Rekaman CCTV yang diberikan asisten kepercayaan Wijaya itu membuat Gina bergidik ngeri.
Bagaimana bisa anaknya yang berusia 6 tahun itu diseret paksa oleh Andrea tanpa belas kasihan? Padahal, anaknya itu hanya ingin menemui Gina!
Yang paling mengerikan adalah tindakan Annie–sosok pengacara yang sedang naik daun itu. Dia melotot dan mengancam Sean untuk segera masuk. Berulang kali, wanita itu membentak “anak dari klien pentingnya”.
Namun, Annie tak berhasil membuat Sean berubah pikiran.
Di satu titik, perempuan itu terlihat begitu marah, hingga melepas tangan Sean mendadak. Anak lelaki itu spontan jatuh ke depan karena tak bisa menjaga keseimbangan.
Sean berguling maju jatuh dari atas ketinggian tangga di depan rumah besar kediaman Wijaya. Anaknya berguling tak berdaya dan terluka parah!
Dan Wijaya ….
Meski pria itu marah pada Annie, tetapi itu hanya sebentar saja.
Begitu Annie mengingatkannya tentang poin di surat warisan mengenai kematian Sean, pria itu terdiam. Wijaya langsung panik membayangkan hartanya harus jatuh ke Gina bila Sean meninggal sebelum usia 17 tahun.
Pria mengerikan itu tidak berbuat apa-apa untuk pembunuh anaknya!“Huek!”
Gina mual setiap mengingat betapa kejamnya orang-orang yang terlibat dengan kematian Sean.
Dua hari ini, dia bahkan tidak bisa tidur, hingga lingkar matanya menghitam tak terkendali.
Setiap dia memejamkan mata, Gina seakan mendapati senyum Sean yang mengarah jelas padanya.
Meskipun menangis, air mata Gina telah habis dan hanya menyisakan kepedihan di hatinya.
Dia tidak bisa hidup tanpa Sean.
Tapi, mati begitu saja dan membiarkan orang-orang yang membunuh Sean bebas hidup bahagia, membuat Gina terusik.
Setidaknya jika dia ingin mati, dia harus pastikan jika seluruh orang-orang biadab itu menderita!
“Nyonya … “ Emma–asisten Wijaya–tiba-tiba datang menghampiri Gina.
Di luar dugaan, dialah yang membantu Gina untuk bersembunyi.
Emma juga telah menceritakan perihal rencana Annie untuk membunuh Gina, sehingga Gina tak punya tempat aman di rumah keluarganya.
Oleh sebab itu, Gina harus bersembunyi dan Emma bersedia membantu Gina.
“Kenapa, Em? Kenapa kamu membantuku?” tanya Gina, memeluk tubuhnya di bawah ranjang dengan penampilan menyedihkan.
Emma meletakkan sekotak makanan di meja, kemudian duduk bersimpuh di samping Gina.
“Saya hanya setia pada Nyonya,” jawab Emma, prihatin menatap Gina.
“Tapi, Wijaya amat mempercayaimu.”
Emma menggeleng. “Saya tidak punya pilihan karena dia yang menggaji saya. Tapi, saya bersedia menjadi agen ganda untuk Nyonya Gina.”
“Nyonya … “ Emma menyentuh pelan punggung tangan Gina. “Nyonya harus bangkit. Jangan biarkan orang-orang itu tertawa di atas penderitaan Nyonya.”
“Apa yang harus kulakukan, Em? Hidupku sudah berakhir tanpa Sean,” ucap Gina, nanar.
Dia tidak bohong. Bagi Gina, anaknya adalah segalanya. Ketiadaannya sama dengan vonis mati untuk Gina.
“Sebentar lagi, saya harus pergi karena dalam dua jam pernikahan Tuan dan Andrea akan dilangsungkan,” pamit Emma, “Saya akan mengirim video pernikahan mereka pada Nyonya.”
“Untuk apa?” tanya Gina bingung.
“Supaya Nyonya mau mempertimbangkan saran saya.”
Emma benar-benar pergi kali ini setelah menunduk hormat dan pamit.
