Nami duduk dan menangis di sisi brankar ayahnya yang memejamkan mata tanpa berniat untuk membukanya selama setengah tahun terakhir ini.
Penyakit jantung yang diderita oleh sang Ayah membuat ayahnya harus di rawat di rumah sakit.Itu terjadi sekitar satu tahun lalu.Namun, dalam waktu setengah tahun ini, ayahnya tidak membuka mata dan terus tidur selama setengah tahun. Karena hal itu, Nami harus segera mendapatkan biaya tambahan untuk ayah.Nami bekerja serabutan. Dia belum mendapatkan pekerjaan tetap.Perjuangan Nami sia-sia. Uang yang selama ini ia kumpulkan, ternyata telah dipakai ibu tirinya untuk foya-foya.Hatinya sangat hancur. Ditambah lagi rumahnya, tempat tinggal satu-satunya yang ia miliki bersama kenangan sang ayah juga dirampas oleh ibu tiri. Padahal itu adalah harapan satu-satunya jika nantiNami membutuhkan uang, Nami akan menjualnya.Tapi sayang, ibu tirinya sudah merebut dari Nami dan mengusir Nami dari sana.Saat ini kondisi sang ayah belum ada tanda-tanda kehidupan. Kondisinya kritis bahkan koma. Nami sudah kehilangan mahkota yang selama ini ia jaga, Nami tidak mau lagi kehilangan satu-satunya hidup Nami. Yaitu sang ayah.Tetesan demi tetesan air mata terus mengalir membasahi kedua pipi tembam perempuan itu. Mental dan fisiknya terguncang.Bagaimana Nami menjelaskan semuanya saat ayahnya bangun nanti?Apakah Nami sanggup?Tidak mungkin Nami mengatakan bahwa dia sudah tidak virgin lagi. Itu pasti akan membuat ayahnya sakit hati.“Ayah...,” Nami terisak. Dadanya begitu sakit.Matanya sembab. Semalam penuh dia tidak tidur dan terus menangis. Bagaimana jika nanti saat ayahnya sudah sembuh dan tau telah diceraikan oleh istrinya?Nami tidak mau ayahnya jatuh sakit lagi. Nami ingin ayahnya cepat sembuh. Hidup berbahagia bersama dengan Nami.“Nami sendirian, Ayah,”“N-nami sudah kotor,” Nami memeluk tangan ayahnya yang dingin.“N-nami d-dijual oleh Ibu,”Demi mendapatkan uang, ibu tirinya menjual Nami pada pemilik rumah bordil dan dijebak untuk tidur bersama pria tak dikenal.“Nami tidak mau tinggal di sana, Nami ingin tetap di sini bersama Ayah,”Tangan pria paruh baya itu semakin dingin terkena air mata Nami. Nami terus menangis. Menempelkan tangan sang ayah di pipinya. Nami merasa pipinya semakin dingin.Nami mengerutkan dahinya. Dia memperhatikan wajah ayahnya yang pucat pasi. Dia menggenggam tangan ayahnya.“K-kenapa tangan Ayah s-sangat dingin?”“B-bibir Ayah juga pucat,”Rasa takut mulai menjalar di dalam hati, Nami menyentuh pipi ayahnya. Sama dinginnya dengan tangan. Nami melirik ke arah monitor.“Garis lurus?”Bumi seolah berhenti. Napas Nami tersekat. Jantungnya berdegup kencang. Pandangannya kosong melihat monitor yang menampilkan garis lurus. Nami mencoba untuk mencerna situasi ini.Nami menggelengkan kepala cepat. Tidak! Tidak! Nami tidak boleh berpikir negatif. Pasti ada yang salah dengan monitornya. Tidak mungkin terjadi sesuatu pada ayahnya.“A-ayah?” menggoyangkan tubuh pria paruh baya yang nampak kurus itu. Dia menempelkan telinganya di dada sang ayah.Tidak terdengar detak jantungnya.Satu buliran air matanya jatuh. Tidak! Ayahnya tidak mungkin pergi!“Ayah!!” Nami berteriak.“Ayah bangun,” Nami menangis sesenggukan sembari menggoyang-goyangkan Ayahnya, berharap Ayahnya bisa sadar dan membuka mata.Suara teriakan Nami terdengar dari luar. Dokter pun masuk ke dalam. Seorang suster berusaha membawa Nami keluar, tetapi Nami memberontak ingin tetap di samping sang ayah.Suster itu mencoba untuk menasehati dan menenangkan dirinya. Tapi mau tidak mau, Nami harus keluar dan tidak menganggu.Nami mengangkat kedua tangannya. Ia meminta pertolongan pada Tuhan agar ayahnya tidak kenapa-kenapa dan bisa segera sembuh.