Di tengah ramainya toko barang-barang branded itupun Revalina mencoba bangkit.
"Kak, Kak Siska. Tolong kembalikan, barang itu bukan milikku, aku harus memberikan pada pemilik yang sebenarnya."
Siska, Kakak kandung Revalina tidak menggubris ucapan itu sama sekali, bahkan ketika adiknya berusaha mengejar, wanita 25 tahun tersebut dengan cepat memasuki taksi.
Revalina menarik nafas beratnya, wajahnya mencerminkan rasa takut yang mendalam kala ia kembali ke apartemen milik suaminya. Tak lama, Felix datang bersama Raisa. Keduanya menatap heran kala menemukan keberadaannya.
"Sayang, kamu yakin tinggal sama dia satu ruangan seperti ini?"
"Ya semuanya aku lakukan demi hubungan kita sayang," jawab Felix dengan nada suaranya yang berat.
"Tapi kamu bisa menginap di apartemen aku, gak harus di sini sama dia."
Felix menolak saran dari kekasihnya karena dianggap tidak aman. Sebab, ia takut kalau ibunya akan memeriksa keadaan di apartemennya kapan saya ia mau. Bagi Felix, Vina memang tidak bisa ditebak kapan ia bisa saja datang.
Raisa yang sikapnya agak posesif pada Felix, tentu protes karena ia rasa tidak seharusnya Felix satu ruangan dengan Revalina. Felix mencoba menenangkannya kalau keduanya bisa menjaga jarak.
"Aku percaya sama kamu sayang, tapi aku gak percaya sama gadis kampungan ini! Jaga sikapmu, Felix itu cuma milikku, kamu hanyalah istri jaminan!"
Revalina hanya mengangguk pelan sebelum Raisa pamit meninggalkan tempat itu. Gadis muda berbaju kaos oblong polos tersebut tersentak ketika Felix menanyakan barang pesannya. Revalina menelan saliva gugupnya dengan mengedarkan pandangan.
"Katakan, di mana barang yang saya pesan!"
"Barangnya ... Mmm, ada yang ngambil."
"Apa? Kamu gak mikir atau gimana? Itu isinya sepatu yang mau saya pakai besok buat meeting dengan orang penting!"
"Saya minta maaf, Pak. Saya tidak bermaksud melakukannya," keluh Revalina.
"Saya tidak butuh kata maaf kamu, saya hanya membutuhkan barang itu!" bentak Felix.
Gadis berambut sebahu dengan dikuncir satu itu menatap nanar padanya, bagaimana mungkin ia bisa mengganti barang mewah yang dibeli suaminya, untuk hidup sehari-hari saja ia hanya menumpang pada keluarga Felix.
"Kenapa diam? Kamu tidak mampu membelinya, kan?"
"Iya."
"Kalau kamu merasa tidak mampu, makanya jadi orang itu harus bisa dipercaya."
"Saya sudah berusaha mengambil barangnya lagi, tapi ..."
"Cukup, kali ini saya maafin kamu, tapi uang bayaran pernikahan kontrak ini saya potong!"
Felix menjanjikan pembayaran pernikahannya dengan Revalina adalah 200 juta, tetapi akibat kecerobohan yang dilakukan wanita itu telah membuatnya mengurangi jumlah tersebut menjadi 150 juta.
"Saya membutuhkan uangnya buat membiayai sekolah adik-adik saya, jangan dipotong sebanyak itu."
"Hey, kamu pikir harga sepatu saya murah? Itu sepatu mahal bukan sepatu yang biasa kamu beli, kamu gak akan mampu membelinya. Saya udah baik sama kamu tidak memotong gajimu sesuai harga sepatu saya!"
"Harga sepatu aja mahal, kok ucapan Bapak kayak gak pernah disekolahin."
Felix melotot mendengar gadis yang cukup pemberani itu, ia berteriak mengusir Revalina keluar dari ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, gadis itu pun sudah berada di balik pintu. Netranya menatap sekitar mengingat kejadian yang pertama kali menimpa sehingga membuatnya menjadi seperti saat ini.
