Mata Annie sudah diliputi kilauan kemarahan. “Kamu, mulai sekarang nggak usah dekat-dekat sama Sita lagi!” ancam Annie. “Kamu juga, kalau sampai ngomong yang aneh-aneh ke teman-temanmu soal keluarga kita, Mama bakal hukum kamu!”
“Ngomong aneh apa sih, Ma? Tasya kan cuman bilang kalau di rumah ada pembantu baru, makanya sekarang Tasya jarang telat dianter Papa. Apa salahnya, sih, Ma?” protes Tasya.Batin Annie bergejolak mendengar pembelaan dari anak tunggalnya itu. Namun egonya yang sangat tinggi enggan untuk merendah. Dia harus selalu tampak menang di depan semua orang, apalagi anaknya.“Pokoknya, sekali lagi kamu ngomong yang aneh-aneh, Mama bakal cut uang jajanmu!” ancam Annie sekali lagi, lalu menyuruh Tasya balik ke kamarnya.Sekarang giliran Fiona. Wanita muda itu diam di pojokan dapur, tak berani bergerak setelah kesalahan fatalnya yang tiba-tiba keluar untuk membuang sampah. Dia tahu Annie akan muntab padanya, maka sebelum hal itu terjadi, Fiona sudah bersiap-siap membangun tamengnya di pojok dapur.“Dan kamu, Fiona!” Telunjuk Annie mengarah tepat ke muka Fiona. “Aku kan tadi sudah bilang, jangan keluar dari kamar, kenapa kamu keluar? Sengaja ya, mau nunjukin ke Lusi kalau kamulah yang dia maksud, gitu?” tuduh Annie tanpa henti. Matanya melotot dengan kilatan kemarahan pada Fiona.“Maaf, Bu Annie. Saya tidak pernah bermaksud seperti itu.”“Terus ngapain kamu keluar?”“Saya kira, orangnya nggak mampir ke rumah,” bela Fiona. “Saya kira, dia hanya akan mengantar Tasya, lalu pulang,”Annie tersenyum sinis, tampak tak percaya. “Saya kira, saya kira! Kamu pikir aku nggak tahu motifmu? Kamu senang, kan, dipuji-puji cantik sama Lusi? Dasar wanita kampungan, tak tahu diri! Emang susah ya, nyuruh orang yang pendidikannya nggak tinggi kayak kamu!”Makian Annie sudah kelewat keterlaluan. Bahkan Damian yang sejak tadi menguping dari ruang keluarga, seketika ternganga. Dengan cepat, pria itu berjalan cepat untuk melerai pertikaian Annie dan Fiona.Damian pun mendekap tubuh istrinya itu, sambil bergerak mundur agar Fiona tak lagi merasa terintimidasi oleh Annie. Meski berontak, tubuh kecil Annie tak sanggup melawan dekapan tubuh tegap Damian. Dia membawa istrinya masuk ke dalam kamar, agar baik Tasya maupun Fiona tak mendengar perdebatan mereka.
“Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu bela wanita itu?” protes Annie masih dengan nada tinggi.“Aku nggak bela dia, An,” bantah Damian, “aku cuman nggak suka kamu maki-maki dia sekasar itu. Gimana kalau Tasya sampe denger?”“Dia emang pantas dimaki! Udah jelas-jelas aku ngasih perintah buat nggak keluar kamar, eh dia malah keluar rumah! Kan kalau bukan wanita bodoh, mana mungkin?”“An, cukup! Aku nggak suka kamu ngata-ngatain orang kayak gitu!” tegas Damian dengan mata tajam serius.Bukannya diam dan takut, Annie justru makin kalap.“Oh, jadi kamu belain dia? Kenapa? Kamu belain dia karena cantik? Atau karena dia setiap hari masakin kamu? Atau bahkan, dia udah pernah kamu tiduri?”Plak!Tamparan seketika mendarat di pipi Annie yang sudah kelewat batas. Pria itu tak punya pilihan untuk mendiamkan istrinya. Sayang, meskipun pelan, Annie tak menyangka akan mendapat tamparan itu. Seketika pengacara berhati dingin itu menatap nyalang sang suami."Kamu?!"“Jaga mulutmu, Annie,” suruh Damian, dengan tatapan mata tajam seakan menghunus Annie.“Aku anggap kejadian ini nggak pernah ada,” imbuh Damian, “kamu segera ganti baju dan istirahat, karena besok kamu masih kerja,”Damian hendak pergi dari kamarnya untuk memberi ruang pada Annie--namun yang terjadi Annie justru tertawa cekikikan dengan wajah menantang Damian.“Kamu pikir, pengangguran kayak kamu, bisa seenaknya nampar aku?”Deg!
