Melihat pelukan penuh tangis itu, Emma bergerak cepat.
Dia juga mempersilahkan Leo, ayah Gina, untuk masuk ke dalam kamar hotel sebelum ada mata-mata Wijaya yang melihat.
“Apa yang terjadi, Gina? Kenapa segalanya jadi seperti ini?” tuntut Leo.
Mata pria yang terkenal tegas itu terlihat sembab. Tampak, bahwa dia pun begitu sedih atas nasib putri dan cucunya.
Melihat itu, Gina sontak menggeleng putus asa. “Ini semua salahku karena tidak memperjuangkan Sean.”
“Kenapa Wijaya tiba-tiba menikah dengan artis itu? Bukankah kalian belum bercerai?”
Kini, giliran Eli yang bertanya.
“Dia sudah menceraikanku.” jawab Gina lesu.
“Kurang ajar!” umpat Leo, “Berani-beraninya dia mencampakkan anak dan cucuku.”
Leo mulai mengambil ponselnya, hendak menghubungi seseorang. Namun, Gina buru-buru merebut ponsel itu.
“Papa, kumohon … ” Gina menggeleng. Meskipun sudah tidur seharian, nada suara Gina tetap menunjukkan depresi.
“Biar Gina yang menyelesaikan semuanya,” lanjut Gina.
“Apa yang akan kamu lakukan, Gin?” tanya Eli bingung.
Gina menghela nafas. “Biar Gina yang merencanakan semuanya. Gina pastikan, Wijaya tidak akan bisa tenang lagi.”
Melihat itu, Leo merasa perih di hatinya. Segera, dia merengkuh tubuh Gina, mengelus punggung sang putri.
“Maafkan Papa, Gin. Papa tidak bisa menjagamu saat kamu butuh….”
Gina balas memeluk Leo. Dia merasakan kehangatan dan rasa aman saat dia memeluk erat tubuh sang ayah.
“Sampai saatnya tiba nanti, kumohon, anggap saja Gina sudah tidak ada.”
“Apa maksudmu?” pekik Eli. “Jangan bunuh diri, Nak!” cegahnya dengan raut cemas.
Gina buru-buru menggeleng.
“Aku tidak akan melakukannya. Kalau aku bunuh diri, aku tidak akan bisa bertemu Sean kelak.”
Eli ikut memeluk erat tubuh Gina. Kini, mereka bertiga berpelukan dengan tangis yang pecah, mengenang segala kepolosan Sean, si anak baik.
Meskipun Gina tetap terluka, namun berbagai kesedihan bersama orang tuanya sedikit bisa mengurangi beban di pundak Gina.
Setidaknya, dia bisa lebih fokus akan rencananya untuk membalas dendam.
“Tenang, Gina. Papa akan membantumu jika kamu butuh sesuatu,” ucap Leo tiba-tiba.
“Baik, Pa.”
*******
“Nyonya, ini semua data tentang Annie Chase.” Emma menyerahkan setumpuk berkas pada Gina yang sedang sibuk di depan meja salon demi mengubah penampilannya.
Gina menerima berkas itu, membaca segala detailnya tanpa terlewatkan. Setelah berhari-hari diskusi dan penyelidikan, keduanya setuju untuk menjalankan rencana Gina untuk menyamar menjadi pembantu di rumah Annie. Dengan demikian, Gina bisa membalas dendam sekaligus menemukan celah dari Wijaya dan Andrea.
“Apakah kamu sudah membawakan pengacara yang kamu rekomendasikan padaku?” tanya Gina.
Emma mengangguk. “Dia akan datang sebentar lagi.”
“Kenapa kamu yakin kita bisa mempercayainya?”
Mata Gina terlihat menyelidik. Namun, Emma tetap terlihat tenang.
“Dia pernah bekerja dalam satu firma hukum yang sama dengan Annie.” Emma kemudian menyerahkan berkas CV pengacara yang dia maksud. “Tapi, kini mereka bermusuhan, karena Annie membunuh rekan pengacara ini.”
Gina menautkan alis–cukup terkejut dengan fakta yang dijelaskan Emma.
“Wanita bernama Annie itu memang mengerikan, ya?” tanggap Gina, yang disambut anggukan oleh Emma.
“Oh, iya! Ini identitas baru Nyonya.” Emma kembali menyerahkan selembar amplop seukuran HVS pada Gina yang diterimanya dengan cepat.