Revalina bersandar di tembok luar ruangan tersebut, Felix yang sudah mengunci pintu dari dalam pun kembali membukanya menarik lengan Revalina memasuki tempat itu lagi. Sebelumnya, ia tidak paham dengan maksud dan tindakan pria kasar tersebut.
Felix mendudukkan Revalina di atas kasur di dekatnya, ia juga merangkul pundak gadis itu dengan romantis bak sepasang suami istri yang saling mencintai. Kali ini Revalina paham karena melihat wajah Vina di layar ponsel suaminya, ya Felix baru saja mendapatkan panggilan video call dari ibunya.
"Sayang, kamu lama banget menjawab telepon Mama."
"Maaf, Ma. Tadi itu, aku gak dengar soalnya lagi di kamar mandi. Tapi untung aja istriku ngasih tahu kalau Mama telepon," jawab Felix sambil tersenyum pada Revalina dengan netranya yang sempat agak melotot.
Gadis dengan wajahnya yang kaku itu membekas senyumannya. Vina mengatakan kalau ia memeriksa bahwa di sana tidak ada Raisa karena pada dasarnya naluri seorang Ibu selalu merasakan apa yang terjadi pada anaknya.
"Nggaklah, Ma. Mana mungkin ada Raisa, coba deh Mama pikir ngapain dia ke sini?"
"Iya sayang, Mama cuma mau memastikan aja apa yang Mama rasakan."
"Ma, aku itu udah gak punya perasaan apa-apa sama Raisa. Mama tahu sendiri, sekarang aku udah punya Revalina yang jauh lebih segalanya daripada Raisa," jelas Felix sambil mengusap lembut rambut wanitanya.
"Mama tenang aja, Felix dari tadi cuma sama aku, kok. Gak ada siapapun di sini selain pengurus apartemen aja," timpal Revalina.
Dirasa percaya, Vina pun menutup sambungan teleponnya. Felix segera menjauhi gadis tersebut. Revalina sudah paham, ia segera berpindah tempat duduk ke sofa.
"Kamu tahu, kan aturannya tinggal satu ruangan dengan saya?"
"Iya, saya paham, Pak. Saya tidak akan melupakannya," jawabnya santai.
Felix kembali memeriksa ponselnya ketika mendapati Raisa menghubunginya. Gadis itu meminta uang padanya dengan alasan malu jika tidak memakai fashion baru ketika bertemu dengan teman-temannya karena ia akan mengadakan reunian.
"Ya sayang, aku akan transfer buat kamu 20 juta."
Itulah yang terdengar di telinga Revalina, ia sedikit memikirkan perkataan Vina sebelumnya tentang sikap Raisa yang cukup berbahaya. Tentu itu adalah kebenaran yang sempat ia dengar, tetapi Revalina tidak mau ikut campur.
Usai menutup telepon, ia mendapati Revalina yang masih melihat ke arahnya. Felix pikir kalau gadis itu mendengar ucapannya, "Jangan coba-coba mengatakan pada Ibu saya tentang apa yang baru saja kamu dengar."
"Setidak bisa dipercaya itukah saya?"
"Semua orang itu bisa saja berkhianat, termasuk kamu perempuan yang baru saja saya kenal."
"Bapak tenang saja, saya tidak akan membicarakan apapun selain apa yang harus saya katakan."
Felix hanya mengangguk saja, ia memang pria yang tidak mudah percaya pada orang baru. Pintu diketuk membuat Felix bangkit membukanya, di balik sana menayangkan seorang pria yang membawa makanan.
"Makan ini, saya tidak mau terjadi sesuatu padamu, termasuk kelaparan karena semuanya akan membuat saya rumit."
Sebenarnya, Revalina malas untuk menerima makanan dari pria yang angkuh seperti Felix, tetapi ia memang membutuhkan makanan untuk saat ini apalagi dilarang untuk pergi tanpa ada urusan yang diperintahkan oleh suaminya.
"Makasih, Pak."
Felix kembali duduk di tempat semula, di bibir ranjang. Ia memeriksa ponselnya sambil sesekali melihat Revalina yang sedang makan seperti orang kelaparan. Ya, tentu saja wanita muda itu akan bersikap demikian karena sedari pagi baru mendapatkan makan lagi. Pria matang itu menggeleng-gelengkan kepalanya membuat Revalina beralih melihatnya, seketika Felix kembali fokus pada benda persegi panjang yang ada di tangannya.
