"Nami, bagaimana kabarmu?" sapa Iko, teman dekat Nami. Iko memeluknya. Dia sangat rindu pada Nami.
Hari ini Nami berkunjung ke rumah Iko. Tapi mereka berdua bertemu di jalan. Kebetulan Iko baru saja membeli surat daftar riwayat hidup di toko.Nami dan Iko janjian untuk mencari kerja bersama."Oh Nami aku sangat rindu. Selama ini kamu pasti sangat menderita. Maafkan aku yang tidak ada di masa sulitmu," Iko memeluk erat."Aku sudah mendengar kabar kematian Ayahmu. Kenapa kamu tidak mengabariku?" Iko mengelus punggung Nami menenangkan.Nami merapatkan bibirnya. Andaikan Iko tau apa yang sudah Nami alami, apakah Iko masih mau berteman dengannya? Nami berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia tidak boleh menangis. Dia tidak boleh terlihat lemah."Nami, jangan merasa sendirian. Aku di sini ada untukmu," Nami terenyuh mendengar kalimat manis dari mulut Iko.Nami membalas pelukannya. Runtuh sudah pertahanan Nami. Nami menangis. Dia luruh ke bawah, namun di tahan oleh Iko sehingga Nami tidak jatuh ke lantai."I-iko... N-nami sudah kehilangan semuanya," Nami memeluk erat tubuh Iko. Dia menangis sesenggukan. Meluapkan semua kesedihan yang selama ini ia pendam.Iko hanya mengetahui tentang kematian ayahnya saja tanpa mengetahui jika Nami sudah dijual oleh mantan ibu tirinya. Meski Nami tidak memberitahukannya pada Iko, tapi sebagai sahabat satu-satunya, Iko merasakan ada sesuatu yang Nami sembunyikan.Belakangan ini, Iko mencari Nami tapi hasilnya nihil. Nami selalu tidak ada di rumah. W******p yang selalu aktif pun nampak tidak aktif dalam waktu lama. Iko sangat mengkhawatirkan Nami.Iko melepas pelukannya. Dia menangkup wajah Nami. "Nami, aku tau ada yang kamu sembunyikan dari aku."Nami menggigit bibir bawahnya. Nami tidak ingin menyembunyikan sesuatu dari sahabatnya, hanya saja Nami belum siap Iko mengetahui semuanya.Nami menggeleng pelan. "Tidak ada, Iko. Nami baik-baik saja.""Mulutmu bilang baik-baik saja, Nami. Tapi matamu tidak bisa berbohong. Kita sudah berteman lama, aku harap kamu menjadikan aku tempat ceritamu," pinta Iko.Iko akan menjadi sahabat yang gagal jika dia tidak ada di saat Nami susah.Nami menarik napas dalam. Hanya Iko yang dapat dia percaya. Nami pun mengangguk. "Baiklah Iko, aku akan menceritakannya padamu."Iko sedang mendengarnya. Dia menawarkan sebuah ide. "Bagaimana kalau kita ke kafe dulu?"Nami mengerutkan keningnya. "Kafe?""Pokoknya kamu harus memberitahu aku semua masalahmu. Kita tunda dulu cari pekerjaan, jadi ayo sekarang kita ke kafe," ajak Iko. Nami setuju.Nami dan Iko berada di salah satu kafe dekat jalan raya. Lumayan jauh dari rumah Iko. Iko yang merekomendasikan tempat ini. Nami sedikit khawatir biaya makanannya, tapi Iko bilang dia mentraktirnya, Nami sedikit lega.Nami memberanikan diri untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya tak ingin ia ceritakan kepada siapapun pada Iko, sahabatnya.Iko mendengarkan dengan seksama. Raut wajahnya tak bisa dikondisikan. Keningnya berkerut. Matanya menyala menyiratkan sebuah amarah. Apalagi saat Nami cerita jika Piranda sudah menjebak dirinya dan menjadikannya tumbal, hingga akhirnya tidur bersama seorang pria tak dikenal.Rahang Iko menegas. Dia tidak terima sahabatnya diperlakukan sangat buruk oleh dua orang itu. Tangan Iko mengepal kuat. Dia menggebrak meja kafe. Semua orang menoleh. Nami dan Iko menjadi pusat perhatian.Nami terjingkat kaget. "Iko!!" peringatnya menarik Iko duduk."DASAR TIDAK TAU MALU!" teriak Iko kesal. Nami menoleh memperhatikan para pengunjung yang lain. Mereka menatap sengit ke arah Nami dan Iko."Iko, jangan seperti ini!""Habisnya aku emosi. Bisa-bisanya mereka memperlakukanmu seperti itu, Nami!" emosinya meledak sampai air matanya ikut keluar."Kamu dijebak, semua uang hasil kerja kerasmu dirampas, kamu di usir sama mereka, aku sakit hati!!" Iko menepuk dadanya pelan.Iko yang mendengar saja merasakan betapa pedihnya. Lalu bagaimana dengan Nami yang mengalami itu?Iko tidak bisa bayangkan. Jika dirinya yang ada di posisi Nami, pasti Iko memilih bunuh diri. Iko menangis sesenggukan. Dia menutup matanya. Nami menghela nafas pelan. Nami mengelus lengan Iko."Iko..., aku baik-baik saja."Iko menggeleng kuat. "Tidak, Nami. Aku tau kamu sangat menderita," Iko mengusap air matanya pelan. Dia menggenggam kedua tangan Nami."Nami, sekarang kamu tinggal di mana?" Iko takut jika Nami tidur di tempat kumuh.Nami menampilkan senyuman lebar. "Kamu tenang saja, aku tinggal di rumah bibiku," Nami tidak mau membawa Iko ke dalam masalahnya terlalu dalam."Kamu tidak bohong, kan?""Tidak, Iko. Nami jujur," seutas senyuman tersungging di bibir Nami. Berharap Iko percaya padanya.Iko lega mendengarnya. "Jika kamu tidak betah tinggal di sana, kamu bisa tinggal di rumahku, Nami," ucapan Iko mendapat anggukan dari Nami."Iko?""Iya? Ada apa Nami?"Nami meneguk ludahnya. Menatap Iko dengan tatapan sedih. "A-apa Iko masih mau berteman dengan Nami?" tanya Nami hati-hati.Iko yang mendengarnya tertawa keras. "Apa kamu pikir aku akan meninggalkan sahabatku setelah tau permasalahannya?"Nami mengangguk jujur.Iko geleng-geleng kepala. "Tidak, Nami. Aku akan selalu ada di sampingmu."Nami mengulas senyum. "Terima kasih sudah menjadi sahabatku, Iko,"Iko mengangguk. "Nami, ayo antarkan aku ke makam Ayah."Ayah yang dimaksud oleh Iko adalah ayah Nami. Iko sudah menganggap Martio seperti ayah kandung sendiri. Iko sudah pernah berkunjung ke makam ayah Nami, tapi rasanya seperti ada yang kurang jika tidak datang bersama Nami.Di saat mereka berdua keluar dari kafe menuju makam, Nami tidak sengaja bertubrukan dengan pria bertubuh besar yang berjalan sambil menatap ponsel tanpa melihat ke depan."Aduh," Nami mengaduh kesakitan saat kepalanya terbentur dada bidang pria itu."Nami, kamu tidak papa?" tanya Iko khawatir. Nami menganggukkan kepala tanda ia baik-baik saja.Tapi saat ia mendongak ke atas, bola matanya terbelalak. Bagaimana tidak? Nami melihat seseorang lelaki brengsek tidak tau diri itu di depannya.Lelaki yang sudah merenggut kesuciannya. Lelaki yang sudah bekerja sama dengan saudari tirinya.Lelaki yang sudah membuat Nami kehilangan semuanya dan lelaki itu berani memunculkan wajahnya di depan Nami?Memang tidak tau diri!"Brengsek!!" Nami menampar pria itu. Membuat semua orang yang melihatnya terkejut bukan main termasuk Iko.Sedangkan pria itu menerima tamparan dari Nami. Pria itu tau jika Nami melampiaskan kekesalannya karna kejadian kala itu.Pria itu memegang pipinya. "Kenapa kamu menamparku, Nona?""Apa karna kamu merindukanku?" tanya lelaki itu tanpa rasa bersalah sedikit pun.Gila! Memang sudah gila!Nami menggertakkan giginya. "Siapa yang akan merindukan lelaki brengsek seperti anda? Tidak ada!"Nami menunjuk lelaki itu dengan jarinya. "Sebaliknya, saya sangat muak melihat wajah anda!"Andai saja Nami tau siapa orang ini, dia tidak akan berani berkata demikian. Karna pria ini adalah pria yang sangat disegani oleh banyak orang. Ya, dia adalah Steven De Gerrard--CEO di perusahaan milik Kakek Steven.Nami mendengar cacian yang para pengunjung lontarkan padanya. Nami tidak peduli. Karna Nami sangat muak melihat orang ini. Nami juga tidak peduli padanya."Saya harap tidak bertemu dengan anda lagi, Tuan!"Steven tersenyum miring. "Semoga kita bertemu lagi, Nona kecil."Sebuah senyuman seperti bulan sabit terpatri di sudut bibir Steven. Jari tangan mengelus pipi yang memerah tanpa henti. Zang—sekretaris Steven menaikkan salah satu alisnya.“Tuan muda, apa tamparan wanita itu begitu menyakitkan sampai anda tidak berhenti mengelusnya? Perlukah saya meminta office girl untuk mengambilkan kompres?” tanya Zang meminta persetujuan.Zang takut jika tamparan itu membuat emosi Steven tak stabil dan akan berimbas pada rapat nanti.“Zang, apa kau pernah melihat aku ditampar oleh wanita?”Zang menggeleng. “Tidak, Tuan. Sebaliknya, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan anda,” sahut Zang terus terang.Steven tersenyum miring. Menambah kesan arogan di wajahnya. Steven mengaggukkan kepalanya beberapa kali. Dia bangga dengan dirinya yang disukai banyak wanita.Tapi Steven tidak suka pada mereka. Mereka hanyalah hama pengganggu. Haus akan ketampanan dan uang yang dimiliki Steven saja.“Apa aku ini tampan, Zang?”Zang sedikit terkejut dengan pertanyaan Steven yang je
“S-siapa anda?” Nami membeku. Sekujur tubuh Nami gemetaran. Dia tak bisa mendengar ucapan pria itu dengan jelas. Penglihatannya memburam. Bola matanya membesar. Pria itu jelas ada di depannya persis. Pria itu menaiki ranjang perlahan-lahan mendekati Nami. Secara mendadak, napas Nami sedikit sesak. Dadanya terasa sangat sakit. Semakin pria itu maju, semakin pula Nami mundur hingga di ujung kasur. “Jangan dekati saya!” teriak Nami terus mengelak saat pria itu mencoba menyentuh tangannya. Kepala Nami bergoyang-goyang seperti merasakan gempa. Semua pandangan tiba-tiba saja menggelap. Kelopak mata Nami berkerjap lambat sampai akhirnya terpejam dan wanita itu limbung jatuh terjerembab di bawah lantai. Pria itu duduk di atas ranjang. Kepalanya tertoleh memperhatikan Nami yang sudah pingsan di bawah sana. Ia geleng-geleng kepala. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. “Pingsan?” kekehan pelan terdengar sumbang di ruangan itu. Menghirup udara sedalam mungkin lalu mengh
Deruman suara motor saling bersahutan di jalan. Berlalu lalang dengan kecepatan tak menentu. Ada yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi ada pula yang pelan sembari menikmati pemandangan bunga yang mekar di pinggir jalan.Tak hanya motor, namun juga banyak sekali macam-macam kendaraan. Ada motor matic, motor sport , mobil, motor listrik, sepeda listrik dan lain sebagainya. Tidak ada truk bermuatan.Jalanan ramai tapi tidak sampai macet. Setau Nami, jika dijalanan kota, pasti tidak jauh-jauh dari kata macet. Tapi untuk hari ini, tidak ada kemacetan.Nami melirik jam tangannya. Jarum pendek menunjuk pada angka 10. Jarum panjang menunjuk pada angka 2. Jika dibaca, jam menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh menit.Nami duduk di sebuah bangku kota yang berada di dekat pinggir jalan. Bangku yang sudah disediakan untuk orang-orang yang ingin duduk sembari menikmati indahnya bunga-bunga yang berderet rapi.Kaki Nami bergoyang-goyang kecil ke depan ke belakang. Tangannya memeluk sebuah
Rambut hitam lebat berkilau tergerai begitu indah. Lurus dan halus. Anak rambut terbang mengikuti arah angin. Kakinya berlarian kecil. Sempat lupa jalan menuju kantin perusahaan.Semua pegawai kantin harus datang lebih awal daripada karyawan kantor yang lain. Menyiapkan makanan dan menata meja. Nami berangkat sendirian. Karna Iko berangkat lebih dulu dengan naik ojek. Motor Iko rusak lagi.Nami berhenti sejenak. Mencari sebuah tulisan kantin. Nami melihat tulisan tersebut. Nami segera meluncur ke kantin. Sebelum bekerja, semua pekerja baru diberi arahan dan petunjuk.Setelah mendapatkan arah, mereka melakukan pekerjaan masing-masing. Nami, Iko dan tujuh orang lainnya yang menjadi waiters berbagi tugas. Mengelap meja dan mengepel lantai.Nami dan Iko kebagian tugas mengelap lantai. Nami bekerja dengan begitu semangat. Senyuman manis tak pernah luntur dari bibirnya.Kantin perusahaan sangat besar. Dulu, semua karyawan harus antri untuk mengambil makanan, namun karna itu membutuhkan wakt
