Sebuah senyuman seperti bulan sabit terpatri di sudut bibir Steven. Jari tangan mengelus pipi yang memerah tanpa henti. Zang—sekretaris Steven menaikkan salah satu alisnya.
“Tuan muda, apa tamparan wanita itu begitu menyakitkan sampai anda tidak berhenti mengelusnya? Perlukah saya meminta office girl untuk mengambilkan kompres?” tanya Zang meminta persetujuan.Zang takut jika tamparan itu membuat emosi Steven tak stabil dan akan berimbas pada rapat nanti.“Zang, apa kau pernah melihat aku ditampar oleh wanita?”Zang menggeleng. “Tidak, Tuan. Sebaliknya, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan anda,” sahut Zang terus terang.Steven tersenyum miring. Menambah kesan arogan di wajahnya. Steven mengaggukkan kepalanya beberapa kali. Dia bangga dengan dirinya yang disukai banyak wanita.Tapi Steven tidak suka pada mereka. Mereka hanyalah hama pengganggu. Haus akan ketampanan dan uang yang dimiliki Steven saja.“Apa aku ini tampan, Zang?”Zang sedikit terkejut dengan pertanyaan Steven yang jelas-jelas pria itu tau sendiri jawabannya. Apa Steven ini mau memamerkan ketampannya pada Zang?Sombong sekali pria itu. Zang juga tau jika Steven tampan, kaya raya, dan cerdas. Tapi Zang juga tampan, meski satu tingkat dibawah Seven.Zang lantas mengangguk sekali. “Iya, Tuan. Anda sangat tampan.”Steven membuang napasnya kasar. Dia beranjak berdiri dari kursi besarnya. Lalu melangkahkan kakinya mendekti jendela. Memperhatikan jalanan yang cukup ramai.“Aku setuju denganmu. Tapi kenapa wanita yang kita temui tadi pagi sangat membenciku?”Zang tidak tau harus menjawab apa. Sebab Steven sendirilah yang membuat wanita muda itu membencinya.Beberapa hari yang lalu, Zang mendapatkan perintah dari Steven untuk menyampaikan pesan pada Madam Sherly, jika dia akan membeli wanita untuk satu malam dengannya.Zang tau, Steven bukanlah lelaki yang akan memuaskan hasrat dengan wanita lain jika bukan pilihannya sendiri.Namun, saat Steven mendapat kabar jika Madam Sherly telah merekrut anggota baru, Steven dengan cepat membelinya dua kali lipat dari harga jual.Dengan syarat Madam Sherly tidak boleh memberitahukan kepada siapa pun jika Steven yang sudah membelinya. Termasuk pada seseorang yang telah menjual wanita itu.Wanita yang dimaksud adalah Nami, yang ia beli untuk satu malam. wanita yang menampar Steven di depan banyak orang. “Tuan, bolehhkah saya bertanya?”Steven menolehkan wajahnya pada Zang tanpa berbalik. “Apa?”“Apa Tuan kenal dengan wanita itu?”Steven menampilkan senyum tipis. Senyuman yang menyiratkan sesuatu. “Tidak,” sahut Steven.“Apa anda jatuh cinta pada wanita itu, Tuan?”Steven langsung berbalik. Alisnya menukik. “Zang, aku tidak akan pernah jatuh cinta pada siapa pun. Karna bagiku semua wanita sama saja. Mereka hanya menginginkan harta!”Steven sedikit melonggarkan dasinya. Dadanya terasa sesak. Dia melangkahkan kaki keluar ruangan. “Segera siapkan dokumen yang diperlukan untuk rapat. Kita akan mulai rapatnya lima menit lagi!” perintah Steven.Setelah Zang menyampaikan perintah itu pada semua karyawan kantor, seluruh ruangan menjadi hiruk piuk. Rapat yang akan dijadwalkan satu jam ke depan dirubah dan dimajukan lima menit lagi.Terjadi kepanikan. Tidak ada ketenangan. Semua bergegas menuju ruang rapat. Menuruti perintah CEO arogan nan tidak suka dengan kata terlambat. Atau nanti akan mendapatkan hukuman yang tidak diinginkan.