Dia meninggalkan Gina yang kembali tenggelam dalam kesengsaraannya, hingga tak lama, ponsel Gina bergetar.
Emma mengirimkan video pernikahan Wijaya dan Andrea.
Dalam video itu, Gina bisa melihat Andrea yang berjalan menuju altar mengenakan gaun pengantin miliknya.
Kemudian, Wijaya yang tampak bahagia menyambut sang istri baru, lalu berciuman penuh hasrat.
Tangan Gina gemetar hebat melihat prosesi pernikahan itu. Ulu hatinya nyeri, nafasnya tercekat, setelah tubuhnya mulai dikuasai kemarahan yang makin mendidih di ujung ubun-ubun. Ini tidak bisa dibiarkan. Gina tidak bisa membiarkan mereka semua tenang dan bahagia, sementara anaknya meninggal begitu saja.
“Halo, Em … “ Gina menghubungi Emma, “Bantu aku membalaskan dendam pada mereka semua.”
*****
Tok, tok, tok!
Pintu kamar hotel tempat Gina bersembunyi tiba-tiba diketuk.
Gina terkejut setengah mati, tetapi dia berusaha untuk tetap waspada.
Dia meraih benda keras apapun yang bisa digunakan sebagai pertahanan diri–jaga-jaga jika Wijaya menemukan keberadaannya.
Gina tidak boleh terluka sebelum perang dimulai.
Tok, tok, tok!
Pintu sekali lagi diketuk karena Gina tidak menyahut atau segera membukakan pintu.
Gina hanya menempelkan daun telinganya di pintu–berharap bisa mendengar setitik suara untuk memastikan keadaan.
“Nyonya, ini aku, Emma!” Suara Emma terdengar lirih di balik pintu.
Ketegangan Gina seketika luntur.
Tanpa menunggu lama, dia segera membuka pintu.
Namun, yang dia temui tidak hanya Emma yang berdiri di sana–melainkan ada kedua orang tuanya yang sedang memandang ke arah Gina dengan mata sembab.
Wajah Leo Duran dan Eli Duran tampak begitu sedih dan tua beberapa tahun dari yang Gina ingat.
Eli, sang ibu bahkan langsung memeluk erat tubuh Gina sambil menangis keras. “Cucuku, Sean … “ isaknya. “Kenapa harus cucuku yang malang?”
Melihat pelukan penuh tangis itu, Emma bergerak cepat. Dia juga mempersilahkan Leo, ayah Gina, untuk masuk ke dalam kamar hotel sebelum ada mata-mata Wijaya yang melihat.“Apa yang terjadi, Gina? Kenapa segalanya jadi seperti ini?” tuntut Leo.Mata pria yang terkenal tegas itu terlihat sembab. Tampak, bahwa dia pun begitu sedih atas nasib putri dan cucunya.Melihat itu, Gina sontak menggeleng putus asa. “Ini semua salahku karena tidak memperjuangkan Sean.”“Kenapa Wijaya tiba-tiba menikah dengan artis itu? Bukankah kalian belum bercerai?” Kini, giliran Eli yang bertanya.“Dia sudah menceraikanku.” jawab Gina lesu.“Kurang ajar!” umpat Leo, “Berani-beraninya dia mencampakkan anak dan cucuku.”Leo mulai mengambil ponselnya, hendak menghubungi seseorang. Namun, Gina buru-buru merebut ponsel itu.“Papa, kumohon … ” Gina menggeleng. Meskipun sudah tidur seharian, nada suara Gina tetap menunjukkan depresi. “Biar Gina yang menyelesaikan semuanya,” lanjut Gina.“Apa yang akan kamu lakukan,
