Seorang gadis cantik berbaju pengantin melarikan diri menyusuri lorong sebuah hotel. Seorang pria tua dan anak buahnya berusaha mengejar. Revalina Aruna, wanita berusia 20 tahun berkulit putih bersih itu semakin panik, diketuk-ketuknya pintu-pintu kamar hotel, hingga ada salah satu kamar hotel terbuka. Revalina tersenyum penuh harap dan langsung masuk dan menutup pintu tanpa izin.
"Hey, siapa kamu, ngapain masuk ke sini?" tanya seorang pria dengan nada tinggi.
Suaranya membuat gadis itu tersentak, bulir bening berjatuhan dari pelupuk mata, "Tuan, saya mohon bantulah saya!"
Pria matang itu kembali berbicara sembari menarik paksa untuk mengeluarkan Revalina, "Saya tidak mengenalmu, sebaiknya kamu keluar sekarang juga!"
Wanita itu terisak, "Saya mohon, saya akan melakukan apapun yang Bapak minta, asalkan bantulah saya."
Melihatnya yang terus menangis, lelaki itu semakin geram, "Bisakah kau diam?"
Pintu kamar kembali diketuk dari luar, sehingga membuat netra Revalina membola. Pria bertubuh tinggi itu membuka pintu, Revalina menyusup bersembunyi di balik pintu yang sedikit terbuka itu.
"Maaf, apa Anda melihat seorang wanita berpakaian pengantin di sekitar sini?" Sosok pria tua berjas bertanya.
Lelaki tadi melirik ke arah Revalina, gadis itu menggeleng penuh harap. Kedua tangan menutup mulut agar isak tangisnya tidak terdengar. Lelaki yang masih mengenakan mantel tidur tersebut berdecih lalu berkacak pinggang.
"Saya dari tadi di dalam kamar sendiri, tolong jangan buat keributan. Atau saya akan panggilkan petugas keamanan!" cebiknya seraya sedikit melongok keluar kamar menyaksikan beberapa orang melakukan hal sama. "Kalian mengganggu ketenangan hotel ini dengan menggedor pintu kamar hotel setiap penghuni? Sungguh tidak sopan," imbuhnya menatap penuh intimidasi.
Melihat raut muka lelaki itu, si pak tua segera mengambil tindakan aman. "Maaf mengganggu waktu istirahat Anda, kalau begitu saya permisi!" katanya. 'Dari sikap dan cara bicaranya sudah memperlihatkan bahwa dia bukan orang biasa, akan sangat berbahaya jika aku berurusan dengan orang seperti itu. Lebih baik aku pergi mencari di tempat lain,' bisiknya dalam benak seraya meninggalkan tempat tersebut.
Cklek! Pintu kembali tertutup
"Terima kasih banyak, Pak. Saya tidak tahu harus berkata apa, selain ucapan itu."
"Saya tidak ada urusan lagi denganmu, jadi tolong pergi sekarang juga."
"Apakah saya boleh meminta bantuan satu lagi?"
"Katakan."
Revalina meminta pakaian ganti karena tidak mungkin sepanjang waktu mengenakan gaun tersebut, walaupun ia tidak tahu akan pergi kemana karena tidak mempunyai tujuan yang jelas.
Pria itu bergerak membuka lemari mengambil piyama, "Hanya itu yang saya punya di sini, pergi ke kamar mandi dan ganti pakaianmu."
Revalina termenung sejenak, tetapi diterimanya baju itu. Beberapa menit kemudian ia kembali dari kamar mandi, tetapi pada saat bersamaan seorang wanita masuk ke ruangan tersebut, memeluk erat tubuh pria tadi.
Wanita itu melepaskan pelukannya, lalu memegangi tangan prianya sembari berkata, "Sayang, aku kangen banget sama kamu."
"Aku juga sayang," ucapnya sembari melirik ke arah Revalina yang sudah berada di depan pintu kamar mandi.
Wanita dengan piyama itu tercengang ketika melihat kemesraan dari mereka berdua. Ia menyernyitkan keningnya sembari berkata di dalam hati, 'Oh jadi pria itu sudah mempunyai pasangan, lalu bagaimana jika wanita tersebut akan salah paham padaku?'
Sorot matanya telah membuat wanita itu melirik ke arah tersebut. Matanya melotot ketika berhasil menemukan Revalina.
"Jelaskan padaku, siapa wanita ini?!" tanyanya dengan tegas.
Mulutnya membisu membuat wanitanya marah, menarik paksa Revalina dari tempatnya. Ditatapnya wajah itu sembari berkata, "Ngapain kamu di sini?!"
