"Apa kamu sakit, Iko?"Nami memegang pundak Iko. Wajah wanita itu nampak pucat pasi. Sedari tadi ia terus memilin jari jemarinya. Perlahan-lahan Iko menolehkan wajahnya ke arah Nami. Senyumnya mengembang lebar, dia menggeleng pelan."Ti-tidak Nami," jawabnya gugup."Tapi kenapa raut wajahmu seperti ketakutan?" Nami mendekatkan wajahnya ke telinga Iko. "Apa tempat yang akan kita datangi itu berhantu?" bisik Nami. Nami jadi merinding membayangkan sosok hantu di siang hari.Iko membulatkan matanya. Dia memukul pelan lengan Nami. "Jaga bicaramu, Nami. Kalau Pak Warno tau bisa dimarahi!"Pak Warno adalah kepala kantin yang mengatur semua pekerjaan di kantin. Sekarang, orang itu ada di depan Iko dan Nami mengabsen para staff."Yang sudah saya absen, segera naik mobil. Kita harus segera berangkat ke rumah Tuan Arroyan!" titah Pak Warno mengeraskan suaranya agar semua orang mendengarnya, karna saat para karyawan sudah berkumpul suasana berubah berisik. Membicarakan gosip baru terhangat."Iko,
Gejolak di dalam perut melambung tinggi naik ke atas melewati kerongkongan dan tertahan di sana. Kelopak mata yang tertutup, terbuka lebar. Nami menutup mulut rapat-rapat. Bangun dari tidurnya dan merangkak turun dari ranjang.Bola mata melirik sekeliling. Ruangan yang berbeda itu membuatnya bingung mencari kamar mandi. Tak bisa memikirkan apa yang sudah terjadi, yang kini ia butuhkan hanyalah tempat untuk mengeluarkan isi perutnya.Gelisah berjalan kesana-kemari belum menemukan apa yang ia cari. Mata Nami berbinar melihat pintu kamar mandi. Segera bergegas menuju kamar mandi. Membuka pintu dengan keras.Tiba di wastafel, Nami mengeluarkan muntahan. Semua yang dimakan oleh Nami kemarin, keluar dengan lancar. Nami sedikit lega setelah memuntahkan semuanya. Tangannya terulur menyentuh kepala bagian atas.Memijat pelipisnya yang mendadak pusing. Rasa sakit itu seperti diakibatkan oleh hantaman batu besar serta tabrakan antara kepala dan dinding dengan sangat keras.Kakinya lemas seperti
Nami meronta-ronta hingga menangis di hadapan pria tampan berwibawa itu. Meminta lelaki itu untuk membiarkan dirinya tetap bekerja sebagai waiters di kantin. Sudah lima kali Nami mendapatkan penolakan dari Steven dan ini sudah ke-enam kalinya. Nami menjatuhkan harga dirinya bertekuk lutut di kaki Steven."Kamu akan jadi istri seorang CEO dan tidak mungkin kamu bekerja sebagai staff kantin, Nona," ucap Steven selembut sutra menyentuh dagu Nami. Kemudian menuntun Nami agar wanita itu berdiri dari setengah sujudnya.Steven menarik tubuh Nami mendekat. "Jangan kamu bertekuk lutut seperti ini, aku tidak suka. Sebagai wanita kamu harus tetap menjaga kehormatan diri."Nami terdiam kaku. Dia mengusap air matanya kasar. "Menjaga kehormatan diri?" Nami berdecih. Ia menepis tangan Steven. "Bukankah anda yang sudah merebut mahkota saya?"Steven menyunggingkan cengiran kuda. Tak ada rasa penyesalan sama sekali di raut wajahnya yang tampan dan mempesona itu. "Khilaf, Nona!"Nami menyilangkan kedua