Damian tercengang dengan apa yang dia dengar.
Apakah Annie sedang mabuk?
Tidak, ini masih sore, dan Annie tak pernah bau alkohol saat pulang ke rumah. Lalu, kenapa ucapan sejahat itu bisa keluar dari mulutnya? Pertikaian batin dalam otak Damian terus sahut-menyahut.
“Kalau kamu macem-macem sama aku, maka aku nggak segan buat ngusir kamu dari sini,” ancam Annie lirih, “ingat, rumah ini adalah rumah pemberian orang tuaku.”
Dengan emosi, Annie kemudian berjalan pergi dari kamar. Tak lupa membanting pintunya keras--meninggalkan Damian yang masih mematung di tempatnya berdiri. Pria itu berusaha mencerna semuanya.Sikap Annie memang tak pernah ramah. Selalu culas dan sinis dalam bicara. Namun, dia masih menghromati Damian sebagai suami.
Hanya saja, sejak Damian tak lagi menghasilkan uang dari bukunya dan karir Annie makin melejit--rasa hormat itu telah menguap jauh tak meninggalkan bekas.
Terlebih hari ini. Damian merasa bagaikan pakaian lusuh yang terinjak-injak. Harga dirinya ternodai.
"Arrgh!" Damian mengusap rambutnya kasar.
******
Meski sudah berdiam diri untuk meredakan emosi, Damian masih saja merasa tidak tenang.
Gontai, pria itu pun memutuskan untuk mencari angin segar dengan berkeliling di halaman belakang rumahnya.
Hanya saja, ketika dia sedang mengitari kolam ikan, Damian melihat sosok Fiona yang tersorot temaram lampu taman, sedang menabur pakan ikan beberapa kali.
Damian sontak bergerak pelan--agak bersembunyi untuk mengamati Fiona dari jauh. Wanita itu berjongkok di pinggir kolam ikan yang luas, dengan mata terpejam dan kepala yang ditumpukan pada lengannya. Dia tampak kelelahan.
"FIONA!"
Tiba-tiba suara teriakan Annie yang memanggil Fiona terdengar.
Damian bahkan terkejut dalam persembunyian dan kembali memerhatikan Fiona.
Dilihatnya wanita muda itu spontan bangkit--berlari tunggang-langgang menghampiri majikannya.
Hati Damian seketika terenyuh, sekaligus marah di saat bersamaan. Dia terenyuh akan dedukasi Fiona pada keluarganya, dan marah akan perlakuan Annie pada para pekerja rumah yang tak pernah baik.
“Pak Damian?” tegur Fiona yang tiba-tiba sudah di belakang punggung Damian.Damian yang terkaget hampir saja jatuh, andai Fiona tak segera menarik lengannya. Dua manusia itu seketika kikuk, dan otomatis menjauh.“Bapak sedang apa di sini?” tanya Fiona heran.Damian mengelus tengkuknya, gugup. “Nggak ngapa-ngapain, sih. Cuman lagi cari udara segar.”“Ini, Pak.” Fiona menyerahkan sebotol minuman pada Damian.Melihat itu, kening Damian berkerut.
Seolah mengerti, Fiona pun tersenyum--menjelaskan minuman yang diberikannya barusan, “Ini ramuan sereh, baik untuk daya tahan tubuh. Tadi pagi, saya buat ini untuk Tasya. Katanya, lagi banyak temennya yang sakit di sekolah.”
Damian masih diam. Sebenarnya, dia tertegun karena ini adalah momen langka. Biasanya, Fiona selalu irit bicara pada Damian, tetapi wanita itu lebih banyak membuka percakapan. Terlebih, dia melihat Fiona yang sedikit mengulaskan senyum.'Indah,' batin Damian."Pak?" ucap Fiona menyadarkan Damian.
"Ah .. i--ya. Makasih, Gin,” gugup Damian yang langsung meneguk botol kecil itu sampai habis.
Rasa hangat seketika mengalir di tubuh Damian. Meski banyak rempah, rasanya tidak pekat dan masih bisa dinikmati.
“Kok kamu bisa bikin kayak gini?” tanya Damian heran.
“Resep turun-temurun, Pak.”Damian pun mengangguk kecil, hingga Fiona terlihat ingin undur diri.
Melihat itu, otak Damian berjalan cepat untuk menahan Fiona. Seketika tangan Fiona telah digenggamnya.
“Fiona,” panggil Damian pelan.
Kini, Fiona lah yang mengerutkan dahi.
Apalagi, Damian tiba-tiba memeluk tubuh Fiona sangat erat tanpa berbicara sepatah kata pun.
