Di tengah ramainya toko barang-barang branded itupun Revalina mencoba bangkit.
"Kak, Kak Siska. Tolong kembalikan, barang itu bukan milikku, aku harus memberikan pada pemilik yang sebenarnya."
Siska, Kakak kandung Revalina tidak menggubris ucapan itu sama sekali, bahkan ketika adiknya berusaha mengejar, wanita 25 tahun tersebut dengan cepat memasuki taksi.
Revalina menarik nafas beratnya, wajahnya mencerminkan rasa takut yang mendalam kala ia kembali ke apartemen milik suaminya. Tak lama, Felix datang bersama Raisa. Keduanya menatap heran kala menemukan keberadaannya.
"Sayang, kamu yakin tinggal sama dia satu ruangan seperti ini?"
"Ya semuanya aku lakukan demi hubungan kita sayang," jawab Felix dengan nada suaranya yang berat.
"Tapi kamu bisa menginap di apartemen aku, gak harus di sini sama dia."
Felix menolak saran dari kekasihnya karena dianggap tidak aman. Sebab, ia takut kalau ibunya akan memeriksa keadaan di apartemennya kapan saya ia mau. Bagi Felix, Vina memang tidak bisa ditebak kapan ia bisa saja datang.
Raisa yang sikapnya agak posesif pada Felix, tentu protes karena ia rasa tidak seharusnya Felix satu ruangan dengan Revalina. Felix mencoba menenangkannya kalau keduanya bisa menjaga jarak.
"Aku percaya sama kamu sayang, tapi aku gak percaya sama gadis kampungan ini! Jaga sikapmu, Felix itu cuma milikku, kamu hanyalah istri jaminan!"
Revalina hanya mengangguk pelan sebelum Raisa pamit meninggalkan tempat itu. Gadis muda berbaju kaos oblong polos tersebut tersentak ketika Felix menanyakan barang pesannya. Revalina menelan saliva gugupnya dengan mengedarkan pandangan.
"Katakan, di mana barang yang saya pesan!"
"Barangnya ... Mmm, ada yang ngambil."
"Apa? Kamu gak mikir atau gimana? Itu isinya sepatu yang mau saya pakai besok buat meeting dengan orang penting!"
"Saya minta maaf, Pak. Saya tidak bermaksud melakukannya," keluh Revalina.
"Saya tidak butuh kata maaf kamu, saya hanya membutuhkan barang itu!" bentak Felix.
Gadis berambut sebahu dengan dikuncir satu itu menatap nanar padanya, bagaimana mungkin ia bisa mengganti barang mewah yang dibeli suaminya, untuk hidup sehari-hari saja ia hanya menumpang pada keluarga Felix.
"Kenapa diam? Kamu tidak mampu membelinya, kan?"
"Iya."
"Kalau kamu merasa tidak mampu, makanya jadi orang itu harus bisa dipercaya."
"Saya sudah berusaha mengambil barangnya lagi, tapi ..."
"Cukup, kali ini saya maafin kamu, tapi uang bayaran pernikahan kontrak ini saya potong!"
Felix menjanjikan pembayaran pernikahannya dengan Revalina adalah 200 juta, tetapi akibat kecerobohan yang dilakukan wanita itu telah membuatnya mengurangi jumlah tersebut menjadi 150 juta.
"Saya membutuhkan uangnya buat membiayai sekolah adik-adik saya, jangan dipotong sebanyak itu."
"Hey, kamu pikir harga sepatu saya murah? Itu sepatu mahal bukan sepatu yang biasa kamu beli, kamu gak akan mampu membelinya. Saya udah baik sama kamu tidak memotong gajimu sesuai harga sepatu saya!"
"Harga sepatu aja mahal, kok ucapan Bapak kayak gak pernah disekolahin."
Felix melotot mendengar gadis yang cukup pemberani itu, ia berteriak mengusir Revalina keluar dari ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, gadis itu pun sudah berada di balik pintu. Netranya menatap sekitar mengingat kejadian yang pertama kali menimpa sehingga membuatnya menjadi seperti saat ini.
Revalina bersandar di tembok luar ruangan tersebut, Felix yang sudah mengunci pintu dari dalam pun kembali membukanya menarik lengan Revalina memasuki tempat itu lagi. Sebelumnya, ia tidak paham dengan maksud dan tindakan pria kasar tersebut.
Felix mendudukkan Revalina di atas kasur di dekatnya, ia juga merangkul pundak gadis itu dengan romantis bak sepasang suami istri yang saling mencintai. Kali ini Revalina paham karena melihat wajah Vina di layar ponsel suaminya, ya Felix baru saja mendapatkan panggilan video call dari ibunya.
