“S-siapa anda?”
Nami membeku. Sekujur tubuh Nami gemetaran. Dia tak bisa mendengar ucapan pria itu dengan jelas. Penglihatannya memburam.Bola matanya membesar. Pria itu jelas ada di depannya persis. Pria itu menaiki ranjang perlahan-lahan mendekati Nami. Secara mendadak, napas Nami sedikit sesak. Dadanya terasa sangat sakit. Semakin pria itu maju, semakin pula Nami mundur hingga di ujung kasur.“Jangan dekati saya!” teriak Nami terus mengelak saat pria itu mencoba menyentuh tangannya.Kepala Nami bergoyang-goyang seperti merasakan gempa. Semua pandangan tiba-tiba saja menggelap. Kelopak mata Nami berkerjap lambat sampai akhirnya terpejam dan wanita itu limbung jatuh terjerembab di bawah lantai.Pria itu duduk di atas ranjang. Kepalanya tertoleh memperhatikan Nami yang sudah pingsan di bawah sana. Ia geleng-geleng kepala. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman.“Pingsan?” kekehan pelan terdengar sumbang di ruangan itu.Menghirup udara sedalam mungkin lalu menghembuskannya pelan. Dia gegas beranjak dari kasur dan menghampiri Nami yang sudah tergeletak pingsan layaknya mayat tak bernyawa.Hanya saja bedanya dada Nami naik turun dalam tempo cepat. Sudah bisa dipastikan bahwa jantung Nami pasti sedang berdegup kencang di dalam sana. Memompa darah mengalirkan ke seluruh tubuh.Ukuran tubuh Nami kecil serta berat badannya ideal, jadi tak perlu menggunakan tenaga dalam untuk mengangkat Nami dan menidurkannya di atas ranjang. Selimut tebal ia selimutkan ditubuh Nami.Badannya seakan remuk setelah bekerja seharian dan mondar-mandir kesana kemari, dan malam ini, di sini, di kamar bersama Nami adalah kegiatan terakhirnya untuk hari ini.Kakinya melangkah panjang menuju sofa. Membuka tas mengambil ponselnya. Memencet sebuah ikon bergambar kamera lalu memilih tulisan video. Pria itu mengambil video sosok Nami yang tertidur pulas.Mungkin jika orang lain yang melihat video ini tanpa tau kejadiannya, akan mengira Nami tertidur setelah melayani dirinya, padahal yang sebenarnya terjadi adalah Nami pingsan karna ketakutannya.Setelah merekam, pria itu duduk kembali dan memainkan ponsel. Dia akan menunggu Nami sadar.***Nami terdiam. Dia terhenyak setelah mengetahui siapa pria itu. Bukan, dia bukan Steven lelaki brengsek yang sudah merenggut mahkota Nami. Tetapi dia adalah pria yang berbeda.Nami tidak mengetahui pasti. Pasalnya, Nami merasa belum pernah bertemu dengan pria ini.“Aku Zang, sekretaris Tuan Steven,” katanya membuat darah Nami kembali mendidih.Nami sangat benci mendengar kata Steven. “Saya tidak kenal, dan saya tidak tau. Saya juga tidak pernah bertemu anda!” Nami memalingkan wajah. Dia malas menatap wajah yang berhubungan dengan Steven.“Kalau kamu lupa, kita pernah bertemu beberapa hari yang lalu.”Kedua alis Nami terangkat ke atas. “Kapan? Dan di mana?”“Aku ingatkan lagi, kita bertemu saat kamu menampar wajah Tuan Steven di pintu restoran. Tapi sepertinya kamu tidak melihatku.”Nami mencoba mengingat. Meski rasanya dia ingin kembali ke masa itu dan mengumpat bahkan menghajar laki-laki yang bernama Steven habis-habisan. Nami memang tak memperhatikan sekitar kala itu, yang dilihatnya hanya iblis di dalam tubuh manusia.Nami ingin mencabik-cabik tubuh Steven!“Tidak ingat,” ketus Nami menutup seluruh tubuh dengan selimut. Sedikit lega karena pria itu tidak menyentuhnya dan mencuri kesempatan saat ia pingsan.Entah berapa lama Nami pingsan. Nami juga tidak peduli. Nami ingin pingsan lagi. Supaya dia ada alasan menolak melayani.Pria itu adalah Zang, sekretaris sekaligus asisten Steven. Zang membuang napasnya kasar. Dia menyandarkan punggungnya di sofa.