"Shh.." Nami meringis sembari memegangi kepalanya yang terasa berdenyut pusing, seolah-olah terhantam batu besar.
"Aku di mana?"Nami membuka matanya perlahan. Cahaya lampu pijar menyilaukan matanya. Memperhatikan ruangan yang asing lamat-lamat. Selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya. Ini bukan kamar Nami, lalu di mana sekarang dia berada?Nami tidak ingat apa yang sudah terjadi semalam padanya , tapi yang jelas pagi ini Nami merasa kesakitan di area bawahnya."S-sakit," rintihnya pelan. Dia duduk di atas ranjang. Sepertinya dia harus menyegarkan tubuhnya yang terasa lengket.Dia menyibakkan selimut. Mata Nami membola saat ia tersadar telah tidak memakai sehelai benang pun. Dia kembali menutupi tubuhnya yang polos.Nami menoleh ke samping. Seorang pria tak dikenal tidur berada di sampingnya. Jantungnya berdegup kencang. Dunia seakan-akan berhenti seketika. Nami berusaha mencerna apa yang sudah terjadi. Banyak tanda tanya di dalam otaknya.Siapa orang itu?Dan apa yang sudah ia lakukan padanya?Semakin dicermati, kepalanya semakin sakit. "Aduh, kepalaku pusing, aku belum memastikan pekerjaan baruku," gumam Nami.Setelah lulus sekolah, Nami ingin segera mencari pekerjaan untuk biaya pengobatan ayah.Semalam Piranda---saudari tiri Nami memberikannya rekomendasi tempat kerja yang memberikan gaji harian dalam jumlah besar untuk tambahan biaya rumah sakit sang ayah.Tapi setelah dia meminum seteguk minuman yang disediakan oleh seseorang yang mengaku pemilik toko, Nami tidak sadarkan diri dan berakhir di sini.Oh tidak! Jangan bilang kalau ini adalah jebakan. Nami menggeleng cepat berusaha menampik jika ini hanya lah sebuah mimpi buruk.Baju berserakan di lantai. Bukan hanya baju, dalaman Nami tercecer di lantai."T-tidak mungkin!!"Air matanya jatuh. Nami menutup mulutnya tak percaya. Dia terus menggelengkan kepalanya beberapa kali.Nami berusaha berdiri meskipun sulit karna kakinya terasa sakit dan perih. Namun, suara bariton seseorang menghentikan pergerakannya."Kamu sudah bangun?" tanya lelaki itu tanpa merasa bersalah sedikit pun.Nami sedikit terkejut. Kakinya terpeleset dan terjatuh di lantai. Tapi dengan cepat Nami berdiri dan menutupi tubuhnya dengan selimut."Brengsek!!"Nami menampar pria itu dengan keras. Membuat sang empunya meringis kesakitan. Pipinya yang putih bersih tanpa jerawat berubah menjadi merah cap tangan."Apa yang kamu lakukan?" Lelaki itu duduk di atas ranjang sambil memegangi pipinya. Dia tampak marah namun menahannya.Air mata Nami sudah mengalir deras bagaikan air terjun. Matanya memerah dan sembab. Untuk berbicara saja rasanya dia tak sanggup. Betapa menyedihkannya kondisi Nami sekarang.Nami kehilangan mahkota yang selama ini ia jaga untuk suaminya nanti. Tapi pria itu? Seenaknya bahkan tanpa seizin darinya telah merenggut harta Nami yang paling berharga."Seharusnya saya yang bertanya pada anda!" Nami tak segan untuk menunjuk pria di depannya itu. Dia tak peduli siapa orang itu. Juga tak menaruh hormat padanya."Siapa anda dan mengapa bisa tidur di sini dengan saya?"Nami dikenal sebagai gadis yang baik, penurut, sopan dan tidak pernah membantah perintah orang tua. Tapi kali ini, Nami bukanlah seorang Nami yang dikenal. Nami sangat marah.Masalah dalam kehidupannya sudah rumit. Ayahnya yang sedang sakit dan membutuhkan biaya banyak, dan sekarang Nami harus terjebak satu malam bersama pria ini."Aku Steven," jawabnya santai seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu."Untuk pertanyaan mengapa bisa tidur di sini," pria itu berdiri, Nami sempat