Kaisar menatap Almeera dengan bingung. “Mual? Seingatku, kamu selalu suka makan steik ikan.”Almeera mengalihkan pandangannya, merasa sedikit gugup. Ia tahu, Kaisar pasti akan bertanya lebih lanjut jika ia tidak segera memberikan penjelasan. Namun, ia merasa belum siap untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Perasaan aneh itu—mual yang tiba-tiba, kelelahan dan rasa kantuk, serta keinginan untuk mencicipi makanan tertentu—semuanya memang mirip tanda-tanda kehamilan. Namun, ia memutuskan untuk menunggu hasil tes kehamilan besok pagi, sebelum mengatakan apa-apa kepada Kaisar.“Mungkin, aku sedang bosan dengan ikan,” jawab Almeera dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang menggelayut di pikirannya. Kaisar tetap menatapnya dengan dahi berkerut. “Mau aku pesankan makanan yang lain? Kalau perutmu sakit atau kurang nyaman, aku akan mengantarmu ke dokter.”Almeera tersenyum tipis, berusaha meyakinkan suaminya. “Tidak, aku baik-baik aja. Aku ingin makan kue dan camil
Almeera mengambil waktu sejenak untuk menyeka wajah dan membilas mulutnya sebelum membuka pintu. Begitu ia membuka pintu, Kaisar langsung menghambur masuk dengan tatapan khawatir. “Kamu muntah, Sayang? Kita harus pergi ke dokter,” katanya sambil meraih bahu Almeera.“Tidak perlu, Hubby. Aku cuma muntah sedikit, mungkin karena bangun terlalu pagi,” ujar Almeera, berusaha terdengar kuat meski tubuhnya masih lemas. Kaisar tidak terlihat yakin. Netranya yang tajam menyapu wajah Almeera, mencari tanda-tanda lain, sekiranya ada sesuatu yang salah pada sang istri. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuh Almeera dengan mudah. Almeera terkejut, tetapi Kaisar sudah berjalan cepat menuju tempat tidur.“Hubby! Aku bisa jalan sendiri,” protes Almeera.“Kali ini, aku harus memaksamu, Sayang,” jawab Kaisar tegas, sambil membaringkan Almeera dengan hati-hati di atas ranjang. “Jangan turun dari tempat tidur sepanjang hari. Aku tidak akan membiarkanmu sakit.”Almeera t
Sebelum ada pelayan yang melihat, Karenina buru-buru duduk kembali di kursi roda. Ia memanggil perawat pribadinya yang selalu siaga tak jauh darinya. Bibirnya melengkung tipis, tatapannya lurus ke arah pintu menuju ruang piano. Dengan isyarat tangan, Karenina memanggil perawat yang selalu setia mendampinginya itu."Antar aku ke ruang piano," perintahnya singkat. "Aku ingin bermain piano lagi. Sudah terlalu lama aku tidak menikmati waktuku sendiri di sana."Tanpa banyak bicara, perawat itu mengangguk dan mulai mendorong kursi roda sang majikan ke ruang piano, yang terletak di sayap kanan mansion.“Kamu boleh pergi sekarang,” tukas Karenina dengan sorot dingin.Perawat itu terlihat ragu sejenak, tetapi akhirnya menunduk hormat sebelum melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Karenina sendirian. Begitu pintu tertutup, senyuman Karenina berubah lebih lebar. Ia meletakkan kedua tangannya di lengan kursi rodanya, merasakan kekuatan ya
Karenina masih berdiri di depan jendela, memandangi hamparan hijau yang terbentang di hadapannya. Wajahnya mulai tenang, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa dendam yang tak terbendung. Perlahan, Karenina menyentuh kaca jendela dengan jemarinya. Tidak lama lagi, semuanya akan berubah. Karenina berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan membiarkan Almeera menang.Dengan tenang, Karenina kembali duduk di kursi rodanya, senyuman licik terlukis di wajahnya. “Aku akan membuat semua orang melihat siapa yang sebenarnya pantas,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri, matanya menyipit penuh kebencian. “Dan Kaisar... dia akan tahu, aku yang lebih layak berdiri di sampingnya. Bukan Almeera.”Karenina meremas lengan kursi rodanya, merasakan gelombang kebencian terhadap Almeera menyelimuti hatinya. Di pesta pertunangan Reval nanti, dia tidak akan membiarkan Almeera mendapatkan satu pun perhatian positif. Malam itu akan menjadi miliknya—malam di mana
