'Drama akan segera dimulai,' batin Revalina kala melihat tangga yang menjulang tinggi di depan matanya.
Felix melirik gadis yang masih berbaju pengantin itu yang justru dibalas lirikan oleh ibunya. Pria itu mencoba tersenyum sambil merangkul pundak Revalina. Revalina memperhatikan dengan perasannya yang mulai tidak nyaman.
"Kita akan istirahat duluan, Ma. Iya, kan sayang?"
Gadis yang sudah tertekan itu terpaksa memasang senyuman sambil mengangguk.
"Ya pergilah istirahat," jawab Vina membalas senyumannya.
Kepergian dua insan itu membuat Vina tersenyum lebar. Ya, wanita tua itu memikirkan kalau Revalina adalah gadis yang cukup bodoh, menikah dengan alasan uang. Ia gadis miskin yang bisa dikendalikan dengan uang, sehingga Revalina tidak akan mungkin bisa menguasai harta.
'Revalina ataupun keluarganya juga sama-sama bodohnya, anaknya bisa dibeli begitu saja. Mereka hanya menginginkan uang, tapi tidak punya pemikiran maju untuk bisa mendapatkan uang tanpa menjual diri.'
Sementara, di lantai atas sepasang suami istri memasuki kamarnya. Setiba di kamar, Felix langsung melepaskan tangannya yang sejak tadi merangkul pinggang Revalina.
"Apakah saya akan tidur satu kamar dengan ..."
"Hanya satu ruangan, kamu bisa tidur di sofa ataupun di lantai, tetapi yang jelas dilarang untuk tidur di ranjang ini bahkan kamu tidak diperbolehkan untuk menyentuh barang-barang milik saya! Perlu diingat, saya dan kamu hanyalah sebatas atasan dan bawahan bukan sepasang suami dan istri. Jadi, tetap bersikap layaknya bawahan pada atasannya!"
Revalina mengangguk paham, Felix menghembuskan nafasnya yang berat. Kepalanya terasa sangat pening karena pernikahan kontraknya baru saja dimulai sudah terasa begitu rumit. Jika saja di rumah itu tidak ada Vina, Felix tidak ingin satu ruangan dengan gadis yang tidak disukainya, bahkan sekedar seleranya pun tidak sama sekali.
"Tetaplah berada di ruangan ini sebelum saya memintamu untuk keluar!" tegas Felix yang begitu menggema di telinga Revalina.
Malam berlalu begitu cepat, ketika pagi tiba Revalina meringkuk di sofa tanpa bantal dan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia pun masih mengenakan baju pengantin karena tidak berani keluar hanya sekedar untuk mengganti pakaian.
Felix yang sudah merapikan rambut di depan cermin pun melihat gadis itu. Ia mengambil baju dari dalam paper bag yang berada di sudut ruangan tersebut. Revalina terbangun menyadari kalau hari sudah mulai pagi.
"Ganti pakaianmu sebelum ibu saya datang memanggil kita."
Gadis dengan wajahnya yang sudah lusuh itu pun mengangguk sembari pergi. Sepuluh menit kemudian, keduanya keluar bersamaan dari kamar tersebut menemui Vina.
"Kamu mau ke kantor?" tanya wanita paruh baya itu.
"Nggak, aku cuma ada keperluan aja."
"Kenapa kamu gak pergi bulan madu? Kamu baru menikah."
Vina ingin tahu reaksi anaknya ketika dilibatkan dengan pertanyaan semacam itu untuk mengetahui kalau Felix masih menginginkan kekasihnya ataukah tidak. Pertanyaan yang sempat dilayangkan membuat Felix memiliki ide cemerlang.
"Aku sengaja gak bulan madu karena mau mengajak Revalina tinggal di apartemen, ya biar terkesan lebih romantis, Ma."
"Ya itu bagus sayang," sahut sang Ibu.