Bruk, terdengar jelas ada sesuatu yang jatuh di luar ruangan tersebut membuat keduanya melirik ke arah pintu.
Felix dan Revalina melongok keluar melihat apa yang terjadi. Keduanya melihat seorang pegawai apartemen sedang membawakan segelas kopi di atas nampan yang jatuh ke lantai tepat di depan pintu. "Apa yang terjadi?" tanya Felix pada pria yang sedang sibuk membersihkan lantai tersebut. Pria muda itu mengatakan kalau tadi sempat ada pria tidak dikenal menabraknya sehingga kopi yang dibawanya tersenggol. Ia juga sempat meminta maaf pada sepasang suami istri itu karena ditakutkan menganggu istirahat mereka. Itu adalah hal yang tidak begitu penting bagi Felix, tetapi berbeda dengan Revalina yang tiba-tiba memiliki perasaan tidak enak. Di tempat yang agak jauh dari sana, tampaklah seorang pria bertopi menutupi wajahnya menatap ke arah Revalina. Namun, ketika Revalina melihat ke arah tersebut orangnya sudah pergi, tetapi perasaan masih tidak nyaman. ***Sementara, di tempat lain, Siska sedang belanja banyak barang-barang untuk keperluannya. Semua uang yang dikeluarkannya adalah hasil dari m
Waktu sudah mulai malam, Revalina dan Felix baru saja tiba di apartemen. Ketika masuk kamar Revalina menanyakan perihal kepergian Felix tanpa alasan kala berada di rumah mertuanya. "Kamu bisa meminta uang pada saya kapan saja kamu mau, tapi saya tidak bisa memberikan uang secara cuma-cuma walaupun itu hasil kerja keras kamu." "Cuma-cuma gimana, Pak? Bapak sudah tahu dengan jelas kalau adik saya membutuhkan uang." Ucapannya bagaikan angin yang berlalu bagi seorang pria berusia 35 tahun itu. Berbeda dengan di tempat lain, kekasihnya sedang menghadiri acara reuni bersama teman kuliahnya. Mereka tampak senang apalagi dengan Raisa yang banyak memamerkan kekayaannya, terlebih memiliki kekasih sekaya Felix. Ya walaupun duda beranak satu, tetapi itu tidaklah masalah bagi Raisa yang terpenting pria mapan berkedudukan tinggi. Bagaimana tidak kaya, Felix adalah putra satu-satunya yang akan menjadi pemilik tunggal dari perusahaan yang dahulu dikelola oleh ayahnya. Bukan hanya itu, kekayaannya
Suasana kampus dirasa begitu mencekam bagi sepasang suami istri ketika berbalik menemukan adik Revalina berdiri di belakang. Gadis itu menautkan alisnya melihat mereka berdua yang hanya memandanginya dengan aneh. "Apa kamu mendengar ucapan kita?" "Nggak, Kak. Tadi temanku melambaikan tangannya pada saat aku melihat Kakak." "Lalu, sekarang di mana temanmu?" "Gak tahu, soalnya aku tidak menggubris lambainnya lagi." Dua insan itu menarik nafas lega, jantungnya yang hampir copot itu pun bisa diselamatkan kembali. Akan sangat berbahaya jika rahasianya terbongkar oleh gadis itu karena pasti akan disampaikan pada orang tuanya. "Tapi Kakak ngapain ke sini?" tanyanya penasaran. Sang Kakak pun menjelaskan tentang biaya kuliah adiknya yang telah dilunasi oleh Felix. Akibat terlalu senang, gadis remaja itu memeluk dua insan itu secara bergantian. Pria tersebut tidak membalas pelukannya sedikitpun karena tidak merasa mempunyai adik. Felix mendorong pelan melepaskan pelukan adik ipar