"Aku tidak tahu perempuan itu siapa dan dari mana asalnya, tetapi dia hanya bersembunyi di sini dari kejaran para pria."
Wanita itu berdecak kesal, "Aku tidak percaya dengan penjelasanmu, mana mungkin dia bersembunyi di sini dengan memakai bajumu."
"Dia memang meminjam pakaianku, sayang."
Ia membelalakkan matanya, lalu mencengkram tangan Revalina, menyuruhnya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Melihat kekasihnya bersikap kasar, pria itu menarik tangannya, mengentikan agar bicara baik-baik pada orang lain.
"Oh kamu belain dia daripada aku? Berarti benar kalau kamu itu selingkuh, dan entah apa yang udah kalian berdua lakukan di sini. Aku gak nyangka, kamu bermain-main di belakangku, dengan wanita seperti dia lagi!"
"Kamu salah paham, aku bisa jelasin."
"Tidak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah terlihat jelas di mataku!"
Wanita itu marah, ia pergi meninggalkan kamar tersebut sambil berlari. Pria itu berusaha mencoba menjelaskan, tetapi wanita tersebut tidak mau mendengarkannya sedikit pun.
"Maaf saya ..."
"Keluar sekarang atau aku panggilkan orang-orang tadi untuk meringkusmu di sini!" Mata pria itu nyalang membuat gadis tersebut bergidik ngeri.
"Saya tidak tahu harus kemana? Saya tidak punya tempat tinggal."
"Saya tidak peduli denganmu, mau kamu punya tempat tinggal ataupun tidak, itu bukan urusan saya!"
"Pak, saya mohon berikan saya pekerjaan apapun. Mungkin untuk menebus kebaikan Bapak, saya bisa bantu-bantu Bapak."
"Itu tidak perlu, saya tidak membutuhkanmu ataupun tenagamu."
"Saya tidak akan meminta upah, Pak. Saya berjanji akan bekerja dengan baik," lirih Revalina.
"Diam! Saya muak denganmu, saya tidak mau melihat wajahmu di mana pun juga! Jadi tolong pergi dari sini sekarang juga!"
"Pak."
Pria itu mendorong tubuh Revalina keluar kamar tersebut, membuatnya hampir tersungkur ke lantai. Ditatapnya pintu itu, 'Aku harus kemana? Aku tidak memiliki siapapun di sini.'
Gadis itu mengendap-endap seraya memperhatikan keadaan. Takut orang yang mengejarnya masih berada di sekitar sana. Melihat keadaan aman, dia kembali berlari sekuat tenaga menuju area bawah. Gadis itu menyelinap keluar hotel lewat pintu belakang.
Gadis itu berjalan dengan perasaan was-was. Baru saja bernafas lega, tiba-tiba dua orang pria berbaju serba hitam mencegatnya, memaksa Revalina untuk masuk ke dalam mobil.
"Lepaskan saya!"
"Masuklah, jangan membuat kami berbuat kasar padamu, Nona!" kata salah seorang di antara mereka.
"Tolong-tolong!"
Dengan cepat, dua pria itu memasukkan Revalina. Revalina berontak di dalam sana sambil terus berteriak meminta tolong. Akhirnya, mulutnya ditutup dengan kain, dan kedua tangannya pun diikat dengan tambang. Revalina tidak berdaya untuk melepaskan diri dari sana. Meminta pertolongan pun sudah mustahil karena tidak akan mungkin terdengar orang lain.
Tubuhnya terus bergerak ke kiri dan kanan membuat pria itu kesal, sehingga mencengkram pipi Revalina, "Diam atau saya akan melenyapkanmu!"
Revalina menggerakkan kepalanya karena merasa jijik disentuh pria jahat itu. Revalina mencoba melepaskan diri lagi, sehingga membuat mereka kembali berbicara, "Sampai kapanpun, kamu tidak akan bisa lepas dari kita."
Mobil pun melaju begitu kencang, Revalina memperhatikan dua pria yang ada di sampingnya. Ia tidak bisa melihat pria di balik penutup wajah itu.
'Apa mereka anak buah rentenir tua bangka itu? Tamat sudah riwayatku.'