***Suara dentingan piring serta sendok bergema di ruang makan. Hari ini Steven makan malam bersama keluarga setelah sekian lama. Jika bukan karna permintaan sang mama, mungkin Steven tidak datang.Sebab Steven tau, apa maksud wanita cantik setengah baya mengundangnya makan malam.“Sebentar lagi Kakekmu datang,” ucap Sele—Mama Steven.Terdengar suara helaan dari mulut Steven dan sepertinya Sele tidak mau mendengar alasan apapun. Buktinya, saat Steven mau mengeluarkan suara, wanita itu menyudahi makannya dan berlalu begitu saja.Di ruang makan hanya tinggal Steven dan juga Zang. Steven meletakkan sendok. Dia tidak nafsu makan. “Kau tau jika Kakek akan datang, Zang?”Zang mengangguik. “Nyonya besar tidak memperbolehkan saya umtuk memberitahukan hal itu pada anda, Tuan.”“Kenapa? Aku juga perlu tau hal itu.” Jawab Steven.“Karna jika anda mengetahuinya, anda tidak datang ke sini.”“Ya, itu benar.” Zang menghela napas panjang. Sudah ia duga.Pria baya sudah berumur namun masih terlihat tampan dan berwibawa itu menatap tajam Steven. Kedua tangan bersilang dada. Sedangkan Steven yang tengah ditatap nampak mengabaikan kehadirannya.Pria itu fokus pada pekerjaanya. Mengecek dan memperbaiki dokumen penting. Jari lentiknya menari di atas keyboard laptop.“Kapan kamu akan menikah?” pertanyan yang sama setiap kali bertemu.Steven berhenti mengetik. Kepalanya mendongak malas. “Bisa Kakek tidak membahas itu?”Arroyan—Kakek Steven menggebrak meja keras. Matanya menatap nyalang cucu satu-satunya. “Tidak bisa, kamu harus secepatnya menikah! Kakek akan mewariskan perusahaan ini pada anakmu.”Steven memijat pangkal hidungnya. Dia bersandar di sofa. “Steven cucu Kakek. Steven lebih bisa memegang kendali perusahaan.”Arroyan membuang muka. “Tidak mau. Pokoknya bulan depan kamu harus menikah. Jika tidak, Kakek yang akan menjodohkanmu dengan rekan bisnis dan-“ ucapan Arroyan terpotong.“Baiklah, akan Steven usahakan,” tandas Seven. Dia tidak suka berdebat dengan pria tua yang memiliki penyakit jantung itu. Lebih baik menyudahi dan segera pergi.Malam ini Steven butuh hiburan untuk merileksasikan pikirannya. Pria itu beranjak dan pergi keluar. Meninggalkan kakeknya yang terus merneriaki nama Steven.Sejak bulan lalu, Arroyan selalu mendapatkan jawaban seperti itu, namun nyatanya sampai sekarang Steven belum menikah.“KAKEK TUNGGU! JIKA DALAM DUA MINGGU KAMU TIDAK MEMPERKENALKAN CALON ISTRIMU, KAMU AKAN KAKEK PECAT, STEVEN!”***Nami menarik napasnya dalam-dalam. Seluruh badannya panas dingin. Pujangga menggenggam erat tangan Nami. Dia meecoba untuk memberikan ketenangan serta semangat untuk Nami. Karna malam ini adalah malam pertama Nami bekerja di rumah bordil.Nami menahan air mata. Dia tidak sanggup. Napasnya tercekat tangannya bergetar hebat. Nami sangat ketakutan. Nami masih trauma, tapi haruskah dia mendapat trauma lagi?Nami ingin kabur. Tapi ada dua bodyguad khusus untuk menjaga Nami. Ini terlalu berlebihan. Nami bseperti seekor burung yang dikurung dalm sangkar.Tidak!Sampai kapan pun Nami tidak akan siap dengan pekerjaan ini. Nami berharap ada pangeran berkuda putih yang akan membawa Nami pergi dari sini.Nami menggigit bibirnya. Dia bergerak tak tenang. Dia gelisah, takut, dan khawatir. Rasanya Nami ingin menghilang dari muka bumi ini.Suara ketukan pintu terdengar. Nami menoleh cepat ke arah Pujngga. Matanya berkaca-kaca. Tatapannya memohon pertolongan pada Pujangga. “Pujangga, tolong aku,” pinta Nami memelas. sunnguh, dia sangat takut.Pujangga hanya bisa menghela napas pelan. Dia memeluk Nami. Mengelus punggungnya yang bergetar hebat akibat tangisan. Nami menangis sesenggukan.