“Fiona Gage?” ujar Gina, saat membaca profil terbarunya. “Bagus, Emma,” puji Gina pada Emma dengan senyum penuh rasa terima kasih.
Emma menyambut pujian itu dengan anggukan penuh hormat.
“Nyonya akan berpura-pura pernah bekerja untuk pengacara ini agar Annie yakin untuk mempekerjakan Nyonya nanti,” jelas Emma.
“Siapa nama pengacara itu?”
“Namanya Ajeng Aulia, Nyonya,” jawab Emma, menyerahkan selembar foto Ajeng, “dia dengan senang hati membantu Nyonya.”
“Tapi aku tidak bisa mempercayainya, Em,” timpal Gina, “jadi, biar dia berurusan saja denganmu. Kamu yang akan mewakiliku.”
“Baik, Nyonya.”
Mata Gina terus terpaku pada setiap detil identitas Annie, kemudian berhenti ketika dia membaca profil Damian Chase, suami Annie.
Gina menaikkan ujung bibirnya penuh maksud.
“Kalau aku tidak bisa menghancurkan fisik dan karir Annie, setidaknya, aku bisa merobohkan pondasi keluarganya.”
******
Tet!
Gina memencet pintu rumah Annie.
Dengan rambut lurus sebahu yang tebal terurai berwarna coklat hasil makeover beberapa hari sebelumnya, Gina bersiap untuk masuk dan menghancurkan kebahagiaan perempuan itu.
Tak lama, tampak seorang pria berusia 30 tahunan membuka pintu. Gina lantas tersenyum melihatnya.
‘Damian, Suami Annie. Seorang penulis yang belum menerbitkan buku beberapa tahun ini. Pria ini lebih sering diam di rumah,’ batin Gina sambil mengingat informasi tentang pria ini.
Gina pun menunggu response Damian.
Namun, Damian hanya mematung memandang Gina dari atas sampai bawah.
Sontak Gina memperhatikan penampilannya. Tak ada yang aneh. Dia hanya menggunakan pakaian rapi dan sopan. Bahkan, Gina tidak menggunakan make-up sama sekali.
“Permisi, Pak! Saya Fiona Gage,” salam Gina pada akhirnya–memperkenalkan diri dengan identitas baru.
Damian terlihat terkejut. Namun, dia hanya berdiri di ambang pintu tanpa ada sedikit basa-basi untuk menyuruh Gina masuk.
Jadi, mau tak mau Gina menunggu dengan bingung.
Tring!
Ponsel yang sedang Damian genggam tiba-tiba bergetar–sukses membangunkan lamunan Damian.
Pria itu pun berseru menyuruh Fiona untuk duduk di ruang tamu rumahnya, sementara Damian menjauh untuk mengangkat telepon.
“Dia sudah datang?” tanya Annie dari seberang telepon.
“Namanya Fiona Gage, kan?”
“Iya,” jawab Annie cepat, “Ya sudah, kamu jelasin apa saja yang harus dia kerjakan di rumah. Nanti aku pulang telat.”
Klik. Lagi-lagi Annie menutup telepon tanpa salam. Istrinya memang selalu begitu, terlebih sejak naik daun sebagai pengacara papan atas ibu kota.
Damian tanpa sadar merapikan rambut, serta membenarkan kaosnya yang lusuh tak rapi.
Mungkin, karena ART yang akan bekerja adalah perempuan muda nan cantik, sudah naluri bagi Damian untuk tampak tampan di depannya.
Setidaknya, Damian punya harga diri di depan pembantu barunya ini ….
Kini, Damian menatap penuh selidik perempuan di hadapannya.
“Kamu Fiona Gage yang akan jadi pembantu kami, ya? Bagaimana Ajeng bisa kenal denganmu?”