Dibawanya Revalina masuk ke sebuah perumahan mewah dengan tangan dan mulut yang masih terikat. Ia kembali berontak ingin berlari, tetapi dua pria kekar yang memegangnya lebih kuat. "Buka penutup mulutnya itu," ucap seorang wanita yang baru saja turun dari tangga. Revalina melihat satu-persatu langkahnya yang semakin dekat. Terlihatlah jelas wanita paruh baya dengan baju berwarna merah. Ia tersenyum ke arah gadis itu sehingga membuatnya bergidik ngeri. Revalina bermohon dengan keadaan tangannya yang masih diikat serta dipegangi oleh dua pria berbaju hitam itu, "Tolong lepaskan, saya tidak punya salah padamu. Saya tidak mengenalmu, tolong biarkan saya pergi." Wanita itu berucap membuat Revalina terkejut, "Jadilah wanita lain untuk merusak hubungan putraku dengan tunangannya!" Netra gadis itu membola kala mendengar penawaran wanita tersebut, "Apa?" "Ayahmu terlilit hutang, saya akan memberikan sejumlah uang jika kamu berhasil membuat putraku menjauhi tunangannya." "Mengapa anda ta
Brak! Suara pintu dibuka dengan paksa, Revalina diseret masuk ke kamarnya oleh Felix, wajahnya sangat panik dan jantungnya berirama lebih kencang pun sekujur tubuh bergetar hebat. "Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?!" Felix mengintimidasinya. Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya, ia tidak mampu membuka mulut bahkan untuk sekedar menjawab. Felix melangkah menjadi lebih dekat membuatnya mundur beberapa langkah menjauhi."Katakan dengan jelas apa yang kau rencanakan di rumah ini?!" tegas pria matang itu sambil mencengkram lengan Revalina. “Mengapa kalian orang kaya suka sekali menekankan yang tidak berdaya!” peliknya melepas cengkraman tangan Felix.Apa Felix akan luluh dan bersikap manis, tentu saja tidak, “Berhenti basa-basi.” Lelaki itu mengira gadis itu sengaja mengikutinya.“Saya hanya menerima tawaran Nyonya sebagai baby sitter, Pak. Apa salah, saya butuh uang,” ujarnya mencoba menekan rasa takut.“Kau pikir aku percaya?” Netra Revalina membeliak, dia menelan saliva gugup.
'Drama akan segera dimulai,' batin Revalina kala melihat tangga yang menjulang tinggi di depan matanya. Felix melirik gadis yang masih berbaju pengantin itu yang justru dibalas lirikan oleh ibunya. Pria itu mencoba tersenyum sambil merangkul pundak Revalina. Revalina memperhatikan dengan perasannya yang mulai tidak nyaman. "Kita akan istirahat duluan, Ma. Iya, kan sayang?" Gadis yang sudah tertekan itu terpaksa memasang senyuman sambil mengangguk. "Ya pergilah istirahat," jawab Vina membalas senyumannya. Kepergian dua insan itu membuat Vina tersenyum lebar. Ya, wanita tua itu memikirkan kalau Revalina adalah gadis yang cukup bodoh, menikah dengan alasan uang. Ia gadis miskin yang bisa dikendalikan dengan uang, sehingga Revalina tidak akan mungkin bisa menguasai harta. 'Revalina ataupun keluarganya juga sama-sama bodohnya, anaknya bisa dibeli begitu saja. Mereka hanya menginginkan uang, tapi tidak punya pemikiran maju untuk bisa mendapatkan uang tanpa menjual diri.'Sementara, di
Teriakkan Revalina berhenti sampai di sana kala melihat Heri menyuruh kedua anak buahnya menghadapi orang yang telah berhasil membuatnya tertantang. Bugh! Bugh!Pukulan demi pukulan dilayangkan oleh dua pria itu pada orang tersebut. Jago beladiri, tampan, kaya, dan berwibawa, itulah Felix. Ia berhasil melumpuhkan pria-pria itu dengan mudah tanpa membuat dirinya terluka. Si pak tua tidak tinggal diam, kini gilirannya yang maju menghadapi Felix. Bugh, satu pukulan di perutnya yang buncit seperti orang hamil tujuh bulan itu pun telah membuatnya kesakitan. "Pergi dari sini atau ..." Belum selesai Felix berbicara, ketiganya berlari terbirit-birit masuk mobil meninggalkan tempat tersebut. Revalina merasa lega setelah melihat mereka tiada dalam pandangannya. "Terima kasih karena sudah menyelematkan saya, Pak.""Kamu jangan terlalu percaya diri, saya menolongmu bukan karena takut kau terluka, tapi karena ibu saya," bisik Felix di telinga gadis itu. Sang Ayah langsung berlari memeluk put
