**Binar masih separuh tertidur saat ponselnya berdering.Ia bangun dan duduk, lantas meraba-raba nakas di samping tempat tidurnya. Tanpa melihat siapa yang menelepon, perempuan itu menggulir layar untuk menerima panggilan teleponnya. Ia pikir mungkin itu adalah Gio.“Halo?” sapanya dengan suara mengantuk. Binar bahkan tidak sempat melihat saat itu jam berapa. Ia hanya ingat melirik Noah yang tengah lelap di atas ranjang. Memastikan sang putra baik-baik saja, kemudian baru bisa fokus kepada ponselnya lagi.“Halo?” Binar mengulangi.Tidak ada suara jawaban dari seberang. Binar memutuskan itu adalah semacam telepon iseng dan berniat mematikan panggilan saja, namun suara dalam yang pelan membuatnya mengurungkan niat.“Binar?”Binar mengernyit. Ingat, ia masih setengah mengantuk jadi tidak bisa seratus persen fokus. Kendati demikian, alam bawah sadarnya mengenal suara itu dengan sangat familiar.“Ya, halo?”“Binar, kamu belum tidur?”Kerutan halus menghiasi kening Binar. Sekali lagi ia me
**Ini sungguh menyebalkan, namun William tidak bisa menolong dirinya sendiri.Seluruh benaknya dipenuhi bayangan tentang Binar setelah pria itu nekat menelepon sang mantan istri kedua semalam. Hingga hari berganti pagi, ia sama sekali tidak bisa memejamkan mata sedikitpun. Terbayang-bayang paras lembut yang sempat membuat hatinya bergetar saat-saat lampau dulu.Akhirnya sekitar pukul sembilan pagi, sang presdir membawa wajah kuyunya keluar kamar. Menyeret langkah malas menuju meja makan untuk bersiap berangkat ke kantor.Tak ia temukan sang istri di sana. Membuat kernyitan dalam tercetak pada kening pria rupawan meski usianya sudah hampir kepala empat itu.“Ke mana Rachel? Apa dia belum bangun?” tanyanya kepada perempuan pegawai rumah yang sedang menyiapkan meja makan.Perempuan itu tampak sedikit gugup menerima pertanyaan demikian dari sang tuan. Ia mundur beberapa langkah dan menunduk dalam-dalam sementara menjawab.“Nyonya … Nyonya sudah berangkat sekitar satu jam yang lalu, Tuan.
**Dua orang itu terperanjat. Terutama si pria di samping Rachel yang segera menjauhkan tubuh dengan canggung. Ia berdehem pelan untuk menutupi salah tingkah, sementara itu Rachel sendiri terlihat gelagapan walau setelahnya bertingkah seolah tidak ada yang terjadi.“William? Kamu ngapain di sini?”Sang tuan melangkah mendekat dengan pandangan keruh. “Bukankah seharusnya aku yang bertanya begitu? Sedang apa kamu berada di sini pada hari sepagi ini?”“Aku kerja, Willy!”“Pekerjaan macam apa? Aku nggak melihat apapun yang tampak seperti pekerjaan. Kecuali kalau berpegangan tangan dengan laki-laki asing menurutmu termasuk pekerjaan?”Pria rupawan itu menjatuhkan pandangan tajam kepada pria di samping Rachel yang ternyata membalas tatapannya dengan berani.“Willy–”“Dan haruskah di tempat seperti ini? Apakah kamu bisa memberikan penjelasan yang masuk akal kepadaku?”Rachel sungguh gagal menyembunyikan rasa gugupnya. Ia mengalihkan pandangan dari sang suami yang masih berdiri di tempat deng
**“Sial, hampir saja ketahuan. Gimana bisa sih, William tahu kita ada di mana? Jangan-jangan dia pakai pelacak lagi.”Rachel mendesis kepada pria di sampingnya yang sedari tadi tak henti-henti memaki. Pandangan tajamnya membuat pria tampan itu terpaksa menutup mulut.“Kamu nggak hati-hati, Rachel. Coba periksa ponselmu, apakah ada aplikasi pelacak di sana.”“Apa kamu lupa William itu siapa, Abian?” tukas Rachel tak kalah kesal. “Pelacak dia hidup dan tersebar di manapun dia inginkan. Bahkan mungkin saat ini mata-matanya sedang menguntit kita berdua.”Pria bernama Abian itu sekali lagi mengumpat, sebelum ia beranjak mendekati jendela besar di seberang ruangan. Abian mencoba menengok keluar jendela itu untuk memeriksa apakah ada seseorang yang mencurigakan di luar sana. Agak konyol, sebab kedua insan itu saat ini sedang berada di ketinggian lantai sembilan sebuah hotel megah.