"Sayang, kamu lama banget menjawab telepon Mama."
"Maaf, Ma. Tadi itu, aku gak dengar soalnya lagi di kamar mandi. Tapi untung aja istriku ngasih tahu kalau Mama telepon," jawab Felix sambil tersenyum pada Revalina dengan netranya yang sempat agak melotot.
Gadis dengan wajahnya yang kaku itu membekas senyumannya. Vina mengatakan kalau ia memeriksa bahwa di sana tidak ada Raisa karena pada dasarnya naluri seorang Ibu selalu merasakan apa yang terjadi pada anaknya.
"Nggaklah, Ma. Mana mungkin ada Raisa, coba deh Mama pikir ngapain dia ke sini?"
"Iya sayang, Mama cuma mau memastikan aja apa yang Mama rasakan."
"Ma, aku itu udah gak punya perasaan apa-apa sama Raisa. Mama tahu sendiri, sekarang aku udah punya Revalina yang jauh lebih segalanya daripada Raisa," jelas Felix sambil mengusap lembut rambut wanitanya.
"Mama tenang aja, Felix dari tadi cuma sama aku, kok. Gak ada siapapun di sini selain pengurus apartemen aja," timpal Revalina.
Dirasa percaya, Vina pun menutup sambungan teleponnya. Felix segera menjauhi gadis tersebut. Revalina sudah paham, ia segera berpindah tempat duduk ke sofa.
"Kamu tahu, kan aturannya tinggal satu ruangan dengan saya?"
"Iya, saya paham, Pak. Saya tidak akan melupakannya," jawabnya santai.
Felix kembali memeriksa ponselnya ketika mendapati Raisa menghubunginya. Gadis itu meminta uang padanya dengan alasan malu jika tidak memakai fashion baru ketika bertemu dengan teman-temannya karena ia akan mengadakan reunian.
"Ya sayang, aku akan transfer buat kamu 20 juta."
Itulah yang terdengar di telinga Revalina, ia sedikit memikirkan perkataan Vina sebelumnya tentang sikap Raisa yang cukup berbahaya. Tentu itu adalah kebenaran yang sempat ia dengar, tetapi Revalina tidak mau ikut campur.
Usai menutup telepon, ia mendapati Revalina yang masih melihat ke arahnya. Felix pikir kalau gadis itu mendengar ucapannya, "Jangan coba-coba mengatakan pada Ibu saya tentang apa yang baru saja kamu dengar."
"Setidak bisa dipercaya itukah saya?"
"Semua orang itu bisa saja berkhianat, termasuk kamu perempuan yang baru saja saya kenal."
"Bapak tenang saja, saya tidak akan membicarakan apapun selain apa yang harus saya katakan."
Felix hanya mengangguk saja, ia memang pria yang tidak mudah percaya pada orang baru. Pintu diketuk membuat Felix bangkit membukanya, di balik sana menayangkan seorang pria yang membawa makanan.
"Makan ini, saya tidak mau terjadi sesuatu padamu, termasuk kelaparan karena semuanya akan membuat saya rumit."
Sebenarnya, Revalina malas untuk menerima makanan dari pria yang angkuh seperti Felix, tetapi ia memang membutuhkan makanan untuk saat ini apalagi dilarang untuk pergi tanpa ada urusan yang diperintahkan oleh suaminya.
"Makasih, Pak."
Felix kembali duduk di tempat semula, di bibir ranjang. Ia memeriksa ponselnya sambil sesekali melihat Revalina yang sedang makan seperti orang kelaparan. Ya, tentu saja wanita muda itu akan bersikap demikian karena sedari pagi baru mendapatkan makan lagi. Pria matang itu menggeleng-gelengkan kepalanya membuat Revalina beralih melihatnya, seketika Felix kembali fokus pada benda persegi panjang yang ada di tangannya.
Bruk, terdengar jelas ada sesuatu yang jatuh di luar ruangan tersebut membuat keduanya melirik ke arah pintu.