“Tuhan, tolong Ayah Nami!”Nami memperhatikan dari luar jendela. Dokter berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan nyawa ayah Nami. Dia terus-menerus berdoa. Berharap mendapatkan mukjizat.Nami gemetaran ketika melihat dokter menempelkan alat yang Nami tidak tau apa namanya di dada ayah. Berkali-kali ayahnya terlihat seperti tersengat. Tiga kali Dokter melakukan itu.Kaki Nami semakin lemas saat dokter mulai melepas semua alat bantu yang tertempel di tubuh ayahnya. Nami menggeleng cepat.“Tidak mungkin!!”Nami memberontak masuk ke dalam. Tidak peduli jika para wanita berpakaian putih mencegahnya. Nami hanya mau ayahnya.“Ayah!!!” Nami langsung memeluk tubuh Ayahnya. Dokter yang melihat itu menahan tangisnya. Dia sangat tau bagaimana perjuangan Nami selama ini.Apalagi saat melihat koper Nami berada di samping brangkar, dadanya ikut sakit. Dokter lelaki itu memeluk tubuh mungil Nami, mencoba untuk memberikan ketenangan.Nami sudah dia anggap seperti anak sendiri. Dia sangat paham penderitaan Nami.“Nami, maafkan Dokter. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi takdir berkata lain.”Nami menangis tersedu-sedu sembari memeluk ayahnya. “Ayah...,”“A-ayahku tidak mungkin meninggal, Dokter!”“A-ayah sebentar lagi sembuh,”“Tolong bertahan sebentar lagi, Ayah,”“Nami akan terus berjuang.”Perkataan Nami menyayat hati. Wanita berusia 19 ini tahun harus mengalami penderitaan hidup.“Nami, kamu harus kuat,” tidak ada kalimat lain selain kalimat penyemangat. Meski dokter tau, kalimat itu tidak akan terdengar oleh Nami.Nami mendongak. Dia memeluk sang Dokter erat. “D-dokter tolong selamatkan Ayah,”“Nami akan melakukan apapun supaya Ayah bisa-“Ucapan Nami terpotong, “Nami, kami hanya manusia biasa,” ungkap sang dokter.“N-nami kehilangan segalanya, Dokter.”***Kematian sosok pria bernama Martio Nephila menjadi berita hangat selama dua hari ini. Seorang pria yang tak kenal lelah, seorang pria baik hati, dermawan, dan tidak pernah sombong itu meninggalkan jejak kenangan yang begitu amat dalam bagi beberapa orang, terutama para tetangga.Selama dua hari ini pula, Nami terus mengunjungi makam ayahnya. Nami sudah ikhlas akan kematian sang ayah. Namun, ada tertinggal rasa sakit hati dan tidak terima dalam diri Nami.Nami menaburkan berbagai macam bunga di gundukan kuburan. Menyiram tanah coklat dengan air. Nami menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.Nami mengangkat kedua tangan berdoa. “Semoga Ayah tenang di surga, aamiin,” ucapnya mengusap wajah.Nami menarik kedua sudut bibirnya hingga melengkung membentuk sebuah senyuman. Nami mencoba untuk tersenyum meski air mata mengalir di pipinya.“Ayah, semoga Nami bisa menjalankan kehidupan yang keras ini meski tanpamu,” Nami berharap.Nami mengingat ucapan ayah, jika Nami tidak boleh menyerah apapun yang terjadi. Karena hidup ini sudah diatur oleh Tuhan. Tuhan pasti tau apa yang terbaik untuk hamba-Nya.“Nami percaya, suatu saat nanti Nami pasti akan bahagia,” lirihnya mengusap air mata.“Oh di sini kamu ternyata,” ujar seseorang.Nami terjingkat kaget, dia berdiri dan berbalik ke belakang. Ibu dan saudari tirinya berdiri di belakang Nami. Mata Nami berbinar. Dia menyunggingkan senyum. Pasti mereka datang menjemput Nami dan membawa Nami kembali pulang, pikirnya.Nami mendekat. Nami memeluk mereka. “Ibu, Piranda?”Plak!!Bapina---ibu tiri Nami menamparnya. Mendorong Nami menjauh. “Jangan panggil aku Ibu!Nami merasakan panas menjalar di pipinya. “Apa yang ibu lakukan?”