Aroma harum semerbak memasuki setiap ruang dekat dapur yang dipakai oleh juru masak yang biasa memasak makanan untuk keluarga Felix. Revalina juga ikut berbaur dengan dua wanita yang sedang sibuk itu. Namun, kehadirannya di sana justru diketahui oleh Felix. "Kamu ngapain ada di sini?" tanya Felix dengan raut wajahnya menandakan ketidaksukaannya. "Saya cuma masak, Pak. Bantu-bantu mereka aja gak ada yang lain," jawab gadis itu dengan gugup karena melihat ekspresinya. Felix menarik lengannya menjauhi dua wanita lainnya, ia berbisik di sebelah telinga istrinya, "Jangan ikut campur urusan dapur ataupun yang lainnya, kamu di sini cuma numpang. Kamu gak berhak bersikap layaknya istri yang suka memasak untuk suami atau keluarganya." "Tapi Pak ..." Revalina menjeda ucapannya kala mertua perempuannya datang menyapa. Felix yang tidak mau sang Ibu mencurigainya, ia menyentuh bahu Revalina sambil tersenyum, lalu menyelipkan anak rambut gadis ke telinganya. "Sayang, kamu itu gak usah masak
"Masuk," titah Felix pada seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Pria itu sedikit membenarkan jasnya sambil menenangkan diri untuk tidak tegang, tetapi perasaan berubah menjadi lega ketika mendapati hanyalah Revalina yang datang. Usai pulang sekolah, Revalina mendapati tugas dari Vina. Ia memintanya untuk mengantarkan berkas meeting Felix yang tertinggal. Raisa yang bersembunyi di balik pintu pun menggerakkan bibir menanyakan siapa yang datang. Felix tidak menjawab pertanyaan dari kekasihnya, ia malah menyuruh istrinya untuk masuk dan menutup pintu. Dari situlah dua wanita itu saling bertemu. Revalina mengerutkan kening heran karena tiba-tiba saja ada Raisa padahal sejak tadi yang terlihat hanyalah Felix. Namun, ia tahu kalau Raisa adalah kekasih asli bak kekasih gelapnya. "Lho, kamu ngapain datang ke kantor pacar saya?" tanya Raisa dengan tatapan penuh intimidasi. Tentu saja sebagai orang yang sangat menginginkan Felix, ia tidak akan tinggal diam ketika melihat wanita l
Suasana rumah yang hening khas pedesaan yang masih terbilang sejuk, Siska baru saja pulang menenteng tas barang-barang belanjaannya. Sang Ibu yang melihatnya tentu heran. "Kenapa Ibu liat aku kayak gitu? Memangnya ada yang aneh atau mungkin sekarang aku tampil lebih cantik?" tanya Siska yang mencurigai ibunya. "Ya Siska, kamu mendapatkan uang darimana bisa belanja barang-barang sebagus ini?" tanya Sang Ibu ketika anaknya mengeluarkan belanjaan. "Ya dari uangku, lagian coba Ibu mikir aja mana mungkin semua uang yang belanjakan ini dari Ibu? Buat makan sehari-hari aja gak mampu apalagi beliin kebutuhan aku yang mahal-mahal." Wanita 60 tahunan itu menegur anaknya untuk tidak membeli barang-barang mewah karena hidup mereka bukanlah orang kaya yang bisa menghasilkan banyak uang. Sebaiknya, Siska bisa hidup hemat jangan berlebihan dalam gaya hidup, harus disesuaikan dengan keadaan. "Aku gak bisa, Bu. Lagian, apa Ibu gak malu kalau penampilan aku jelek? Apa kata orang-orang di luar sana
Pagi hari yang cerah, sinar mentari menyeruak masuk sela-sela jendela kamar. Revalina tengah memandanginya indahnya pagi ini, sedangkan suaminya sibuk dengan majalah di tangannya. Rasa penasaran muncul di benak Revalina ketika melihat kefokusan pria pemilik wajah tampan itu pada benda yang di pegangnya. Revalina mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya dibaca oleh suaminya itu. Felix melirik mengetahui kehadiran Revalina di belakangnya, matanya menatap penuh intimidasi.Akibat aksinya diketahui Felix, ia pun menanyakan tentang gambar yang sedang dilihat-lihat olehnya. Felix sengaja membuka majalah hanya untuk mencari iklan rumah mewah untuk tempat tinggalnya nanti ketika sudah menikah dengan Raisa. "Kamu lupa, kalau kamu itu dilarang untuk ikut campur dengan urusan saya?" tanya Felix dengan tatapan wajah khasnya yang super galak dan jutek. "Saya gak bermaksud buat ikut campur, saya hanya bertanya." "Keluar dan lakukan hal yang menjadi urusanmu, apa yang saya lakukan kamu tidak be