Felix dan Revalina melongok keluar melihat apa yang terjadi. Keduanya melihat seorang pegawai apartemen sedang membawakan segelas kopi di atas nampan yang jatuh ke lantai tepat di depan pintu. "Apa yang terjadi?" tanya Felix pada pria yang sedang sibuk membersihkan lantai tersebut. Pria muda itu mengatakan kalau tadi sempat ada pria tidak dikenal menabraknya sehingga kopi yang dibawanya tersenggol. Ia juga sempat meminta maaf pada sepasang suami istri itu karena ditakutkan menganggu istirahat mereka. Itu adalah hal yang tidak begitu penting bagi Felix, tetapi berbeda dengan Revalina yang tiba-tiba memiliki perasaan tidak enak. Di tempat yang agak jauh dari sana, tampaklah seorang pria bertopi menutupi wajahnya menatap ke arah Revalina. Namun, ketika Revalina melihat ke arah tersebut orangnya sudah pergi, tetapi perasaan masih tidak nyaman. ***Sementara, di tempat lain, Siska sedang belanja banyak barang-barang untuk keperluannya. Semua uang yang dikeluarkannya adalah hasil dari m
Waktu sudah mulai malam, Revalina dan Felix baru saja tiba di apartemen. Ketika masuk kamar Revalina menanyakan perihal kepergian Felix tanpa alasan kala berada di rumah mertuanya. "Kamu bisa meminta uang pada saya kapan saja kamu mau, tapi saya tidak bisa memberikan uang secara cuma-cuma walaupun itu hasil kerja keras kamu." "Cuma-cuma gimana, Pak? Bapak sudah tahu dengan jelas kalau adik saya membutuhkan uang." Ucapannya bagaikan angin yang berlalu bagi seorang pria berusia 35 tahun itu. Berbeda dengan di tempat lain, kekasihnya sedang menghadiri acara reuni bersama teman kuliahnya. Mereka tampak senang apalagi dengan Raisa yang banyak memamerkan kekayaannya, terlebih memiliki kekasih sekaya Felix. Ya walaupun duda beranak satu, tetapi itu tidaklah masalah bagi Raisa yang terpenting pria mapan berkedudukan tinggi. Bagaimana tidak kaya, Felix adalah putra satu-satunya yang akan menjadi pemilik tunggal dari perusahaan yang dahulu dikelola oleh ayahnya. Bukan hanya itu, kekayaannya
Suasana kampus dirasa begitu mencekam bagi sepasang suami istri ketika berbalik menemukan adik Revalina berdiri di belakang. Gadis itu menautkan alisnya melihat mereka berdua yang hanya memandanginya dengan aneh. "Apa kamu mendengar ucapan kita?" "Nggak, Kak. Tadi temanku melambaikan tangannya pada saat aku melihat Kakak." "Lalu, sekarang di mana temanmu?" "Gak tahu, soalnya aku tidak menggubris lambainnya lagi." Dua insan itu menarik nafas lega, jantungnya yang hampir copot itu pun bisa diselamatkan kembali. Akan sangat berbahaya jika rahasianya terbongkar oleh gadis itu karena pasti akan disampaikan pada orang tuanya. "Tapi Kakak ngapain ke sini?" tanyanya penasaran. Sang Kakak pun menjelaskan tentang biaya kuliah adiknya yang telah dilunasi oleh Felix. Akibat terlalu senang, gadis remaja itu memeluk dua insan itu secara bergantian. Pria tersebut tidak membalas pelukannya sedikitpun karena tidak merasa mempunyai adik. Felix mendorong pelan melepaskan pelukan adik ipar
Aroma harum semerbak memasuki setiap ruang dekat dapur yang dipakai oleh juru masak yang biasa memasak makanan untuk keluarga Felix. Revalina juga ikut berbaur dengan dua wanita yang sedang sibuk itu. Namun, kehadirannya di sana justru diketahui oleh Felix. "Kamu ngapain ada di sini?" tanya Felix dengan raut wajahnya menandakan ketidaksukaannya. "Saya cuma masak, Pak. Bantu-bantu mereka aja gak ada yang lain," jawab gadis itu dengan gugup karena melihat ekspresinya. Felix menarik lengannya menjauhi dua wanita lainnya, ia berbisik di sebelah telinga istrinya, "Jangan ikut campur urusan dapur ataupun yang lainnya, kamu di sini cuma numpang. Kamu gak berhak bersikap layaknya istri yang suka memasak untuk suami atau keluarganya." "Tapi Pak ..." Revalina menjeda ucapannya kala mertua perempuannya datang menyapa. Felix yang tidak mau sang Ibu mencurigainya, ia menyentuh bahu Revalina sambil tersenyum, lalu menyelipkan anak rambut gadis ke telinganya. "Sayang, kamu itu gak usah masak