menutup mata takut jika dia melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat. Untungnya, pria itu memakai celana pendek."Apa kamu tidak ingat siapa yang datang ke kamarku ini, Nona kecil?"Nami mengambil semua pakaiannya. Suara tangisnya bahkan lebih kencang daripada sebelumnya. Sakit sekali rasanya. Nami merasa terhina. Pipinya semakin basah akibat buliran air matanya."Tidak, saya ingin pulang!"Sudahlah. Nami sudah tidak peduli lagi dengannya. Nami memakai semua pakaiannya di depan pria itu. Lagipula, dia sudah melihat tubuh Nami, jadi tidak akan ada masalah jika Nami memakai baju di depannya.Oh Shit! Steven tersiksa.Steven tidak boleh gegabah. Dia sedang sedih, Steven tidak ingin menambah kesedihan. Mata Steven tak lepas dari pemandangan indah di depannya. Steven tersenyum tipis. Entah mengapa mendengar suara isakan tangis gadis--ah tidak wanita itu sedikit menyesakkan hatinya.Steven membuang napas kasar. Dia berjalan mendekati Nami. Sebelum Steven berdiri di depannya, Nami menamparnya lagi dan mendorongnya dengan keras."Jangan dekati aku, dasar om-om tidak tau malu!!" teriak Nami keras. Raut wajahnya menyiratkan sebuah amarah yang terpendam.Steven terkejut. Dorongan Nami tak membuatnya jatuh. Steven hanya mundur beberapa langkah."Om-om tidak tau malu, katamu?""Hey, asal kamu tau, Nona. Di luar sana banyak wanita yang mendambakanku."Nami mengusap air matanya kasar. Dia menyahut tas yang ada di atas nakas. Dia menginjak kaki Steven dan menendang pusaka miliknya."SAYA TIDAK PEDULI!""SUDAH, LUPAKAN KEJADIAN INI DAN SAYA HARAP TIDAK PERNAH BERTEMU DENGAN ANDA LAGI, OM PEDOFIL!"Setelah puas mengatakan itu, Nami keluar dari kamar hotel dalam kondisi berantakan.Sedangkan Steven, dia terdiam membisu. "Om Pedofil?"Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman. "Lupakan kejadian ini?"Steven geleng-geleng kepala. Kenapa Steven merasa gagal jadi orang tampan? Bukankah wanita pada umumnya akan tertarik pada pria tampan dan mapan.Apa kurangnya Steven?Dia tampan. Tinggi. Mapan. Idaman para wanita. Diantara wanita yang pernah ia temui, hanya dia yang berani melontarkan kalimat cacian."Lihat saja, akan aku buat kamu tergila-gila dengan ketampananku ini, Nona kecil."***Beberapa kerutan muncul di dahinya. Mengapa banyak orang yang gotong royong memindahkan sofa, meja, tv dan berbagai barang rumah keluar dan mengganti barang-barang tersebut dengan barang baru.Ayahnya sedang sakit. Sudah banyak uang yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan. Ayahnya masih membutuhkan uang untuk pengobatan. Lalu bagaimana semua barang-barang ini bisa diganti yang baru?Uang darimana untuk mengganti semua ini?"Ada apa ini? Kenapa semua barangnya diganti baru?"Tentu saja Nami heran. Ekonomi mereka sedang kritis, tidak mungkin bisa membeli barang baru. Apalagi dalam jumlah banyak. Untuk makan saja harus hemat."Piranda!!" teriak Nami memanggil saudari tirinya."Di mana kamu?"Nami masuk ke dalam rumah. Menoleh kesana-kemari mencari sosok Piranda yang seenaknya sudah membuatnya kehilangan harta berharga.Piranda datang seraya menutup telinga. "Aduh, ada apa sih teriak-teriak? Sakit telingaku!"Nami berjalan cepat ke arah Piranda. Dia menarik kerah baju Piranda. Nami tidak peduli dia mau dicap jelek, karna sekarang Nami benar-benar emosi."Apa maksud kamu, hah?"Piranda menepis kedua tangan Nami. "Lepasin tangan kamu! Jangan sampai bajuku ikutan kotor seperti kamu!""Apa kamu bilang?" Nami tidak terima saat Piranda berkata seperti itu.Piranda tersenyum smirk. Dia melipat kedua tangan di depan