"Halo, Nyonya Almeera," suara Willy terdengar tegas di ujung sana. "Apakah Anda akan pergi berbelanja sekarang? Tuan Kaisar berpesan agar saya mengantar Anda.”
Almeera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Saya sudah keluar dari apartemen, Willy. Tapi tidak perlu khawatir, karena saya ditemani oleh Nyonya Diana dan Tuan Marco."
Di ujung telepon, ada jeda sejenak sebelum Willy akhirnya berkata, “Anda harus tetap berhati-hati. Tolong, bagikan lokasi terkini, supaya saya bisa memantau keberadaan Anda kapan saja.”
"Baiklah, Willy, terima kasih."
Almeera menutup telepon, lalu mengirimkan lokasinya kepada Willy sebelum memasukkan ponsel ke dalam tas. Nyonya Diana yang duduk di sampingnya memiringkan kepala, menatapnya penuh perhatian. "Ada apa, Almeera?" tanyanya lembut.
Almeera menoleh, mencoba tersenyum tenang. "Oh, itu tadi Willy, kepala pengawal suami saya. Mulai sekarang, suami saya mengirim pengawal untuk menjaga saya bila
Melihat Almeera memegangi perutnya, Nyonya Diana mengerutkan kening tetapi segera tersenyum lembut. "Tidak apa-apa. Kalau kamu tidak suka ikan salmon, kita bisa pesan yang lain." Perempuan paruh baya itu segera memanggil pelayan lagi untuk memesan makanan. "Kamu ingin memesan sesuatu yang lain, Almeera?"Almeera menghela napas lega. "Terima kasih, Nyonya. Mungkin, saya akan memesan daging sapi."Ketika pelayan mencatat pesanannya, Almeera merasa perutnya bergejolak lagi. Sensasi tersebut semakin kuat, dan akhirnya ia terpaksa bangkit dari kursi, meninggalkan meja restoran dengan tergesa-gesa. Langkahnya ringan tetapi cepat menuju toilet, napasnya terasa semakin pendekKetika Almeera menghilang di balik pintu toilet, suasana di meja itu berubah seketika. Tatapan Tuan Marco yang tadinya hangat mendadak berubah dingin, bibirnya mengerut masam, seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Nyonya Diana yang sudah lama mengenal suaminya, langsung menyadari perubahan itu."Kamu memikirkan
Almeera merapikan rambutnya yang terurai ke bahu, kala mobil Tuan Marco berhenti di depan lobi apartemen. Sembari menenteng paper bag yang berisi barang belanjaan, Almeera keluar dari mobil. Senyumnya tampak gugup, tetapi ia berusaha menyembunyikannya dengan berbasa-basi ringan.“Terima kasih sudah mengantar saya pulang. Terima kasih juga untuk kado pertunangan dan pudingnya,” tuturnya berpamitan dengan sopan.Nyonya Diana dan Tuan Marco hanya tersenyum tipis. “Selama kamu senang, kami pasti akan senang juga. Jangan lupa, makan yang banyak dan istirahat yang cukup,” kata Nyonya Diana mewakili sang suami. "Akan saya ingat, Nyonya," balas Almeera sambil tersenyum. Ia melambaikan tangan kepada pasangan itu, sebelum melangkah menuju lobi apartemen.Ketika lift membawanya ke unit apartemen milik Kaisar, pikiran Almeera mengulang obrolan di dalam mobil tadi. Terutama, saat Nyonya Diana menyebutkan bahwa gejala yang dialaminya mirip dengan wanita yang hamil muda. Sesampainya di apartemen,
Kaisar menyandarkan punggungnya ke kursi belakang mobil yang membawanya berkeliling kota Bandung sejak pagi. Setelah meninjau dua outlet perhiasan baru di pusat perbelanjaan, dia merasa sedikit lega. Meski masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki, penjualan tampaknya akan berjalan lancar. Udara yang sejuk dan suasana kota yang berbeda membuat Kaisar merasa lebih segar. Mobilnya pun bergerak, melewati pusat pertokoan dan kuliner yang ramai dengan pengunjung. Kaisar melihat sekilas lewat kaca jendela mobil. Selama ini, ia tidak pernah tertarik dengan hal semacam itu. Namun, kini ada sesuatu yang menggelayut di benaknya, sesuatu yang membuatnya tergerak untuk melakukan tindakan yang tidak biasa."Pak Wahyu," panggil Kaisar, memecah keheningan."Ya, Tuan?" sopir setianya itu menoleh dari kursi depan, tatapannya penuh hormat."Aku mau mampir sebentar di toko pakaian," kata Kaisar, sambil melihat deretan toko yang dipadati oleh wisatawan.Pak Wahyu tampak heran. Hampir sepuluh tahun beke
