Mobil Jeep berwarna hitam memasuki area parkiran bawah tanah. Dia pria berbadan kekar hampir kewalahan menghadapi wanita muda berumur 19 tahun yang terus menerus meronta hingga menganggu konsentrasi supir. Akhirnya salah satu dari mereka memberikan obat bius.
Tiba di parkiran, Nami tersadar dari pingsannya. Kelopak matanya mulai terbuka secara perlahan. Kepalanya terasa pening dan berat. Nami kesulitan bergerak. Matanya langsung terbuka lebar saat ia menyadari adanya dua orang di samping kanan dan kirinya.Nami baru ingat! Dia diculik dan dibawa paksa oleh mereka."Lepaskan aku!!" Nami meronta lagi.Namun itu semua percuma, karna sekarang dia sudah berada di parkiran. Meskipun di lepas juga tidak akan bisa lari. Penjagaan rumah bordil sangat ketat. Mustahil bagi seorang Nami kabur dari sini."Sudahlah, pasrah saja dengan nasibmu sebagai pekerja di sini," kata pria itu enteng.Nami menggeleng. Dia mengulum bibirnya ke dalam menahan tangis. Ah sial sekali! Nami merasa menjadi orang cengeng beberapa hari ini."A-aku tidak mau," tolaknya.Pintu mobil terbuka. Menampakkan seorang wanita muda yang sangat anggun dan cantik. Kedua pria itu keluar. Mempersilahkan Madam Sherly masuk."Hai, kamu pasti Nami, ya?" sapa MadamSherly--pemilik rumah bordil menjemput pelayan cantik barunya. Madam Sherly menyembulkan asap rokok sekali menghadap ke luar mobil. Setelah itu membuang putung rokok asal.Bibir Nami bergetar. Nami memeluk tubuhnya. Madam Sherly menyunggingkan senyum manis. Dia sangat mengerti apa yang dirasakan Nami. Dua hari yang lalu, dia mengadakan pesta di rumah Bapina. Bapina menceritakan tentang kematian mantan suaminya padanya.Serta perjuangan Nami demi biaya sang ayah. Untungnya, dokter yang mengobati penyakit ayahnya memberikan keringanan untuk Nami, dan membiarkan wanita itu membayarnya nyicil.Madam Sherly prihatin pada gadis malang ini. Madam Sherly membuang napas kasar. Menyentuh lengan Nami mengusapnya pelan. Nami menepisnya pelan. Tidak mengizinkan wanita itu menyentuhnya."Madam tau semua yang sudah terjadi padamu, Nami. Tenang saja, jika kamu belum siap, Madam tidak akan memaksamu," ucap Madam Sherly.Mendengar kalimat itu seperti pantulan bola.Melayang ke atas lalu terjatuh ke bawah lagi. Nami pikir, tadi Madam Sherly akan membebaskannya. Tapi ternyata tidak."S-saya tidak mau di sini, tolong bebaskan saya," pinta Nami memohon sambil menggenggam kedua tangan Madam Sherly. Matanya berbinar mengharapkan sebuah keajaiban dimana Madam Sherly akan kasihan padanya dan membiarkannya pergi.Madam Sherly menghela napas pelan sembari memejamkan mata dan membukanya perlahan setelah beberapa detik. Menyatukan kedua tangan Nami jadi satu."Nami, dengarkan Madam. Ini pertama kalinya kita bertemu. Jadi Madam akan memperkenalkan diri dulu. Namaku Sherly, kamu bisa memanggiku Madam Sherly. Aku pemilik rumah Bintang Merah.""Bintang Merah?" Nami mengerutkan keningnya.Madam Sherly mengangguk. "Nama rumah bordil ini," sambungnya.Madam Sherly mengusap rambut Nami. Nami menggeser kepalanya, dia masih belum bisa menerima kehadiran wanita itu.Madam Sherly selalu menunjukkan kasih sayangnya pada semua pelayan yang bekerja dengannya. Jika ada yang menyakiti wanita-wanitanya, Madam Sherly tidak akan segan-segan menghukum orang itu. Semua pekerja di sini sangat berharga bagi Madam Sherly."Tidak apa jika kamu masih belum terbiasa, karna lama-lama rumah ini akan seperti rumah kamu sendiri,"Hah!Lelucon macam ini! Bagaimana bisa wanita itu berkata demikian? Rumah bordil akan menjadi seperti rumah sendiri?Tentu saja tidak!Bahkan di sini jauh lebih