Tubuh Fiona membeku, tak berani dan tak sanggup bergerak dengan gerakan mendadak dari Damian.
"P--pak?"
"Good job!" Gina aka Fiona tersenyum licik ketika dia mengingat kejadian kemarin sore. Saat ibu salah seorang teman Tasya memergokinya berada di rumah Annie, sebenarnya Fiona memang sengaja keluar rumah demi membuat Annie terpancing emosi.Namun, yang tidak dia duga adalah pertikaian antara Damian dan Annie ternyata cukup kencang, hingga dirinya dapat mendengarnya dari balik pintu. Gina tidak menyangka jika Damian akan terang-terangan membelanya di depan sang istri yang sedang murka. Hal yang tak pernah Gina dapatkan dari sosok Wijaya. Bahkan, Damian rela dihina-dina oleh Annie, tanpa berniat untuk membalas.Semakin Gina coba pahami, semakin Gina tak bisa mengerti jalan pikiran Damian. Mengapa ada pria seperti itu? Drrrt!Ponsel Gina bergetar ketika dia sedang memikirkan sikap Damian sambil merebahkan diri di kamar kecilnya. Nama Emma terlihat muncul dari sana."Nyonya," sapa Emma dari seberang.Gina mengecilkan volume suaranya. "Apa ada berita baru, Em?""Tuan Wijaya, memerintahkan
"Arrgh!"Keesokan harinya, di Minggu pagi, Damian berseru kaget saat mendapati dirinya yang tidur telentang tanpa busana sehelai pun. Dia membelalak lebar, bola mata bergerak kesana kemari, berusaha sangat keras mengingat apa yang sebenarnya terjadi.Namun yang ada, justru kepalanya makin pening, efek dari alkohol yang belum seratus persen hilang. Maka, Damian buru-buru mengenakan pakaian, kemudian berjalan gontai menuju dapur karena perutnya sudah meronta minta diisi.Dia kembali linglung, celingukan ke setiap arah, karena suasana rumah yang sangat sepi. Bahkan, Tasya dan Fiona yang sering terlihat bercanda di dapur pun tidak ada. Hanya semangkok sup dingin dan beberapa lauk. Damian pun segera membawa mangkok sup itu ke dalam microwave untuk dipanaskan.“Tasya?” teriak Damian, memanggil Tasya.Namun, bukan Tasya yang menyahut, tapi justru Fionalah yang keluar perlahan dari kamar Tasya. Wanita muda itu menunduk saat melihat Damian, namun ekspresinya tidak seperti biasa. Wajah Fiona
“Kalian ngapain di sini?!” Annie mengulangi pertanyaannya, dengan tubuh sempoyongan dan bola mata bergerak tak aturan.Jantung Damian serasa mau copot, namun saat melihat polah Annie, Damian mulai sedikit lega. Dia berjalan hati-hati mendekati istrinya, berusaha menarik aroma alkohol ke dalam hidungnya. Aroma menyengat itu membuat penciuman Damian muak. “An, kamu mabuk?!” tanya Damian kesal, sambil melepas sepatu dan jaket yang dikenakan Annie.Annie yang terus bicara tak jelas, seketika roboh saat tubuhnya menyentuh kasur. Damian kesal, berkacak pinggang memandangi tubuh lunglai istrinya dengan nafas memburu. Damian bergegas menemui Fiona di kamar Tasya, saat Fiona sedang mengganti kompres di kening Tasya. “Ada yang perlu saya bantu, Pak Damian?” tanya Fiona.“Fi, tolong ganti semua baju Annie. Aku tak sanggup, dia bau alkohol,” pinta Damian, menggeleng putus asa. “Biar aku yang jaga Tasya,”Fiona menganggu
“Fi, apa yang kamu lakukan di sini?” tegur Damian, enggan melepaskan ikatan tangannya dari tangan Fiona.Fiona bergegas menghentikan langkah, menepis pelan tangan Damian.“Maaf, Pak Damian,” ujarnya.“Kamu sedang melayat siapa?” tanya Damian, memelankan nada bicaranya agar Fiona tak salah paham.Gina kemudian menatap nanar pemakaman yang ada di belakangnya, tak berniat menjawab, hanya kembali melanjutkan langkah. Apakah ini memang saatnya Damian harus tahu?Damian tak berpikir dua kali untuk membuntuti Fiona di belakang, ikut menyusuri satu demi satu makam tertata baik itu. Kemudian Fiona berhenti pada sebuah makam yang nampak baru, dengan buket mawar putih yang telah mengering.Fiona lantas mengganti bunga itu dengan mawar baru yang dia pegang. Ada satu hal yang aneh yang membuat Damian mengernyitkan kening ketika memandang makam itu.“Ini siapa, Fi?” bisik Damian.