dada. Piranda mendekatkan mulutnya ke telinga Nami, agar wanita itu mendengar dengan baik apa yang akan Piranda katakan."Iya, wanita kotor yang sudah tidak perawan!"Hati Nami terasa hancur berkeping-keping. Jantungnya seakan-akan ditusuk oleh ribuan pisau. Tak tersadar, air matanya kembali terjatuh."Jadi benar? Kamu yang menjebakku, Piranda?"Piranda terkekeh. Dia mendorong kening Nami. "Jadi orang jangan terlalu bodoh, Nami. Kamu lihat sekeliling kamu,"Nami menurut. Dia memperhatikan sekitar. Dadanya sesak. Dia menggigit bibir bawahnya menahan suara tangis."Coba deh kamu pikir, bagaimana kita bisa mengganti semua barang usang dengan yang baru,"Nami menggeleng pelan. Mengusap pelan air matanya. "A-aku tidak mengerti apa maksud kamu, Piranda," katanya terbata-bata.Bapina---ibu kandung Piranda, ibu tiri Nami turun dari tangga berjalan ke arah mereka bersama dengan satu koper besar ditangannya.Bapina geleng-geleng kepala, "Nami, Nami, kamu terlalu bodoh dan terlena sama uang yang ditawarkan pada pekerjaan, sampai-sampai kamu tidak sadar sudah masuk ke dalam perangkap Piranda," wanita baya itu berdiri di samping anak kesayangannya. Membuang koper hitam di depan Nami.Koper itu milik Nami. "A-apa maksudnya ini, Ibu?"Piranda dan Bapina tertawa keras. Piranda menangkup kedua pipi Nami dengan satu tangan. Menarik wajahnya untuk lebih dekat."Pekerjaan itu adalah pekerjaan pelacur, Nami. Kami sudah menjualmu ke pemilik rumah bordil!"Piranda mendorong Nami. Dia terjerembab di bawah lantai. Piranda berjongkok. Piranda menarik rambut Nami kuat. Nami meringis kesakitan."Berkat kamu, kita mendapatkan uang banyak dan menikmati kemewahan ini, Nami.""Mulai sekarang, kamu tidak akan tinggal di sini lagi, tapi di rumah bordil. Rumah ini sudah menjadi hak milik kami!"Di saat Piranda masih menjambak rambut Nami, Bapina melempar sebuah dokumen. Piranda melepas jambakannya. Membiarkan Nami membaca dokumen tersebut dengan baik."S-surat cerai?"Nami mendongak menatap mereka berdua. "A-apa maksudnya ini, Bu? A-ayah sekarang sedang s-sakit," ucapnya tercekat. Nami menahan sesak di dadanya."Justru itulah aku menceraikannya dan merebut rumahnya. Siapa juga yang mau tinggal bersama orang yang sebentar lagi mati!"Deg!Bagaikan petir di siang bolong.Hancur hati Nami mendengarnya. Mengapa? Mengapa ini semua terjadi padanya?Dia sudah kehilangan keperawanan, dan sekarang? Dia diusir dan ayahnya diceraikan saat sedang kritis.Niat hati ingin mendapatkan pekerjaan mumpuni setelah lulus, Nami terjebak pada pekerjaan haram.Kenapa masalah datang bertubi-tubi?"Sebentar lagi pemilik rumah bordil datang dan menjemputmu. Bersiaplah!"Nami duduk dan menangis di sisi brankar ayahnya yang memejamkan mata tanpa berniat untuk membukanya selama setengah tahun terakhir ini. Penyakit jantung yang diderita oleh sang Ayah membuat ayahnya harus di rawat di rumah sakit.Itu terjadi sekitar satu tahun lalu.Namun, dalam waktu setengah tahun ini, ayahnya tidak membuka mata dan terus tidur selama setengah tahun. Karena hal itu, Nami harus segera mendapatkan biaya tambahan untuk ayah.Nami bekerja serabutan. Dia belum mendapatkan pekerjaan tetap.Perjuangan Nami sia-sia. Uang yang selama ini ia kumpulkan, ternyata telah dipakai ibu tirinya untuk foya-foya.Hatinya sangat hancur. Ditambah lagi rumahnya, tempat tinggal satu-satunya yang ia miliki bersama kenangan sang ayah juga dirampas oleh ibu tiri. Padahal itu adalah harapan satu-satunya jika nanti Nami membutuhkan uang, Nami akan menjualnya.Tapi sayang, ibu tirinya sudah merebut dari Nami dan mengusir Nami dari sana.Saat ini kondisi sang ayah belum ada tanda-tanda kehidup
