Deg!
Meski terkejut, Fiona dengan cepat menormalkan diri. Sudah sepantasnya mereka menanyakan hal ini.Tersenyum tipis sambil menundukkan pandangannya, Fiona kemudian berbicara, “Nyonya Ajeng … saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah beliau yang sempat terkena stroke.”
Damian terlihat mengangguk dan mengelus bagian belakang kepalanya–tampak kikuk.
Sebenarnya, pria itu terpesona dengan kecantikan Gina yang sedang menyamar jadi Fiona ini. Namun, “Fiona” masih belum menyadari itu.
Dia justru merasa Damian begitu lucu.
‘Bagaimana orang sekejam Annie memiliki suami seperti ini?’ Fiona membatin sebelum sadar bahwa sudah terlalu lama keduanya terdiam di ruangan itu.
“Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona pada akhirnya karena sejak tadi Damian tak bersuara.
“Oh, iya,” Damian menegakkan duduknya. “Kamu wajib memasak untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Tapi kalau Annie pulang telat, kamu harus menyiapkan makanan yang siap dihangatkan untuknya. Dan segala keperluan anakku, Tasya serta menjaga kebersihan rumah ini,” terang Damian panjang lebar.
“Baik, Tuan,” sahut Fiona masih dengan kepala menunduk.
Dia berusaha sebisa mungkin menyatu dengan identitas barunya.
“Kamu cukup panggil Pak Damian dan Bu Annie saja, Fiona,” tambah Damian.
Fiona sekali lagi mengangguk patuh.
Melihat itu, Damian tampak tersenyum. “Mari kutunjukkan kamarmu.”
Segera, keduanya berjalan menuju sebuah kamar kosong yang terletak di pojok belakang rumah.
Sebuah ruangan berukuran 4x4 yang hanya terdiri dari sebuah kasur kecil serta lemari minimalis.
Ruangan itu dulunya adalah sebuah gudang, yang entah kapan, telah disulap Annie menjadi sebuah kamar yang layak ditempati.
“Terima kasih, Pak.”
Fiona pun meminta izin untuk masuk dan meletakkan tas jinjing besarnya di pojok ruang. Dari belakang, dia dapat menyadari bahwa Damian menatapnya intens.
“Semangat. Kamu bisa, Gina!” gumamnya menyemangati diri.
* * * *
Meski lahir di keluarga konglomerat, Gina tak pernah menjadi anak yang manja. Justru, dia menyadari bahwa beban berat ada di pundaknya.
Jadi, sekadar memasak atau merapikan rumah bukanlah hal yang sulit.
Sekarang, Gina merasa bersyukur orang tuanya juga selalu mendukung pilihannya untuk mandiri.
Dengan cepat, Gina alias Fiona menyiapkan makanan, serta menatanya di meja makan.
Aromanya begitu mengundang siapapun yang mencium, termasuk Damian.
Pria itu bahkan terbangun dari tidur siang panjangnya setelah mencium aroma wangi masakan rumah–yang sudah sangat lama tak pernah dia hirup.
Menyadari itu, Gina lantas menunduk patuh–tak berani menatap langsung majikannya itu.
“Pak, makan siangnya sudah siap,” ucapnya mempersilahkan Damian untuk segera makan.
Damian mengangguk tipis, terlihat fokus pada aneka masakan rumah yang tampak lezat.
Tanpa basa-basi, Damian langsung mengambil piring, menyantap dengan tak sabar makanan itu.
Hatinya bahagia luar biasa. Sudah sangat lama Damian tak merasakan masakan rumahan yang sederhana namun nikmat seperti ini.
Annie tak bisa masak sama sekali. Dulu ketika Damian masih menjadi penulis best-seller, mereka memakai jasa pembantu yang menyiapkan semua makanan sekeluarga.
Namun, semenjak Damian tak lagi populer dan tak menghasilkan uang, Annie justru memutuskan untuk mempekerjakan Damian dengan dalih agar Damian punya kesibukan di rumah.
Fiona tersenyum bangga–berhasil membuat bosnya ini menyukai hasil pekerjaannya.
Namun, itu tak lama. Seketika, dia teringat misi selanjutnya: mendekati anak Annie!
“Pak Damian … “ panggil Fiona cepat, “Bolehkah saya mencatat jadwal pergi dan pulang sekolahnya Tasya?”
“Untuk apa?” tanya Damian di sela-sela mengunyah.
“Saya yang akan mengantar jemput Tasya, Pak.”
“Kenapa? Nggak usah, Fi. Itu sudah jadi tugasku. Tugasmu sesuai yang kubilang tadi,” larang Damian seketika.
Fiona mungkin tak tahu bahwa mengantar jemput Tasya menjadi hal paling ditunggu Damian. Hanya saat itulah dia bisa menyegarkan otak kala jenuh dengan kondisi rumah.
Fiona terdiam. Namun, dia sekali lagi mengangguk. “Baik, Pak.”
Tak lama, ia kemudian kembali bekerja membersihkan dapur–meninggalkan Damian yang menyantap masakan rumahan sambil berharap ide-ide bagus mengalir kembali di kepalanya.
* * * *
Tet!
Bel rumah berbunyi. Sekarang, sudah pukul 15:00. Pastilah itu Tasya–anak Annie dan Damian.Gegas, Fiona membuka pintu rumah–menyambutnya pulang sekolah setelah dijemput Damian.Seperti dugaannya, Tasya pasti terkejut dengan keberadaan perempuan asing ini.
“Pa, dia siapa?” tanya Tasya keheranan.
“Dia pembantu baru kita. Kamu panggil dia Mbak Fiona, ya,” jawab Damian.
Tasya, gadis berusia 10 tahun itu menganga takjub dengan penampilan Fiona yang sangat cantik, dengan rambut coklat panjang nan tebal.
Bahkan bagi Tasya, penampilan Fiona lebih cocok menjadi pekerja kantoran daripada pembantu.
“Kamu suka, Tas?”
“MAMA!!” seru Tasya, karena Annie tiba-tiba datang. Damian kaget bukan main, namun senang karena istrinya tak jadi pulang tengah malam.
Damian juga segera menyambut dan memeluk hangat istrinya itu.
“Kok sudah pulang?” tanya Damian heran.
“Aku sengaja pulang cepat, ingin bertemu dengan Fiona,” ucap Annie, mengamati Fiona dari atas sampai bawah.
Fiona memperhatikan semua itu dengan perasaan campur aduk. Perempuan yang membunuh anaknya–tampak bahagia dan tidak merasa bersalah. Dia punya keluarga. Anaknya masih bisa memeluknya … tidak seperti dirinya.
Tangan Fiona sontak mengepal.
Namun, ia lepas begitu menyadari Annie menatapnya tak senang–cenderung mengintimidasi.
“Kau Fiona?” celetuknya, “Kenapa aku tak asing denganmu, ya?”
“Oh iya, kamu Fiona Gage? Bagaimana Ajeng bisa kenal denganmu?” tanya Damian.Fiona tersenyum tipis, menundukkan pandangannya. “Saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah Nyonya Ajeng yang sempat terkena stroke,”Damian manggut-manggut. Dia mengelus bagian belakang kepalanya, tampak kikuk dengan pesona Fiona yang luar biasa cantik. “Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona, karena sejak tadi Damian tak bersuara. Mungkin dia ingin mencairkan suasana yang canggung antara mereka berdua.“Oh, iya,” Damian menegakkan posisi. "Mari kita masuk dulu ke dalam rumah,"Dengan isyarat tangan, Damian mempersilakan Fiona untuk masuk ke dalam rumah. Pandangan Fiona mengitari setiap sudut rumah Annie, yang meskipun membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus rumah, nyatanya rumah itu sangatlah rapi."Kamu pasti tahu, istriku sangatlah sibuk," ujar Damian. "Dan aku hanyalah suami yang menganggur di sini," Damian justru merendahkan dirinya sendiri di depan Fiona.Lewat ekor matanya