buruk daripada neraka."Semua pelayan di sini sudah aku atur jadwalnya masing-masing, termasuk kamu. Untuk tiga hari ke depan, silahkan kamu berkeliling rumah bordil supaya bisa menyesuaikan lingkungan dan hafal setiap nomor kamar.""Madam akan membebaskan kamu dari pesanan pelanggan. Kalau kamu mau cari pekerjaan lain, silahkan. Cari kerja untuk siang hari, tapi malam hari, kamu harus di sini.”Nami tidak bisa mendeskripsikan perasaannya. Tidak bisa senang maupun sedih.Hati Nami terasa mati.Apakah Nami harus mulai menerima takdirnya di rumah bordil ini?Jawabannya adalah tidak!Nami akan mencari cara bagaimana caranya supaya bisa keluar dari sini.Jika bisa mencari perkejaan yang lebih layak, Nami tidak akan mau bekerja di sini. Lihat saja nanti, apapun akan Nami lakukan supaya Nami bisa bebas dari sini.***Madam Sherly menyiapkan make up artis profesional dan juga dress warna hitam satin untuk dikenakan oleh Nami. Malam ini rumah bordil Bintang Merah akan mengadakan pesta penyambutan Nami sebagai anggota baru.Jam 7 malam, semua anggota sudah berkumpul. Acara malam ini akan berjalan selama kurang lebih dua jam."Natural saja, saya tidak suka terlalu menor.""Baiklah, aku akan membuat kamu cantik malam ini," serunya.Nami meminta make up artis untuk tidak mendandani dirinya terlalu menor. Nami ingin make up yang natural dan terlihat fresh. Meski sebenarnya Nami menolak, tetapi Madam Sherly memaksa Nami untuk ikut acara tersebut.Madam Sherly bersandar di ambang pintu sembari menghisap rokok. Menunggu make up Nami selesai. "Apa belum selesai?""Sudah, Madam." Sahut Pia--sang make up artis.Setelah satu jam lamanya bergelut dengan kuas-kuas make up. Akhirnya Pia bisa menyelesaikan pekerjaan mendadani Nami menjadi wanita paling cantik malam ini.Madam Sherly masuk ke dalam ruangan. Matanya bercahaya. Mengagumi kecantikan Nami yang sangat luar biasa.Madam Sherly sampai geleng-geleng kepala tak percaya dengan apa yang ia lihat. Nami seperti bukan Nami. Nami seperti artis papan atas terkenal. Diantara wanita yang ada di rumah bordil Bintang Merah, Nami adalah wanita tercantik kedua setelah Pujangga.Madam Sherly melangkah mendekati Nami. Menangkup kedua pipi Nami. "Astaga, kamu cantik sekali, Nami," pujinya.Nami tersenyum dengan paksa. Melepas tangan Madam Sherly secara perlahan."Ayo, kita segera ke bawah. Kamu bintang tamu kita malam ini," Madam Sherly menggandeng Nami.Nami menurut. Di atas tangga, Nami membelalakkan mata. Tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Banyak sekali para wanita dan juga lelaki yang berbaur jadi satu.Pakaian mereka juga bisa dibilang terbuka. Bahkan sangat terbuka hingga beberapa wanita sengaja memperlihatkan paha dan belahan dada mereka.Nami meneguk ludahnya susah payah. Dia terdiam sesaat. Tidak melanjutkan jalannya. Madam Sherly ikut berhenti dan menoleh ke belakang."Nami, aku sudah membelimu mahal. Jadi, jangan buat aku malu dan tetap ikut bersamaku!"Nami menahan Madam Sherly yang menariknya. "T-tapi Madam, N-nami tidak biasa bergaul dengan mereka.""Lama-lama kamu akan terbiasa. Ayo cepat segera turun! Jam sembilan nanti mereka harus melayani pelanggan.""A-apa?" sontak Nami tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan."Kamu pikir aku akan memberikan mereka kebebasan setelah acara? Oh tentu tidak, mereka harus tetap kerja. Mereka sumber uangku, begitu juga dengan kamu nantinya!"Dunia seakan berhenti saat Nami mendengar Madam Sherly berbicara seperti itu. Nami tidak sanggup. Nami tidak siap jika dia harus berkerja seperti mereka."N-nami bukan pelacur, Madam!" Nami berusaha