“Kamu tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu.”Beberapa kerutan muncul di kening Nami. “Kenapa?” merasa takut, tapi ia juga bingung kenapa pria itu tidak mau menyentuhnya.Bukankah jika sudah memesan pasti akan melakukan sesuatu?Tidak! Tidak!Nami tidak kecewa dengan perkataan Zang, sebaliknya dia sangat senang jika Zang tidak akan menyentuhnya, hanya saja, Nami merasa heran.Zang mengangguk sekali. “Kamu milik Tuanku, Steven. Jadi, tidak mungkin aku merebutmu darinya,”Sontak jawaban Zang membuat Nami mendelik dan melemparkan bantal ke wajah Zang. Pria itu sigap menangkapnya. Zang tidak marah, justru dia tertawa keras melihat reaksi Nami.“Sialan! Tadinya saya menghormati anda, tapi ternyata sama saja dengan manusia iblis itu!” Nami menggerutu kesal.“Tidak perlu formal. Jangan pakai anda, aku tidak begitu senang dengan panggilan anda kecuali dalam pekerjaan,” ujarnya.Nami menghela napas pelan. Dia hanya mengedikkan bahu. Baginya, tidak sopan jika Nami langsung memanggil dengan sebutan ‘kamu’ pada orang baru. Apalagi umurnya jauh di atas Nami.Ya, walaupun dia sempat mengumpat. Tapi jangan salahkan Nami jika dia mengumpat. Salahkan pria itu yang sudah memancing emosi Nami.“Aku hanya salah pesan. Jika aku tau pesananku adalah kamu, Aku pasti akan membatalkannya,” sahut Zang.Nami menatap cengo. Dia tidak paham. Nami menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. "Maksudnya?"Zang membuang napas. Pria itu beranjak berdiri sembari mengambil jasnya. Pria itu berjalan mendekati Nami. Nami membulatkan mata.“Mohon maaf, Bapak! Jangan mengingkari perkataan anda sendiri!” tegas Nami setengah berteriak. Dia mendengar jelas bahwa pria itu tidak akan menyentuhnya.Tapi apa ini?Kenapa dia melangkah mendekat?Pria itu menyodorkan sebuah kartu nama dan menaruhnya di atas nakas. “Jika kamu butuh pekerjaan lain, datanglah ke kantor ini. Aku akan membantumu bekerja paruh waktu di sana.”Nami mengerutkan dahi. Memperhatikan lamat-lamat kartu nama itu. Dia mendongak, tatapannya seolah bertanya pada Zang tanpa berniat mengambil kartu nama tersebut.“Aku hanya lulusan SMA.”“Hubungi aku jika datang.”Zang gegas berlalu pergi. Sebelum pergi, pria itu memberikan sebuah amplop coklat berisi uang ratusan ribu di atas nakas.“Saya tunggu di kedatanganmu,” tiba-tiba dia berubah menjadi formal.Setelah kepergian Zang, Nami mgambil amplop coklat. Membuka isinya. Nami terkejut. Beberapa lembar bahkan ratusan lembar di dalam amplop itu.Nami meneguk ludahnya susah payah. Ini pertama kalinya Nami memegang uang sebanyak itu. “Jadi ini hasil yang didapat jika bekerja di rumah bordil?”Nami geleng-geleng kepala. Meski uang yang didapat banyak, tetap saja, Nami ingin keluar. Entah bagaimana caranya. Nami pasti akan menemukan jalan.“Baiklah, karna Zang memberikan dengan tulus, uang ini akan aku buat membayar hutang rumah sakit.”Nami menyimpan uangnya. Lagi, dia menelisik kartu nama berwarna putih itu. Hanya tertera nama Zang serta alamat perusahaan.“Gerrard Group?”Senyum Nami terbit. “Aku harus memberitahu Iko, kita pasti bisa bekerja bersama di sana.”“Tunggu!!”Pikiran Nami kembali jernih. Nami menatap kartu nama Zang cukup lama. Kedipan mata Nami cepat. Dia menyadari ada yang janggal.