“Maaf, putra Anda meninggal.”
Sekuat tenaga Gina berusaha membekap mulutnya sendiri, demi meredam suara tangisannya yang kian keras.
Di balik dinding, Gina bisa mendengar vonis sang dokter terhadap Sean.
Dunia Gina seketika runtuh setelah mendengarnya, bahkan untuk sekedar berdiri pun dia tak sanggup.
Gina berdoa dalam hati, semoga dia bisa segera bangun dari mimpi ini.
Sementara Wijaya, tetap berdiri kokoh di tempatnya.
Meski kini dia bak patung yang kaku, tetapi bola matanya tampak bergetar dan otaknya berusaha mencerna segala ucapan yang baru saja diucapkan dokter.
“Tuan … “ Annie berusaha memastikan Wijaya tetap baik-baik saja meski berita meninggalnya Sean tentu mengguncang klien pentingnya itu.
“Brengsek!!!” Wijaya tiba-tiba menerjang tubuh Annie, mendorong ke dinding di belakang.
Melihat itu, Andrea dan asisten Wijaya tampak berusaha memisahkan keduanya.
Beruntung, Wijaya mempekerjakan asisten tangguh. Jadi, wanita itu bisa diandalkan di saat genting seperti ini.
Sementara itu, Annie yang sudah terlepas–tampak terbatuk keras, memegangi lehernya yang lebam.
Wijaya pun segera menepis pegangan asisten di lengannya. Dengan jari telunjuk yang diacungkan sejajar ke wajah Annie, dia mengutuk dengan murka.
“Kau … akan kupastikan kau berakhir di penjara!” seru Wijaya–tak peduli meski seluruh lorong ruang darurat itu mendengar amukannya.
“Aku hanya menyuruhmu mengusir Gina, bukan membunuh Sean!!” bentak Wijaya. Darahnya makin mendidih, naik ke atas otaknya.
Annie menggeleng. Dia ketakutan luar biasa.
“Maafkan aku, Tuan. Aku benar-benar … “ Tangisnya banjir, bercampur antara syok mendengar kematian Sean dan takut akan ancaman Wijaya.
Dia tidak menyangka bahwa dirinya membuat kekacauan untuk klien sepenting Wijaya. Seandainya Annie bisa lebih bersabar dan tidak terpancing emosi, setidaknya … Sean mungkin masih hidup. Reputasinya sebagai pengacara selama 9 tahun tidak perlu dipertaruhkan seperti ini.
“Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Hidupmu hancur mulai hari ini.” Wijaya masih mengacungkan telunjuknya.
Asisten Wijaya buru-buru mendorong Annie menjauh–menyuruh wanita itu pergi dari hadapan Wijaya sebelum segalanya berubah runyam.
Bukan Wijaya yang dia khawatirkan, tapi keberadaan Andrea sebagai seorang artis, tentu akan mengundang perhatian banyak orang.
Annie pun tidak melawan dan terlihat menjauh pergi.
Tapi, sebelum pergi, Gina dapat menangkap senyum kelegaan dari wajah pengacara itu.
Ada sedikit rasa curiga di benak Gina, tapi itu tak penting. Yang terpenting sekarang adalah mencari cara agar Gina bisa melihat anaknya untuk terakhir kali.
******
Upacara pemakaman Sean berlangsung penuh haru dan tangisan dari seluruh pengunjung upacara pemakaman sore ini.
Langit pun menunjukkan kesedihannya dengan rintik air hujan yang membasahi tanah pemakaman Sean.
Wijaya tidak berbicara sama sekali. Dia tampak memilih diam meski seluruh kerabat memandang heran ke arahnya.
“Bagaimana anak sekecil Sean bisa mati mengenaskan?”
“Ke mana ibunya?”
Begitulah segala bisik-bisik para pengunjung, meski tidak ada satu pun yang berani memastikan secara langsung.
“Tuan Wijaya, mari pergi … “
Andrea lantas menuntun langkah Wijaya–mengajak pria itu meninggalkan makam Sean karena seluruh pengunjung telah pergi.
Wijaya tampak menurut, seakan telah kehilangan daya di tubuhnya.