melepas genggaman tangan Madam Sherly tapi kekuatan Madam Sherly jauh dari dugaan. Sangat kuat."Beberapa hari yang lalu, kamu sudah menjadi pelacur bersama Tuan Steven. Apa kamu lupa?"Deg!Steven?Iya, Nami ingat nama itu.Ah sial! Kejadian itu terlintas lagi di otak Nami. Hari dimana ia dijebak oleh Piranda menjadikannya seorang wanita tak berharga. Lihat saja, wanita di depannya ini, menganggap Nami sebagai pelacur.Nami benci itu!Nami bukan pelacur!Tidak mendengar jawaban dari Nami, wanita baya itu menariknya sedikit paksa. Setelah tiba di bawah, semua arah pandang mereka tertuju pada Nami.Decakan kagum dari para lelaki terdengar riuh. Mata mereka menelisik tubuh Nami dari atas sampai bawah. Pikiran mereka sudah melayang jauh.Tidak hanya para lelaki, tapi sebagian dari para wanita yang bekerja di rumah bordil ini juga berdecak kagum melihat kecantikan Nami, dan tidak sedikit pula yang merasa iri dan tertandingi karna adanya anggota baru.Mereka takut tidak laku."Baik semuanya," Madam Sherly memulai acara."Madam akan memperkenalkan gadis-ah maaf," Madam Sherly mengubah kalimatnya, "wanita ini pada kalian.""Dia adalah Taranami Shafira Shanephila atau bisa kalian panggil Nami saja.""Dia anggota baru seminggu yang lalu, hanya saja dia tidak bisa datang karena adanya sesuatu, tapi sekarang Nami sudah resmi menjadi anggota baru Bintang Merah."Suara riuh tepuk tangan memenuhi ruangan."Madam, berapa harganya per-jamnya?"Madam memalingkan wajah ke arah Pak Kisman. Lelaki tua yang berjudi demi datang ke rumah bordil."Ah Pak Kisman, itu bisa kita bicarakan nanti," sahut Madam Sherly mengedipkan mata.Pak Kisman tertawa bahagia. "Oh aku jadi tidak sabar!"Madam Sherly memutar bola matanya malas. Jika bukan karna lelaki tua itu memiliki uang cukup, mungkin Madam Sherly akan membuang laki-laki tua bangka itu dari sini.Lupakan saja! Madam Sherly ingin menikmati acara dengan hikmat. Wanita setengah baya itu mengangkat gelas kosong. Pujangga--karyawan kesayangan Madam Sherly menuangkan botol anggur ke gelasnya.Pujangga menawarkannya pada Nami. Nami menolak. Nami tidak bisa minum minuman beralkohol. Madam merangkul punggung Nami, lalu membisikkan sesuatu."Malam ini kamu kenalan sama teman-temanmu yang lain ya, anak cantik," Madam Sherly melepas rangkulannya lalu berjalan ke tengah-tengah."Untuk menyambut anggota baru dan mempererat tali silaturahmi kita dengan para pengusaha yang sudah menyempatkan waktunya datang, mari kita bersulang!!"Suara gelas berdenting. Semua orang bersulang secara bersamaan dan bergantian satu sama lain kecuali, satu orang pria yang duduk di kursi pojok memperhatikan Nami yang menahan ketakutannya.Kedua sudut bibirnya tertarik. Pria itu tersenyum miring. Meminum Wine sedikit demi sedikit. Matanya tak lepas dari Nami.Pria itu memanggil sekretarisnya dengan menjentikkan jari."Iya, Tuan?"Pria itu berdiri lalu memakai jasnya. Menaruh gelas berisi wine di atas meja. "Panggil Madam Sherly. Saya tunggu di ruangannya," perintahnya.Sekertaris pria itu mengangguk dan langsung bergegas menemui Madam Sherly yang masih asyik berbincang-bincang dengan para pelanggan.Di sisi lain, Nami hanya diam saja memperhatikan orang-orang itu sambil memilin jari tangannya. Kakinya gemetaran. Ludahnya terus menerus ia telan. Nami tak bisa mengatur napasnya. Napasnya terhembus tak beraturan. Nami sangat ketakutan.Di samping Nami, Pujangga meliriknya sebentar kemudian meminum anggur merahnya. "Pasti berat, ya?"Nami menoleh. Sejenak dia terpesona dengan kecantikan Pujangga. Lalu Nami mengangguk. Pujangga terkekeh kecil."Tak perlu