“Rachel, memangnya sampai kapan kita akan seperti ini?” Abian bertanya sembari membalikkan badan dari tepi jend
**Rachel tidak mau turun dan berniat menginjak pedal gas untuk melanjutkan perjalanan saja. Namun setitik hati nurani yang ternyata masih tersisa di sudut hatinya itu memaksanya untuk tetap tinggal. Lagipula ketika ia mengintip melalui kaca spion, sepertinya seseorang yang ia serempet tadi tidak bangkit, berdiri atau menghampirinya.“Apakah separah itu sampai dia nggak bisa bangun? Tapi mobilku hanya menyenggolnya saja, kok! Astaga, sialan sekali sih!”Meski mengomel dan agak panik, wanita itu akhirnya turun dari sedan hitamnya. Ia melangkah pelan-pelan ke arah belakang mobil untuk memeriksa apa yang terjadi.Sampai akhirnya lagi-lagi kenyataan tak menyenangkan menyerangnya seperti anak panah beracun.“Mbak Rachel?” Perempuan yang Rachel serempet itu berdiri setelah mengibaskan debu yang mengotori bajunya. Benar, ia sempat jatuh tersungkur di tepi jalanan sepi.“B-Binar?” sebut Rachel dengan suara bergetar. Seribu kutukan ia lontarkan dalam hati. Mengapa dari sekian juta manusia yang
**“Aku ketemu sama Mbak Rachel … dia … dia–” Binar menggigit bibirnya yang bergetar untuk menahan tangis yang sepertinya akan kembali meledak“It’s okay, it’s okay. Jangan khawatir, itu hanya Rachel. Dia nggak akan bisa melakukan apapun sama kamu. Kamu sudah di rumah, jadi kamu aman sekarang. Jangan takut, oke?”“Gi-gimana ka-kalau dia datang … dan … dan bawa Noah?”“No, no. Never gonna happen, Binar. Ada aku di sini. Nggak akan ada seorang pun yang bisa memisahkan kamu sama Noah, percaya sama aku.”Bahu kecil yang gemetaran itu perlahan mulai tenang. Gio mengusap-usapnya dengan lembut dan penuh perhatian. Senyumnya merekah menenangkan.Rasa sesak dalam dada Binar perlahan seperti melonggar. Ia menghela napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa tremor yang menjalari seluruh tubuh.“Terima kasih, Mas Gi,” tutur perempuan dua puluh tujuh tahun itu, lirih. “Maaf aku selalu merepotkan kamu dengan hal-hal seperti ini.”“Aku nggak pernah menganggapnya merepotkan, Binar. Karena–”“Aku aka
**“Perempuan brengsek itu–”Rachel memukul setir mobilnya keras-keras. Dadanya naik turun, menahan amarah. “Sialan! Gimana bisa dia bisa muncul lagi setelah dua tahun lamanya? Aku pikir dia sudah mati!”Kedua bola mata Rachel membeliak, rasa panik merambati seluruh tubuhnya saat ia teringat kata-kata yang telah ia lontarkan kepada Binar tadi. Tentang putra perempuan itu.“Ba-bagaimana kalau sampai William ketemu lagi sama perempuan itu dan anaknya? Bagaimana kalau sampai William tahu kalau ia berhasil memiliki anak kandung dari perempuan itu?”Rachel meremas-remas setir mobilnya dengan telapak tangan yang basah. Sibuk memutar otak dan mencari cara untuk menjauhkan kemungkinan yang ia pikirkan saat itu. Namun hingga beberapa saat lamanya ia diam di dalam mobilnya yang terparkir di tepi jalan, tak satu pun ide terlintas dalam benaknya.“Sial! Bagaimana ini? Satu masalah belum selesai, ada masalah baru lagi! Sial!”Rachel kemudian sudah hampir menginjak pedal gas mobilnya dan bermaksud
**William menuruti perkataan ibunya. Ia mengabaikan Rachel, kendati para bawahannya silih berganti melaporkan perbuatan wanita itu setiap hari sekarang. William tidak ingin mengurusi hal itu dulu. Biarlah Rachel lakukan apa yang ia mau. William akan berpura-pura bodoh saja dulu.“Sepertinya hubungan itu sudah terjalin lama, Tuan. Kenapa anda baru memerintahkan kepada kami untuk menyelidiki apa yang terjadi akhir-akhir ini? Mengapa tidak dari dulu-dulu saja?”William juga mengabaikan protes para bawahannya yang setia. Entah bagaimana selama ini sama sekali tidak pernah terpikir dalam benak sang presdir mengenai hal tersebut. Ia mempercayai Rachel sepenuh hati. Tidak sedikitpun William pernah mengira bahwa sang istri akan mengkhianatinya seperti itu.Lebih daripada itu, William lebih memilih satu hal lain yang jauh lebih penting sekarang ini.Saat ini.Pria itu sedang duduk di dalam kabin mobilnya, di parkiran rumah sakit yang masih sepi. Tentu saja masih sepi, sebab hari masih cukup p