Deg!Meski terkejut, Fiona dengan cepat menormalkan diri. Sudah sepantasnya mereka menanyakan hal ini.Tersenyum tipis sambil menundukkan pandangannya, Fiona kemudian berbicara, “Nyonya Ajeng … saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah beliau yang sempat terkena stroke.”Damian terlihat mengangguk dan mengelus bagian belakang kepalanya–tampak kikuk. Sebenarnya, pria itu terpesona dengan kecantikan Gina yang sedang menyamar jadi Fiona ini. Namun, “Fiona” masih belum menyadari itu.Dia justru merasa Damian begitu lucu.‘Bagaimana orang sekejam Annie memiliki suami seperti ini?’ Fiona membatin sebelum sadar bahwa sudah terlalu lama keduanya terdiam di ruangan itu.“Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona pada akhirnya karena sejak tadi Damian tak bersuara. “Oh, iya,” Damian menegakkan duduknya. “Kamu wajib memasak untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Tapi kalau Annie pulang telat, kamu harus menyiapkan makanan yang siap dihangatkan untuknya. Dan segala keperl
“Oh iya, kamu Fiona Gage? Bagaimana Ajeng bisa kenal denganmu?” tanya Damian.Fiona tersenyum tipis, menundukkan pandangannya. “Saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah Nyonya Ajeng yang sempat terkena stroke,”Damian manggut-manggut. Dia mengelus bagian belakang kepalanya, tampak kikuk dengan pesona Fiona yang luar biasa cantik. “Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona, karena sejak tadi Damian tak bersuara. Mungkin dia ingin mencairkan suasana yang canggung antara mereka berdua.“Oh, iya,” Damian menegakkan posisi. "Mari kita masuk dulu ke dalam rumah,"Dengan isyarat tangan, Damian mempersilakan Fiona untuk masuk ke dalam rumah. Pandangan Fiona mengitari setiap sudut rumah Annie, yang meskipun membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus rumah, nyatanya rumah itu sangatlah rapi."Kamu pasti tahu, istriku sangatlah sibuk," ujar Damian. "Dan aku hanyalah suami yang menganggur di sini," Damian justru merendahkan dirinya sendiri di depan Fiona.Lewat ekor matanya
"Aku seperti pernah bertemu denganmu, ya?" tanya Annie curiga.Fiona berusaha untuk tetap tegar. Dia berdiri kokoh, tak ingin merasa terintimidasi oleh wanita berhati iblis ini."Mungkin Bu Annie pernah melihat saya di rumah Bu Ajeng?" tebak Fiona, bersikap datar.Annie masih memicingkan mata menatapnya. Tapi dia detik kemudian, ketegangan itu mencair. Annie mengangguk, dan tampak setuju.'Hampir saja,' batik Gina, dengan setitik eluh dingin yang turun dari keningnya.***“Fiona?” tegur Annie, ketika Fiona sudah mulai menyiapkan sarapan di jam 5 pagi. Fiona yang tak paham dengan kebiasaan Annie, tentu setengah terjerembab kaget saat mendengar seseorang tiba-tiba memanggilnya. Setahu Fiona, baru dia saja yang bangun sepagi ini. Namun ketika dia memutar tubuh ke belakang, dan mendapati Annie yang bersandar di meja island sambil meminum segelas air putih, Fiona menghela nafas lega.“Kamu kenapa sudah bangun sepagi ini?”“Saya menyiapkan sarapan, Bu.”Lirikannya dingin ke arah Fiona. “Ak
"Selamat siang, Pak Damian," sapa Fiona, setelah dia pulang dari makam Sean siang ini."Kamu dari mana saja?" tanya Damian penasaran.Fiona menunduk. "Saya sedang menyelesaikan beberapa urusan, Pak. Sebentar lagi makan siang akan saya siapkan.""Tidak perlu," sambar Damian. "Aku sudah memesan makan siang hari ini."Fiona melebarkan mata, cukup terkejut. "Temani aku makan siang," pinta Damian tiba-tiba.Meski cukup terkejut, namun Fiona tak bergeming. Dalam hati dia hanya tidak menyangka jika Damian bisa sefrontal itu padanya.Ajakan Damian untuk makan siang bersama, untuk pertama kali, setelah Fiona bekerja dan tinggal di rumah Damian selama dua minggu, merupakan aksi paling nekat yang sedetik setelahnya disesali Damian. Apalagi ketika respon Fiona tampak dingin, membuat Damian ingin menarik kata-katanya kembali.“Maaf, Pak Damian … “ Fiona memotong ucapannya. “Terima kasih atas ajakannya,” Dia berjalan perlahan, duduk di kursi di depan Damian tanpa banyak bersuara.Kini ganti Damian