"Aku seperti pernah bertemu denganmu, ya?" tanya Annie curiga.Fiona berusaha untuk tetap tegar. Dia berdiri kokoh, tak ingin merasa terintimidasi oleh wanita berhati iblis ini."Mungkin Bu Annie pernah melihat saya di rumah Bu Ajeng?" tebak Fiona, bersikap datar.Annie masih memicingkan mata menatapnya. Tapi dia detik kemudian, ketegangan itu mencair. Annie mengangguk, dan tampak setuju.'Hampir saja,' batik Gina, dengan setitik eluh dingin yang turun dari keningnya.***“Fiona?” tegur Annie, ketika Fiona sudah mulai menyiapkan sarapan di jam 5 pagi. Fiona yang tak paham dengan kebiasaan Annie, tentu setengah terjerembab kaget saat mendengar seseorang tiba-tiba memanggilnya. Setahu Fiona, baru dia saja yang bangun sepagi ini. Namun ketika dia memutar tubuh ke belakang, dan mendapati Annie yang bersandar di meja island sambil meminum segelas air putih, Fiona menghela nafas lega.“Kamu kenapa sudah bangun sepagi ini?”“Saya menyiapkan sarapan, Bu.”Lirikannya dingin ke arah Fiona. “Ak
"Selamat siang, Pak Damian," sapa Fiona, setelah dia pulang dari makam Sean siang ini."Kamu dari mana saja?" tanya Damian penasaran.Fiona menunduk. "Saya sedang menyelesaikan beberapa urusan, Pak. Sebentar lagi makan siang akan saya siapkan.""Tidak perlu," sambar Damian. "Aku sudah memesan makan siang hari ini."Fiona melebarkan mata, cukup terkejut. "Temani aku makan siang," pinta Damian tiba-tiba.Meski cukup terkejut, namun Fiona tak bergeming. Dalam hati dia hanya tidak menyangka jika Damian bisa sefrontal itu padanya.Ajakan Damian untuk makan siang bersama, untuk pertama kali, setelah Fiona bekerja dan tinggal di rumah Damian selama dua minggu, merupakan aksi paling nekat yang sedetik setelahnya disesali Damian. Apalagi ketika respon Fiona tampak dingin, membuat Damian ingin menarik kata-katanya kembali.“Maaf, Pak Damian … “ Fiona memotong ucapannya. “Terima kasih atas ajakannya,” Dia berjalan perlahan, duduk di kursi di depan Damian tanpa banyak bersuara.Kini ganti Damian
Mata Annie sudah diliputi kilauan kemarahan. “Kamu, mulai sekarang nggak usah dekat-dekat sama Sita lagi!” ancam Annie. “Kamu juga, kalau sampai ngomong yang aneh-aneh ke teman-temanmu soal keluarga kita, Mama bakal hukum kamu!”“Ngomong aneh apa sih, Ma? Tasya kan cuman bilang kalau di rumah ada pembantu baru, makanya sekarang Tasya jarang telat dianter Papa. Apa salahnya, sih, Ma?” protes Tasya.Batin Annie bergejolak mendengar pembelaan dari anak tunggalnya itu. Namun egonya yang sangat tinggi enggan untuk merendah. Dia harus selalu tampak menang di depan semua orang, apalagi anaknya.“Pokoknya, sekali lagi kamu ngomong yang aneh-aneh, Mama bakal cut uang jajanmu!” ancam Annie sekali lagi, lalu menyuruh Tasya balik ke kamarnya.Sekarang giliran Fiona. Wanita muda itu diam di pojokan dapur, tak berani bergerak setelah kesalahan fatalnya yang tiba-tiba keluar untuk membuang sampah. Dia tahu Annie akan muntab padanya, maka sebelum hal itu terjadi, Fiona sudah bersiap-siap membangun ta