Nami menatap datar pria di depannya ini. Sedangkan Steven menampilkan senyum dingin yang menambah kesan arogan di wajahnya. Bohong jika Nami tidak takut, hanya saja, Nami mencoba baik-baik saja.Nami menarik salah satu sudut bibirnya seraya bersilang dada. "Maaf, meskipun di dunia ini tidak ada yang gratis. Selama saya masih di sini dan belum keluar dari rumah bordil, saya tidak akan memenuhi permintaan anda!"Nami berbalik. Melangkah pergi setelah ia berhasil merogoh saku celana Steven dan mendapatkan kunci kamar tanpa sepengetahuan Steven. Dia menolak tidur dengannya malam ini. Walaupun Steven menawarkan uang satu miliar yang bahkan bisa langsung melunasi semua hutang rumah sakit.Tetapi, Nami tidak mau dibodohi. Dia sudah menyetujui penawaran namun, karna Steven masih belum membuktikan ucapannya, Nami menolak permintaan Steven.Transaksi? Jika sudah transaksi, pasti Madam Sherly akan datang dan menjemput Nami. Mempersilahkan Nami pergi dari rumah bordil.Nami menyunggingkan senyum
"Apa kamu sakit, Iko?"Nami memegang pundak Iko. Wajah wanita itu nampak pucat pasi. Sedari tadi ia terus memilin jari jemarinya. Perlahan-lahan Iko menolehkan wajahnya ke arah Nami. Senyumnya mengembang lebar, dia menggeleng pelan."Ti-tidak Nami," jawabnya gugup."Tapi kenapa raut wajahmu seperti ketakutan?" Nami mendekatkan wajahnya ke telinga Iko. "Apa tempat yang akan kita datangi itu berhantu?" bisik Nami. Nami jadi merinding membayangkan sosok hantu di siang hari.Iko membulatkan matanya. Dia memukul pelan lengan Nami. "Jaga bicaramu, Nami. Kalau Pak Warno tau bisa dimarahi!"Pak Warno adalah kepala kantin yang mengatur semua pekerjaan di kantin. Sekarang, orang itu ada di depan Iko dan Nami mengabsen para staff."Yang sudah saya absen, segera naik mobil. Kita harus segera berangkat ke rumah Tuan Arroyan!" titah Pak Warno mengeraskan suaranya agar semua orang mendengarnya, karna saat para karyawan sudah berkumpul suasana berubah berisik. Membicarakan gosip baru terhangat."Iko,
Gejolak di dalam perut melambung tinggi naik ke atas melewati kerongkongan dan tertahan di sana. Kelopak mata yang tertutup, terbuka lebar. Nami menutup mulut rapat-rapat. Bangun dari tidurnya dan merangkak turun dari ranjang.Bola mata melirik sekeliling. Ruangan yang berbeda itu membuatnya bingung mencari kamar mandi. Tak bisa memikirkan apa yang sudah terjadi, yang kini ia butuhkan hanyalah tempat untuk mengeluarkan isi perutnya.Gelisah berjalan kesana-kemari belum menemukan apa yang ia cari. Mata Nami berbinar melihat pintu kamar mandi. Segera bergegas menuju kamar mandi. Membuka pintu dengan keras.Tiba di wastafel, Nami mengeluarkan muntahan. Semua yang dimakan oleh Nami kemarin, keluar dengan lancar. Nami sedikit lega setelah memuntahkan semuanya. Tangannya terulur menyentuh kepala bagian atas.Memijat pelipisnya yang mendadak pusing. Rasa sakit itu seperti diakibatkan oleh hantaman batu besar serta tabrakan antara kepala dan dinding dengan sangat keras.Kakinya lemas seperti
Nami meronta-ronta hingga menangis di hadapan pria tampan berwibawa itu. Meminta lelaki itu untuk membiarkan dirinya tetap bekerja sebagai waiters di kantin. Sudah lima kali Nami mendapatkan penolakan dari Steven dan ini sudah ke-enam kalinya. Nami menjatuhkan harga dirinya bertekuk lutut di kaki Steven."Kamu akan jadi istri seorang CEO dan tidak mungkin kamu bekerja sebagai staff kantin, Nona," ucap Steven selembut sutra menyentuh dagu Nami. Kemudian menuntun Nami agar wanita itu berdiri dari setengah sujudnya.Steven menarik tubuh Nami mendekat. "Jangan kamu bertekuk lutut seperti ini, aku tidak suka. Sebagai wanita kamu harus tetap menjaga kehormatan diri."Nami terdiam kaku. Dia mengusap air matanya kasar. "Menjaga kehormatan diri?" Nami berdecih. Ia menepis tangan Steven. "Bukankah anda yang sudah merebut mahkota saya?"Steven menyunggingkan cengiran kuda. Tak ada rasa penyesalan sama sekali di raut wajahnya yang tampan dan mempesona itu. "Khilaf, Nona!"Nami menyilangkan kedua