Sebelum menuju apartemen, mereka terlebih dahulu mengantarkan putri Felix ke sekolah.
Felix memarkirkan kendaraan di pinggir jalan hanya agar puas marah. Ia sangat kesal kala Revalina yang menginginkan kerja sama menikah kontrak, tetapi ternyata tidak pandai berakting. Hampir-hampir Felix gagal membawa Revalina keluar dari rumah orang tuanya.
Revalina tahu itu, bahkan merasakannya. Hanya saja gadis tersebut merasa takut untuk berakting ketika lawan aktingnya segalak Felix. Di pikirnya menikah kontrak dengan berbagai drama akan mudah dilalui, tetapi ternyata Felix bukanlah orang yang bisa diajak bicara baik-baik.
"Saya juga berusaha, Pak." Revalina angkat bicara.
"Kalau kamu terus-terusan kayak gini, saya tidak akan membayarmu!"
Revalina menelan ludahnya pun terkejut ketika Felix kembali menghidupkan mesin kendaraan itu meninggalkan jalanan tersebut. Tidak ada sepatah kata lagi yang terucap di antara mereka. Revalina hanya memasang wajahnya yang pasrah ketika Felix mengemudi seperti orang gila.
"Jika diizinkan hari ini saya ingin ke rumah orang tua saya, Pak," pinta Revalina saat mobil yang dikendarai berhenti di lampu merah.
"Baiklah, saya akan menjemputmu nanti sore. Hanya sekali ini saja kau saya izinkan, selebihnya jangan berharap kau bisa keluar rumah!" ancam Felix.
Bukan tanpa alasan, hanya saja anak buah sang ibu pasti masih berada di sekitar mereka saat ini, sehingga Felix berpikir untuk lebih berhati-hati.
Felix pun membawa Revalina ke rumah orang tuanya. Ia meninggalkan gadis tersebut tanpa basa-basi apalagi sekedar mampir menyapa mertuanya pun tidak sama sekali karena Felix tidak pernah menganggap punya istri ataupun mertua, gadis itu hendak mengetuk pintu rumahnya tiba-tiba saja si bandot tua datang. Betapa terkejutnya kala mata mereka saling bertemu.
'Kenapa dia ada di sini?' batin Revalina bertanya-tanya sambil mundur beberapa langkah karena hatinya mulai merasa was-was.
Pria bernama Heri itu tersenyum lebar pada gadis yang selalu diimpikan menjadi istrinya. Revalina melihat sekitar, ia hendak berlari, tetapi dua anak buahnya berhasil menangkap.
"Mau lari kemana kamu cantik?" tanya si pak tua itu sambil menyentuh dagu Revalina.
"Jangan kurang ajar ya kamu!" tegasnya sambil berusaha menghindari sentuhan itu.
"Ada ribut-ribut apa ini?" Suara bariton terdengar beriringan pintu terbuka.
"Ayah, Ibu," panggil Revalina pada kedua orang tuanya.
"Nak, kau datang," bisik sang Ibu langsung memeluk putrinya.
"Pak Heri, ada urusan apalagi Bapak di sini? Bukankah kami sudah membayarkan utang-utang kami?"
"Iya, itu benar, tapi aku ingin menawarkan pada kalian sebuah transaksi. Berikan Revalina, lalu aku akan serahkan uang sebanyak apapun yang kalian minta!"
"Bapak sudah gila? Putri saya sudah menikah." Sang Ayah membela.
"Jangan berlagak kaya orang miskin, berapa kalian menjual putri kalian pada mereka? Aku akan memberikan dua kali lipat!" tantang rentenir tua tersebut.
"Saya tahu kamu udah menikah, tapi itu tidak membuat saya mundur satu langkah pun. Kamu masih punya kesempatan untuk meninggalkan suamimu, lalu kembali pada saya."
"Saya tidak sudi menikah dengan tua bangka yang tidak tahu diri seperti kamu!"