"Good job!" Gina aka Fiona tersenyum licik ketika dia mengingat kejadian kemarin sore. Saat ibu salah seorang teman Tasya memergokinya berada di rumah Annie, sebenarnya Fiona memang sengaja keluar rumah demi membuat Annie terpancing emosi.Namun, yang tidak dia duga adalah pertikaian antara Damian dan Annie ternyata cukup kencang, hingga dirinya dapat mendengarnya dari balik pintu. Gina tidak menyangka jika Damian akan terang-terangan membelanya di depan sang istri yang sedang murka. Hal yang tak pernah Gina dapatkan dari sosok Wijaya. Bahkan, Damian rela dihina-dina oleh Annie, tanpa berniat untuk membalas.Semakin Gina coba pahami, semakin Gina tak bisa mengerti jalan pikiran Damian. Mengapa ada pria seperti itu? Drrrt!Ponsel Gina bergetar ketika dia sedang memikirkan sikap Damian sambil merebahkan diri di kamar kecilnya. Nama Emma terlihat muncul dari sana."Nyonya," sapa Emma dari seberang.Gina mengecilkan volume suaranya. "Apa ada berita baru, Em?""Tuan Wijaya, memerintahkan
"Arrgh!"Keesokan harinya, di Minggu pagi, Damian berseru kaget saat mendapati dirinya yang tidur telentang tanpa busana sehelai pun. Dia membelalak lebar, bola mata bergerak kesana kemari, berusaha sangat keras mengingat apa yang sebenarnya terjadi.Namun yang ada, justru kepalanya makin pening, efek dari alkohol yang belum seratus persen hilang. Maka, Damian buru-buru mengenakan pakaian, kemudian berjalan gontai menuju dapur karena perutnya sudah meronta minta diisi.Dia kembali linglung, celingukan ke setiap arah, karena suasana rumah yang sangat sepi. Bahkan, Tasya dan Fiona yang sering terlihat bercanda di dapur pun tidak ada. Hanya semangkok sup dingin dan beberapa lauk. Damian pun segera membawa mangkok sup itu ke dalam microwave untuk dipanaskan.“Tasya?” teriak Damian, memanggil Tasya.Namun, bukan Tasya yang menyahut, tapi justru Fionalah yang keluar perlahan dari kamar Tasya. Wanita muda itu menunduk saat melihat Damian, namun ekspresinya tidak seperti biasa. Wajah Fiona
“Kalian ngapain di sini?!” Annie mengulangi pertanyaannya, dengan tubuh sempoyongan dan bola mata bergerak tak aturan.Jantung Damian serasa mau copot, namun saat melihat polah Annie, Damian mulai sedikit lega. Dia berjalan hati-hati mendekati istrinya, berusaha menarik aroma alkohol ke dalam hidungnya. Aroma menyengat itu membuat penciuman Damian muak. “An, kamu mabuk?!” tanya Damian kesal, sambil melepas sepatu dan jaket yang dikenakan Annie.Annie yang terus bicara tak jelas, seketika roboh saat tubuhnya menyentuh kasur. Damian kesal, berkacak pinggang memandangi tubuh lunglai istrinya dengan nafas memburu. Damian bergegas menemui Fiona di kamar Tasya, saat Fiona sedang mengganti kompres di kening Tasya. “Ada yang perlu saya bantu, Pak Damian?” tanya Fiona.“Fi, tolong ganti semua baju Annie. Aku tak sanggup, dia bau alkohol,” pinta Damian, menggeleng putus asa. “Biar aku yang jaga Tasya,”Fiona menganggu
“Fi, apa yang kamu lakukan di sini?” tegur Damian, enggan melepaskan ikatan tangannya dari tangan Fiona.Fiona bergegas menghentikan langkah, menepis pelan tangan Damian.“Maaf, Pak Damian,” ujarnya.“Kamu sedang melayat siapa?” tanya Damian, memelankan nada bicaranya agar Fiona tak salah paham.Gina kemudian menatap nanar pemakaman yang ada di belakangnya, tak berniat menjawab, hanya kembali melanjutkan langkah. Apakah ini memang saatnya Damian harus tahu?Damian tak berpikir dua kali untuk membuntuti Fiona di belakang, ikut menyusuri satu demi satu makam tertata baik itu. Kemudian Fiona berhenti pada sebuah makam yang nampak baru, dengan buket mawar putih yang telah mengering.Fiona lantas mengganti bunga itu dengan mawar baru yang dia pegang. Ada satu hal yang aneh yang membuat Damian mengernyitkan kening ketika memandang makam itu.“Ini siapa, Fi?” bisik Damian.