"Masuk," titah Felix pada seseorang yang mengetuk pintu ruangannya. Pria itu sedikit membenarkan jasnya sambil menenangkan diri untuk tidak tegang, tetapi perasaan berubah menjadi lega ketika mendapati hanyalah Revalina yang datang. Usai pulang sekolah, Revalina mendapati tugas dari Vina. Ia memintanya untuk mengantarkan berkas meeting Felix yang tertinggal. Raisa yang bersembunyi di balik pintu pun menggerakkan bibir menanyakan siapa yang datang. Felix tidak menjawab pertanyaan dari kekasihnya, ia malah menyuruh istrinya untuk masuk dan menutup pintu. Dari situlah dua wanita itu saling bertemu. Revalina mengerutkan kening heran karena tiba-tiba saja ada Raisa padahal sejak tadi yang terlihat hanyalah Felix. Namun, ia tahu kalau Raisa adalah kekasih asli bak kekasih gelapnya. "Lho, kamu ngapain datang ke kantor pacar saya?" tanya Raisa dengan tatapan penuh intimidasi. Tentu saja sebagai orang yang sangat menginginkan Felix, ia tidak akan tinggal diam ketika melihat wanita l
Suasana rumah yang hening khas pedesaan yang masih terbilang sejuk, Siska baru saja pulang menenteng tas barang-barang belanjaannya. Sang Ibu yang melihatnya tentu heran. "Kenapa Ibu liat aku kayak gitu? Memangnya ada yang aneh atau mungkin sekarang aku tampil lebih cantik?" tanya Siska yang mencurigai ibunya. "Ya Siska, kamu mendapatkan uang darimana bisa belanja barang-barang sebagus ini?" tanya Sang Ibu ketika anaknya mengeluarkan belanjaan. "Ya dari uangku, lagian coba Ibu mikir aja mana mungkin semua uang yang belanjakan ini dari Ibu? Buat makan sehari-hari aja gak mampu apalagi beliin kebutuhan aku yang mahal-mahal." Wanita 60 tahunan itu menegur anaknya untuk tidak membeli barang-barang mewah karena hidup mereka bukanlah orang kaya yang bisa menghasilkan banyak uang. Sebaiknya, Siska bisa hidup hemat jangan berlebihan dalam gaya hidup, harus disesuaikan dengan keadaan. "Aku gak bisa, Bu. Lagian, apa Ibu gak malu kalau penampilan aku jelek? Apa kata orang-orang di luar sana
Pagi hari yang cerah, sinar mentari menyeruak masuk sela-sela jendela kamar. Revalina tengah memandanginya indahnya pagi ini, sedangkan suaminya sibuk dengan majalah di tangannya. Rasa penasaran muncul di benak Revalina ketika melihat kefokusan pria pemilik wajah tampan itu pada benda yang di pegangnya. Revalina mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya dibaca oleh suaminya itu. Felix melirik mengetahui kehadiran Revalina di belakangnya, matanya menatap penuh intimidasi.Akibat aksinya diketahui Felix, ia pun menanyakan tentang gambar yang sedang dilihat-lihat olehnya. Felix sengaja membuka majalah hanya untuk mencari iklan rumah mewah untuk tempat tinggalnya nanti ketika sudah menikah dengan Raisa. "Kamu lupa, kalau kamu itu dilarang untuk ikut campur dengan urusan saya?" tanya Felix dengan tatapan wajah khasnya yang super galak dan jutek. "Saya gak bermaksud buat ikut campur, saya hanya bertanya." "Keluar dan lakukan hal yang menjadi urusanmu, apa yang saya lakukan kamu tidak be
Di malam yang begitu hening, seorang pria sedang mondar-mandir dengan perasannya yang bimbang ditambah ponselnya terus berdering menimbulkan suara bising di telinganya. Dengan cepat Felix meraih ponsel yang berada di atas kasur, lalu dimatikan ketika melihat gagang pintu bergerak. Revalina yang saja masuk pun memandangnya dengan heran. Felix sedikit memalingkan wajahnya, ia pikir kalau yang datang adalah ibunya. Sedangan, Revalina bersiap untuk tidur di tempat biasa. Namun, aktivitasnya justru dihentikan Felix dengan menarik tangannya agak kasar. "Adakah yang bisa saya bantu?" tanyanya. "Hari ini adalah pesta ulang tahunnya Raisa," ungkapnya. "Kalau begitu pergi dan datang ke tempat pestanya, pasti Mbak Raisa menunggu Bapak." Felix tidak bisa datang ke tempat di mana Raisa mengadakan pesta karena hari sudah malam dan hari libur kantor juga. Ia tidak bisa pergi begitu saja, tidak ada alasan yang kuat jika ibunya bertanya. Maka dari itu, Felix membutuhkan bantuan Revalina untuk i