khawatir, dulu aku juga sama seperti dirimu."Nami membelalakkan matanya. "Benarkah?""Hm, aku dijual oleh Ayahku demi hutang. Awalnya aku marah dan tidak terima tapi lama-lama aku mencoba menerima takdirku."Nami menggigit bibir bawahnya. Dia tak menyangka Pujangga akan berkata seperti itu. Nami tersenyum nanar."Menerima takdir?"Pujangga mengulas senyum tipis. "Bukan takdir, tapi nasib." Pujangga membuang napas. Dia mengulurkan tangan di depan Nami."Nami, salam kenal aku Pujangga."Nami memandang tangan Pujangga cukup lama. Nami menerima dan mengulurkan tangan membalasnya. "Aku Nami,""Mari kita berteman. Jika ada yang ditanyakan, tanyakan saja padaku," gumam Pujangga."Ada," sahut Nami cepat."Apa?""Bagaimana caranya kabur dari sini?"Pujangga terhenyak. Beberapa saat kemudian dia tertawa sambil memukul lengan Nami pelan. "Nami, kalau aku tau jawabannya, mungkin aku sudah tidak berada di sini.""Nami, bagaimana kabarmu?" sapa Iko, teman dekat Nami. Iko memeluknya. Dia sangat rindu pada Nami.Hari ini Nami berkunjung ke rumah Iko. Tapi mereka berdua bertemu di jalan. Kebetulan Iko baru saja membeli surat daftar riwayat hidup di toko.Nami dan Iko janjian untuk mencari kerja bersama."Oh Nami aku sangat rindu. Selama ini kamu pasti sangat menderita. Maafkan aku yang tidak ada di masa sulitmu," Iko memeluk erat."Aku sudah mendengar kabar kematian Ayahmu. Kenapa kamu tidak mengabariku?" Iko mengelus punggung Nami menenangkan.Nami merapatkan bibirnya. Andaikan Iko tau apa yang sudah Nami alami, apakah Iko masih mau berteman dengannya? Nami berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia tidak boleh menangis. Dia tidak boleh terlihat lemah."Nami, jangan merasa sendirian. Aku di sini ada untukmu," Nami terenyuh mendengar kalimat manis dari mulut Iko.Nami membalas pelukannya. Runtuh sudah pertahanan Nami. Nami menangis. Dia luruh ke bawah, namun di tahan oleh Iko sehin
Sebuah senyuman seperti bulan sabit terpatri di sudut bibir Steven. Jari tangan mengelus pipi yang memerah tanpa henti. Zang—sekretaris Steven menaikkan salah satu alisnya.“Tuan muda, apa tamparan wanita itu begitu menyakitkan sampai anda tidak berhenti mengelusnya? Perlukah saya meminta office girl untuk mengambilkan kompres?” tanya Zang meminta persetujuan.Zang takut jika tamparan itu membuat emosi Steven tak stabil dan akan berimbas pada rapat nanti.“Zang, apa kau pernah melihat aku ditampar oleh wanita?”Zang menggeleng. “Tidak, Tuan. Sebaliknya, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan anda,” sahut Zang terus terang.Steven tersenyum miring. Menambah kesan arogan di wajahnya. Steven mengaggukkan kepalanya beberapa kali. Dia bangga dengan dirinya yang disukai banyak wanita.Tapi Steven tidak suka pada mereka. Mereka hanyalah hama pengganggu. Haus akan ketampanan dan uang yang dimiliki Steven saja.“Apa aku ini tampan, Zang?”Zang sedikit terkejut dengan pertanyaan Steven yang je
“S-siapa anda?” Nami membeku. Sekujur tubuh Nami gemetaran. Dia tak bisa mendengar ucapan pria itu dengan jelas. Penglihatannya memburam. Bola matanya membesar. Pria itu jelas ada di depannya persis. Pria itu menaiki ranjang perlahan-lahan mendekati Nami. Secara mendadak, napas Nami sedikit sesak. Dadanya terasa sangat sakit. Semakin pria itu maju, semakin pula Nami mundur hingga di ujung kasur. “Jangan dekati saya!” teriak Nami terus mengelak saat pria itu mencoba menyentuh tangannya. Kepala Nami bergoyang-goyang seperti merasakan gempa. Semua pandangan tiba-tiba saja menggelap. Kelopak mata Nami berkerjap lambat sampai akhirnya terpejam dan wanita itu limbung jatuh terjerembab di bawah lantai. Pria itu duduk di atas ranjang. Kepalanya tertoleh memperhatikan Nami yang sudah pingsan di bawah sana. Ia geleng-geleng kepala. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. “Pingsan?” kekehan pelan terdengar sumbang di ruangan itu. Menghirup udara sedalam mungkin lalu mengh