“Jiika aku bisa, aku pasti akan menolongmu, Nami. Tapi apa daya, kita sama-sama terjebak di dalam sangkar.”Nami semakin mengeratkan pelukannya. Tangisannya semakin keras hingga terdengar dari luar. “A-aku takut. Aku tidak mau melayani para hidung belang. Aku harus bagaimana, Pujangga?” Nami tidak tau harus berbuat apa.“Jangan menangis, Nami. Tenangkan dulu dirimu.”Nami melepas plukan dia menatap tajam Pujangga. “Bagaimana aku bisa tenang, Pujangga!”“Ini bukanlah pekerjaan yang aku mau-“ suara dari luar menghentikan ucpan Nami.“Pujangga, cepat keluar! Biarkan pelanggan kita masuk dan Nami melakukan perkejaannya!” Madam Sherly menggedor-gedor pintu. Sudah tiga menit lalu pelanggan datang.Madam Sherly memang menyuruh Pujangga untuk menasehati Nami supaya wanita itu mau melayani pelanggan.Pujangga mengelus lengan Nami. “Jalani takdirmu, Nami. Temanilah pelanggan malam ini,” ucap Pujangga sebelum ia keluar. “INI BUKAN TAKDIR!” teriak Nami tidak terima.Seorang pria berbeadan tegap masuk. Nami tegang. Dia mundur hingga ujung ranjang. Dia memeluk kakinya. Bibirnya bergetar ketakkutan.Napasnya tertahan bahkan untuk menelan ludah, Nami kesusahan. Pria itu berjas hitam. Nami yakin, pria itu adalah pekerja kantoran.“J-jangan dekati s-saya,” lirihnya dengan suara yang amat melas.Pria itu membuka jas. Menampilkan kemeja putih yang meperlihatkan dada bidang serta perut kotak-kotak. Meski kemeja itu tak di lepas, Nami bisa mengetahuinya. Kemeja putih itu mencetak jelas tubuh atletis pria itu.Pria itu melemparkan jas di atas sofa. Lalu berjalan ke samping ranjang. Nami menghindar. Dia menjauh. Laki-laki itu menampilkan senyum smirk. Seluruh tubuh Nami merinding seketika.“Apa kamu tidak mengingat saya, Nona?”“S-siapa anda?” Nami membeku. Sekujur tubuh Nami gemetaran. Dia tak bisa mendengar ucapan pria itu dengan jelas. Penglihatannya memburam. Bola matanya membesar. Pria itu jelas ada di depannya persis. Pria itu menaiki ranjang perlahan-lahan mendekati Nami. Secara mendadak, napas Nami sedikit sesak. Dadanya terasa sangat sakit. Semakin pria itu maju, semakin pula Nami mundur hingga di ujung kasur. “Jangan dekati saya!” teriak Nami terus mengelak saat pria itu mencoba menyentuh tangannya. Kepala Nami bergoyang-goyang seperti merasakan gempa. Semua pandangan tiba-tiba saja menggelap. Kelopak mata Nami berkerjap lambat sampai akhirnya terpejam dan wanita itu limbung jatuh terjerembab di bawah lantai. Pria itu duduk di atas ranjang. Kepalanya tertoleh memperhatikan Nami yang sudah pingsan di bawah sana. Ia geleng-geleng kepala. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. “Pingsan?” kekehan pelan terdengar sumbang di ruangan itu. Menghirup udara sedalam mungkin lalu mengh