Wijaya tidak menolak saat Andrea memegang tangannya, mengajaknya pergi dari sana.
Dia bahkan tidak menoleh ke belakang. Wijaya sama sekali tak menitikkan air mata. Namun, pandangan pria itu terlihat kosong.
Tanpa mereka sadari, Gina berada di sekitar area pemakaman sedari tadi.
Perlahan, ia mendekati makam Sean dengan payung hitam di tangannya.
Gina menutupi mata sembab dengan kacamata hitam, seakan takut Sean akan bersedih melihat tangisannya.
“Maafkan Mama, Sean,” isak Gina, mengelus batu nisan Sean, dengan hati berdenyut sakit.
“Mama seharusnya membawamu sebelum pergi. Mama memang bodoh.”
Nada bicara Gina gemetar. Hatinya makin teriris sakit saat dia mengingat pagi ini yang pergi begitu saja tanpa usaha untuk membawa Sean bersamanya.
“Harusnya Mama yang dikubur di sini, bukan kamu, Sean….” Gina terus bicara sendiri, “apakah dingin di bawah sana, Nak?”
Wanita itu bersimpuh, memeluk batu nisan sang anak tak memedulikan gaun hitamnya yang telah bercampur tanah dan basah terkena air hujan.
“Sean … Maafkan Mama!” Gina menangis semakin keras, seiring dengan eratnya pelukan pada batu nisan Sean.
Di tengah-tengah kesedihan Gina, tampak sebuah sepatu hitam berjalan pelan mendekati makam Sean.
Gina buru-buru mendongak ke atas, takut jika yang datang adalah Wijaya. Namun, dia terkejut melihat sosok yang melemparnya kemarin.
“Kau?”
Asisten Wijaya itu berdiri dengan wajah sendu dan ikut berjongkok di depan Gina. Tak lama, dia mengulurkan selembar foto pada bekas nyonyanya itu.
“Siapa ini? Bukankah dia pengacara Wijaya?” Gina lantas mengamati wajah wanita yang ada di foto itu.
Asisten Wijaya itu lantas mengangguk. “Benar. Dia Annie Chase, wanita yang membunuh Sean.”
Tangan Gina sontak mengepal keras. Siapa pun dapat merasakan kemarahan perempuan itu. Namun, ucapan asisten dari Wijaya ini kembali mengejutkan Gina.
“Nyonya Gina, saya akan membantu Anda untuk balas dendam.”
Rekaman CCTV yang diberikan asisten kepercayaan Wijaya itu membuat Gina bergidik ngeri.Bagaimana bisa anaknya yang berusia 6 tahun itu diseret paksa oleh Andrea tanpa belas kasihan? Padahal, anaknya itu hanya ingin menemui Gina!Yang paling mengerikan adalah tindakan Annie–sosok pengacara yang sedang naik daun itu. Dia melotot dan mengancam Sean untuk segera masuk. Berulang kali, wanita itu membentak “anak dari klien pentingnya”. Namun, Annie tak berhasil membuat Sean berubah pikiran.Di satu titik, perempuan itu terlihat begitu marah, hingga melepas tangan Sean mendadak. Anak lelaki itu spontan jatuh ke depan karena tak bisa menjaga keseimbangan. Sean berguling maju jatuh dari atas ketinggian tangga di depan rumah besar kediaman Wijaya. Anaknya berguling tak berdaya dan terluka parah!Dan Wijaya …. Meski pria itu marah pada Annie, tetapi itu hanya sebentar saja.Begitu Annie mengingatkannya tentang poin di surat warisan mengenai kematian Sean, pria itu terdiam. Wijaya langsung pa