Deruman suara motor saling bersahutan di jalan. Berlalu lalang dengan kecepatan tak menentu. Ada yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi ada pula yang pelan sembari menikmati pemandangan bunga yang mekar di pinggir jalan.Tak hanya motor, namun juga banyak sekali macam-macam kendaraan. Ada motor matic, motor sport , mobil, motor listrik, sepeda listrik dan lain sebagainya. Tidak ada truk bermuatan.Jalanan ramai tapi tidak sampai macet. Setau Nami, jika dijalanan kota, pasti tidak jauh-jauh dari kata macet. Tapi untuk hari ini, tidak ada kemacetan.Nami melirik jam tangannya. Jarum pendek menunjuk pada angka 10. Jarum panjang menunjuk pada angka 2. Jika dibaca, jam menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh menit.Nami duduk di sebuah bangku kota yang berada di dekat pinggir jalan. Bangku yang sudah disediakan untuk orang-orang yang ingin duduk sembari menikmati indahnya bunga-bunga yang berderet rapi.Kaki Nami bergoyang-goyang kecil ke depan ke belakang. Tangannya memeluk sebuah
Rambut hitam lebat berkilau tergerai begitu indah. Lurus dan halus. Anak rambut terbang mengikuti arah angin. Kakinya berlarian kecil. Sempat lupa jalan menuju kantin perusahaan.Semua pegawai kantin harus datang lebih awal daripada karyawan kantor yang lain. Menyiapkan makanan dan menata meja. Nami berangkat sendirian. Karna Iko berangkat lebih dulu dengan naik ojek. Motor Iko rusak lagi.Nami berhenti sejenak. Mencari sebuah tulisan kantin. Nami melihat tulisan tersebut. Nami segera meluncur ke kantin. Sebelum bekerja, semua pekerja baru diberi arahan dan petunjuk.Setelah mendapatkan arah, mereka melakukan pekerjaan masing-masing. Nami, Iko dan tujuh orang lainnya yang menjadi waiters berbagi tugas. Mengelap meja dan mengepel lantai.Nami dan Iko kebagian tugas mengelap lantai. Nami bekerja dengan begitu semangat. Senyuman manis tak pernah luntur dari bibirnya.Kantin perusahaan sangat besar. Dulu, semua karyawan harus antri untuk mengambil makanan, namun karna itu membutuhkan wakt
Nami menatap datar pria di depannya ini. Sedangkan Steven menampilkan senyum dingin yang menambah kesan arogan di wajahnya. Bohong jika Nami tidak takut, hanya saja, Nami mencoba baik-baik saja.Nami menarik salah satu sudut bibirnya seraya bersilang dada. "Maaf, meskipun di dunia ini tidak ada yang gratis. Selama saya masih di sini dan belum keluar dari rumah bordil, saya tidak akan memenuhi permintaan anda!"Nami berbalik. Melangkah pergi setelah ia berhasil merogoh saku celana Steven dan mendapatkan kunci kamar tanpa sepengetahuan Steven. Dia menolak tidur dengannya malam ini. Walaupun Steven menawarkan uang satu miliar yang bahkan bisa langsung melunasi semua hutang rumah sakit.Tetapi, Nami tidak mau dibodohi. Dia sudah menyetujui penawaran namun, karna Steven masih belum membuktikan ucapannya, Nami menolak permintaan Steven.Transaksi? Jika sudah transaksi, pasti Madam Sherly akan datang dan menjemput Nami. Mempersilahkan Nami pergi dari rumah bordil.Nami menyunggingkan senyum