Nami bergerak tak tenang. Sial sekali dia harus diantar oleh supir pribadi Steven. Pria itu sudah tau jika dirinya berbohong supaya bisa keluar dari rumah dan pergi menemui Iko, sehingga tak akan membiarkan Nami kabur semudah itu.Melihat nona mudanya yang bergerak tak tenang pun, Komiran---supir pribadi Steven meliriknya melalui spion depan. "Ada apa Nona? Kenapa tampaknya anda tidak nyaman?"Nami mengerjapkan matanya lambat. Nami menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. "A-anu, Pak. Sebenarnya saya tidak nyaman kalau harus naik mobil pribadi om pedof-" Nami mendelik. Ia menepuk jidat. Bisa-bisanya dia hampir keceplosan memanggil Steven om pedofil."T-tuan Steven." Nami segera memperbaiki panggilannya."Kenapa, Nona? Bukankah kalau sama saya jauh lebih aman?""Bukan seperti itu maksudnya, Pak. Tapi saya tidak mau kalau ada orang kantor yang tau. Karna saya kerja masih pekerja di sana."Memang sangat berat mengetahui jika Nami bekerja di perusahaan Steven, dan sudah meng-klaim bahwa
Iko melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan jika jam istirahat telah habis. Iko beranjak berdiri sembari memegang pundak Nami."Nami maaf, jam istirahat sudah habis. Aku kembali bekerja dulu!" Iko berpamitan pada Nami. Wanita itu menganggukkan kepalanya disertai senyuman kecil."Semangat kerjanya, Iko!" Nami memberikan semangat pada Iko.Iko membalasnya dengan senyuman. Lalu kepalanya mendongak dan turun dua kali sembari menunjukkan jari jempolnya berbentuk oke. "Oke, Nami." Iko menapak dengan langkah sedikit cepat. Di ambang pintu, Iko sedikit terjingkat kaget hingga mundur beberapa langkah.Iko tersenyum canggung, ia mengangguk menundukkan kepalanya sedikit ke bawah seperti sedang memberi hormat pada seseorang sembari melirik Nami. Nami menaikkan satu alisnya memperhatikan sikap Iko yang tampak aneh.Belum sempat Nami bertanya, Iko sudah pergi. Nami menghela napas panjang. Ia menurunkan pandangannya memperhatikan dokumen yang ia pegang. Haruskah ia menyerahkan dokumen ini pad
Nami berkeliling mall bersama Sele setelah mendapatkan gaun pengantin pilihannya. Sele ingin membelikan barang-barang lainnya untuk calon menantu serta calon cucunya yang lahir 8 bulan lagi. Ini masih terlalu dini untuk mempersiapkan, apalagi jenis kelamin bayi belum diketahui.Sele terlalu berlebihan, wanita itu membelikan semua barang bayi perempuan dan laki-laki. Nami pun hanya bisa menghela napas pelan. Tidak berani protes meskipun ia ingin menolaknya.Nami hanya mengekori Sele di belakang tanpa ikut memilih-milih baju. Sedari tadi hanya Sele saja yang meminta pendapat Nami, dan Nami hanya mengangguk saja menyetujui. Nami tidak berani menolak."Kamu suka ini sayang?"Sele memperlihatkan sebuah lingerie seksi berwarna merah pada Nami. Wanita itu sedikit terkejut. Ia membulat sempurna.Nami meneguk ludahnya. Tidak mungkin jika lingerie itu untuk Nami 'kan? Nami tidak akan memakainya. Tidak cocok untuk tubuhnya yang kurus.Nami menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. Nami belum me
"Gawat! aku terlambat 20 menit!"Iko buru-buru memakirkan sepeda motornya tanpa melepas helm. Wanita itu lupa jika masih memakai helm. Karna terburu-buru, ia tak sempat melepasnya. Iko segera berlari menuju pintu belakang kantin, yaitu pintu khusus karyawan.'Sedang diperbaiki. Harap untuk lewat pintu utama.'Tulisan itu menempel di pintu belakang.Iko membuang napas kasar. Decakan keluar dari mulutnya. "Sejak kapan pintunya rusak?" Iko bergegas kembali menuju pintu utama."Iko, kamu baru datang?" sapa Pia---cleaning service yang sedang membuang sampah di tong sampah dekat satpam.Iko berjalan sembari menoleh ke belakang. Ia melambaikan tangannya. "Iya, aku terlambat!" kata Iko melangkahkan kaki bergerak cepat.Pia geleng-geleng kepala. "Hm, terlambat. Awas nanti kamu di hukum sama Pak Warno!" kata Pia memberikan peringatan agar Iko mempersiapkan diri sebelum dihukum oleh Pak Warno---kepala kantin.Iko mendesah pelan. Ia mengangguk. Iko sadar akan kesalahannya, jadi dia akan menerima
Sekitar ada 8 orang yang sedang mempekerjakan proyek untuk cabang baru butik Gerrard Group. Steven terus mengikuti perkembangan proyek yang dikerjakan bersama istrinya, Taranami Sharifa Shanephila yang ia pinang beberapa waktu lalu.Nami sudah menolak dan ingin menetap di rumah saja, tetapi Steven mengajaknya, ah lebih tepatnya memaksa. Steven membuatkan butik ini atas nama Nami tanpa sepengatahuan Nami. Steven ingin Nami memiliki usaha. Jika ia bosan di rumah bisa berkunjung di butik.Walaupun Steven membangunkan usaha untuk Nami, tetapi Steven tetap memperkejakan orang untuk mengolah butik Nami nanti. Steven tidak mau jika Nami banyak pikiran. Nami hanya cukup menerima uangnya saja.Nami menunggu mie ayam. Nami ngidam. Ia ingin makan mie ayam dengan toping ayam yang sangat banyak. Nami menelan salivanya. Air liurnya terus mengucur deras di tenggorokan."Hah ... kapan mie ayamnya datang, ya?"Nami mengusap perutnya yang masih datar. Ia mengusap bibirnya pelan. Rasa ingin makan mie ay
"Berhenti!"Steven memberikan titah pada Zang untuk menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah makan sederhana. Steven memasukkan benda pipih ke dalam saku. Kepalanya menoleh ke samping. Iamenajamkan indera penglihatannya pada seorang wanita cantik yang tengah makan lalapan ditemani dua orang maid."Zang, apakah dia malaikatku?" tanya Steven memastikan.Zang ikut menoleh. Ikut memperhatikan seseorang di sana. Satu alisnya terangkat ke atas. "Malaikat?" gumamnya."Dia bukan malaikatmu, dia Nami, istrimu."Steven melempar pandang pada Zang. "Istriku malaikatku juga Zang!" ucapnya sedikit ketus..Zang pun menjawab. "Bukan, malaikatmu itu bernama maut. Apakah kau ingin bertemu malaikat maut? Kalau iya, aku tabrakan mobil ini ke truk yang sedang melaju kencang itu, Steven," tawar Zang membuat bulu kuduk Steven merinding."Sialan kau Zang!" Steven mengumpat. Pria itu keluar dari mobil. Menutupnya dengan kasar sembari berkata, "kau saja yang mati!"Zang tertawa kecil mendengar kekesa
'Apa benar si Nami bicara seperti itu, Bu?''Iya, Nami bilang dia akan datang mengambil rumah ini lagi. Bagaimana ini Piranda? Bagaimana kalau kita jadi gelandangan?''Tidak akan, lihat saja kalau sampai dia berani ambil alih rumah ini lagi!'Pikiran Piranda melayang mengingat percakapannya dengan sang ibu beberapa hari lalu tentang kedatangan Nami di rumah mereka.Ingat! Ini sudah menjadi rumah mereka! Bukan rumah Nami lagi.Mendengar perkataan Nami yang sudah seperti di atas langit membuat Piranda sangat amat jengah sampai tak bisa tidur dengan nyenyak. Bawah mata Piranda menghitam layaknya mata panda. Dia kurang tidur beberapa hari ini memikirkan ide jahat lagi.Kalau seperti ini, Piranda ingin mendapat hati Steven semakin cepat tetapi ia bingung apa yang harus ia lakukan agar tidak gagal lagi? Ide dari Pujangga—pekerja Madam Sherly sudah bagus hanya saja, diwaktu yang salah.Piranda jadi tak tenang. Design yang harusnya deadline hari ini belum selesai. Darwin sakit dan terpaksa wa
Bulan madu yang harusnya membuat hubungan suami istri menjadi mesra dan romantis ternyata tidak sesuai ekspektasi Steven. Niatnya pergi ke Bali selama satu bulan supaya bisa membuat hubungannya dengan Nami lebih baik, tetapi dalam keadaan Nami yang hamil menuju tiga bulan membuat emosi Nami tak stabil dan sering mual-mual.Apalagi saat mencium aroma parfum Steven. Pria itu sering mendapatkm kekerasan secara fisik seperti pukulan, tamparan sampai tendangan maut Nami saat bangun tidur. Dikarenakan kondisi Nami yang belum stabil, akhirnya Steven memutuskan untuk kembali ke Jakarta.Nami pun meminta maaf pada Steven karna belum bisa membuat bulan madu mereka indah.'Aku minta maaf karna sudah membuat bulan madu ini hancur, tapi ini terjadi juga karna kamu yang membuatku hamil!'Saat Nami berkata demikian, Steven pun juga memikirkan hal yang sama. Tapi, dia bangga. Bangga karna sudah membuat Nami menjadi miliknya seutuhnya."Nanti, bawakan aku bekal lagi, ya?" Steven memeluk perut Nami dar
Nami mencetak satu centong nasi goreng buatannya di mangkok kecil untuk membentuk nasi berbentuk setengah bulat dengan cara sedikit menekan. Kemudian Nami menata bentukan nasi tersebut ke dalam wadah bekal yang sudah ia siapkan.Tak lupa juga Nami menambahkan telur mata sapi di atas nasi goreng sebagai hiasan serta beberapa irisan cabai ia tancapkan di kuning telur. Melihat penampilan nasi goreng itu saja sudah menggugah selera, apalagi saat satu sendok nasi meluncur masuk ke dalam mulut? Pasti siapapun yang menikmati akan merasakan surga dunia.Bahkan para koki yang bertugas memasak di dapur keluarga Arroyan saja mengakui bahwa nasi goreng spesial buatan Nami ini sangatlah lezat.Nami sudah mempersiapkan bekal yang akan ia bawakan untuk Steven. Pria itu tidak meminta Nami untuk membawakan bekal, tapi ini adalah inisiatif Nami sendiri.Tentu saja dengan adanya tujuan tersendiri.Bukan tujuan untuk membuat Steven semakin jatuh cinta pada Nami, bukan!! Melainkan tujuan untuk membuat Pira
Steven sangat menikmati pemandangan terindah yang pernah ia lihat sebelumnya selama masa hidupnya. Bahkan tak hanya pemandangan dari luar, tetapi dari dalam juga.Ah ada apa dengan otaknya?Kotor sekali!Seorang gadis—ah bukan gadis! Melainkan seorang wanita cantik dengan rambut panjang hitam berkilau tengah terapung di atas air menciptakan ombak kecil dengan tangan serta kakinya.Tinggi badan sekitar seratus enam puluhan itu nampak sangat mungil di matanya. Berbeda sedikit jauh dengan tinggi badannya yang mencapai seratus tujuh puluhan. Meski mungil, dia sangat seksi layaknya gitar spanyol. Sembari memandang tubuh seksi milik nona kecilnya, Steven meminum segelas wine di kursi santai.Nami—wanita yang dipandangi oleh Steven mencapai garis finish setelah berenang sebanyak 15 putaran. Sebelum hamil, dia mampu memutari kolam renang di pemandian umum sebanyak 25 putaran, tapi sekarang tubuhnya sudah terasa lelah.Nami memunculkan kepalanya di atas air. Mengusap wajahnya menyugar rambutny
Steven terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Pria itu menoleh ke samping, sosok wanita berwajah cantik tengah terlelap di tidurnya yang nyaman. Steven membaringkan tubuhnya sedikit menyamping untuk melihat wajah istrinya. Steven memperhatikan wajah Nami lekat. Membelai lembut pipi wanita itu yang mulai mengembang.Steven menyingkirkan anak rambut yang menghalangi kecantikan Nami. Satu kecupan sayang ia daratkan di kening wanita itu. Seulas senyum terbit di bibir tipis merah muda milik Steven.Steven duduk di ranjangnya. Ia menurunkan kedua kakinya di bawah lantai seraya menyugar rambutnya ke belakang. Steven hanya memakai celana pendek tanpa baju. Steven menuangkan segelas air minum di dalam gelas lalu meminumnya hingga tandas. Tak lupa juga ia menyiapkan minuman untuk Nami dan menutupnya agar tak ada serangga yang masuk ke dalam minumannya.Steven beranjak dari ranjang. Sebelum meninggalkan kamar, Steven menarik selimut untuk menutupi tubuh Nami. Pria itu keluar kamar tanpa memakai b
Kilatan petir bercahaya itu merambat menuju kerak bumi disertai suara sambaran yang begitu memekik telinga. Bulan mulai menghilang tertutup oleh awan, cahaya bintang mulai redup. Angin ribut berdesau kencang disertai awan kelabu yang menggelap menandakan akan ada badai turun yang melanda bumi bersamaan dengan tetesan air hujan.Steven mendongak menatap langit hitam digelapnya malam dari jendela mobil yang tertutup. Tarikan napas itu sangat panjang. Ia menghirup oksigen sebanyak mungkin. Membayangkan bagaimana mengerikannya kilatan petir itu, ia mengingat istrinya di rumah. Steven melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Pria itu takut jika wanitanya ketakutan.Steven menyalip beberapa pengendara lain dengan sangat amat lihai seperti seorang pembalap handal. Tak memperdulikan suara klakson yang saling bersahutan dari beberapa pengendara untuk memperingati Steven. Percuma, karna itu tak akan mempengaruhi Steven untuk mengurangi kecepatan. Justru suara klakson mereka membua
Piranda menaikkan kembali dress yang sempat ia turunkan hingga batas dada untuk menutupi tubuhnya yang sedikit terbuka. Tadi ia menurunkan dress-nya untuk berfoto selfi lalu ia kirimkan kepada Nami. Seringaian iblis tak luntur di wajahnya cantiknya. Ia memilin rambut yang terurai di samping pipi."Mari kita lihat bagaimana reaksi Nami saat melihat suaminya tidur bersama wanita lain." Piranda mengirimkan foto selfie yang baru saja ia ambil bersama Steven. Pria itu tengah tertidur pulas akibat obat tidur yang dituangkan oleh Andi di minumannya.Piranda menurunkan pandangannya ke bawah ranjang, di mana Steven masih memejamkan mata, sudut bibirnya tertarik ke atas. Piranda mengusap peluh keringat Steven yang mengalir."Apakah kamu tidur nyenyak, calon suamiku?" Piranda terkekeh geli. Ia membayangkan ketika mimpinya menjadi nyata. Mimpi jika dirinya sudah menjadi istri dari seorang Steven. Pasti akan sangat amat membahagiakan.Lalu wanita itu beralih menatap ponselnya dan menunggu reaksi d
"Selamat datang, Nami."Nami menunduk hormat pada Arroyan setelah melewati ambang pintu. Dia hanya berdiam diri di sana dan tidak melanjutkan langkahnya untuk masuk. Nami tau adab. Jika belum dipersilahkan masuk, maka dia belum boleh masuk."Masuk!"Nami mengulas senyum tipis. Mendengar titah dari Tuan Arroyan—kakek Steven sekaligus pemilik Gerrard Group, baru lah Nami melangkahkan kakinya untuk masuk lebih dalam. Dilihatnya ada dua buah kursi yang memang disediakan di depan meja kantor Arroyan sebagai kursi tamu atau karyawan yang akan ia ajak diskusi, dan Nami duduk di salah satu kursi tersebut setelah mendapat perintah duduk."Apa kamu tau mengapa saya memanggil kamu ke sini, Nami?"Tentu Nami tidak tau. Bahkan sejak ia mengetahui jika orang yang memanggil dirinya adalah Arroyan saja jantungnya sudah hampir copot. Di setiap tapak lantai yang ia pijak menjadi saksi bagaimana gemetarnya kaki Nami saat hendak mendekati pintu kantor khusus milik Arroyan yang ada di mansion ini.Nami pu