Setelah beberapa saat berpelukan, Almeera akhirnya melepaskan diri perlahan. Ia duduk kembali di tempat tidur, sementara Kaisar tetap di sampingnya.“Nanti sore, aku akan memanggil MUA untuk datang ke apartemen,” kata Kaisar sambil merapikan rambut Almeera yang berantakan. “Supaya kamu terlihat cantik di acara pertunangan Reval dan Violetta. Semua orang harus tahu betapa beruntungnya aku punya istri secantik kamu.”Almeera tersenyum senang mendengar kata-kata manis dari Kaisar. Namun di balik senyum itu, ada sedikit kekhawatiran yang menyelinap. Dengan kehamilannya saat ini, ada kemungkinan kondisi fisiknya akan naik turun. Ia takut tiba-tiba mual atau pusing di tengah-tengah acara.“Itu ide bagus. Aku ingin terlihat baik di depan keluargamu. Tapi…” Ia memandang Kaisar dengan penuh harap. “Kamu jangan jauh-jauh dariku saat aku di-make up.”Kaisar tertawa kecil, menyentuh pipi Almeera dengan lembut. &l
Di dalam mobil, Almeera memandang keluar jendela, pikirannya melayang-layang antara rasa takut dan harapan. Namun Kaisar, yang duduk di sampingnya, tak pernah melepas genggaman tangannya."Percayalah, mereka semua akan menerimamu," bisik Kaisar dengan lembut sebelum mobil melaju ke arah pesta.Almeera menoleh, menatap suaminya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Malam ini, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Tidak hanya karena penampilannya yang sudah berubah drastis, tetapi karena Kaisar—pria yang selalu mencintai dan melindunginya tanpa syarat—berjanji akan melindunginya.Di dalam ballroom hotel, suasana begitu meriah dengan puluhan tamu undangan yang datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Lampu-lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya kemewahan di segala sudut ruangan. Musik lembut mengalun dari sebuah orkestra di ujung ruangan, menambah kesan elegan malam pertunangan Reval dan Violetta.Di tengah keramai
“Mbak Meera, ayo kita cepat pulang ke rumah sekarang! Rumah kita tadi didatangi oleh Pak Harsono dan mereka memukuli Bapak,” ucap adiknya, tampak panik.DEG!Pak Harsono?Almeera yang sedang melayani pelanggan rumah makan tempatnya bekerja, sontak berhenti. Firasat buruk langsung memenuhi hati Almeera mendengar nama rentenir paling kejam di kampungnya itu.Apakah ayah tirinya kembali membuat ulah?Memang sejak Ibunya meninggal, pria paruh baya itu semakin tak bisa diandalkan. Kerjanya hanya berjudi dan mabuk-mabukan–membuat keluarganya semakin terjerat dalam tumpukan utang.“Baik, Mbak akan pulang. Tunggu di sini dulu, Rifki, Mbak akan berpamitan kepada Bu Sri,” ucapnya, lalu segera menemui sang pemilik rumah makan. Untungnya, bos Almeera mengizinkan walau gajinya harus dipotong dua ratus ribu.Tapi, Almeera tak peduli.Bersama sang adik, dia pun bergegas keluar dari rumah makan itu.Secepat mungkin, keduanya berlari.Namun ketika mereka tiba di rumah, kaki Almeera melemas.Kondis
Tanpa pikir panjang, Almeera menggendong tubuh Rifki menuju ke taksi. Dengan mata berkaca-kaca, ia meminta sopir taksi agar mengantarnya ke rumah sakit terdekat. Badannya begitu panas, hingga Rifki pun dilarikan ke ruang IGD supaya bisa dilakukan penanganan secara intensif.“Apa Anda keluarga pasien?” tanya dokter yang memeriksa Rifki.“Iya, Dok, saya kakaknya. Bagaimana keadaan adik saya, Rifki?” tanya Almeera dengan raut wajah penuh kecemasan.“Pasien menderita pneumonia akut dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Kami sudah memasangkan ventilator untuk membantu pernapasannya. Nanti pasien akan ditangani secara langsung oleh dokter spesialis paru-paru. Sekarang, Anda bisa mengurus administrasinya dulu,” ujar sang dokter.Pneumonia?Bagaimana bisa?Namun, Almeera menahan pertanyaannya itu dan langsung menemui petugas bagian administrasi. Saat bagiannya tiba, seorang wanita dengan blazer hitam memberikan penjelasan mengenai estimasi biaya perawatan. Dimulai dari tarif kama