk melawan, dan hanya bisa terwakili oleh air matanya yang kian membanjir membayangkan sosok Sean sang anak.
Layaknya barang lusuh tak berguna, tubuh Gina dilemparkan ke teras rumah dan rumah yang tadinya menjadi istana bagi Gina.
"Sean…! " Gina makin menjerit.
Membayangkan wajah polos Sean yang selalu berbinar saat memandangnya, Gina sontak merasa lemas.
Ia tak bisa dan tak ingin hidup tanpa anaknya.
Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Dengan sehelai pakaian yang menempel di tubuhnya, Gina akhirnya keluar secara tertatih dari rumah pria konglomerat yang dijodohkan dengannya dulu.
Sayangnya, langkah Gina berhenti saat dirinya mendengar teriakan Sean dari dalam rumah. Anaknya yang pendiam itu, bahkan seakan menjerit.
"Mama! Mama! Jangan tinggalkan Sean!"
Gina sontak memutar arah–hendak kembali masuk meski dia kini sudah berada di luar gerbang rumah besar itu. Namun, satpam rumah itu bergegas menguncinya–melarang Gina untuk masuk.
"Biarkan aku masuk!!" teriak Gina segera mendobrak pagar.
Namun, satpam rumah yang biasanya menurut padanya, hanya memandang Gina penuh penyesalan.
Gina semakin menangis setelah mendengar setiap teriakan Sean yang memanggilnya.
Dia juga dapat mendengar teriakan Andrea–perempuan iblis itu–membentak anaknya….
Anehnya, suara Sean perlahan menghilang dan tergantikan oleh keheningan yang mencekam.
Satpam yang tadi melarangnya masuk, tampak panik membuka pagar.
Sontak Gina panik dan buru-buru mendatangi satpam itu.
"Ada apa? Apa yang terjadi?!"
Mendengar pertanyaan Gina, wajah satpam itu justru semakin memucat.
Dia tidak berani memandang wajah mantan atasannya itu.
Suara sebuah mobil meluncur keluar menuju gerbang menarik atensi Gina, hingga ia buru-buru sembunyi.
Dari balik persembunyiannya, Gina bisa melihat minibus mewah milik Wijaya keluar dengan sangat cepat..
"Apa yang terjadi? Ceritakan padaku!!!" Gina mengguncang bahu si satpam.
"M-maafkan saya, Nyonya."
"Jawab!!"
"Tuan Sean ... T-Tuan Sean jatuh dari tangga."
“Maaf, putra Anda meninggal.”Sekuat tenaga Gina berusaha membekap mulutnya sendiri, demi meredam suara tangisannya yang kian keras. Di balik dinding, Gina bisa mendengar vonis sang dokter terhadap Sean. Dunia Gina seketika runtuh setelah mendengarnya, bahkan untuk sekedar berdiri pun dia tak sanggup. Gina berdoa dalam hati, semoga dia bisa segera bangun dari mimpi ini.Sementara Wijaya, tetap berdiri kokoh di tempatnya. Meski kini dia bak patung yang kaku, tetapi bola matanya tampak bergetar dan otaknya berusaha mencerna segala ucapan yang baru saja diucapkan dokter.“Tuan … “ Annie berusaha memastikan Wijaya tetap baik-baik saja meski berita meninggalnya Sean tentu mengguncang klien pentingnya itu.“Brengsek!!!” Wijaya tiba-tiba menerjang tubuh Annie, mendorong ke dinding di belakang.Melihat itu, Andrea dan asisten Wijaya tampak berusaha memisahkan keduanya. Beruntung, Wijaya mempekerjakan asisten tangguh. Jadi, wanita itu bisa diandalkan di saat genting seperti ini.Sementara
