“Fi, apa yang kamu lakukan di sini?” tegur Damian, enggan melepaskan ikatan tangannya dari tangan Fiona.
Fiona bergegas menghentikan langkah, menepis pelan tangan Damian.“Maaf, Pak Damian,” ujarnya.“Kamu sedang melayat siapa?” tanya Damian, memelankan nada bicaranya agar Fiona tak salah paham.Gina kemudian menatap nanar pemakaman yang ada di belakangnya, tak berniat menjawab, hanya kembali melanjutkan langkah. Apakah ini memang saatnya Damian harus tahu?Damian tak berpikir dua kali untuk membuntuti Fiona di belakang, ikut menyusuri satu demi satu makam tertata baik itu.Kemudian Fiona berhenti pada sebuah makam yang nampak baru, dengan buket mawar putih yang telah mengering.Fiona lantas mengganti bunga itu dengan mawar baru yang dia pegang. Ada satu hal yang aneh yang membuat Damian mengernyitkan kening ketika memandang makam itu.“Ini siapa, Fi?” bisik Damian.Meskipun suasana di depannya cukup redup dan santai, namun degup jantung Ajeng bisa dirasakan sedang bertalu-talu saling sahut menyahut, tak mau tenang. Ajeng sudah membulatkan tekadnya untuk datang menemui Nona seorang diri, meski sebelumnya Jeslyn menawarkan diri untuk menemani. Namun bagi Ajeng, dia ingin menemui klien besarnya ini seorang diri demi menaikkan reputasinya."Mohon maaf, ada yang bisa kami bantu?" salah seorang pelayan datang menghampiri Ajeng."Saya ada janji bertemu dengan Nona … ""Nona?" Pelayan itu menyela dengan cepat, seakan tahu lanjutan dari kalimat Ajeng. Setelah mengangguk dengan staf yang lain, pelayan itu segera membawa Ajeng ke ruang privat yang berada di paling belakang dari restoran, cukup menjauh dari kerumunan meja-meja tamu reguler.Maka ketika Ajeng telah sampai di ruangan yang dimaksud, si pelayan mempersilahkan Ajeng untuk segera masuk, karena Nona sudah menunggu. Sesaat setelah
Tok, tok!!"Masuk," suruh Annie ketika mendengar pintu ruangan kerjanya diketuk dengan keras.Masuklah sesosok pria besar yang tersenyum lebar menyeringai ke arah Annie. Pria itu segera menutup pintu ruangan Annie, menguncinya. Annie yang terperanjat ingin memprotes, namun pria besar itu sudah lebih dulu menarik tubuhnya, mengangkatnya naik ke atas meja kerjanya sendiri. Annie berteriak berontak, namun si pria justru makin bersemangat dengan aksinya."H-hentikan, Steve! Ini di kantor! Jangan gila," cegah Annie, sebisa mungkin menghindari Steve."Katamu, kemarin malam kamu akan menemuiku, tapi aku tunggu sampai jam 2 pagi, kamu nggak datang," protes Steve, masih berusaha keras membobol pertahanan Annie."Aku tahu kamu bermesraan dengan Damian, kan?" tebak Steve."Dia suamiku, Steve!""Suami?" Steve mendadak berhenti, hanya untuk tertawa. "Sejak kapan kamu menganggapnya suami?" tanya Steve, menatap lamat-lamat ke
Emma membukakan pintu kamar hotel untuk Gina, setelah membungkuk hormat dan mempersilahkan majikannya itu untuk masuk ke dalam.Hari ini keluarga Chase berlibur ke luar kota, sehingga Gina punya kesempatan untuk kembali pada kehidupan aslinya. Termasuk menemui Emma untuk membahas segala rencana mereka.“Saya mendapatkan informasi tentang orang ini,” Emma menyerahkan selembar foto hasil bidikannya diam-diam tempo hari.“Namanya Steve. Dia adalah dokter spesialis kulit dan kelamin. Selingkuhan Annie Chase,” terang Emma.Gina memperhatikan foto pria itu dengan seksama.“Dia … pria kurang ajar,” gumam Gina.“Apakah dia melecehkan Nyonya Gina?!” Nada bicara Emma sedikit naik.Gina menggeleng. “Dia sepertinya curiga padaku,” tebak Gina. “Dia merasa ada sesuatu yang kututupi, jadi kemungkinan dia akan mencari tahu,”Emma mengangguk.“Bagaimana pertemuanmu dengan Ajeng?” tanya Gina mengganti topik.“Sa
