Karenina masih berdiri di depan jendela, memandangi hamparan hijau yang terbentang di hadapannya. Wajahnya mulai tenang, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa dendam yang tak terbendung. Perlahan, Karenina menyentuh kaca jendela dengan jemarinya. Tidak lama lagi, semuanya akan berubah. Karenina berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan membiarkan Almeera menang.
Dengan tenang, Karenina kembali duduk di kursi rodanya, senyuman licik terlukis di wajahnya. “Aku akan membuat semua orang melihat siapa yang sebenarnya pantas,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri, matanya menyipit penuh kebencian. “Dan Kaisar... dia akan tahu, aku yang lebih layak berdiri di sampingnya. Bukan Almeera.”
Karenina meremas lengan kursi rodanya, merasakan gelombang kebencian terhadap Almeera menyelimuti hatinya. Di pesta pertunangan Reval nanti, dia tidak akan membiarkan Almeera mendapatkan satu pun perhatian positif. Malam itu akan menjadi miliknya—malam di mana
Setelah beberapa saat berpelukan, Almeera akhirnya melepaskan diri perlahan. Ia duduk kembali di tempat tidur, sementara Kaisar tetap di sampingnya.“Nanti sore, aku akan memanggil MUA untuk datang ke apartemen,” kata Kaisar sambil merapikan rambut Almeera yang berantakan. “Supaya kamu terlihat cantik di acara pertunangan Reval dan Violetta. Semua orang harus tahu betapa beruntungnya aku punya istri secantik kamu.”Almeera tersenyum senang mendengar kata-kata manis dari Kaisar. Namun di balik senyum itu, ada sedikit kekhawatiran yang menyelinap. Dengan kehamilannya saat ini, ada kemungkinan kondisi fisiknya akan naik turun. Ia takut tiba-tiba mual atau pusing di tengah-tengah acara.“Itu ide bagus. Aku ingin terlihat baik di depan keluargamu. Tapi…” Ia memandang Kaisar dengan penuh harap. “Kamu jangan jauh-jauh dariku saat aku di-make up.”Kaisar tertawa kecil, menyentuh pipi Almeera dengan lembut. &l
Di dalam mobil, Almeera memandang keluar jendela, pikirannya melayang-layang antara rasa takut dan harapan. Namun Kaisar, yang duduk di sampingnya, tak pernah melepas genggaman tangannya."Percayalah, mereka semua akan menerimamu," bisik Kaisar dengan lembut sebelum mobil melaju ke arah pesta.Almeera menoleh, menatap suaminya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Malam ini, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Tidak hanya karena penampilannya yang sudah berubah drastis, tetapi karena Kaisar—pria yang selalu mencintai dan melindunginya tanpa syarat—berjanji akan melindunginya.Di dalam ballroom hotel, suasana begitu meriah dengan puluhan tamu undangan yang datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Lampu-lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya kemewahan di segala sudut ruangan. Musik lembut mengalun dari sebuah orkestra di ujung ruangan, menambah kesan elegan malam pertunangan Reval dan Violetta.Di tengah keramai
Keheningan menyelimuti ruangan. Tidak ada satu pun yang berani menantang Kaisar. Almeera memejamkan mata sejenak, menahan tangis yang hampir pecah. Dia tahu Kaisar tulus dalam ucapannya, dan itu memberinya kekuatan.Melihat situasi telah terkendali, Kaisar memeluk bahu Almeera erat-erat. Dengan suara lembut, dia berkata, “Kamu aman bersamaku. Tidak ada yang bisa menyakitimu.”Suasana di ballroom masih tegang, setelah Kaisar dengan tegas mempertahankan kehormatan Almeera di hadapan para tamu. Almeera masih menggenggam tangan Kaisar dengan erat, hatinya bergejolak, tetapi sedikit lebih tenang karena dukungan penuh dari suaminya. Para tamu yang tadi berbisik-bisik, kini diam membisu. Sebagian besar dari mereka merasa malu atas bisikan dan tatapan yang sebelumnya mereka berikan kepada Almeera.Tiba-tiba, Reval maju beberapa langkah ke depan, menghampiri Kaisar dan meletakkan tangan di bahu kakaknya. “Kak, sudahlah. Jangan perpanjang masalah ini. Ki
