**“Perempuan brengsek itu–”Rachel memukul setir mobilnya keras-keras. Dadanya naik turun, menahan amarah. “Sialan! Gimana bisa dia bisa muncul lagi setelah dua tahun lamanya? Aku pikir dia sudah mati!”Kedua bola mata Rachel membeliak, rasa panik merambati seluruh tubuhnya saat ia teringat kata-kata yang telah ia lontarkan kepada Binar tadi. Tentang putra perempuan itu.“Ba-bagaimana kalau sampai William ketemu lagi sama perempuan itu dan anaknya? Bagaimana kalau sampai William tahu kalau ia berhasil memiliki anak kandung dari perempuan itu?”Rachel meremas-remas setir mobilnya dengan telapak tangan yang basah. Sibuk memutar otak dan mencari cara untuk menjauhkan kemungkinan yang ia pikirkan saat itu. Namun hingga beberapa saat lamanya ia diam di dalam mobilnya yang terparkir di tepi jalan, tak satu pun ide terlintas dalam benaknya.“Sial! Bagaimana ini? Satu masalah belum selesai, ada masalah baru lagi! Sial!”Rachel kemudian sudah hampir menginjak pedal gas mobilnya dan bermaksud
**William menuruti perkataan ibunya. Ia mengabaikan Rachel, kendati para bawahannya silih berganti melaporkan perbuatan wanita itu setiap hari sekarang. William tidak ingin mengurusi hal itu dulu. Biarlah Rachel lakukan apa yang ia mau. William akan berpura-pura bodoh saja dulu.“Sepertinya hubungan itu sudah terjalin lama, Tuan. Kenapa anda baru memerintahkan kepada kami untuk menyelidiki apa yang terjadi akhir-akhir ini? Mengapa tidak dari dulu-dulu saja?”William juga mengabaikan protes para bawahannya yang setia. Entah bagaimana selama ini sama sekali tidak pernah terpikir dalam benak sang presdir mengenai hal tersebut. Ia mempercayai Rachel sepenuh hati. Tidak sedikitpun William pernah mengira bahwa sang istri akan mengkhianatinya seperti itu.Lebih daripada itu, William lebih memilih satu hal lain yang jauh lebih penting sekarang ini.Saat ini.Pria itu sedang duduk di dalam kabin mobilnya, di parkiran rumah sakit yang masih sepi. Tentu saja masih sepi, sebab hari masih cukup p
**Di mana Binar berada saat ini?William sungguh buntu. Sampai ia sama sekali lupa bahwa dirinya adalah bos besar yang memiliki puluhan bawahan setia. Sama sekali lupa bahwa ia hanya perlu memerintahkan satu atau dua anak buahnya untuk mencari sosok yang kini begitu ia dambakan itu.Sang presdir berakhir hanya termangu di atas kursi kerjanya di dalam kantor. Menatap hampa kepada city view yang menghampar di depan dinding kaca ruangannya. Barulah ia bergeming saat seorang bawahannya mengirim foto Rachel bersama pria yang waktu itu ia temui di restoran hotel.Dalam foto itu, Rachel dan si pria seperti sedang memasuki ruangan poli obgyn di rumah sakit. Tag pada pintu ruangannya terlihat jelas dalam foto.“Sial.” Hanya mengumpat pelan sekalipun kepalanya seperti dihantam dengan palu. “Aku tidak bisa membiarkanmu terus menginjak-injak harga diriku seperti sekarang ini, Rachel! Aku sudah cukup bersabar dengan kelakuan busukmu! Apa yang kau lakukan bersama pria itu di dokter kandungan?”Ia
**William tidak peduli kalaupun pria itu akan mati. Ia menanggalkan semua identitas CEO Diamond Group yang tenang dan terhormat saat ini. Akal sehatnya padam tersulut oleh bara api amarah yang membakar kesadarannya. Dengan brutal pria itu menghajar Abian hingga yang bersangkutan tidak lagi bisa berkutik. Tersungkur berdarah-darah di sudut ruangan.Sementara sosok yang membuat keributan itu terjadi, hanya bisa berteriak-teriak demi mencegah suaminya bertindak lebih jauh. “Willy! Please berhenti! Dia bisa mati, Wil! Please–”“Hanya karena kamu perempuan, aku nggak melakukan hal yang sama denganmu, Rachel! Jadi sebaiknya kamu diam!”“Willy, please Wil!”William baru berhenti setelah Abian tidak lagi bergerak, entah pingsan atau mati. Pria itu berpaling dengan membawa raut keruh, meninggalkan Rachel tanpa sepatah pun kata lagi. Sama sekali tidak peduli jika barangkali Abian akan melaporkannya ke kepolisian nanti, meskipun jika memang hal itu benar terjadi, tidak akan berpengaruh apa-apa
**William pulang ke mansionnya di pinggir kota, tempat di mana ia melangsungkan pernikahan dengan Binar, hampir tiga tahun yang lalu. Setelah membersihkan tubuhnya yang basah kuyup kehujanan, pria itu lantas duduk termangu di atas ranjang sembari memandangi payung hitam yang ia letakkan di balkon luar kamar. Tatapannya nyalang dan penuh sesal.“Aku tahu itu kamu, Binar,” bisiknya tanpa beranjak. “Siapa lagi memangnya yang bisa sepeduli itu kepadaku? Aku yakin, itu pasti kamu.”Rasa sesak benar-benar memenuhi hati sang tuan. Membayangkan beberapa saat yang lalu, ia berada begitu dekat dengan sosok yang sedang ia cari-cari, namun sayang sekali ia tidak bisa melihat keberadaannya.“Sepertinya besok aku harus kembali lagi ke tempat itu, aku yakin Binar tinggal di sekitar sana.” Pria rupawan itu mengangguk mantap. Sekali lagi ia layangkan pandang kepada payung hitamnya yang tergeletak di luar balkon. Tanpa ia sadari, sesungging senyum tersemat pada bibirnya.Malam ini William memutuskan
**William berdecak kesal. Ia baru saja memasuki kabin mobilnya dan hendak menuju taman sepi yang kemarin untuk kembali mencari jejak Binar. Siapa tahu saja ia akan menemukan petunjuk terkait keberadaan perempuan yang dicintainya itu di sana. William yakin sekali, Binar tinggal di sekitar sana. Namun kemudian chat yang baru saja masuk ke kotak pesan ponselnya membuat langkah pria itu urung. Ia tercenung di balik kemudi dengan alis bertaut dan pandangan mata mengeras.Itu adalah pesan dari bawahan kepercayaannya yang ia tugaskan mencari informasi tentang Rachel.“Dokter Alex,” desisnya, membaca kalimat virtual pada layar ponsel. “Rumah sakitnya nggak jauh dari sini. Oke, aku akan datang ke sana dan menemui dokter ini secara langsung. Kira-kira, apakah Rachel juga sudah menyuap dokter ini supaya tutup mulut atau tidak?”Setelah menimbang-nimbang, William memutuskan pergi ke rumah sakit lebih dahulu, daripada duduk melamun di taman yang sepi kemarin. Tak mengapa, setelah urusannya selesa
**“Premature Ovarian Failure.”Kata-kata asing itu terngiang-ngiang dalam benak William. Merebut telak semua fokusnya hingga ia terpaksa harus menghentikan mobilnya di tepi jalan daripada gagal mengemudi dan malah terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan.William menghela napas berat sementara memijit pelipisnya yang berkedut. Teringat kembali kata-kata Dokter Alex yang sempat bertemu muka dengannya beberapa saat yang lalu.“Nona Rachel mengalami Premature Ovarian Failure atau kegagalan fungsi rahim. Dengan kata lain, rahimnya sudah cacat sehingga hampir tidak mungkin beliau bisa mengandung.”Sang presdir tercekat mendengar itu. “Ap-apa yang menyebabkannya seperti itu, Dok? Apakah mungkin bawaan lahir atau bagaimana?”William sudah hampir jatuh kasihan. Ia membayangkan sudah memaksa Rachel berobat macam-macam selama ini tanpa tahu bagaimana kondisi aslinya. Namun apa yang Dokter Alex katakan selanjutnya, membuat dunia William hancur lebur seketika.“Sebenarnya, POF ini terjadi karena b
**“Oh ….”Sepasang netra itu membola setelah mengerjap beberapa kali. Kilatan rasa terkejut tampak jelas memancar dari sana. Si empunya mematung, mengabaikan barang-barang belanjaan yang berserakan akibat tak sengaja jatuh.