“Sudah ku bilang, jangan panggil aku ibu, dasar pelacur!”Plak!!Sekali lagi, Bapina menampar pipi sebelah kiri Nami. Nami meringis kesakitan. Nami memegang kedua pipinya. Mendongakkan kepalanya menatap kedua wanita itu dengan tatapan yang tak kalah tajam.“Aku bukan pelacur!” bentaknya.Nami tidak suka dengan mereka. Di hari kematian ayahnya pun, mereka tidak datang dan berduka sama sekali. Sebaliknya, mereka mengadakan pesta besar-besaran di rumah Nami.Tentu saja hal itu membuat Bapina semakin menjadi. Wanita setengah baya itu menjambak rambut Nami. “Dasar anak tidak tau diri!”Nami tidak boleh kalah. Dia harus berani.“Bukan Nami yang tidak tau diri, tapi kalian!” entah keberanian dari mana sampai Nami bisa berkata seperti itu.Mata Nami tertuju pada dua pria berbadan kekar di balik tubuh mereka berdua. Bapina menjambak rambut semakin ke bawah.“Oh, sudah pandai menjawab,” Bapina sedikit terkejut. Nami, anak penurut itu kini sudah mulai berani menjawab perkataannya.“Tidak apa, karna sebentar lagi aku sudah tidak melihat wajah menjijikkan ini,” Bapina mengelus pipi mulus Nami.“Hey kalian!” Piranda melambaikan tangan memanggil dua pria berbadan kekar di belakang mereka untuk segera datang.“Ini yang dicari Madam Sherly, silahkan bawa ke rumah bordil!”Ucapan Piranda membuat Nami membulatkan matanya. “Apa maksud kamu, Piranda?”Bapina mendorong Nami dan memberikan Nami kepada dua pria berbadan kekar itu. Kedua tangan Nami di pegang dan ditahan oleh mereka. Mereka membawa paksa Nami.“Tidak!”“Lepaskan aku!!”“Besok aku masih harus mencari kerja!!”“Tidak perlu lagi, kan perkejaan barumu sekarang adalah pelacur,” sahut Piranda terkekeh.Nami meronta. Dia tau apa maksud mereka datang menjemput Nami. Bukan untuk kembali ke rumah, tetapi untuk di bawa ke rumah bordil.Oh Tuhan! Apakah yang sudah Nami perbuat sampai-sampai Nami harus singgah di rumah itu. Tidak! Nami tidak mau!Tempat seperti itu sangat tidak cocok untuk Nami. Nami bukan wanita murahan. Nami adalah wanita yang paling berharga milik ayah.Ibu tirinya, ah tidak! Mantan ibu tirinya sangat kejam. Wanita itu menyembunyikan kebusukan hatinya selama ini. Wanita itu tega menjual Nami pada mereka untuk mendapatkan uang demi kebahagiaannya sendiri.“Jangan sampai dia kabur!” pesan Bapina sebelum Nami dimasukkan ke dalam mobil Jeep warna hitam.“Dan jangan lupa, kalian harus mengirimkan uang setiap bulannya padaku!”“Ibu jahat! Nami harus pergi cari kerja, Bu!!”Bapina terkekeh mendengarnya. Sebelum menutup pintu, Bapina mengelus pipi Nami yang memerah bekas tamparannya.“Bekerjalah di rumah bordil dan jadilah mesin ATMku, anak cantik.”Mobil Jeep berwarna hitam memasuki area parkiran bawah tanah. Dia pria berbadan kekar hampir kewalahan menghadapi wanita muda berumur 19 tahun yang terus menerus meronta hingga menganggu konsentrasi supir. Akhirnya salah satu dari mereka memberikan obat bius.Tiba di parkiran, Nami tersadar dari pingsannya. Kelopak matanya mulai terbuka secara perlahan. Kepalanya terasa pening dan berat. Nami kesulitan bergerak. Matanya langsung terbuka lebar saat ia menyadari adanya dua orang di samping kanan dan kirinya.Nami baru ingat! Dia diculik dan dibawa paksa oleh mereka."Lepaskan aku!!" Nami meronta lagi.Namun itu semua percuma, karna sekarang dia sudah berada di parkiran. Meskipun di lepas juga tidak akan bisa lari. Penjagaan rumah bordil sangat ketat. Mustahil bagi seorang Nami kabur dari sini."Sudahlah, pasrah saja dengan nasibmu sebagai pekerja di sini," kata pria itu enteng.Nami menggeleng. Dia mengulum bibirnya ke dalam menahan tangis. Ah sial sekali! Nami merasa menjadi orang ceng