Rekaman CCTV yang diberikan asisten kepercayaan Wijaya itu membuat Gina bergidik ngeri.Bagaimana bisa anaknya yang berusia 6 tahun itu diseret paksa oleh Andrea tanpa belas kasihan? Padahal, anaknya itu hanya ingin menemui Gina!Yang paling mengerikan adalah tindakan Annie–sosok pengacara yang sedang naik daun itu. Dia melotot dan mengancam Sean untuk segera masuk. Berulang kali, wanita itu membentak “anak dari klien pentingnya”. Namun, Annie tak berhasil membuat Sean berubah pikiran.Di satu titik, perempuan itu terlihat begitu marah, hingga melepas tangan Sean mendadak. Anak lelaki itu spontan jatuh ke depan karena tak bisa menjaga keseimbangan. Sean berguling maju jatuh dari atas ketinggian tangga di depan rumah besar kediaman Wijaya. Anaknya berguling tak berdaya dan terluka parah!Dan Wijaya …. Meski pria itu marah pada Annie, tetapi itu hanya sebentar saja.Begitu Annie mengingatkannya tentang poin di surat warisan mengenai kematian Sean, pria itu terdiam. Wijaya langsung pa
Melihat pelukan penuh tangis itu, Emma bergerak cepat. Dia juga mempersilahkan Leo, ayah Gina, untuk masuk ke dalam kamar hotel sebelum ada mata-mata Wijaya yang melihat.“Apa yang terjadi, Gina? Kenapa segalanya jadi seperti ini?” tuntut Leo.Mata pria yang terkenal tegas itu terlihat sembab. Tampak, bahwa dia pun begitu sedih atas nasib putri dan cucunya.Melihat itu, Gina sontak menggeleng putus asa. “Ini semua salahku karena tidak memperjuangkan Sean.”“Kenapa Wijaya tiba-tiba menikah dengan artis itu? Bukankah kalian belum bercerai?” Kini, giliran Eli yang bertanya.“Dia sudah menceraikanku.” jawab Gina lesu.“Kurang ajar!” umpat Leo, “Berani-beraninya dia mencampakkan anak dan cucuku.”Leo mulai mengambil ponselnya, hendak menghubungi seseorang. Namun, Gina buru-buru merebut ponsel itu.“Papa, kumohon … ” Gina menggeleng. Meskipun sudah tidur seharian, nada suara Gina tetap menunjukkan depresi. “Biar Gina yang menyelesaikan semuanya,” lanjut Gina.“Apa yang akan kamu lakukan,
Deg!Meski terkejut, Fiona dengan cepat menormalkan diri. Sudah sepantasnya mereka menanyakan hal ini.Tersenyum tipis sambil menundukkan pandangannya, Fiona kemudian berbicara, “Nyonya Ajeng … saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah beliau yang sempat terkena stroke.”Damian terlihat mengangguk dan mengelus bagian belakang kepalanya–tampak kikuk. Sebenarnya, pria itu terpesona dengan kecantikan Gina yang sedang menyamar jadi Fiona ini. Namun, “Fiona” masih belum menyadari itu.Dia justru merasa Damian begitu lucu.‘Bagaimana orang sekejam Annie memiliki suami seperti ini?’ Fiona membatin sebelum sadar bahwa sudah terlalu lama keduanya terdiam di ruangan itu.“Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona pada akhirnya karena sejak tadi Damian tak bersuara. “Oh, iya,” Damian menegakkan duduknya. “Kamu wajib memasak untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Tapi kalau Annie pulang telat, kamu harus menyiapkan makanan yang siap dihangatkan untuknya. Dan segala keperl
“Oh iya, kamu Fiona Gage? Bagaimana Ajeng bisa kenal denganmu?” tanya Damian.Fiona tersenyum tipis, menundukkan pandangannya. “Saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah Nyonya Ajeng yang sempat terkena stroke,”Damian manggut-manggut. Dia mengelus bagian belakang kepalanya, tampak kikuk dengan pesona Fiona yang luar biasa cantik. “Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona, karena sejak tadi Damian tak bersuara. Mungkin dia ingin mencairkan suasana yang canggung antara mereka berdua.“Oh, iya,” Damian menegakkan posisi. "Mari kita masuk dulu ke dalam rumah,"Dengan isyarat tangan, Damian mempersilakan Fiona untuk masuk ke dalam rumah. Pandangan Fiona mengitari setiap sudut rumah Annie, yang meskipun membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus rumah, nyatanya rumah itu sangatlah rapi."Kamu pasti tahu, istriku sangatlah sibuk," ujar Damian. "Dan aku hanyalah suami yang menganggur di sini," Damian justru merendahkan dirinya sendiri di depan Fiona.Lewat ekor matanya