Di malam yang begitu hening, seorang pria sedang mondar-mandir dengan perasannya yang bimbang ditambah ponselnya terus berdering menimbulkan suara bising di telinganya. Dengan cepat Felix meraih ponsel yang berada di atas kasur, lalu dimatikan ketika melihat gagang pintu bergerak. Revalina yang saja masuk pun memandangnya dengan heran. Felix sedikit memalingkan wajahnya, ia pikir kalau yang datang adalah ibunya. Sedangan, Revalina bersiap untuk tidur di tempat biasa. Namun, aktivitasnya justru dihentikan Felix dengan menarik tangannya agak kasar. "Adakah yang bisa saya bantu?" tanyanya. "Hari ini adalah pesta ulang tahunnya Raisa," ungkapnya. "Kalau begitu pergi dan datang ke tempat pestanya, pasti Mbak Raisa menunggu Bapak." Felix tidak bisa datang ke tempat di mana Raisa mengadakan pesta karena hari sudah malam dan hari libur kantor juga. Ia tidak bisa pergi begitu saja, tidak ada alasan yang kuat jika ibunya bertanya. Maka dari itu, Felix membutuhkan bantuan Revalina untuk i
Satu keluarga itu pun tiba di rumah Revalina, tetapi Revalina tidak ada di sana. Ia sudah pergi ke kota, tanpa bicara panjang lebar Felix langsung pergi mengejar Revalina. Dalam perjalanan ia sangat khawatir kalau gadis itu sudah pergi jauh sedangkan kedua orang tuanya pun tidak tahu di kota mana Revalina akan bekerja. Terlalu gegabah, Revalina menyetujuinya pekerjaan dengan cara mendaftarkan online padahal ia belum punya pengalaman tentang bekerja di luar kota. Felix turun di terminal bus, ia mencari-cari Revalina ke penjuru tempat tersebut. Ia naik turun bus yang berjejer di sana hanya untuk memastikan apakah Revalina ada di dalam sana? Felix sangat frustasi, Revalina tidak dapat ditemukan padahal ia sudah mencarinya. Ia melihat sosok gadis yang sangat mirip dengan Revalina, gadis itu naik bus yang akan melaju. Felix mengejar bus yang mau keluar dari terminal. "Revalina, tunggu." Felix terus mengulang kalimat tersebut sambil berlari. "Pak Felix," ucap Revalina membuat langkah pr
Kedua orang tuanya Raisa sangat terpukul dengan keadaan yang sudah menimpa gadis tersebut. Seharusnya Raisa mendapatkan apa yang diinginkannya, tetapi justru malah mendapat kebalikannya. Mereka telah melihat keadaan Raisa sekarang, hari demi hari gadis itu menjadi seperti bukan Raisa lagi. Sikapnya sangat berbeda, ketika mereka berdua datang ke kantor polisi untuk melihat kondisinya, keadaan Raisa menjadi semakin buruk. Ia menjadi gila, Raisa selalu tertawa senang katanya ia sudah menjadi orang kaya. Apa yang ia lakukan selama ini sudah ada hasilnya, ia kerap kali memeluk jerugi besi katanya ia sedang bersama dengan Felix. Orang tuanya sudah berusaha membuatnya sadar, tetapi Raisa malah menertawakan mereka berdua. Raisa dilarikan ke rumah sakit dikarenakan selalu berbuat gaduh akibat mentalnya yang sudah tidak sehat lagi. Ayah sambungnya marah pada istrinya dikarenakan Raisa menderita seperti sekarang akibat ulahnya. Jika saja Raisa tidak diajarkan untuk menjadi wanita pecinta hart