Deg!Meski terkejut, Fiona dengan cepat menormalkan diri. Sudah sepantasnya mereka menanyakan hal ini.Tersenyum tipis sambil menundukkan pandangannya, Fiona kemudian berbicara, “Nyonya Ajeng … saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah beliau yang sempat terkena stroke.”Damian terlihat mengangguk dan mengelus bagian belakang kepalanya–tampak kikuk. Sebenarnya, pria itu terpesona dengan kecantikan Gina yang sedang menyamar jadi Fiona ini. Namun, “Fiona” masih belum menyadari itu.Dia justru merasa Damian begitu lucu.‘Bagaimana orang sekejam Annie memiliki suami seperti ini?’ Fiona membatin sebelum sadar bahwa sudah terlalu lama keduanya terdiam di ruangan itu.“Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona pada akhirnya karena sejak tadi Damian tak bersuara. “Oh, iya,” Damian menegakkan duduknya. “Kamu wajib memasak untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Tapi kalau Annie pulang telat, kamu harus menyiapkan makanan yang siap dihangatkan untuknya. Dan segala keperl
“Oh iya, kamu Fiona Gage? Bagaimana Ajeng bisa kenal denganmu?” tanya Damian.Fiona tersenyum tipis, menundukkan pandangannya. “Saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah Nyonya Ajeng yang sempat terkena stroke,”Damian manggut-manggut. Dia mengelus bagian belakang kepalanya, tampak kikuk dengan pesona Fiona yang luar biasa cantik. “Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona, karena sejak tadi Damian tak bersuara. Mungkin dia ingin mencairkan suasana yang canggung antara mereka berdua.“Oh, iya,” Damian menegakkan posisi. "Mari kita masuk dulu ke dalam rumah,"Dengan isyarat tangan, Damian mempersilakan Fiona untuk masuk ke dalam rumah. Pandangan Fiona mengitari setiap sudut rumah Annie, yang meskipun membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus rumah, nyatanya rumah itu sangatlah rapi."Kamu pasti tahu, istriku sangatlah sibuk," ujar Damian. "Dan aku hanyalah suami yang menganggur di sini," Damian justru merendahkan dirinya sendiri di depan Fiona.Lewat ekor matanya
"Aku seperti pernah bertemu denganmu, ya?" tanya Annie curiga.Fiona berusaha untuk tetap tegar. Dia berdiri kokoh, tak ingin merasa terintimidasi oleh wanita berhati iblis ini."Mungkin Bu Annie pernah melihat saya di rumah Bu Ajeng?" tebak Fiona, bersikap datar.Annie masih memicingkan mata menatapnya. Tapi dia detik kemudian, ketegangan itu mencair. Annie mengangguk, dan tampak setuju.'Hampir saja,' batik Gina, dengan setitik eluh dingin yang turun dari keningnya.***“Fiona?” tegur Annie, ketika Fiona sudah mulai menyiapkan sarapan di jam 5 pagi. Fiona yang tak paham dengan kebiasaan Annie, tentu setengah terjerembab kaget saat mendengar seseorang tiba-tiba memanggilnya. Setahu Fiona, baru dia saja yang bangun sepagi ini. Namun ketika dia memutar tubuh ke belakang, dan mendapati Annie yang bersandar di meja island sambil meminum segelas air putih, Fiona menghela nafas lega.“Kamu kenapa sudah bangun sepagi ini?”“Saya menyiapkan sarapan, Bu.”Lirikannya dingin ke arah Fiona. “Ak
"Selamat siang, Pak Damian," sapa Fiona, setelah dia pulang dari makam Sean siang ini."Kamu dari mana saja?" tanya Damian penasaran.Fiona menunduk. "Saya sedang menyelesaikan beberapa urusan, Pak. Sebentar lagi makan siang akan saya siapkan.""Tidak perlu," sambar Damian. "Aku sudah memesan makan siang hari ini."Fiona melebarkan mata, cukup terkejut. "Temani aku makan siang," pinta Damian tiba-tiba.Meski cukup terkejut, namun Fiona tak bergeming. Dalam hati dia hanya tidak menyangka jika Damian bisa sefrontal itu padanya.Ajakan Damian untuk makan siang bersama, untuk pertama kali, setelah Fiona bekerja dan tinggal di rumah Damian selama dua minggu, merupakan aksi paling nekat yang sedetik setelahnya disesali Damian. Apalagi ketika respon Fiona tampak dingin, membuat Damian ingin menarik kata-katanya kembali.“Maaf, Pak Damian … “ Fiona memotong ucapannya. “Terima kasih atas ajakannya,” Dia berjalan perlahan, duduk di kursi di depan Damian tanpa banyak bersuara.Kini ganti Damian