"Apa kamu sakit, Iko?"Nami memegang pundak Iko. Wajah wanita itu nampak pucat pasi. Sedari tadi ia terus memilin jari jemarinya. Perlahan-lahan Iko menolehkan wajahnya ke arah Nami. Senyumnya mengembang lebar, dia menggeleng pelan."Ti-tidak Nami," jawabnya gugup."Tapi kenapa raut wajahmu seperti ketakutan?" Nami mendekatkan wajahnya ke telinga Iko. "Apa tempat yang akan kita datangi itu berhantu?" bisik Nami. Nami jadi merinding membayangkan sosok hantu di siang hari.Iko membulatkan matanya. Dia memukul pelan lengan Nami. "Jaga bicaramu, Nami. Kalau Pak Warno tau bisa dimarahi!"Pak Warno adalah kepala kantin yang mengatur semua pekerjaan di kantin. Sekarang, orang itu ada di depan Iko dan Nami mengabsen para staff."Yang sudah saya absen, segera naik mobil. Kita harus segera berangkat ke rumah Tuan Arroyan!" titah Pak Warno mengeraskan suaranya agar semua orang mendengarnya, karna saat para karyawan sudah berkumpul suasana berubah berisik. Membicarakan gosip baru terhangat."Iko,
Gejolak di dalam perut melambung tinggi naik ke atas melewati kerongkongan dan tertahan di sana. Kelopak mata yang tertutup, terbuka lebar. Nami menutup mulut rapat-rapat. Bangun dari tidurnya dan merangkak turun dari ranjang.Bola mata melirik sekeliling. Ruangan yang berbeda itu membuatnya bingung mencari kamar mandi. Tak bisa memikirkan apa yang sudah terjadi, yang kini ia butuhkan hanyalah tempat untuk mengeluarkan isi perutnya.Gelisah berjalan kesana-kemari belum menemukan apa yang ia cari. Mata Nami berbinar melihat pintu kamar mandi. Segera bergegas menuju kamar mandi. Membuka pintu dengan keras.Tiba di wastafel, Nami mengeluarkan muntahan. Semua yang dimakan oleh Nami kemarin, keluar dengan lancar. Nami sedikit lega setelah memuntahkan semuanya. Tangannya terulur menyentuh kepala bagian atas.Memijat pelipisnya yang mendadak pusing. Rasa sakit itu seperti diakibatkan oleh hantaman batu besar serta tabrakan antara kepala dan dinding dengan sangat keras.Kakinya lemas seperti
"Berhenti!"Steven memberikan titah pada Zang untuk menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah makan sederhana. Steven memasukkan benda pipih ke dalam saku. Kepalanya menoleh ke samping. Iamenajamkan indera penglihatannya pada seorang wanita cantik yang tengah makan lalapan ditemani dua orang maid."Zang, apakah dia malaikatku?" tanya Steven memastikan.Zang ikut menoleh. Ikut memperhatikan seseorang di sana. Satu alisnya terangkat ke atas. "Malaikat?" gumamnya."Dia bukan malaikatmu, dia Nami, istrimu."Steven melempar pandang pada Zang. "Istriku malaikatku juga Zang!" ucapnya sedikit ketus..Zang pun menjawab. "Bukan, malaikatmu itu bernama maut. Apakah kau ingin bertemu malaikat maut? Kalau iya, aku tabrakan mobil ini ke truk yang sedang melaju kencang itu, Steven," tawar Zang membuat bulu kuduk Steven merinding."Sialan kau Zang!" Steven mengumpat. Pria itu keluar dari mobil. Menutupnya dengan kasar sembari berkata, "kau saja yang mati!"Zang tertawa kecil mendengar kekesa
'Apa benar si Nami bicara seperti itu, Bu?''Iya, Nami bilang dia akan datang mengambil rumah ini lagi. Bagaimana ini Piranda? Bagaimana kalau kita jadi gelandangan?''Tidak akan, lihat saja kalau sampai dia berani ambil alih rumah ini lagi!'Pikiran Piranda melayang mengingat percakapannya dengan sang ibu beberapa hari lalu tentang kedatangan Nami di rumah mereka.Ingat! Ini sudah menjadi rumah mereka! Bukan rumah Nami lagi.Mendengar perkataan Nami yang sudah seperti di atas langit membuat Piranda sangat amat jengah sampai tak bisa tidur dengan nyenyak. Bawah mata Piranda menghitam layaknya mata panda. Dia kurang tidur beberapa hari ini memikirkan ide jahat lagi.Kalau seperti ini, Piranda ingin mendapat hati Steven semakin cepat tetapi ia bingung apa yang harus ia lakukan agar tidak gagal lagi? Ide dari Pujangga—pekerja Madam Sherly sudah bagus hanya saja, diwaktu yang salah.Piranda jadi tak tenang. Design yang harusnya deadline hari ini belum selesai. Darwin sakit dan terpaksa wa