Mobil Jeep berwarna hitam memasuki area parkiran bawah tanah. Dia pria berbadan kekar hampir kewalahan menghadapi wanita muda berumur 19 tahun yang terus menerus meronta hingga menganggu konsentrasi supir. Akhirnya salah satu dari mereka memberikan obat bius.Tiba di parkiran, Nami tersadar dari pingsannya. Kelopak matanya mulai terbuka secara perlahan. Kepalanya terasa pening dan berat. Nami kesulitan bergerak. Matanya langsung terbuka lebar saat ia menyadari adanya dua orang di samping kanan dan kirinya.Nami baru ingat! Dia diculik dan dibawa paksa oleh mereka."Lepaskan aku!!" Nami meronta lagi.Namun itu semua percuma, karna sekarang dia sudah berada di parkiran. Meskipun di lepas juga tidak akan bisa lari. Penjagaan rumah bordil sangat ketat. Mustahil bagi seorang Nami kabur dari sini."Sudahlah, pasrah saja dengan nasibmu sebagai pekerja di sini," kata pria itu enteng.Nami menggeleng. Dia mengulum bibirnya ke dalam menahan tangis. Ah sial sekali! Nami merasa menjadi orang ceng
"Nami, bagaimana kabarmu?" sapa Iko, teman dekat Nami. Iko memeluknya. Dia sangat rindu pada Nami.Hari ini Nami berkunjung ke rumah Iko. Tapi mereka berdua bertemu di jalan. Kebetulan Iko baru saja membeli surat daftar riwayat hidup di toko.Nami dan Iko janjian untuk mencari kerja bersama."Oh Nami aku sangat rindu. Selama ini kamu pasti sangat menderita. Maafkan aku yang tidak ada di masa sulitmu," Iko memeluk erat."Aku sudah mendengar kabar kematian Ayahmu. Kenapa kamu tidak mengabariku?" Iko mengelus punggung Nami menenangkan.Nami merapatkan bibirnya. Andaikan Iko tau apa yang sudah Nami alami, apakah Iko masih mau berteman dengannya? Nami berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia tidak boleh menangis. Dia tidak boleh terlihat lemah."Nami, jangan merasa sendirian. Aku di sini ada untukmu," Nami terenyuh mendengar kalimat manis dari mulut Iko.Nami membalas pelukannya. Runtuh sudah pertahanan Nami. Nami menangis. Dia luruh ke bawah, namun di tahan oleh Iko sehin
Sebuah senyuman seperti bulan sabit terpatri di sudut bibir Steven. Jari tangan mengelus pipi yang memerah tanpa henti. Zang—sekretaris Steven menaikkan salah satu alisnya.“Tuan muda, apa tamparan wanita itu begitu menyakitkan sampai anda tidak berhenti mengelusnya? Perlukah saya meminta office girl untuk mengambilkan kompres?” tanya Zang meminta persetujuan.Zang takut jika tamparan itu membuat emosi Steven tak stabil dan akan berimbas pada rapat nanti.“Zang, apa kau pernah melihat aku ditampar oleh wanita?”Zang menggeleng. “Tidak, Tuan. Sebaliknya, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan anda,” sahut Zang terus terang.Steven tersenyum miring. Menambah kesan arogan di wajahnya. Steven mengaggukkan kepalanya beberapa kali. Dia bangga dengan dirinya yang disukai banyak wanita.Tapi Steven tidak suka pada mereka. Mereka hanyalah hama pengganggu. Haus akan ketampanan dan uang yang dimiliki Steven saja.“Apa aku ini tampan, Zang?”Zang sedikit terkejut dengan pertanyaan Steven yang je