Melihat pelukan penuh tangis itu, Emma bergerak cepat. Dia juga mempersilahkan Leo, ayah Gina, untuk masuk ke dalam kamar hotel sebelum ada mata-mata Wijaya yang melihat.“Apa yang terjadi, Gina? Kenapa segalanya jadi seperti ini?” tuntut Leo.Mata pria yang terkenal tegas itu terlihat sembab. Tampak, bahwa dia pun begitu sedih atas nasib putri dan cucunya.Melihat itu, Gina sontak menggeleng putus asa. “Ini semua salahku karena tidak memperjuangkan Sean.”“Kenapa Wijaya tiba-tiba menikah dengan artis itu? Bukankah kalian belum bercerai?” Kini, giliran Eli yang bertanya.“Dia sudah menceraikanku.” jawab Gina lesu.“Kurang ajar!” umpat Leo, “Berani-beraninya dia mencampakkan anak dan cucuku.”Leo mulai mengambil ponselnya, hendak menghubungi seseorang. Namun, Gina buru-buru merebut ponsel itu.“Papa, kumohon … ” Gina menggeleng. Meskipun sudah tidur seharian, nada suara Gina tetap menunjukkan depresi. “Biar Gina yang menyelesaikan semuanya,” lanjut Gina.“Apa yang akan kamu lakukan,
Deg!Meski terkejut, Fiona dengan cepat menormalkan diri. Sudah sepantasnya mereka menanyakan hal ini.Tersenyum tipis sambil menundukkan pandangannya, Fiona kemudian berbicara, “Nyonya Ajeng … saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah beliau yang sempat terkena stroke.”Damian terlihat mengangguk dan mengelus bagian belakang kepalanya–tampak kikuk. Sebenarnya, pria itu terpesona dengan kecantikan Gina yang sedang menyamar jadi Fiona ini. Namun, “Fiona” masih belum menyadari itu.Dia justru merasa Damian begitu lucu.‘Bagaimana orang sekejam Annie memiliki suami seperti ini?’ Fiona membatin sebelum sadar bahwa sudah terlalu lama keduanya terdiam di ruangan itu.“Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona pada akhirnya karena sejak tadi Damian tak bersuara. “Oh, iya,” Damian menegakkan duduknya. “Kamu wajib memasak untuk sarapan, makan siang dan makan malam. Tapi kalau Annie pulang telat, kamu harus menyiapkan makanan yang siap dihangatkan untuknya. Dan segala keperl
“Oh iya, kamu Fiona Gage? Bagaimana Ajeng bisa kenal denganmu?” tanya Damian.Fiona tersenyum tipis, menundukkan pandangannya. “Saya pernah bekerja dua tahun untuk merawat ayah Nyonya Ajeng yang sempat terkena stroke,”Damian manggut-manggut. Dia mengelus bagian belakang kepalanya, tampak kikuk dengan pesona Fiona yang luar biasa cantik. “Saya harus mulai dari mana, Tuan Damian?” ujar Fiona, karena sejak tadi Damian tak bersuara. Mungkin dia ingin mencairkan suasana yang canggung antara mereka berdua.“Oh, iya,” Damian menegakkan posisi. "Mari kita masuk dulu ke dalam rumah,"Dengan isyarat tangan, Damian mempersilakan Fiona untuk masuk ke dalam rumah. Pandangan Fiona mengitari setiap sudut rumah Annie, yang meskipun membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus rumah, nyatanya rumah itu sangatlah rapi."Kamu pasti tahu, istriku sangatlah sibuk," ujar Damian. "Dan aku hanyalah suami yang menganggur di sini," Damian justru merendahkan dirinya sendiri di depan Fiona.Lewat ekor matanya
"Aku seperti pernah bertemu denganmu, ya?" tanya Annie curiga.Fiona berusaha untuk tetap tegar. Dia berdiri kokoh, tak ingin merasa terintimidasi oleh wanita berhati iblis ini."Mungkin Bu Annie pernah melihat saya di rumah Bu Ajeng?" tebak Fiona, bersikap datar.Annie masih memicingkan mata menatapnya. Tapi dia detik kemudian, ketegangan itu mencair. Annie mengangguk, dan tampak setuju.'Hampir saja,' batik Gina, dengan setitik eluh dingin yang turun dari keningnya.***“Fiona?” tegur Annie, ketika Fiona sudah mulai menyiapkan sarapan di jam 5 pagi. Fiona yang tak paham dengan kebiasaan Annie, tentu setengah terjerembab kaget saat mendengar seseorang tiba-tiba memanggilnya. Setahu Fiona, baru dia saja yang bangun sepagi ini. Namun ketika dia memutar tubuh ke belakang, dan mendapati Annie yang bersandar di meja island sambil meminum segelas air putih, Fiona menghela nafas lega.“Kamu kenapa sudah bangun sepagi ini?”“Saya menyiapkan sarapan, Bu.”Lirikannya dingin ke arah Fiona. “Ak