Meskipun suasana di depannya cukup redup dan santai, namun degup jantung Ajeng bisa dirasakan sedang bertalu-talu saling sahut menyahut, tak mau tenang. Ajeng sudah membulatkan tekadnya untuk datang menemui Nona seorang diri, meski sebelumnya Jeslyn menawarkan diri untuk menemani. Namun bagi Ajeng, dia ingin menemui klien besarnya ini seorang diri demi menaikkan reputasinya."Mohon maaf, ada yang bisa kami bantu?" salah seorang pelayan datang menghampiri Ajeng."Saya ada janji bertemu dengan Nona … ""Nona?" Pelayan itu menyela dengan cepat, seakan tahu lanjutan dari kalimat Ajeng. Setelah mengangguk dengan staf yang lain, pelayan itu segera membawa Ajeng ke ruang privat yang berada di paling belakang dari restoran, cukup menjauh dari kerumunan meja-meja tamu reguler.Maka ketika Ajeng telah sampai di ruangan yang dimaksud, si pelayan mempersilahkan Ajeng untuk segera masuk, karena Nona sudah menunggu. Sesaat setelah
Tok, tok!!"Masuk," suruh Annie ketika mendengar pintu ruangan kerjanya diketuk dengan keras.Masuklah sesosok pria besar yang tersenyum lebar menyeringai ke arah Annie. Pria itu segera menutup pintu ruangan Annie, menguncinya. Annie yang terperanjat ingin memprotes, namun pria besar itu sudah lebih dulu menarik tubuhnya, mengangkatnya naik ke atas meja kerjanya sendiri. Annie berteriak berontak, namun si pria justru makin bersemangat dengan aksinya."H-hentikan, Steve! Ini di kantor! Jangan gila," cegah Annie, sebisa mungkin menghindari Steve."Katamu, kemarin malam kamu akan menemuiku, tapi aku tunggu sampai jam 2 pagi, kamu nggak datang," protes Steve, masih berusaha keras membobol pertahanan Annie."Aku tahu kamu bermesraan dengan Damian, kan?" tebak Steve."Dia suamiku, Steve!""Suami?" Steve mendadak berhenti, hanya untuk tertawa. "Sejak kapan kamu menganggapnya suami?" tanya Steve, menatap lamat-lamat ke
Emma membukakan pintu kamar hotel untuk Gina, setelah membungkuk hormat dan mempersilahkan majikannya itu untuk masuk ke dalam.Hari ini keluarga Chase berlibur ke luar kota, sehingga Gina punya kesempatan untuk kembali pada kehidupan aslinya. Termasuk menemui Emma untuk membahas segala rencana mereka.“Saya mendapatkan informasi tentang orang ini,” Emma menyerahkan selembar foto hasil bidikannya diam-diam tempo hari.“Namanya Steve. Dia adalah dokter spesialis kulit dan kelamin. Selingkuhan Annie Chase,” terang Emma.Gina memperhatikan foto pria itu dengan seksama.“Dia … pria kurang ajar,” gumam Gina.“Apakah dia melecehkan Nyonya Gina?!” Nada bicara Emma sedikit naik.Gina menggeleng. “Dia sepertinya curiga padaku,” tebak Gina. “Dia merasa ada sesuatu yang kututupi, jadi kemungkinan dia akan mencari tahu,”Emma mengangguk.“Bagaimana pertemuanmu dengan Ajeng?” tanya Gina mengganti topik.“Sa
"Kurang ajar … " Annie meremas seluruh lembaran foto itu.Secepatnya dia menghilangkan seluruh barang bukti sebelum Damian tahu. Bahkan nafas Annie saling memburu, merasakan ketegangan dan amarah menjadi satu.Tegang, takut Damian memergoki foto-foto itu. Dan marah, karena ada seseorang yang berniat mengancamnya.Annie memikirkan seribu kemungkinan siapa saja orang-orang yang mempunyai dendam padanya. Meski, dia yakin bahkan sepuluh jarinya pun tak kuasa untuk menghitung banyaknya orang-orang itu.Annie tahu, pekerjaannya membuat dia dibenci. Tapi dia mencintai pekerjaannya."Fiona!!" Annie berteriak sangat lantang.Demi menekan amarah, dia melampiaskannya pada Fiona."Siapkan aku air hangat," pintanya setelah Fiona tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar."Tapi saya baru saja menyiapkannya, Bu,""Siapkan lagi! Air itu kurang hangat!" seru Annie tak mau tahu.Tak ada yang bisa Fiona lakukan selain