Justru ucapan Revalina membuatnya semakin tertantang, ia kembali tersenyum mendekatkan wajahnya pada gadis itu, "Gadis yang manis, tidak peduli seberapa galak dirimu karena dalam pandangan saya kamu tetaplah cantik."
Ia mencoba melepaskan diri dari cengkraman dua pria yang berada di sampingnya, "Lepaskan, saya!"
"Jangan berlagak, kau juga pasti akan segera ditendang keluar oleh orang kaya itu. Saya yakin mereka hanya mempermainkan dirimu, saat bosan nanti kau akan dicampakkan!" pekik rentenir tua itu.
Revalina membayangkan dirinya saat yang begitu sengsara karena kemiskinan. Air mata luruh jatuh, terlebih pernikahan yang dilakukan hanya sebuah kontrak. Di mana bisa kapan saja gadis tersebut dicampakkan.
"Kalau memang lelaki yang menikah denganmu itu tidak main-main. Pasti saat ini kalian si pengantin baru masih bersama menikmati indahnya bulan madu, bukan?" Kalimat menyakitkan itu kembali terlontar dari mulut pedas Heri. Ingin rasanya Revalina berlari sejauh mungkin menghindar.
Si rentenir dan dua anak buahnya tertawa begitu keras melihat wajah tidak berdaya Revalina dan keluarganya.
"Bawa dia ke mobil, hari ini juga dia akan menjadi milik saya!"
"Tidak, lepaskan saya!" Revalina meronta.
"Tolong jangan bawa putri kami!" Sang Ayah berusaha meraih Revalina, tetapi Heri mendorong tubuh kurus itu hingga tersungkur ke tanah.
Revalina diseret masuk ke dalam mobil, ia tidak berhenti meminta pertolongan sekuat tenaga. Ketika mereka hendak masuk justru seseorang berteriak begitu lantang, "Berhenti!"
Ucapan itu berhasil membuat mereka melihat ke arah orang tersebut dengan tatapannya yang menantang.
Teriakkan Revalina berhenti sampai di sana kala melihat Heri menyuruh kedua anak buahnya menghadapi orang yang telah berhasil membuatnya tertantang. Bugh! Bugh!Pukulan demi pukulan dilayangkan oleh dua pria itu pada orang tersebut. Jago beladiri, tampan, kaya, dan berwibawa, itulah Felix. Ia berhasil melumpuhkan pria-pria itu dengan mudah tanpa membuat dirinya terluka. Si pak tua tidak tinggal diam, kini gilirannya yang maju menghadapi Felix. Bugh, satu pukulan di perutnya yang buncit seperti orang hamil tujuh bulan itu pun telah membuatnya kesakitan. "Pergi dari sini atau ..." Belum selesai Felix berbicara, ketiganya berlari terbirit-birit masuk mobil meninggalkan tempat tersebut. Revalina merasa lega setelah melihat mereka tiada dalam pandangannya. "Terima kasih karena sudah menyelematkan saya, Pak.""Kamu jangan terlalu percaya diri, saya menolongmu bukan karena takut kau terluka, tapi karena ibu saya," bisik Felix di telinga gadis itu. Sang Ayah langsung berlari memeluk put
Di tengah ramainya toko barang-barang branded itupun Revalina mencoba bangkit. "Kak, Kak Siska. Tolong kembalikan, barang itu bukan milikku, aku harus memberikan pada pemilik yang sebenarnya." Siska, Kakak kandung Revalina tidak menggubris ucapan itu sama sekali, bahkan ketika adiknya berusaha mengejar, wanita 25 tahun tersebut dengan cepat memasuki taksi. Revalina menarik nafas beratnya, wajahnya mencerminkan rasa takut yang mendalam kala ia kembali ke apartemen milik suaminya. Tak lama, Felix datang bersama Raisa. Keduanya menatap heran kala menemukan keberadaannya. "Sayang, kamu yakin tinggal sama dia satu ruangan seperti ini?" "Ya semuanya aku lakukan demi hubungan kita sayang," jawab Felix dengan nada suaranya yang berat. "Tapi kamu bisa menginap di apartemen aku, gak harus di sini sama dia." Felix menolak saran dari kekasihnya karena dianggap tidak aman. Sebab, ia takut kalau ibunya akan memeriksa keadaan di apartemennya kapan saya ia mau. Bagi Felix, Vina memang tidak bi