Deruman suara motor saling bersahutan di jalan. Berlalu lalang dengan kecepatan tak menentu. Ada yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi ada pula yang pelan sembari menikmati pemandangan bunga yang mekar di pinggir jalan.Tak hanya motor, namun juga banyak sekali macam-macam kendaraan. Ada motor matic, motor sport , mobil, motor listrik, sepeda listrik dan lain sebagainya. Tidak ada truk bermuatan.Jalanan ramai tapi tidak sampai macet. Setau Nami, jika dijalanan kota, pasti tidak jauh-jauh dari kata macet. Tapi untuk hari ini, tidak ada kemacetan.Nami melirik jam tangannya. Jarum pendek menunjuk pada angka 10. Jarum panjang menunjuk pada angka 2. Jika dibaca, jam menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh menit.Nami duduk di sebuah bangku kota yang berada di dekat pinggir jalan. Bangku yang sudah disediakan untuk orang-orang yang ingin duduk sembari menikmati indahnya bunga-bunga yang berderet rapi.Kaki Nami bergoyang-goyang kecil ke depan ke belakang. Tangannya memeluk sebuah
Rambut hitam lebat berkilau tergerai begitu indah. Lurus dan halus. Anak rambut terbang mengikuti arah angin. Kakinya berlarian kecil. Sempat lupa jalan menuju kantin perusahaan.Semua pegawai kantin harus datang lebih awal daripada karyawan kantor yang lain. Menyiapkan makanan dan menata meja. Nami berangkat sendirian. Karna Iko berangkat lebih dulu dengan naik ojek. Motor Iko rusak lagi.Nami berhenti sejenak. Mencari sebuah tulisan kantin. Nami melihat tulisan tersebut. Nami segera meluncur ke kantin. Sebelum bekerja, semua pekerja baru diberi arahan dan petunjuk.Setelah mendapatkan arah, mereka melakukan pekerjaan masing-masing. Nami, Iko dan tujuh orang lainnya yang menjadi waiters berbagi tugas. Mengelap meja dan mengepel lantai.Nami dan Iko kebagian tugas mengelap lantai. Nami bekerja dengan begitu semangat. Senyuman manis tak pernah luntur dari bibirnya.Kantin perusahaan sangat besar. Dulu, semua karyawan harus antri untuk mengambil makanan, namun karna itu membutuhkan wakt
Nami menatap datar pria di depannya ini. Sedangkan Steven menampilkan senyum dingin yang menambah kesan arogan di wajahnya. Bohong jika Nami tidak takut, hanya saja, Nami mencoba baik-baik saja.Nami menarik salah satu sudut bibirnya seraya bersilang dada. "Maaf, meskipun di dunia ini tidak ada yang gratis. Selama saya masih di sini dan belum keluar dari rumah bordil, saya tidak akan memenuhi permintaan anda!"Nami berbalik. Melangkah pergi setelah ia berhasil merogoh saku celana Steven dan mendapatkan kunci kamar tanpa sepengetahuan Steven. Dia menolak tidur dengannya malam ini. Walaupun Steven menawarkan uang satu miliar yang bahkan bisa langsung melunasi semua hutang rumah sakit.Tetapi, Nami tidak mau dibodohi. Dia sudah menyetujui penawaran namun, karna Steven masih belum membuktikan ucapannya, Nami menolak permintaan Steven.Transaksi? Jika sudah transaksi, pasti Madam Sherly akan datang dan menjemput Nami. Mempersilahkan Nami pergi dari rumah bordil.Nami menyunggingkan senyum
"Apa kamu sakit, Iko?"Nami memegang pundak Iko. Wajah wanita itu nampak pucat pasi. Sedari tadi ia terus memilin jari jemarinya. Perlahan-lahan Iko menolehkan wajahnya ke arah Nami. Senyumnya mengembang lebar, dia menggeleng pelan."Ti-tidak Nami," jawabnya gugup."Tapi kenapa raut wajahmu seperti ketakutan?" Nami mendekatkan wajahnya ke telinga Iko. "Apa tempat yang akan kita datangi itu berhantu?" bisik Nami. Nami jadi merinding membayangkan sosok hantu di siang hari.Iko membulatkan matanya. Dia memukul pelan lengan Nami. "Jaga bicaramu, Nami. Kalau Pak Warno tau bisa dimarahi!"Pak Warno adalah kepala kantin yang mengatur semua pekerjaan di kantin. Sekarang, orang itu ada di depan Iko dan Nami mengabsen para staff."Yang sudah saya absen, segera naik mobil. Kita harus segera berangkat ke rumah Tuan Arroyan!" titah Pak Warno mengeraskan suaranya agar semua orang mendengarnya, karna saat para karyawan sudah berkumpul suasana berubah berisik. Membicarakan gosip baru terhangat."Iko,