"Aku seperti pernah bertemu denganmu, ya?" tanya Annie curiga.Fiona berusaha untuk tetap tegar. Dia berdiri kokoh, tak ingin merasa terintimidasi oleh wanita berhati iblis ini."Mungkin Bu Annie pernah melihat saya di rumah Bu Ajeng?" tebak Fiona, bersikap datar.Annie masih memicingkan mata menatapnya. Tapi dia detik kemudian, ketegangan itu mencair. Annie mengangguk, dan tampak setuju.'Hampir saja,' batik Gina, dengan setitik eluh dingin yang turun dari keningnya.***“Fiona?” tegur Annie, ketika Fiona sudah mulai menyiapkan sarapan di jam 5 pagi. Fiona yang tak paham dengan kebiasaan Annie, tentu setengah terjerembab kaget saat mendengar seseorang tiba-tiba memanggilnya. Setahu Fiona, baru dia saja yang bangun sepagi ini. Namun ketika dia memutar tubuh ke belakang, dan mendapati Annie yang bersandar di meja island sambil meminum segelas air putih, Fiona menghela nafas lega.“Kamu kenapa sudah bangun sepagi ini?”“Saya menyiapkan sarapan, Bu.”Lirikannya dingin ke arah Fiona. “Ak
"Selamat siang, Pak Damian," sapa Fiona, setelah dia pulang dari makam Sean siang ini."Kamu dari mana saja?" tanya Damian penasaran.Fiona menunduk. "Saya sedang menyelesaikan beberapa urusan, Pak. Sebentar lagi makan siang akan saya siapkan.""Tidak perlu," sambar Damian. "Aku sudah memesan makan siang hari ini."Fiona melebarkan mata, cukup terkejut. "Temani aku makan siang," pinta Damian tiba-tiba.Meski cukup terkejut, namun Fiona tak bergeming. Dalam hati dia hanya tidak menyangka jika Damian bisa sefrontal itu padanya.Ajakan Damian untuk makan siang bersama, untuk pertama kali, setelah Fiona bekerja dan tinggal di rumah Damian selama dua minggu, merupakan aksi paling nekat yang sedetik setelahnya disesali Damian. Apalagi ketika respon Fiona tampak dingin, membuat Damian ingin menarik kata-katanya kembali.“Maaf, Pak Damian … “ Fiona memotong ucapannya. “Terima kasih atas ajakannya,” Dia berjalan perlahan, duduk di kursi di depan Damian tanpa banyak bersuara.Kini ganti Damian
Mata Annie sudah diliputi kilauan kemarahan. “Kamu, mulai sekarang nggak usah dekat-dekat sama Sita lagi!” ancam Annie. “Kamu juga, kalau sampai ngomong yang aneh-aneh ke teman-temanmu soal keluarga kita, Mama bakal hukum kamu!”“Ngomong aneh apa sih, Ma? Tasya kan cuman bilang kalau di rumah ada pembantu baru, makanya sekarang Tasya jarang telat dianter Papa. Apa salahnya, sih, Ma?” protes Tasya.Batin Annie bergejolak mendengar pembelaan dari anak tunggalnya itu. Namun egonya yang sangat tinggi enggan untuk merendah. Dia harus selalu tampak menang di depan semua orang, apalagi anaknya.“Pokoknya, sekali lagi kamu ngomong yang aneh-aneh, Mama bakal cut uang jajanmu!” ancam Annie sekali lagi, lalu menyuruh Tasya balik ke kamarnya.Sekarang giliran Fiona. Wanita muda itu diam di pojokan dapur, tak berani bergerak setelah kesalahan fatalnya yang tiba-tiba keluar untuk membuang sampah. Dia tahu Annie akan muntab padanya, maka sebelum hal itu terjadi, Fiona sudah bersiap-siap membangun ta