Felix dan Revalina melongok keluar melihat apa yang terjadi. Keduanya melihat seorang pegawai apartemen sedang membawakan segelas kopi di atas nampan yang jatuh ke lantai tepat di depan pintu. "Apa yang terjadi?" tanya Felix pada pria yang sedang sibuk membersihkan lantai tersebut. Pria muda itu mengatakan kalau tadi sempat ada pria tidak dikenal menabraknya sehingga kopi yang dibawanya tersenggol. Ia juga sempat meminta maaf pada sepasang suami istri itu karena ditakutkan menganggu istirahat mereka. Itu adalah hal yang tidak begitu penting bagi Felix, tetapi berbeda dengan Revalina yang tiba-tiba memiliki perasaan tidak enak. Di tempat yang agak jauh dari sana, tampaklah seorang pria bertopi menutupi wajahnya menatap ke arah Revalina. Namun, ketika Revalina melihat ke arah tersebut orangnya sudah pergi, tetapi perasaan masih tidak nyaman. ***Sementara, di tempat lain, Siska sedang belanja banyak barang-barang untuk keperluannya. Semua uang yang dikeluarkannya adalah hasil dari m
Waktu sudah mulai malam, Revalina dan Felix baru saja tiba di apartemen. Ketika masuk kamar Revalina menanyakan perihal kepergian Felix tanpa alasan kala berada di rumah mertuanya. "Kamu bisa meminta uang pada saya kapan saja kamu mau, tapi saya tidak bisa memberikan uang secara cuma-cuma walaupun itu hasil kerja keras kamu." "Cuma-cuma gimana, Pak? Bapak sudah tahu dengan jelas kalau adik saya membutuhkan uang." Ucapannya bagaikan angin yang berlalu bagi seorang pria berusia 35 tahun itu. Berbeda dengan di tempat lain, kekasihnya sedang menghadiri acara reuni bersama teman kuliahnya. Mereka tampak senang apalagi dengan Raisa yang banyak memamerkan kekayaannya, terlebih memiliki kekasih sekaya Felix. Ya walaupun duda beranak satu, tetapi itu tidaklah masalah bagi Raisa yang terpenting pria mapan berkedudukan tinggi. Bagaimana tidak kaya, Felix adalah putra satu-satunya yang akan menjadi pemilik tunggal dari perusahaan yang dahulu dikelola oleh ayahnya. Bukan hanya itu, kekayaannya
Suasana kampus dirasa begitu mencekam bagi sepasang suami istri ketika berbalik menemukan adik Revalina berdiri di belakang. Gadis itu menautkan alisnya melihat mereka berdua yang hanya memandanginya dengan aneh. "Apa kamu mendengar ucapan kita?" "Nggak, Kak. Tadi temanku melambaikan tangannya pada saat aku melihat Kakak." "Lalu, sekarang di mana temanmu?" "Gak tahu, soalnya aku tidak menggubris lambainnya lagi." Dua insan itu menarik nafas lega, jantungnya yang hampir copot itu pun bisa diselamatkan kembali. Akan sangat berbahaya jika rahasianya terbongkar oleh gadis itu karena pasti akan disampaikan pada orang tuanya. "Tapi Kakak ngapain ke sini?" tanyanya penasaran. Sang Kakak pun menjelaskan tentang biaya kuliah adiknya yang telah dilunasi oleh Felix. Akibat terlalu senang, gadis remaja itu memeluk dua insan itu secara bergantian. Pria tersebut tidak membalas pelukannya sedikitpun karena tidak merasa mempunyai adik. Felix mendorong pelan melepaskan pelukan adik ipar