Di tengah ramainya toko barang-barang branded itupun Revalina mencoba bangkit. "Kak, Kak Siska. Tolong kembalikan, barang itu bukan milikku, aku harus memberikan pada pemilik yang sebenarnya." Siska, Kakak kandung Revalina tidak menggubris ucapan itu sama sekali, bahkan ketika adiknya berusaha mengejar, wanita 25 tahun tersebut dengan cepat memasuki taksi. Revalina menarik nafas beratnya, wajahnya mencerminkan rasa takut yang mendalam kala ia kembali ke apartemen milik suaminya. Tak lama, Felix datang bersama Raisa. Keduanya menatap heran kala menemukan keberadaannya. "Sayang, kamu yakin tinggal sama dia satu ruangan seperti ini?" "Ya semuanya aku lakukan demi hubungan kita sayang," jawab Felix dengan nada suaranya yang berat. "Tapi kamu bisa menginap di apartemen aku, gak harus di sini sama dia." Felix menolak saran dari kekasihnya karena dianggap tidak aman. Sebab, ia takut kalau ibunya akan memeriksa keadaan di apartemennya kapan saya ia mau. Bagi Felix, Vina memang tidak bi
Felix dan Revalina melongok keluar melihat apa yang terjadi. Keduanya melihat seorang pegawai apartemen sedang membawakan segelas kopi di atas nampan yang jatuh ke lantai tepat di depan pintu. "Apa yang terjadi?" tanya Felix pada pria yang sedang sibuk membersihkan lantai tersebut. Pria muda itu mengatakan kalau tadi sempat ada pria tidak dikenal menabraknya sehingga kopi yang dibawanya tersenggol. Ia juga sempat meminta maaf pada sepasang suami istri itu karena ditakutkan menganggu istirahat mereka. Itu adalah hal yang tidak begitu penting bagi Felix, tetapi berbeda dengan Revalina yang tiba-tiba memiliki perasaan tidak enak. Di tempat yang agak jauh dari sana, tampaklah seorang pria bertopi menutupi wajahnya menatap ke arah Revalina. Namun, ketika Revalina melihat ke arah tersebut orangnya sudah pergi, tetapi perasaan masih tidak nyaman. ***Sementara, di tempat lain, Siska sedang belanja banyak barang-barang untuk keperluannya. Semua uang yang dikeluarkannya adalah hasil dari m
Waktu sudah mulai malam, Revalina dan Felix baru saja tiba di apartemen. Ketika masuk kamar Revalina menanyakan perihal kepergian Felix tanpa alasan kala berada di rumah mertuanya. "Kamu bisa meminta uang pada saya kapan saja kamu mau, tapi saya tidak bisa memberikan uang secara cuma-cuma walaupun itu hasil kerja keras kamu." "Cuma-cuma gimana, Pak? Bapak sudah tahu dengan jelas kalau adik saya membutuhkan uang." Ucapannya bagaikan angin yang berlalu bagi seorang pria berusia 35 tahun itu. Berbeda dengan di tempat lain, kekasihnya sedang menghadiri acara reuni bersama teman kuliahnya. Mereka tampak senang apalagi dengan Raisa yang banyak memamerkan kekayaannya, terlebih memiliki kekasih sekaya Felix. Ya walaupun duda beranak satu, tetapi itu tidaklah masalah bagi Raisa yang terpenting pria mapan berkedudukan tinggi. Bagaimana tidak kaya, Felix adalah putra satu-satunya yang akan menjadi pemilik tunggal dari perusahaan yang dahulu dikelola oleh ayahnya. Bukan hanya itu, kekayaannya
Suasana kampus dirasa begitu mencekam bagi sepasang suami istri ketika berbalik menemukan adik Revalina berdiri di belakang. Gadis itu menautkan alisnya melihat mereka berdua yang hanya memandanginya dengan aneh. "Apa kamu mendengar ucapan kita?" "Nggak, Kak. Tadi temanku melambaikan tangannya pada saat aku melihat Kakak." "Lalu, sekarang di mana temanmu?" "Gak tahu, soalnya aku tidak menggubris lambainnya lagi." Dua insan itu menarik nafas lega, jantungnya yang hampir copot itu pun bisa diselamatkan kembali. Akan sangat berbahaya jika rahasianya terbongkar oleh gadis itu karena pasti akan disampaikan pada orang tuanya. "Tapi Kakak ngapain ke sini?" tanyanya penasaran. Sang Kakak pun menjelaskan tentang biaya kuliah adiknya yang telah dilunasi oleh Felix. Akibat terlalu senang, gadis remaja itu memeluk dua insan itu secara bergantian. Pria tersebut tidak membalas pelukannya sedikitpun karena tidak merasa mempunyai adik. Felix mendorong pelan melepaskan pelukan adik ipar