Mata Annie sudah diliputi kilauan kemarahan. “Kamu, mulai sekarang nggak usah dekat-dekat sama Sita lagi!” ancam Annie. “Kamu juga, kalau sampai ngomong yang aneh-aneh ke teman-temanmu soal keluarga kita, Mama bakal hukum kamu!”“Ngomong aneh apa sih, Ma? Tasya kan cuman bilang kalau di rumah ada pembantu baru, makanya sekarang Tasya jarang telat dianter Papa. Apa salahnya, sih, Ma?” protes Tasya.Batin Annie bergejolak mendengar pembelaan dari anak tunggalnya itu. Namun egonya yang sangat tinggi enggan untuk merendah. Dia harus selalu tampak menang di depan semua orang, apalagi anaknya.“Pokoknya, sekali lagi kamu ngomong yang aneh-aneh, Mama bakal cut uang jajanmu!” ancam Annie sekali lagi, lalu menyuruh Tasya balik ke kamarnya.Sekarang giliran Fiona. Wanita muda itu diam di pojokan dapur, tak berani bergerak setelah kesalahan fatalnya yang tiba-tiba keluar untuk membuang sampah. Dia tahu Annie akan muntab padanya, maka sebelum hal itu terjadi, Fiona sudah bersiap-siap membangun ta
"Good job!" Gina aka Fiona tersenyum licik ketika dia mengingat kejadian kemarin sore. Saat ibu salah seorang teman Tasya memergokinya berada di rumah Annie, sebenarnya Fiona memang sengaja keluar rumah demi membuat Annie terpancing emosi.Namun, yang tidak dia duga adalah pertikaian antara Damian dan Annie ternyata cukup kencang, hingga dirinya dapat mendengarnya dari balik pintu. Gina tidak menyangka jika Damian akan terang-terangan membelanya di depan sang istri yang sedang murka. Hal yang tak pernah Gina dapatkan dari sosok Wijaya. Bahkan, Damian rela dihina-dina oleh Annie, tanpa berniat untuk membalas.Semakin Gina coba pahami, semakin Gina tak bisa mengerti jalan pikiran Damian. Mengapa ada pria seperti itu? Drrrt!Ponsel Gina bergetar ketika dia sedang memikirkan sikap Damian sambil merebahkan diri di kamar kecilnya. Nama Emma terlihat muncul dari sana."Nyonya," sapa Emma dari seberang.Gina mengecilkan volume suaranya. "Apa ada berita baru, Em?""Tuan Wijaya, memerintahkan
"Arrgh!"Keesokan harinya, di Minggu pagi, Damian berseru kaget saat mendapati dirinya yang tidur telentang tanpa busana sehelai pun. Dia membelalak lebar, bola mata bergerak kesana kemari, berusaha sangat keras mengingat apa yang sebenarnya terjadi.Namun yang ada, justru kepalanya makin pening, efek dari alkohol yang belum seratus persen hilang. Maka, Damian buru-buru mengenakan pakaian, kemudian berjalan gontai menuju dapur karena perutnya sudah meronta minta diisi.Dia kembali linglung, celingukan ke setiap arah, karena suasana rumah yang sangat sepi. Bahkan, Tasya dan Fiona yang sering terlihat bercanda di dapur pun tidak ada. Hanya semangkok sup dingin dan beberapa lauk. Damian pun segera membawa mangkok sup itu ke dalam microwave untuk dipanaskan.“Tasya?” teriak Damian, memanggil Tasya.Namun, bukan Tasya yang menyahut, tapi justru Fionalah yang keluar perlahan dari kamar Tasya. Wanita muda itu menunduk saat melihat Damian, namun ekspresinya tidak seperti biasa. Wajah Fiona
“Kalian ngapain di sini?!” Annie mengulangi pertanyaannya, dengan tubuh sempoyongan dan bola mata bergerak tak aturan.Jantung Damian serasa mau copot, namun saat melihat polah Annie, Damian mulai sedikit lega. Dia berjalan hati-hati mendekati istrinya, berusaha menarik aroma alkohol ke dalam hidungnya. Aroma menyengat itu membuat penciuman Damian muak. “An, kamu mabuk?!” tanya Damian kesal, sambil melepas sepatu dan jaket yang dikenakan Annie.Annie yang terus bicara tak jelas, seketika roboh saat tubuhnya menyentuh kasur. Damian kesal, berkacak pinggang memandangi tubuh lunglai istrinya dengan nafas memburu. Damian bergegas menemui Fiona di kamar Tasya, saat Fiona sedang mengganti kompres di kening Tasya. “Ada yang perlu saya bantu, Pak Damian?” tanya Fiona.“Fi, tolong ganti semua baju Annie. Aku tak sanggup, dia bau alkohol,” pinta Damian, menggeleng putus asa. “Biar aku yang jaga Tasya,”Fiona menganggu