“Bukannya Zang adalah sekretaris Steven? Jika dia memberikan kartu nama ini padaku, dan menawarkanku bekerja di sana, itu artinya aku akan bertemu Steven?”Nami menggeleng kuat.“Tidak! Tidak!!”“Aku tidak sudi bertemu dengan pria menyebalkan itu lagi!!”Nami meremas kartu nama Zang lalu membuangnya ke tempat sampah.“Zang sialan! Mau jebak aku rupanya,” umpat Nami.***Nami berjalan linglung di koridor rumah sakit. Tubuhnya sangat lemas. Semalam dia begadang dan tak bisa tidur. Terdapat mata panda di bawah area matanya.Nami menguap lebar. Berhenti sejenak seraya memegang salah satu tiang. Mengerjapkan mata beberapa kali berharap rasa kantuk bisa hilang.Nami juga merasa sedikit pusing. Wajahnya pucat pasti. Perutnya terasa mules dan mual. Sudah dua kali Nami mual dan mengeluarkan isi perut di kamar mandi.Apa ini karna ia memakan mie instan kadaluarsa?Malam kemarin, perut Nami keroncongan dan hanya ada mie instan di dapur. Tanpa melihat periode, Nami memasaknya dan memakannya dengan lahap.Setelah sekali makan, baru Nami tau jika mie dalam kemasan tersebut sudah kadaluarsa. Nami memijat kening kepalanya.“Mual sekali,” Nami berusaha untuk terus berjalan dan mengabaikan rasa tidak nyamannya.Bisa jadi karena ia ini terjadi sebab ia terlambat datang bulan. Nami mengelus perutnya. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya.Nami bergegas menuju resepsionis dan membayar pengobatan ayahnya yang masih belum lunas. Nami disambut hangat oleh beberapa suster. Mereka sudah mengenal Nami cukup lama, dan Nami termasuk orang yang mudah bersosialisasi.“Hai, Nami. Lama tidak terlihat. Bagaimana kabarmu?” tanya Vika, perawat ayahnya dulu.“Baik, Kak Vika,” jawab Nami ramah.“Syukurlah, selama ini kamu pasti sudah bekerja keras. Iam so proud of you, Nami,” Vika menepuk-nepuk pundak Nami. Dia bangga pada Nami.Nami tersenyum lebar. “Terima kasih, Kak Vika.”Perbincangan singkat itu berakhir. Nami segera membayar biaya pengobatan almarhum ayah. Masih ada sisa 70% lagi untuk lunas.Nami sangat bersyukur diberi kesempatan untuk menyicil hutang oleh dokter."Ayah, maafkan Nami. Nami membayar hutang dengan uang hasil bekerja di rumah bordil," sesal Nami bergumam pelan."Ayah tenang saja, sebentar lagi Nami pasti akan keluar dari sana dan menyicil hutang atas jerih payah Nami sendiri.""Pastinya bukan dengan uang haram."Deruman suara motor saling bersahutan di jalan. Berlalu lalang dengan kecepatan tak menentu. Ada yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi ada pula yang pelan sembari menikmati pemandangan bunga yang mekar di pinggir jalan.Tak hanya motor, namun juga banyak sekali macam-macam kendaraan. Ada motor matic, motor sport , mobil, motor listrik, sepeda listrik dan lain sebagainya. Tidak ada truk bermuatan.Jalanan ramai tapi tidak sampai macet. Setau Nami, jika dijalanan kota, pasti tidak jauh-jauh dari kata macet. Tapi untuk hari ini, tidak ada kemacetan.Nami melirik jam tangannya. Jarum pendek menunjuk pada angka 10. Jarum panjang menunjuk pada angka 2. Jika dibaca, jam menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh menit.Nami duduk di sebuah bangku kota yang berada di dekat pinggir jalan. Bangku yang sudah disediakan untuk orang-orang yang ingin duduk sembari menikmati indahnya bunga-bunga yang berderet rapi.Kaki Nami bergoyang-goyang kecil ke depan ke belakang. Tangannya memeluk sebuah