Aroma harum semerbak memasuki setiap ruang dekat dapur yang dipakai oleh juru masak yang biasa memasak makanan untuk keluarga Felix. Revalina juga ikut berbaur dengan dua wanita yang sedang sibuk itu. Namun, kehadirannya di sana justru diketahui oleh Felix. "Kamu ngapain ada di sini?" tanya Felix dengan raut wajahnya menandakan ketidaksukaannya. "Saya cuma masak, Pak. Bantu-bantu mereka aja gak ada yang lain," jawab gadis itu dengan gugup karena melihat ekspresinya. Felix menarik lengannya menjauhi dua wanita lainnya, ia berbisik di sebelah telinga istrinya, "Jangan ikut campur urusan dapur ataupun yang lainnya, kamu di sini cuma numpang. Kamu gak berhak bersikap layaknya istri yang suka memasak untuk suami atau keluarganya." "Tapi Pak ..." Revalina menjeda ucapannya kala mertua perempuannya datang menyapa. Felix yang tidak mau sang Ibu mencurigainya, ia menyentuh bahu Revalina sambil tersenyum, lalu menyelipkan anak rambut gadis ke telinganya. "Sayang, kamu itu gak usah masak
"Masuk," titah Felix pada seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Pria itu sedikit membenarkan jasnya sambil menenangkan diri untuk tidak tegang, tetapi perasaan berubah menjadi lega ketika mendapati hanyalah Revalina yang datang. Usai pulang sekolah, Revalina mendapati tugas dari Vina. Ia memintanya untuk mengantarkan berkas meeting Felix yang tertinggal. Raisa yang bersembunyi di balik pintu pun menggerakkan bibir menanyakan siapa yang datang. Felix tidak menjawab pertanyaan dari kekasihnya, ia malah menyuruh istrinya untuk masuk dan menutup pintu. Dari situlah dua wanita itu saling bertemu. Revalina mengerutkan kening heran karena tiba-tiba saja ada Raisa padahal sejak tadi yang terlihat hanyalah Felix. Namun, ia tahu kalau Raisa adalah kekasih asli bak kekasih gelapnya. "Lho, kamu ngapain datang ke kantor pacar saya?" tanya Raisa dengan tatapan penuh intimidasi. Tentu saja sebagai orang yang sangat menginginkan Felix, ia tidak akan tinggal diam ketika melihat wanita l
Suasana rumah yang hening khas pedesaan yang masih terbilang sejuk, Siska baru saja pulang menenteng tas barang-barang belanjaannya. Sang Ibu yang melihatnya tentu heran. "Kenapa Ibu liat aku kayak gitu? Memangnya ada yang aneh atau mungkin sekarang aku tampil lebih cantik?" tanya Siska yang mencurigai ibunya. "Ya Siska, kamu mendapatkan uang darimana bisa belanja barang-barang sebagus ini?" tanya Sang Ibu ketika anaknya mengeluarkan belanjaan. "Ya dari uangku, lagian coba Ibu mikir aja mana mungkin semua uang yang belanjakan ini dari Ibu? Buat makan sehari-hari aja gak mampu apalagi beliin kebutuhan aku yang mahal-mahal." Wanita 60 tahunan itu menegur anaknya untuk tidak membeli barang-barang mewah karena hidup mereka bukanlah orang kaya yang bisa menghasilkan banyak uang. Sebaiknya, Siska bisa hidup hemat jangan berlebihan dalam gaya hidup, harus disesuaikan dengan keadaan. "Aku gak bisa, Bu. Lagian, apa Ibu gak malu kalau penampilan aku jelek? Apa kata orang-orang di luar sana