“S-siapa anda?” Nami membeku. Sekujur tubuh Nami gemetaran. Dia tak bisa mendengar ucapan pria itu dengan jelas. Penglihatannya memburam. Bola matanya membesar. Pria itu jelas ada di depannya persis. Pria itu menaiki ranjang perlahan-lahan mendekati Nami. Secara mendadak, napas Nami sedikit sesak. Dadanya terasa sangat sakit. Semakin pria itu maju, semakin pula Nami mundur hingga di ujung kasur. “Jangan dekati saya!” teriak Nami terus mengelak saat pria itu mencoba menyentuh tangannya. Kepala Nami bergoyang-goyang seperti merasakan gempa. Semua pandangan tiba-tiba saja menggelap. Kelopak mata Nami berkerjap lambat sampai akhirnya terpejam dan wanita itu limbung jatuh terjerembab di bawah lantai. Pria itu duduk di atas ranjang. Kepalanya tertoleh memperhatikan Nami yang sudah pingsan di bawah sana. Ia geleng-geleng kepala. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. “Pingsan?” kekehan pelan terdengar sumbang di ruangan itu. Menghirup udara sedalam mungkin lalu mengh
Deruman suara motor saling bersahutan di jalan. Berlalu lalang dengan kecepatan tak menentu. Ada yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi ada pula yang pelan sembari menikmati pemandangan bunga yang mekar di pinggir jalan.Tak hanya motor, namun juga banyak sekali macam-macam kendaraan. Ada motor matic, motor sport , mobil, motor listrik, sepeda listrik dan lain sebagainya. Tidak ada truk bermuatan.Jalanan ramai tapi tidak sampai macet. Setau Nami, jika dijalanan kota, pasti tidak jauh-jauh dari kata macet. Tapi untuk hari ini, tidak ada kemacetan.Nami melirik jam tangannya. Jarum pendek menunjuk pada angka 10. Jarum panjang menunjuk pada angka 2. Jika dibaca, jam menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh menit.Nami duduk di sebuah bangku kota yang berada di dekat pinggir jalan. Bangku yang sudah disediakan untuk orang-orang yang ingin duduk sembari menikmati indahnya bunga-bunga yang berderet rapi.Kaki Nami bergoyang-goyang kecil ke depan ke belakang. Tangannya memeluk sebuah
Rambut hitam lebat berkilau tergerai begitu indah. Lurus dan halus. Anak rambut terbang mengikuti arah angin. Kakinya berlarian kecil. Sempat lupa jalan menuju kantin perusahaan.Semua pegawai kantin harus datang lebih awal daripada karyawan kantor yang lain. Menyiapkan makanan dan menata meja. Nami berangkat sendirian. Karna Iko berangkat lebih dulu dengan naik ojek. Motor Iko rusak lagi.Nami berhenti sejenak. Mencari sebuah tulisan kantin. Nami melihat tulisan tersebut. Nami segera meluncur ke kantin. Sebelum bekerja, semua pekerja baru diberi arahan dan petunjuk.Setelah mendapatkan arah, mereka melakukan pekerjaan masing-masing. Nami, Iko dan tujuh orang lainnya yang menjadi waiters berbagi tugas. Mengelap meja dan mengepel lantai.Nami dan Iko kebagian tugas mengelap lantai. Nami bekerja dengan begitu semangat. Senyuman manis tak pernah luntur dari bibirnya.Kantin perusahaan sangat besar. Dulu, semua karyawan harus antri untuk mengambil makanan, namun karna itu membutuhkan wakt
Nami menatap datar pria di depannya ini. Sedangkan Steven menampilkan senyum dingin yang menambah kesan arogan di wajahnya. Bohong jika Nami tidak takut, hanya saja, Nami mencoba baik-baik saja.Nami menarik salah satu sudut bibirnya seraya bersilang dada. "Maaf, meskipun di dunia ini tidak ada yang gratis. Selama saya masih di sini dan belum keluar dari rumah bordil, saya tidak akan memenuhi permintaan anda!"Nami berbalik. Melangkah pergi setelah ia berhasil merogoh saku celana Steven dan mendapatkan kunci kamar tanpa sepengetahuan Steven. Dia menolak tidur dengannya malam ini. Walaupun Steven menawarkan uang satu miliar yang bahkan bisa langsung melunasi semua hutang rumah sakit.Tetapi, Nami tidak mau dibodohi. Dia sudah menyetujui penawaran namun, karna Steven masih belum membuktikan ucapannya, Nami menolak permintaan Steven.Transaksi? Jika sudah transaksi, pasti Madam Sherly akan datang dan menjemput Nami. Mempersilahkan Nami pergi dari rumah bordil.Nami menyunggingkan senyum