Rambut hitam lebat berkilau tergerai begitu indah. Lurus dan halus. Anak rambut terbang mengikuti arah angin. Kakinya berlarian kecil. Sempat lupa jalan menuju kantin perusahaan.Semua pegawai kantin harus datang lebih awal daripada karyawan kantor yang lain. Menyiapkan makanan dan menata meja. Nami berangkat sendirian. Karna Iko berangkat lebih dulu dengan naik ojek. Motor Iko rusak lagi.Nami berhenti sejenak. Mencari sebuah tulisan kantin. Nami melihat tulisan tersebut. Nami segera meluncur ke kantin. Sebelum bekerja, semua pekerja baru diberi arahan dan petunjuk.Setelah mendapatkan arah, mereka melakukan pekerjaan masing-masing. Nami, Iko dan tujuh orang lainnya yang menjadi waiters berbagi tugas. Mengelap meja dan mengepel lantai.Nami dan Iko kebagian tugas mengelap lantai. Nami bekerja dengan begitu semangat. Senyuman manis tak pernah luntur dari bibirnya.Kantin perusahaan sangat besar. Dulu, semua karyawan harus antri untuk mengambil makanan, namun karna itu membutuhkan wakt
Nami menatap datar pria di depannya ini. Sedangkan Steven menampilkan senyum dingin yang menambah kesan arogan di wajahnya. Bohong jika Nami tidak takut, hanya saja, Nami mencoba baik-baik saja.Nami menarik salah satu sudut bibirnya seraya bersilang dada. "Maaf, meskipun di dunia ini tidak ada yang gratis. Selama saya masih di sini dan belum keluar dari rumah bordil, saya tidak akan memenuhi permintaan anda!"Nami berbalik. Melangkah pergi setelah ia berhasil merogoh saku celana Steven dan mendapatkan kunci kamar tanpa sepengetahuan Steven. Dia menolak tidur dengannya malam ini. Walaupun Steven menawarkan uang satu miliar yang bahkan bisa langsung melunasi semua hutang rumah sakit.Tetapi, Nami tidak mau dibodohi. Dia sudah menyetujui penawaran namun, karna Steven masih belum membuktikan ucapannya, Nami menolak permintaan Steven.Transaksi? Jika sudah transaksi, pasti Madam Sherly akan datang dan menjemput Nami. Mempersilahkan Nami pergi dari rumah bordil.Nami menyunggingkan senyum
"Apa kamu sakit, Iko?"Nami memegang pundak Iko. Wajah wanita itu nampak pucat pasi. Sedari tadi ia terus memilin jari jemarinya. Perlahan-lahan Iko menolehkan wajahnya ke arah Nami. Senyumnya mengembang lebar, dia menggeleng pelan."Ti-tidak Nami," jawabnya gugup."Tapi kenapa raut wajahmu seperti ketakutan?" Nami mendekatkan wajahnya ke telinga Iko. "Apa tempat yang akan kita datangi itu berhantu?" bisik Nami. Nami jadi merinding membayangkan sosok hantu di siang hari.Iko membulatkan matanya. Dia memukul pelan lengan Nami. "Jaga bicaramu, Nami. Kalau Pak Warno tau bisa dimarahi!"Pak Warno adalah kepala kantin yang mengatur semua pekerjaan di kantin. Sekarang, orang itu ada di depan Iko dan Nami mengabsen para staff."Yang sudah saya absen, segera naik mobil. Kita harus segera berangkat ke rumah Tuan Arroyan!" titah Pak Warno mengeraskan suaranya agar semua orang mendengarnya, karna saat para karyawan sudah berkumpul suasana berubah berisik. Membicarakan gosip baru terhangat."Iko,
Gejolak di dalam perut melambung tinggi naik ke atas melewati kerongkongan dan tertahan di sana. Kelopak mata yang tertutup, terbuka lebar. Nami menutup mulut rapat-rapat. Bangun dari tidurnya dan merangkak turun dari ranjang.Bola mata melirik sekeliling. Ruangan yang berbeda itu membuatnya bingung mencari kamar mandi. Tak bisa memikirkan apa yang sudah terjadi, yang kini ia butuhkan hanyalah tempat untuk mengeluarkan isi perutnya.Gelisah berjalan kesana-kemari belum menemukan apa yang ia cari. Mata Nami berbinar melihat pintu kamar mandi. Segera bergegas menuju kamar mandi. Membuka pintu dengan keras.Tiba di wastafel, Nami mengeluarkan muntahan. Semua yang dimakan oleh Nami kemarin, keluar dengan lancar. Nami sedikit lega setelah memuntahkan semuanya. Tangannya terulur menyentuh kepala bagian atas.Memijat pelipisnya yang mendadak pusing. Rasa sakit itu seperti diakibatkan oleh hantaman batu besar serta tabrakan antara kepala dan dinding dengan sangat keras.Kakinya lemas seperti