Bulan madu yang harusnya membuat hubungan suami istri menjadi mesra dan romantis ternyata tidak sesuai ekspektasi Steven. Niatnya pergi ke Bali selama satu bulan supaya bisa membuat hubungannya dengan Nami lebih baik, tetapi dalam keadaan Nami yang hamil menuju tiga bulan membuat emosi Nami tak stabil dan sering mual-mual.Apalagi saat mencium aroma parfum Steven. Pria itu sering mendapatkm kekerasan secara fisik seperti pukulan, tamparan sampai tendangan maut Nami saat bangun tidur. Dikarenakan kondisi Nami yang belum stabil, akhirnya Steven memutuskan untuk kembali ke Jakarta.Nami pun meminta maaf pada Steven karna belum bisa membuat bulan madu mereka indah.'Aku minta maaf karna sudah membuat bulan madu ini hancur, tapi ini terjadi juga karna kamu yang membuatku hamil!'Saat Nami berkata demikian, Steven pun juga memikirkan hal yang sama. Tapi, dia bangga. Bangga karna sudah membuat Nami menjadi miliknya seutuhnya."Nanti, bawakan aku bekal lagi, ya?" Steven memeluk perut Nami dar
Nami mencetak satu centong nasi goreng buatannya di mangkok kecil untuk membentuk nasi berbentuk setengah bulat dengan cara sedikit menekan. Kemudian Nami menata bentukan nasi tersebut ke dalam wadah bekal yang sudah ia siapkan.Tak lupa juga Nami menambahkan telur mata sapi di atas nasi goreng sebagai hiasan serta beberapa irisan cabai ia tancapkan di kuning telur. Melihat penampilan nasi goreng itu saja sudah menggugah selera, apalagi saat satu sendok nasi meluncur masuk ke dalam mulut? Pasti siapapun yang menikmati akan merasakan surga dunia.Bahkan para koki yang bertugas memasak di dapur keluarga Arroyan saja mengakui bahwa nasi goreng spesial buatan Nami ini sangatlah lezat.Nami sudah mempersiapkan bekal yang akan ia bawakan untuk Steven. Pria itu tidak meminta Nami untuk membawakan bekal, tapi ini adalah inisiatif Nami sendiri.Tentu saja dengan adanya tujuan tersendiri.Bukan tujuan untuk membuat Steven semakin jatuh cinta pada Nami, bukan!! Melainkan tujuan untuk membuat Pira
Steven sangat menikmati pemandangan terindah yang pernah ia lihat sebelumnya selama masa hidupnya. Bahkan tak hanya pemandangan dari luar, tetapi dari dalam juga.Ah ada apa dengan otaknya?Kotor sekali!Seorang gadis—ah bukan gadis! Melainkan seorang wanita cantik dengan rambut panjang hitam berkilau tengah terapung di atas air menciptakan ombak kecil dengan tangan serta kakinya.Tinggi badan sekitar seratus enam puluhan itu nampak sangat mungil di matanya. Berbeda sedikit jauh dengan tinggi badannya yang mencapai seratus tujuh puluhan. Meski mungil, dia sangat seksi layaknya gitar spanyol. Sembari memandang tubuh seksi milik nona kecilnya, Steven meminum segelas wine di kursi santai.Nami—wanita yang dipandangi oleh Steven mencapai garis finish setelah berenang sebanyak 15 putaran. Sebelum hamil, dia mampu memutari kolam renang di pemandian umum sebanyak 25 putaran, tapi sekarang tubuhnya sudah terasa lelah.Nami memunculkan kepalanya di atas air. Mengusap wajahnya menyugar rambutny