“Bi-Binar–”Tak menunggu waktu berlalu lama, Binar segera mengayun langkah berbalik dan meninggalkan pria yang masih terpana di hadapannya.Namun agaknya semesta sedang tidak berpihak kepadanya hari ini. William dengan gesit mencekal pergelangan tangan perempuan itu hingga ia terpaksa menghentikan langkah.Binar mendesis, menyesali dirinya yang lambat.“Tuan, lepaskan saya.”“Nggak akan.”“Tolong–”“Aku sengaja datang kemari untuk mencarimu, Binar. Sebelumnya aku sudah putus asa karena aku pikir ini sudah terlalu malam, Tapi lihat kan, sepertinya Tuhan memang ingin kita bertemu lagi.”“Jangan bawa-bawa nama Tuhan, Tuan. Ini karena saya memang sedang sial saja.”Betapa kecewanya William mendengar hal tersebut. Namun rasa kecewa itu tidak berarti apapun dibanding de
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit
**“Ibu sudah menemukan keberadaan Binar? Benar kah, Bu? Di mana Binar sekarang? Apa dia baik-baik saja?”William yang kala itu masih berkutat dengan perasaan galau, mendadak saja melupakan semua kegalauannya hanya demi kabar yang baru saja ia dapatkan dari sang ibu hari ini. Pria itu memastikan panggilan ponselnya masih tersambung, ia beranjak dari sofa dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.“Bagaimana, Bu?”“Dia aman. Hidup dengan baik bersama temannya di Australia. Utusan Ibu berhasil menemukannya dengan melacak posisi sinyal ponsel.”“A-Australia? Astaga, sejauh itu?”Suara hela napas samar Juliana Aarav terdengar melalui speaker ponsel. William tidak sabar menunggu kelanjutan beritanya.“Dia nggak mau kembali kepadamu, Will. Ibu sudah suruh orang untuk menyampaikan tawaran itu, tapi orang-orang utusan Ibu bilang Binar nggak ingin kembali ke Indonesia.”“Sial ….” “Bukan sial, tapi kalau kamu ingin dia kembali kepadamu, maka kamu harus jalan sendiri sekarang. Ibu sudah cukup m
**Binar terkesiap. Sungguh ia kaget mendengar nama itu.Juliana Aarav? Tidak, ia tidak akan melupakannya meskipun hanya satu kali dalam hidupnya ia bertemu dengan pemilik nama itu.Sang Nyonya Besar, ibunda dari William Aarav. Perempuan anggun di atas kursi roda yang datang saat hari pernikahan William dengan Binar dulu.“Nyo-Nyonya Juliana?” Binar masih tercekat. Ia memandang kepada para utusan yang masih berdiri dengan kepala menunduk penuh hormat kepada dirinya.“Benar, Nona Binar. Kami diutus untuk menemukan keberadaan anda.”“Silahkan duduk dulu, dan jelaskan duduk perkaranya kepada Binar agar dia tidak bingung. Kalian lihat, dia ketakutan dan mengira kalian adalah orang jahat.” Suara Linda terdengar geli saat mempersilahkan beberapa pria itu untuk duduk kembali. Sebab mereka akan terus berdiri seperti itu selama Binar tidak menyuruhnya duduk.“Kamu juga, Binar. Dengarkan dulu apa alasan mereka sampai bisa menemukanmu di tempat ini.”Binar yang linglung hanya bisa menurut apa k
**“Oh, ini semakin buruk. Apa yang terjadi? Kenapa beritanya jadi begini?”Binar tanpa sadar menggigiti kuku jemarinya sendiri. Sebuah kebiasaan yang sulit ia tinggalkan jika sedang gusar dan galau seperti sekarang ini. Perempuan itu tengah termangu di depan televisi yang sedang menyiarkan berita dari Indonesia. Sebuah acara infotainment, yang belakangan ini entah bagaimana seperti Binar temukan kapanpun ia menyalakan televisi atau membuka sosial media.“Aku bisa saja menuntut kau dan perusahaanmu karena tuduhan seperti itu. Aku hanya diam selama ini bukan berarti aku tidak bisa melawan. Jika kau, dan kalian semua, masih tetap bersikap seperti orang-orang yang tidak beradab, maka aku akan mengirim kalian ke tempat di mana seharusnya kalian berada.”Binar mendesis melihat potongan video itu. Ia tahu siapapun yang mengambil potongan video itu, sengaja membuatnya menjadi sedemikian dramatis. William, ya, William Aarav, tampak angkuh dan menakutkan dalam video tersebut. Meski Binar sang