"Kurang ajar … " Annie meremas seluruh lembaran foto itu.Secepatnya dia menghilangkan seluruh barang bukti sebelum Damian tahu. Bahkan nafas Annie saling memburu, merasakan ketegangan dan amarah menjadi satu.Tegang, takut Damian memergoki foto-foto itu. Dan marah, karena ada seseorang yang berniat mengancamnya.Annie memikirkan seribu kemungkinan siapa saja orang-orang yang mempunyai dendam padanya. Meski, dia yakin bahkan sepuluh jarinya pun tak kuasa untuk menghitung banyaknya orang-orang itu.Annie tahu, pekerjaannya membuat dia dibenci. Tapi dia mencintai pekerjaannya."Fiona!!" Annie berteriak sangat lantang.Demi menekan amarah, dia melampiaskannya pada Fiona."Siapkan aku air hangat," pintanya setelah Fiona tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar."Tapi saya baru saja menyiapkannya, Bu,""Siapkan lagi! Air itu kurang hangat!" seru Annie tak mau tahu.Tak ada yang bisa Fiona lakukan selain
Gina menelan ludah terpaksa, saat melihat Ajeng tersenyum licik di depannya. Wanita itu tiba-tiba datang, di malam hari saat keluarga Chase baru saja pulang dari berlibur.“Ada yang bisa saya bantu?” Gina memberi isyarat mata pada Ajeng untuk bersikap biasa, seakan tidak terjadi apa-apa diantara mereka.Sebagai seorang pengacara handal, Ajeng tak perlu berpikir dua kali untuk mengartikan isyarat Gina.Dia hanya menyerahkan sebuah amplop coklat besar pada Gina.“Nona menyuruhku menyerahkan ini secara langsung padamu,” ujar Ajeng.Gina melebarkan pandangannya. “Apa?” Dia sama sekali tidak mendapat informasi dari Emma. Kenapa Emma menyuruh Ajeng melakukan sesuatu yang beresiko membuatnya ketahuan?“Nona ingin aku memberikan ini secara langsung, agar kita bisa bertemu,”‘Oh, jadi begitu,’ tukas Gina dalam hati. Emma memang selalu punya jalan pikiran yang kadang sulit ditebak oleh Gina.“Aku tidak bisa memp
“D-Damian?” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut Gina, sesaat setelah Damian melepaskan kecupannya di bibir Gina.Kesenduan yang tadi nampak di kedua mata Damian, perlahan mulai pudar. Tergantikan oleh tatapan teduh.“Maafkan aku, Fi. Aku … Aku tidak bisa menahan perasaanku,” ucap Damian. “Perasaan apa?” Gina bisa menebak jawabannya–dia tetap ingin memastikan.Meskipun hal ini adalah hal yang diinginkan Gina demi melancarkan balas dendamnya, namun dia tidak menyangka jika ada perasaan nyaman saat Damian menyentuh tubuhnya.Perasaan yang aneh, dan Gina tidak bisa menghindarinya.“Aku tidak tahu apakah ini cinta. Tapi aku senang kamu ada di dekatku,” aku Damian. “Setelah ada kamu, entah kenapa, aku mulai bisa membangkitkan inspirasi untuk menulis,”Gina ikut tersenyum. “Aku senang jika kehadiranku membuatmu semakin maju, Damian,” ucap Gina pelan.“Maafkan aku, Fi,” “Kenapa kamu terus meminta maaf?
Langkah Emma mantap pagi ini. Sembari memegang erat sebuah amplop coklat di depan dada, dia berjalan lantang memasuki ruang kerja Wijaya–setelah mengetuk pintu.“Apa yang kamu dapatkan?” tanya Wijaya, terus fokus pada berbagai lembaran dokumen di depannya.Banyak yang harus dia tanda tangani, meski hari ini adalah hari libur.Emma tidak menjawab. Dia hanya bergerak menyerahkan amplop coklat itu ke hadapan Wijaya.“Apa ini?” Wijaya memandang amplop itu keheranan.“Saya mendapatkan sesuatu yang akan sangat menguntungkan Anda, Tuan,” jawab Emma dengan senyum licik.Wijaya tampak ragu. Sambil mengelus dagu, dia mempertimbangkan perihal isi dari amplop coklat itu.“Kalau aku tidak menerimanya?”“Tidak masalah, Tuan,” Emma menunduk. “Saya hanya memberikan ini, dan Tuan bebas melakukan apapun,”Mendengar jawaban Emma yang tampak meyakinkan, membuat Wijaya segera menyambar amplop itu. Dia membukanya tak sabar.
Annie mendorong tubuh Steve menjauhinya. Dengan tubuh yang masih terbungkus selimut, dia menatap tajam ke arah Steve.“Jaga bicaramu, Steve!” seru Annie tak senang.“Apakah aku salah bicara? Bukankah memang kamu yang membunuh anak itu?”“Aku tidak pernah membunuhnya!” Annie menunjuk ke arah Steve. “Jangan karena kamu tahu segalanya, kamu berhak bicara seperti itu padaku,”Steve sama sekali tidak gentar dengan amarah Annie. Dia bahkan tersenyum santai.“Jadi, yang kulihat di rumah sakit waktu itu, kembaranmu? Begitu?” tanya Steve enteng.Dia mengetahui peristiwa kecelakaan yang menimpa Sean, bukan dari omongan Annie sendiri. Melainkan dia menyaksikan sendiri pertikaian Wijaya dan Annie di rumah sakit, yang kebetulan tempatnya bekerja.“Kau benar-benar … “ Darah Annie makin mendidih setiap melihat senyum terulas di bibir Steve.Dia merasa Steve mengejeknya.Per