"Nami, bagaimana kabarmu?" sapa Iko, teman dekat Nami. Iko memeluknya. Dia sangat rindu pada Nami.Hari ini Nami berkunjung ke rumah Iko. Tapi mereka berdua bertemu di jalan. Kebetulan Iko baru saja membeli surat daftar riwayat hidup di toko.Nami dan Iko janjian untuk mencari kerja bersama."Oh Nami aku sangat rindu. Selama ini kamu pasti sangat menderita. Maafkan aku yang tidak ada di masa sulitmu," Iko memeluk erat."Aku sudah mendengar kabar kematian Ayahmu. Kenapa kamu tidak mengabariku?" Iko mengelus punggung Nami menenangkan.Nami merapatkan bibirnya. Andaikan Iko tau apa yang sudah Nami alami, apakah Iko masih mau berteman dengannya? Nami berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia tidak boleh menangis. Dia tidak boleh terlihat lemah."Nami, jangan merasa sendirian. Aku di sini ada untukmu," Nami terenyuh mendengar kalimat manis dari mulut Iko.Nami membalas pelukannya. Runtuh sudah pertahanan Nami. Nami menangis. Dia luruh ke bawah, namun di tahan oleh Iko sehin
Sebuah senyuman seperti bulan sabit terpatri di sudut bibir Steven. Jari tangan mengelus pipi yang memerah tanpa henti. Zang—sekretaris Steven menaikkan salah satu alisnya.“Tuan muda, apa tamparan wanita itu begitu menyakitkan sampai anda tidak berhenti mengelusnya? Perlukah saya meminta office girl untuk mengambilkan kompres?” tanya Zang meminta persetujuan.Zang takut jika tamparan itu membuat emosi Steven tak stabil dan akan berimbas pada rapat nanti.“Zang, apa kau pernah melihat aku ditampar oleh wanita?”Zang menggeleng. “Tidak, Tuan. Sebaliknya, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan anda,” sahut Zang terus terang.Steven tersenyum miring. Menambah kesan arogan di wajahnya. Steven mengaggukkan kepalanya beberapa kali. Dia bangga dengan dirinya yang disukai banyak wanita.Tapi Steven tidak suka pada mereka. Mereka hanyalah hama pengganggu. Haus akan ketampanan dan uang yang dimiliki Steven saja.“Apa aku ini tampan, Zang?”Zang sedikit terkejut dengan pertanyaan Steven yang je
“S-siapa anda?” Nami membeku. Sekujur tubuh Nami gemetaran. Dia tak bisa mendengar ucapan pria itu dengan jelas. Penglihatannya memburam. Bola matanya membesar. Pria itu jelas ada di depannya persis. Pria itu menaiki ranjang perlahan-lahan mendekati Nami. Secara mendadak, napas Nami sedikit sesak. Dadanya terasa sangat sakit. Semakin pria itu maju, semakin pula Nami mundur hingga di ujung kasur. “Jangan dekati saya!” teriak Nami terus mengelak saat pria itu mencoba menyentuh tangannya. Kepala Nami bergoyang-goyang seperti merasakan gempa. Semua pandangan tiba-tiba saja menggelap. Kelopak mata Nami berkerjap lambat sampai akhirnya terpejam dan wanita itu limbung jatuh terjerembab di bawah lantai. Pria itu duduk di atas ranjang. Kepalanya tertoleh memperhatikan Nami yang sudah pingsan di bawah sana. Ia geleng-geleng kepala. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. “Pingsan?” kekehan pelan terdengar sumbang di ruangan itu. Menghirup udara sedalam mungkin lalu mengh