Steven terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Pria itu menoleh ke samping, sosok wanita berwajah cantik tengah terlelap di tidurnya yang nyaman. Steven membaringkan tubuhnya sedikit menyamping untuk melihat wajah istrinya. Steven memperhatikan wajah Nami lekat. Membelai lembut pipi wanita itu yang mulai mengembang.Steven menyingkirkan anak rambut yang menghalangi kecantikan Nami. Satu kecupan sayang ia daratkan di kening wanita itu. Seulas senyum terbit di bibir tipis merah muda milik Steven.Steven duduk di ranjangnya. Ia menurunkan kedua kakinya di bawah lantai seraya menyugar rambutnya ke belakang. Steven hanya memakai celana pendek tanpa baju. Steven menuangkan segelas air minum di dalam gelas lalu meminumnya hingga tandas. Tak lupa juga ia menyiapkan minuman untuk Nami dan menutupnya agar tak ada serangga yang masuk ke dalam minumannya.Steven beranjak dari ranjang. Sebelum meninggalkan kamar, Steven menarik selimut untuk menutupi tubuh Nami. Pria itu keluar kamar tanpa memakai b
Kilatan petir bercahaya itu merambat menuju kerak bumi disertai suara sambaran yang begitu memekik telinga. Bulan mulai menghilang tertutup oleh awan, cahaya bintang mulai redup. Angin ribut berdesau kencang disertai awan kelabu yang menggelap menandakan akan ada badai turun yang melanda bumi bersamaan dengan tetesan air hujan.Steven mendongak menatap langit hitam digelapnya malam dari jendela mobil yang tertutup. Tarikan napas itu sangat panjang. Ia menghirup oksigen sebanyak mungkin. Membayangkan bagaimana mengerikannya kilatan petir itu, ia mengingat istrinya di rumah. Steven melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Pria itu takut jika wanitanya ketakutan.Steven menyalip beberapa pengendara lain dengan sangat amat lihai seperti seorang pembalap handal. Tak memperdulikan suara klakson yang saling bersahutan dari beberapa pengendara untuk memperingati Steven. Percuma, karna itu tak akan mempengaruhi Steven untuk mengurangi kecepatan. Justru suara klakson mereka membua
Piranda menaikkan kembali dress yang sempat ia turunkan hingga batas dada untuk menutupi tubuhnya yang sedikit terbuka. Tadi ia menurunkan dress-nya untuk berfoto selfi lalu ia kirimkan kepada Nami. Seringaian iblis tak luntur di wajahnya cantiknya. Ia memilin rambut yang terurai di samping pipi."Mari kita lihat bagaimana reaksi Nami saat melihat suaminya tidur bersama wanita lain." Piranda mengirimkan foto selfie yang baru saja ia ambil bersama Steven. Pria itu tengah tertidur pulas akibat obat tidur yang dituangkan oleh Andi di minumannya.Piranda menurunkan pandangannya ke bawah ranjang, di mana Steven masih memejamkan mata, sudut bibirnya tertarik ke atas. Piranda mengusap peluh keringat Steven yang mengalir."Apakah kamu tidur nyenyak, calon suamiku?" Piranda terkekeh geli. Ia membayangkan ketika mimpinya menjadi nyata. Mimpi jika dirinya sudah menjadi istri dari seorang Steven. Pasti akan sangat amat membahagiakan.Lalu wanita itu beralih menatap ponselnya dan menunggu reaksi d
"Selamat datang, Nami."Nami menunduk hormat pada Arroyan setelah melewati ambang pintu. Dia hanya berdiam diri di sana dan tidak melanjutkan langkahnya untuk masuk. Nami tau adab. Jika belum dipersilahkan masuk, maka dia belum boleh masuk."Masuk!"Nami mengulas senyum tipis. Mendengar titah dari Tuan Arroyan—kakek Steven sekaligus pemilik Gerrard Group, baru lah Nami melangkahkan kakinya untuk masuk lebih dalam. Dilihatnya ada dua buah kursi yang memang disediakan di depan meja kantor Arroyan sebagai kursi tamu atau karyawan yang akan ia ajak diskusi, dan Nami duduk di salah satu kursi tersebut setelah mendapat perintah duduk."Apa kamu tau mengapa saya memanggil kamu ke sini, Nami?"Tentu Nami tidak tau. Bahkan sejak ia mengetahui jika orang yang memanggil dirinya adalah Arroyan saja jantungnya sudah hampir copot. Di setiap tapak lantai yang ia pijak menjadi saksi bagaimana gemetarnya kaki Nami saat hendak mendekati pintu kantor khusus milik Arroyan yang ada di mansion ini.Nami pu