Gejolak di dalam perut melambung tinggi naik ke atas melewati kerongkongan dan tertahan di sana. Kelopak mata yang tertutup, terbuka lebar. Nami menutup mulut rapat-rapat. Bangun dari tidurnya dan merangkak turun dari ranjang.Bola mata melirik sekeliling. Ruangan yang berbeda itu membuatnya bingung mencari kamar mandi. Tak bisa memikirkan apa yang sudah terjadi, yang kini ia butuhkan hanyalah tempat untuk mengeluarkan isi perutnya.Gelisah berjalan kesana-kemari belum menemukan apa yang ia cari. Mata Nami berbinar melihat pintu kamar mandi. Segera bergegas menuju kamar mandi. Membuka pintu dengan keras.Tiba di wastafel, Nami mengeluarkan muntahan. Semua yang dimakan oleh Nami kemarin, keluar dengan lancar. Nami sedikit lega setelah memuntahkan semuanya. Tangannya terulur menyentuh kepala bagian atas.Memijat pelipisnya yang mendadak pusing. Rasa sakit itu seperti diakibatkan oleh hantaman batu besar serta tabrakan antara kepala dan dinding dengan sangat keras.Kakinya lemas seperti
Nami meronta-ronta hingga menangis di hadapan pria tampan berwibawa itu. Meminta lelaki itu untuk membiarkan dirinya tetap bekerja sebagai waiters di kantin. Sudah lima kali Nami mendapatkan penolakan dari Steven dan ini sudah ke-enam kalinya. Nami menjatuhkan harga dirinya bertekuk lutut di kaki Steven."Kamu akan jadi istri seorang CEO dan tidak mungkin kamu bekerja sebagai staff kantin, Nona," ucap Steven selembut sutra menyentuh dagu Nami. Kemudian menuntun Nami agar wanita itu berdiri dari setengah sujudnya.Steven menarik tubuh Nami mendekat. "Jangan kamu bertekuk lutut seperti ini, aku tidak suka. Sebagai wanita kamu harus tetap menjaga kehormatan diri."Nami terdiam kaku. Dia mengusap air matanya kasar. "Menjaga kehormatan diri?" Nami berdecih. Ia menepis tangan Steven. "Bukankah anda yang sudah merebut mahkota saya?"Steven menyunggingkan cengiran kuda. Tak ada rasa penyesalan sama sekali di raut wajahnya yang tampan dan mempesona itu. "Khilaf, Nona!"Nami menyilangkan kedua
Nami bergerak tak tenang. Sial sekali dia harus diantar oleh supir pribadi Steven. Pria itu sudah tau jika dirinya berbohong supaya bisa keluar dari rumah dan pergi menemui Iko, sehingga tak akan membiarkan Nami kabur semudah itu.Melihat nona mudanya yang bergerak tak tenang pun, Komiran---supir pribadi Steven meliriknya melalui spion depan. "Ada apa Nona? Kenapa tampaknya anda tidak nyaman?"Nami mengerjapkan matanya lambat. Nami menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. "A-anu, Pak. Sebenarnya saya tidak nyaman kalau harus naik mobil pribadi om pedof-" Nami mendelik. Ia menepuk jidat. Bisa-bisanya dia hampir keceplosan memanggil Steven om pedofil."T-tuan Steven." Nami segera memperbaiki panggilannya."Kenapa, Nona? Bukankah kalau sama saya jauh lebih aman?""Bukan seperti itu maksudnya, Pak. Tapi saya tidak mau kalau ada orang kantor yang tau. Karna saya kerja masih pekerja di sana."Memang sangat berat mengetahui jika Nami bekerja di perusahaan Steven, dan sudah meng-klaim bahwa