Ketegangan itu tak bertahan lama, karena beberapa menit kemudian Kaisar muncul dari balik pintu. Ia hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya masih basah, menunjukkan bahwa ia baru saja selesai mandi. “Meera, kamu sudah bangun?” panggil Kaisar sambil tersenyum kecil. Ia menyeka rambut dengan tangan, tampak santai dan tenang, seolah tidak ada yang aneh sama sekali.Almeera menatap Kaisar dengan kaget. “Kapan kamu pulang dari Bandung, Hubby?” tanyanya terburu-buru, masih belum sepenuhnya menyadari bahwa suaminya ada di rumah. “Kenapa tidak membangunkan aku? Tadi aku kira … ada penjahat masuk kemari.”Kaisar mendekati tempat tidur sambil tetap memegangi handuknya. “Kamu tidur nyenyak sekali, Sayang. Kelihatannya kamu sangat capek. Aku tidak tega membangunkan kamu,” jawab Kaisar sambil tertawa pelan, suara lembutnya penuh kasih. “Tidak mungkin ada orang lain yang bisa masuk ke apartemenku. Mereka tidak tahu passwordnya.”Almeera masih tertegun, berusaha mencerna apa
Kaisar menatap Almeera dengan bingung. “Mual? Seingatku, kamu selalu suka makan steik ikan.”Almeera mengalihkan pandangannya, merasa sedikit gugup. Ia tahu, Kaisar pasti akan bertanya lebih lanjut jika ia tidak segera memberikan penjelasan. Namun, ia merasa belum siap untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Perasaan aneh itu—mual yang tiba-tiba, kelelahan dan rasa kantuk, serta keinginan untuk mencicipi makanan tertentu—semuanya memang mirip tanda-tanda kehamilan. Namun, ia memutuskan untuk menunggu hasil tes kehamilan besok pagi, sebelum mengatakan apa-apa kepada Kaisar.“Mungkin, aku sedang bosan dengan ikan,” jawab Almeera dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang menggelayut di pikirannya. Kaisar tetap menatapnya dengan dahi berkerut. “Mau aku pesankan makanan yang lain? Kalau perutmu sakit atau kurang nyaman, aku akan mengantarmu ke dokter.”Almeera tersenyum tipis, berusaha meyakinkan suaminya. “Tidak, aku baik-baik aja. Aku ingin makan kue dan camil
Almeera mengambil waktu sejenak untuk menyeka wajah dan membilas mulutnya sebelum membuka pintu. Begitu ia membuka pintu, Kaisar langsung menghambur masuk dengan tatapan khawatir. “Kamu muntah, Sayang? Kita harus pergi ke dokter,” katanya sambil meraih bahu Almeera.“Tidak perlu, Hubby. Aku cuma muntah sedikit, mungkin karena bangun terlalu pagi,” ujar Almeera, berusaha terdengar kuat meski tubuhnya masih lemas. Kaisar tidak terlihat yakin. Netranya yang tajam menyapu wajah Almeera, mencari tanda-tanda lain, sekiranya ada sesuatu yang salah pada sang istri. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuh Almeera dengan mudah. Almeera terkejut, tetapi Kaisar sudah berjalan cepat menuju tempat tidur.“Hubby! Aku bisa jalan sendiri,” protes Almeera.“Kali ini, aku harus memaksamu, Sayang,” jawab Kaisar tegas, sambil membaringkan Almeera dengan hati-hati di atas ranjang. “Jangan turun dari tempat tidur sepanjang hari. Aku tidak akan membiarkanmu sakit.”Almeera t
Sebelum ada pelayan yang melihat, Karenina buru-buru duduk kembali di kursi roda. Ia memanggil perawat pribadinya yang selalu siaga tak jauh darinya. Bibirnya melengkung tipis, tatapannya lurus ke arah pintu menuju ruang piano. Dengan isyarat tangan, Karenina memanggil perawat yang selalu setia mendampinginya itu."Antar aku ke ruang piano," perintahnya singkat. "Aku ingin bermain piano lagi. Sudah terlalu lama aku tidak menikmati waktuku sendiri di sana."Tanpa banyak bicara, perawat itu mengangguk dan mulai mendorong kursi roda sang majikan ke ruang piano, yang terletak di sayap kanan mansion.“Kamu boleh pergi sekarang,” tukas Karenina dengan sorot dingin.Perawat itu terlihat ragu sejenak, tetapi akhirnya menunduk hormat sebelum melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Karenina sendirian. Begitu pintu tertutup, senyuman Karenina berubah lebih lebar. Ia meletakkan kedua tangannya di lengan kursi rodanya, merasakan kekuatan ya
Karenina masih berdiri di depan jendela, memandangi hamparan hijau yang terbentang di hadapannya. Wajahnya mulai tenang, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa dendam yang tak terbendung. Perlahan, Karenina menyentuh kaca jendela dengan jemarinya. Tidak lama lagi, semuanya akan berubah. Karenina berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan membiarkan Almeera menang.Dengan tenang, Karenina kembali duduk di kursi rodanya, senyuman licik terlukis di wajahnya. “Aku akan membuat semua orang melihat siapa yang sebenarnya pantas,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri, matanya menyipit penuh kebencian. “Dan Kaisar... dia akan tahu, aku yang lebih layak berdiri di sampingnya. Bukan Almeera.”Karenina meremas lengan kursi rodanya, merasakan gelombang kebencian terhadap Almeera menyelimuti hatinya. Di pesta pertunangan Reval nanti, dia tidak akan membiarkan Almeera mendapatkan satu pun perhatian positif. Malam itu akan menjadi miliknya—malam di mana