Vino mengajak Celine bertemu di kafe, ia membawa Santi ke sana. Celine heran mengapa Vino membawa wanita lain pun Santi juga merasa bingung karena Vino mengajaknya pergi keluar eh tahunya malah bertemu wanita lain. "Apakah dia saudaramu?" tanya Celine pada Vino.Vino mengatakan kalau Santi ini adalah kekasihnya, mereka saling mencintai hanya saja Vina malah menjodohkannya pada Celine. Santi terkejut membuatnya melotot pada Vino, di bawah meja kakinya diinjak membuat Santi berusaha untuk tersenyum. "Iya, kami sudah berpacaran sejak lama. Kami udah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Tante Vina menyetujui hubungan kita." Wanita itu merasa sangat bersalah karena sudah menerima perjodohan dari orang tuanya. Ia pikir Vino itu masih jomblo sehingga Celine menyanggupi perjodohan dengannya, jika saja sejak awal tahun kalau Vino punya pacar tentu ia pun tidak mau."Saya rasa, perjodohan kita sebaiknya dibatalkan saja." "Saya minta Celine karena gak jujur dari awal, saya hanya tidak m
Raisa kembali memantau Revalina dari jauh, ia berkata kali ini Revalina tidak akan selamat. Sudah tidak sabar untuk melihatnya mati mengenaskan. Raisa menghidupkan mesin kendaraannya dengan kecepatan yang tinggi, Revalina hendak menyebrang sedangkan mobil tersebut melaju dengan cepat. "Revalina awasss," teriak Siska.Gadis itu berlari mendorong tubuh Revalina ke pinggir jalan membuatnya tersungkur. Siska terbujur kaku tidak berdaya dengan kepalanya banyak mengeluarkan darah. Revalina berteriak memanggil sang Kakak berlari ke arahnya. Dua sepeda motor mengejar mobil yang menabrak, Raisa kewalahan karena mereka tidak henti-henti mengejarnya. Raisa panik mobilnya menjadi kurang keseimbangan yang akhirnya menabrak pohon besar. Ia terluka di bagian jidatnya membuatnya tidak sadarkan diri. Banyak orang yang menolong Siska membawanya ke rumah sakit, begitupun dengan Raisa yang di bawa ke tempat yang sama. Revalina terus menangis minta Siska untuk bertahan, dokter melarangnya untuk masuk k
Dua insan duduk di bangku bawah pohon menikmati cuaca sore hari yang cerah. Vino bercerita kalau malam ini ia akan dijodohkan oleh Vina kemungkinan tidak akan bisa sering bertemu dengan Santi lagi walaupun untuk membicarakan soal Revalina dan Felix. Entah rasa apa yang kian menyelimuti Vino sehingga berat untuk menerima kenyataan itu, tetapi sudah menjadi konsekuensi karena tindakannya. Itu tidaklah masalah bagi Santi ya walaupun tidak akan sering bertemu lagi dengan Vino. Santi hanya minta Vino bisa memberikan pekerjaan yang layak untuk Revalina karena sangat dibutuhkan. Vino akan mengabulkan keinginan Santi, ia bisa membuat Revalina bekerja di tempat yang layak. Ketika malam tiba, Felix baru saja turun dari tangga melihat koki yang sudah ditugaskan di rumah tersebut sedang memasak. "Ada apa ini?" "Kita masak banyak malam ini, Pak. Kata Nyonya Vina akan ada tamu spesial," jawab salah satu di antara mereka. Penasaran, ia menanyakannya pada Vina yang hanya dijawab tunggu dan lihat
Revalina menjalankan aktivitasnya, ia pergi berjalan kaki untuk mencari pekerjaan. Ia harus memiliki uang untuk bertahan hidup. Sejak kepergiannya dari rumah, Raisa memantau gadis tersebut. Ia tidak akan membiarkan hidup Revalina aman karena sudah merusak hidupnya. Revalina yang sedang berjalan kaki itu tiba-tiba saja ditabrak oleh seorang pria menggunakan sepeda motor. Revalina berhasil menghindar, tetapi kakinya malah keseleo. Orang-orang yang berada di sana menjadi emosi karena ulah pemotor yang melarikan diri. Raisa emosi karena ternyata orang suruhannya tidak berhasil membuat nyawa gadis itu melayang. Seharusnya Revalina mati saat itu juga di depan Raisa agar bisa disaksikan langsung betapa bahagianya Raisa jika Revalina tiada. "Kamu gak apa-apa, kan?" tanya seorang pria yang menolongnya. Pria tersebut mengulurkan tangannya membantu Revalina untuk bangkit dari duduknya, Revalina menerima uluran tangan tersebut karena untuk berdiri ia sangat kepayahan. Kakinya yang sakit membu