Mata Annie sudah diliputi kilauan kemarahan. “Kamu, mulai sekarang nggak usah dekat-dekat sama Sita lagi!” ancam Annie. “Kamu juga, kalau sampai ngomong yang aneh-aneh ke teman-temanmu soal keluarga kita, Mama bakal hukum kamu!”“Ngomong aneh apa sih, Ma? Tasya kan cuman bilang kalau di rumah ada pembantu baru, makanya sekarang Tasya jarang telat dianter Papa. Apa salahnya, sih, Ma?” protes Tasya.Batin Annie bergejolak mendengar pembelaan dari anak tunggalnya itu. Namun egonya yang sangat tinggi enggan untuk merendah. Dia harus selalu tampak menang di depan semua orang, apalagi anaknya.“Pokoknya, sekali lagi kamu ngomong yang aneh-aneh, Mama bakal cut uang jajanmu!” ancam Annie sekali lagi, lalu menyuruh Tasya balik ke kamarnya.Sekarang giliran Fiona. Wanita muda itu diam di pojokan dapur, tak berani bergerak setelah kesalahan fatalnya yang tiba-tiba keluar untuk membuang sampah. Dia tahu Annie akan muntab padanya, maka sebelum hal itu terjadi, Fiona sudah bersiap-siap membangun ta
"Good job!" Gina aka Fiona tersenyum licik ketika dia mengingat kejadian kemarin sore. Saat ibu salah seorang teman Tasya memergokinya berada di rumah Annie, sebenarnya Fiona memang sengaja keluar rumah demi membuat Annie terpancing emosi.Namun, yang tidak dia duga adalah pertikaian antara Damian dan Annie ternyata cukup kencang, hingga dirinya dapat mendengarnya dari balik pintu. Gina tidak menyangka jika Damian akan terang-terangan membelanya di depan sang istri yang sedang murka. Hal yang tak pernah Gina dapatkan dari sosok Wijaya. Bahkan, Damian rela dihina-dina oleh Annie, tanpa berniat untuk membalas.Semakin Gina coba pahami, semakin Gina tak bisa mengerti jalan pikiran Damian. Mengapa ada pria seperti itu? Drrrt!Ponsel Gina bergetar ketika dia sedang memikirkan sikap Damian sambil merebahkan diri di kamar kecilnya. Nama Emma terlihat muncul dari sana."Nyonya," sapa Emma dari seberang.Gina mengecilkan volume suaranya. "Apa ada berita baru, Em?""Tuan Wijaya, memerintahkan
"Arrgh!"Keesokan harinya, di Minggu pagi, Damian berseru kaget saat mendapati dirinya yang tidur telentang tanpa busana sehelai pun. Dia membelalak lebar, bola mata bergerak kesana kemari, berusaha sangat keras mengingat apa yang sebenarnya terjadi.Namun yang ada, justru kepalanya makin pening, efek dari alkohol yang belum seratus persen hilang. Maka, Damian buru-buru mengenakan pakaian, kemudian berjalan gontai menuju dapur karena perutnya sudah meronta minta diisi.Dia kembali linglung, celingukan ke setiap arah, karena suasana rumah yang sangat sepi. Bahkan, Tasya dan Fiona yang sering terlihat bercanda di dapur pun tidak ada. Hanya semangkok sup dingin dan beberapa lauk. Damian pun segera membawa mangkok sup itu ke dalam microwave untuk dipanaskan.“Tasya?” teriak Damian, memanggil Tasya.Namun, bukan Tasya yang menyahut, tapi justru Fionalah yang keluar perlahan dari kamar Tasya. Wanita muda itu menunduk saat melihat Damian, namun ekspresinya tidak seperti biasa. Wajah Fiona