"Selamat siang, Pak Damian," sapa Fiona, setelah dia pulang dari makam Sean siang ini."Kamu dari mana saja?" tanya Damian penasaran.Fiona menunduk. "Saya sedang menyelesaikan beberapa urusan, Pak. Sebentar lagi makan siang akan saya siapkan.""Tidak perlu," sambar Damian. "Aku sudah memesan makan siang hari ini."Fiona melebarkan mata, cukup terkejut. "Temani aku makan siang," pinta Damian tiba-tiba.Meski cukup terkejut, namun Fiona tak bergeming. Dalam hati dia hanya tidak menyangka jika Damian bisa sefrontal itu padanya.Ajakan Damian untuk makan siang bersama, untuk pertama kali, setelah Fiona bekerja dan tinggal di rumah Damian selama dua minggu, merupakan aksi paling nekat yang sedetik setelahnya disesali Damian. Apalagi ketika respon Fiona tampak dingin, membuat Damian ingin menarik kata-katanya kembali.“Maaf, Pak Damian … “ Fiona memotong ucapannya. “Terima kasih atas ajakannya,” Dia berjalan perlahan, duduk di kursi di depan Damian tanpa banyak bersuara.Kini ganti Damian
Mata Annie sudah diliputi kilauan kemarahan. “Kamu, mulai sekarang nggak usah dekat-dekat sama Sita lagi!” ancam Annie. “Kamu juga, kalau sampai ngomong yang aneh-aneh ke teman-temanmu soal keluarga kita, Mama bakal hukum kamu!”“Ngomong aneh apa sih, Ma? Tasya kan cuman bilang kalau di rumah ada pembantu baru, makanya sekarang Tasya jarang telat dianter Papa. Apa salahnya, sih, Ma?” protes Tasya.Batin Annie bergejolak mendengar pembelaan dari anak tunggalnya itu. Namun egonya yang sangat tinggi enggan untuk merendah. Dia harus selalu tampak menang di depan semua orang, apalagi anaknya.“Pokoknya, sekali lagi kamu ngomong yang aneh-aneh, Mama bakal cut uang jajanmu!” ancam Annie sekali lagi, lalu menyuruh Tasya balik ke kamarnya.Sekarang giliran Fiona. Wanita muda itu diam di pojokan dapur, tak berani bergerak setelah kesalahan fatalnya yang tiba-tiba keluar untuk membuang sampah. Dia tahu Annie akan muntab padanya, maka sebelum hal itu terjadi, Fiona sudah bersiap-siap membangun ta
"Good job!" Gina aka Fiona tersenyum licik ketika dia mengingat kejadian kemarin sore. Saat ibu salah seorang teman Tasya memergokinya berada di rumah Annie, sebenarnya Fiona memang sengaja keluar rumah demi membuat Annie terpancing emosi.Namun, yang tidak dia duga adalah pertikaian antara Damian dan Annie ternyata cukup kencang, hingga dirinya dapat mendengarnya dari balik pintu. Gina tidak menyangka jika Damian akan terang-terangan membelanya di depan sang istri yang sedang murka. Hal yang tak pernah Gina dapatkan dari sosok Wijaya. Bahkan, Damian rela dihina-dina oleh Annie, tanpa berniat untuk membalas.Semakin Gina coba pahami, semakin Gina tak bisa mengerti jalan pikiran Damian. Mengapa ada pria seperti itu? Drrrt!Ponsel Gina bergetar ketika dia sedang memikirkan sikap Damian sambil merebahkan diri di kamar kecilnya. Nama Emma terlihat muncul dari sana."Nyonya," sapa Emma dari seberang.Gina mengecilkan volume suaranya. "Apa ada berita baru, Em?""Tuan Wijaya, memerintahkan