Nami meronta-ronta hingga menangis di hadapan pria tampan berwibawa itu. Meminta lelaki itu untuk membiarkan dirinya tetap bekerja sebagai waiters di kantin. Sudah lima kali Nami mendapatkan penolakan dari Steven dan ini sudah ke-enam kalinya. Nami menjatuhkan harga dirinya bertekuk lutut di kaki Steven."Kamu akan jadi istri seorang CEO dan tidak mungkin kamu bekerja sebagai staff kantin, Nona," ucap Steven selembut sutra menyentuh dagu Nami. Kemudian menuntun Nami agar wanita itu berdiri dari setengah sujudnya.Steven menarik tubuh Nami mendekat. "Jangan kamu bertekuk lutut seperti ini, aku tidak suka. Sebagai wanita kamu harus tetap menjaga kehormatan diri."Nami terdiam kaku. Dia mengusap air matanya kasar. "Menjaga kehormatan diri?" Nami berdecih. Ia menepis tangan Steven. "Bukankah anda yang sudah merebut mahkota saya?"Steven menyunggingkan cengiran kuda. Tak ada rasa penyesalan sama sekali di raut wajahnya yang tampan dan mempesona itu. "Khilaf, Nona!"Nami menyilangkan kedua
Nami bergerak tak tenang. Sial sekali dia harus diantar oleh supir pribadi Steven. Pria itu sudah tau jika dirinya berbohong supaya bisa keluar dari rumah dan pergi menemui Iko, sehingga tak akan membiarkan Nami kabur semudah itu.Melihat nona mudanya yang bergerak tak tenang pun, Komiran---supir pribadi Steven meliriknya melalui spion depan. "Ada apa Nona? Kenapa tampaknya anda tidak nyaman?"Nami mengerjapkan matanya lambat. Nami menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. "A-anu, Pak. Sebenarnya saya tidak nyaman kalau harus naik mobil pribadi om pedof-" Nami mendelik. Ia menepuk jidat. Bisa-bisanya dia hampir keceplosan memanggil Steven om pedofil."T-tuan Steven." Nami segera memperbaiki panggilannya."Kenapa, Nona? Bukankah kalau sama saya jauh lebih aman?""Bukan seperti itu maksudnya, Pak. Tapi saya tidak mau kalau ada orang kantor yang tau. Karna saya kerja masih pekerja di sana."Memang sangat berat mengetahui jika Nami bekerja di perusahaan Steven, dan sudah meng-klaim bahwa
Iko melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan jika jam istirahat telah habis. Iko beranjak berdiri sembari memegang pundak Nami."Nami maaf, jam istirahat sudah habis. Aku kembali bekerja dulu!" Iko berpamitan pada Nami. Wanita itu menganggukkan kepalanya disertai senyuman kecil."Semangat kerjanya, Iko!" Nami memberikan semangat pada Iko.Iko membalasnya dengan senyuman. Lalu kepalanya mendongak dan turun dua kali sembari menunjukkan jari jempolnya berbentuk oke. "Oke, Nami." Iko menapak dengan langkah sedikit cepat. Di ambang pintu, Iko sedikit terjingkat kaget hingga mundur beberapa langkah.Iko tersenyum canggung, ia mengangguk menundukkan kepalanya sedikit ke bawah seperti sedang memberi hormat pada seseorang sembari melirik Nami. Nami menaikkan satu alisnya memperhatikan sikap Iko yang tampak aneh.Belum sempat Nami bertanya, Iko sudah pergi. Nami menghela napas panjang. Ia menurunkan pandangannya memperhatikan dokumen yang ia pegang. Haruskah ia menyerahkan dokumen ini pad