Deruman suara motor saling bersahutan di jalan. Berlalu lalang dengan kecepatan tak menentu. Ada yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi ada pula yang pelan sembari menikmati pemandangan bunga yang mekar di pinggir jalan.Tak hanya motor, namun juga banyak sekali macam-macam kendaraan. Ada motor matic, motor sport , mobil, motor listrik, sepeda listrik dan lain sebagainya. Tidak ada truk bermuatan.Jalanan ramai tapi tidak sampai macet. Setau Nami, jika dijalanan kota, pasti tidak jauh-jauh dari kata macet. Tapi untuk hari ini, tidak ada kemacetan.Nami melirik jam tangannya. Jarum pendek menunjuk pada angka 10. Jarum panjang menunjuk pada angka 2. Jika dibaca, jam menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh menit.Nami duduk di sebuah bangku kota yang berada di dekat pinggir jalan. Bangku yang sudah disediakan untuk orang-orang yang ingin duduk sembari menikmati indahnya bunga-bunga yang berderet rapi.Kaki Nami bergoyang-goyang kecil ke depan ke belakang. Tangannya memeluk sebuah
Rambut hitam lebat berkilau tergerai begitu indah. Lurus dan halus. Anak rambut terbang mengikuti arah angin. Kakinya berlarian kecil. Sempat lupa jalan menuju kantin perusahaan.Semua pegawai kantin harus datang lebih awal daripada karyawan kantor yang lain. Menyiapkan makanan dan menata meja. Nami berangkat sendirian. Karna Iko berangkat lebih dulu dengan naik ojek. Motor Iko rusak lagi.Nami berhenti sejenak. Mencari sebuah tulisan kantin. Nami melihat tulisan tersebut. Nami segera meluncur ke kantin. Sebelum bekerja, semua pekerja baru diberi arahan dan petunjuk.Setelah mendapatkan arah, mereka melakukan pekerjaan masing-masing. Nami, Iko dan tujuh orang lainnya yang menjadi waiters berbagi tugas. Mengelap meja dan mengepel lantai.Nami dan Iko kebagian tugas mengelap lantai. Nami bekerja dengan begitu semangat. Senyuman manis tak pernah luntur dari bibirnya.Kantin perusahaan sangat besar. Dulu, semua karyawan harus antri untuk mengambil makanan, namun karna itu membutuhkan wakt
Nami menatap datar pria di depannya ini. Sedangkan Steven menampilkan senyum dingin yang menambah kesan arogan di wajahnya. Bohong jika Nami tidak takut, hanya saja, Nami mencoba baik-baik saja.Nami menarik salah satu sudut bibirnya seraya bersilang dada. "Maaf, meskipun di dunia ini tidak ada yang gratis. Selama saya masih di sini dan belum keluar dari rumah bordil, saya tidak akan memenuhi permintaan anda!"Nami berbalik. Melangkah pergi setelah ia berhasil merogoh saku celana Steven dan mendapatkan kunci kamar tanpa sepengetahuan Steven. Dia menolak tidur dengannya malam ini. Walaupun Steven menawarkan uang satu miliar yang bahkan bisa langsung melunasi semua hutang rumah sakit.Tetapi, Nami tidak mau dibodohi. Dia sudah menyetujui penawaran namun, karna Steven masih belum membuktikan ucapannya, Nami menolak permintaan Steven.Transaksi? Jika sudah transaksi, pasti Madam Sherly akan datang dan menjemput Nami. Mempersilahkan Nami pergi dari rumah bordil.Nami menyunggingkan senyum
"Apa kamu sakit, Iko?"Nami memegang pundak Iko. Wajah wanita itu nampak pucat pasi. Sedari tadi ia terus memilin jari jemarinya. Perlahan-lahan Iko menolehkan wajahnya ke arah Nami. Senyumnya mengembang lebar, dia menggeleng pelan."Ti-tidak Nami," jawabnya gugup."Tapi kenapa raut wajahmu seperti ketakutan?" Nami mendekatkan wajahnya ke telinga Iko. "Apa tempat yang akan kita datangi itu berhantu?" bisik Nami. Nami jadi merinding membayangkan sosok hantu di siang hari.Iko membulatkan matanya. Dia memukul pelan lengan Nami. "Jaga bicaramu, Nami. Kalau Pak Warno tau bisa dimarahi!"Pak Warno adalah kepala kantin yang mengatur semua pekerjaan di kantin. Sekarang, orang itu ada di depan Iko dan Nami mengabsen para staff."Yang sudah saya absen, segera naik mobil. Kita harus segera berangkat ke rumah Tuan Arroyan!" titah Pak Warno mengeraskan suaranya agar semua orang mendengarnya, karna saat para karyawan sudah berkumpul suasana berubah berisik. Membicarakan gosip baru terhangat."Iko,