Vino baru saja tiba di rumah, ia kesal pada Felix yang pergi tanpa memberitahunya. Felix itu bukan anak kecil yang kemana pergi harus Vino tahu. Namun, setidaknya jangan membuat Vino bingung. Felix tidak peduli, lagian untuk apa Vino mencarinya segala? "Untuk mendatangkan berkas, Lix." "Paling karena kamu mau tahu urusanku," tebak Felix. Pria itu hanya tersenyum saja, Felix menceritakan tentang Revalina yang sudah kembali ke tempat semula. Ia terkejut ternyata kepergian Felix hanya untuk Revalina sampai meninggalkan kantor. Itu artinya Felix tidak mau kehilangan Revalina. Ucapan Vino tidak diterima olehnya, Felix melakukan itu hanya karena tidak mau melihat mereka menderita karena ulah ibunya. Felix masih punya tanggung jawab untuk melindungi mereka karena kontrak tersebut darinya. Seharusnya jika karena masalah kontrak, Felix tidak perlu campur tangan ke dalam urusan pribadi Revalina karena sejak awal gadis itu yang melayangkan pernikahan kontrak. Ya itu benar, tetapi lebih awal
Andi baru saja pulang dengan raut wajahnya yang lesu, tiba-tiba istrinya melemparkan semua barang-barang milik Andi. Pria tersebut terkejut apa yang terjadi sehingga istrinya berbuat seperti itu? "Berikan kunci mobil!" "Ada apa ini, Ma? Apakah kita akan pindah rumah?" "Gak usah berlagak sok polos, aku udah kalau kamu selingkuh dan banyak memberikan barang-barang mewah sama perempuan lain, kan?!" "Itu gak benar, Ma!" Wanita itu tidak membutuhkan perkataan apapun yang membela Andi, ia menyuruh dua orang security untuk mengambil kunci mobil dengan paksa dan menyeretnya keluar. Andi minta mereka untuk tidak bersikap kasar pada majikannya, tetapi mereka tidak menggubris ucapan Andi. Wanita itu puas karena sudah melihat Andi memohon-mohon di luar rumah memintanya untuk mempertimbangkan semua, tetapi tidak ada yang wanita itu dengarkan darinya. Pintu pun ditutup rapat membuat Andi termenung melihat ke arah tersebut.Andi sudah tidak memiliki apapun, semuanya sudah sangat hancur dan ber
Seorang pria duduk terpaku di kursi sambil memandang cincin yang dilepas dari jarinya. Ia berpikir mungkin pernikahannya memang sudah berakhir seperti yang diharapkannya jauh-jauh hari. Namun, pernikahan berakhir diwaktu yang belum tepat. Felix bangkit dari duduknya kala seorang wanita mengetuk pintu ruang kerjanya. Wanita itu mengatakan ada seseorang mencarinya, memaksa ingin masuk kantor padahal tidak membuat janji sebelumnya. Wanita itu membuat keributan di luar kantor, ia tidak mau pergi walaupun sudah diusir. Dengan langkahnya yang cepat, Felix pergi untuk menemuinya, ia pikir mungkin saja orang itu adalah Revalina atau adiknya yang memberitahu di mana Revalina berada? "Siska," ucap Felix ketika dari jarak agak jauh melihat wanita tersebut. Felix mendekati wanita yang tangannya dipegangi oleh dua security itu, Siska dilepaskan karena perintah dari Felix. Siska tersenyum pada pria yang menjadi adiknya itu. "Untuk apa kamu ke sini?" tanya Felix. "Ada hal penting yang ingin sa