Setelah meninggalkan pesta pertunangan Reval dengan perasaan campur aduk, Karenina duduk diam di kursi roda, wajahnya tegang dan penuh amarah. Perawat yang mendampinginya bertanya dengan sopan, “Nyonya Nina, apakah Anda ingin segera ke mansion, atau ada tempat lain yang ingin dikunjungi?”“Langsung ke mansion,” jawab Karenina singkat, suaranya nyaris berbisik, tetapi tajam.Meski amarahnya mendidih, Karenina berupaya menahan diri. Tidak ada gunanya meledak sekarang, di depan orang-orang yang ia anggap remeh seperti perawat atau sopir. Itu hanya akan membuat harga dirinya semakin hancur.Sepanjang perjalanan pulang, Karenina terdiam. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuan sementara matanya memandang kosong keluar jendela mobil. Suasana hening, hanya ada suara mesin mobil yang berderum pelan di antara jalanan malam yang sepi.Ia memikirkan semua yang terjadi malam itu. Almeera—wanita yang paling ia benci&md
Pesta pertunangan Reval dan Violetta berakhir dengan meriah. Para tamu mulai meninggalkan ballroom, satu per satu mengucapkan selamat kepada pasangan yang baru saja resmi bertunangan. Kaisar dan Almeera tentu saja berpamitan paling akhir, menunggu hingga ballroom sepi.Violetta dan Nyonya Elma yang sebelumnya terlihat sinis, kini mulai bersikap hangat kepada Almeera.“Terima kasih atas kadonya,” ucap Violetta sambil memegang kotak jam tangan couple yang diberikan Almeera. “Kamu tampak cantik malam ini,” sambung Violetta melemparkan pujian.Almeera tersipu sekaligus merasa gembira. Ternyata, usahanya untuk memperbaiki hubungan dengan Violetta tidaklah sia-sia. "Selamat atas pertunanganmu dan Reval. Semoga semua berjalan lancar sampai hari pernikahan nanti."Nyonya Elma, yang awalnya acuh tak acuh, kini tersenyum tipis ke arah Almeera. "Ya, semoga saja. Almeera, terima kasih sudah datang dan mendampingi Kaisar."Al
Kaisar terbangun lebih dulu meski alarm di ponselnya belum berbunyi. Ia menatap Almeera yang masih terlelap, wajahnya yang tenang membuat Kaisar tersenyum. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, melangkah dengan hati-hati agar tidak membangunkan istrinya.Setelah memastikan Almeera masih tidur nyenyak, Kaisar mengambil ponselnya dan memesan sarapan dari rumah makan yang terdekat dari apartemen. Ketika pesanan sudah terkonfirmasi, Kaisar kembali duduk di tepi ranjang dan menatap Almeera yang mulai menggeliat.“Sayang, bangun. Bayi kita membutuhkan nutrisi,” bisiknya lembut.Almeera membuka mata perlahan, masih setengah mengantuk. Namun, ia masih mendengar ucapan Kaisar. “Aku sudah memesan sarapan kesukaanmu. Jangan pergi ke mana-mana hari ini, Sayang. Istirahat aja di apartemen.”Almeera mengerjapkan matanya, mencoba memahami kata-kata Kaisar yang terdengar sangat protektif. “Aku tidak boleh keluar?” ta
Kaisar duduk di ruang kerjanya dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Tangannya memegang laptop, tetapi pikirannya masih melayang pada kabar kehamilan Almeera. Perasaannya melambung tinggi. Kabar ini adalah hadiah paling indah —Almeera mengandung anak mereka. Sebuah kehidupan baru tengah tumbuh di dalam rahim istrinya, sebuah awal baru yang penuh harapan dan kebahagiaan.Untuk pertama kalinya, Kaisar merasa hidupnya terasa utuh. Semua luka dari masa lalu, kepergian sang ibu, pengkhianatan Karenina, dan kekecewaan yang pernah melukai hatinya perlahan memudar, digantikan oleh kebahagiaan yang diberikan Almeera.Tidak ada lagi keraguan dalam diri Kaisar bahwa Almeera adalah wanita yang tepat untuknya. Setiap detik yang mereka habiskan bersama telah membuatnya semakin jatuh cinta.Ia pun merasakan dorongan untuk berbagi kebahagiaan ini dengan seseorang yang sangat penting—kakeknya, Tuan Barata. Tanpa pikir panjang, Kaisar menghubungi Tuan Barat
Almeera melangkah keluar dari unit apartemennya, turun melalui lift ke lobi. Tatkala pintu lift terbuka, dia melangkah keluar dan disambut oleh suasana lobi yang sepi. Namun, rasa tenang itu langsung hilang ketika ia melihat sosok yang tak disangka-sangka di sudut ruangan.Tuan Marco Biantara. Pria paruh baya itu sedang berdiri di dekat pintu masuk lobi. Almeera seketika terkejut, matanya melebar. Ada banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di pikirannya. Apa yang akan dilakukan Tuan Marco di sini? Kenapa pria itu datang sendirian, padahal jelas-jelas dia sudah menolak ajakan Nyonya Diana melalui telepon?Saat Almeera masih tercengang di tempat, Tuan Marco berjalan mendekatinya dengan senyum tipis. Lelaki paruh baya itu tidak mengenakan setelan kantor resmi seperti biasa, hanya memakai kemeja dan celana panjang. Namun, kehadirannya yang terkesan mendadak, membuat Almeera merasa tak nyaman."Almeera, maaf, kalau kedatanganku membuatmu terkejut. Kamu m
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe