Dibawanya Revalina masuk ke sebuah perumahan mewah dengan tangan dan mulut yang masih terikat. Ia kembali berontak ingin berlari, tetapi dua pria kekar yang memegangnya lebih kuat.
"Buka penutup mulutnya itu," ucap seorang wanita yang baru saja turun dari tangga.
Revalina melihat satu-persatu langkahnya yang semakin dekat. Terlihatlah jelas wanita paruh baya dengan baju berwarna merah. Ia tersenyum ke arah gadis itu sehingga membuatnya bergidik ngeri.
Revalina bermohon dengan keadaan tangannya yang masih diikat serta dipegangi oleh dua pria berbaju hitam itu, "Tolong lepaskan, saya tidak punya salah padamu. Saya tidak mengenalmu, tolong biarkan saya pergi."
Wanita itu berucap membuat Revalina terkejut, "Jadilah wanita lain untuk merusak hubungan putraku dengan tunangannya!"
Netra gadis itu membola kala mendengar penawaran wanita tersebut, "Apa?"
"Ayahmu terlilit hutang, saya akan memberikan sejumlah uang jika kamu berhasil membuat putraku menjauhi tunangannya."
"Mengapa anda tahu kalau keluarga saya punya hutang?" tanya Revalina penasaran.
"Mudah saja bagi saya untuk mencari informasi seseorang!" ungkap wanita tersebut tersenyum sombong.
Kemudian, wanita itu melempar beberapa foto ke lantai. Foto ketika Revalina masuk ke kamar hotel, beberapa jam yang lalu anak buahnya telah mengabarkan pada wanita tersebut kalau di hotel ada seorang gadis yang membuat keributan antara putra dan tunangannya.
"Dia putra saya, dan wanita yang sempat kau temui adalah kekasihnya."
Revalina mengingat putra dari wanita tersebut adalah seorang pria matang, lebih tepat menjadi ayah daripada kekasih. Walaupun parasnya mampu menyaingi para anak muda di luar sana, tetapi tetap saja usianya jauh di atas Revalina.
"Mengapa anda menawarkan ini pada saya?" tanya Revalina.
"Karena mengendalikan orang miskin seperti dirimu dengan uang akan lebih mudah daripada berurusan dengan wanita yang sempurna memiliki segalanya."
Wanita itu tidak ingin harta kekuasaannya jatuh ke tangan tunangan putranya karena dianggapnya berbahaya.
"Jangan kelamaan berpikir atau kamu akan dipaksa menikah lagi dengan bandot tua itu."
Revalina menatap nanar, pikirannya tidak bisa konsentrasi untuk memilih satu hal. Apalagi yang ia pilih akan menyangkut masa depannya. Ia tidak mau jika menjadi istri dari tukang rentenir itu, apalagi ia akan menjadi istri ketiganya. Namun, memilih pekerjaan menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain juga bukan sebuah keahliannya.
"Jadi putuskan salah satu pilihanmu sekarang juga!"
Revalina menarik nafas beratnya, "Saya siap untuk menjadi wanita perusak hubungan putramu."
Wanita itu tersenyum puas sambil berucap, "Saya tahu kalau gadis sepertimu pasti tidak akan menolak pekerjaan ini."
Ia juga menyuruh kedua anak buahnya untuk melepaskan ikatan di tangan Revalina. Revalina merasa lega, tetapi hatinya belum tenang karena pekerjaannya tidak main-main.
"Kau akan menjadi baby sitter untuk cucuku, tapi itu hanya laporan pada anak saya saja karena pekerjaanmu yang sesungguhnya bukan ini, paham?"
Gadis itu mengangguk memahaminya, lalu wanita itu memanggil pembantu utamanya untuk membawa Revalina pergi dari hadapannya. Revalina di berikan tempat istirahat dan juga pakaian baby sitter.
Setelah menunjukkan tempat istirahat untuknya, pembantu itu mengatakan pada Revalina untuk segera mengganti pakaian dan pergi ke kamar anak yang akan diurus olehnya, kamarnya ada di lantai atas di barisan ke dua dari kamar-kamar yang berjejer dekat tangga.
"Baik," jawab gadis itu.
Usai mengganti pakaian, ia pergi menemui cucu wanita tadi. Revalina melihat anak perempuan itu sedang murung, lalu Revalina mengoceh, "Hey cantik, mulai hari ini aku yang akan menjagamu."
Namun, gadis kecil itu tidak menjawab, ia hanya meliriknya saja. Revalina tidak patah semangat, ia kembali berbicara, "Ingin dengar cerita?"
Revalina pun duduk di dekatnya, "Dahulu kala, ada seorang putri cantik jelita yang sering murung karena ditinggal pergi oleh sang Ibu, kau tahu apa yang terjadi selanjutnya?"
Anak itu mulai merasa tertarik dengan cerita yang dibawakan Revalina. Revalina pun melanjutkannya, "Tuan Putri kemudian berdoa dan akhirnya Tuhan mengirimkan seorang bidadari baik hati untuk menjadi ibunya."
Tap tap tap
Suara sepatu semakin dekat ke arah Revalina yang sedang mengobrol dengan gadis kecil yang baru berusia lima tahun itu. Anak itu melirik ke arah pintu, terlihatlah ada seorang pria yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Papa," sapanya sambil berlari memeluk pria itu.
Pria tersebut berjongkok membalas pelukannya, lalu mengusap lembut kepala putrinya.
Gadis itu melepaskan pelukannya yang kemudian berucap sambil menunjuk pada Revalina, "Papa, mulai sekarang Kakak itu yang akan menemaniku bermain."
Netra mereka saling bertemu, membuat Ayah gadis itu melotot dan terkejut, "Apa yang kau lakukan di sini? Kau mengikutiku gadis tengil?"
Revalina hendak menjawab, tetapi ibunya pria itu datang.
"Sayang, kamu sudah pulang?"
Pria itu berbalik pada sumber suara tersebut, "Iya, Ma."
Wanita itu tersenyum kemudian berkata, "Oh, ya sayang ini baby sitter baru di rumah kita yang akan mengurus segala kebutuhan anak kamu."
"Apa? Gak salah?" tanyanya pada sang Ibu.
"Lho, kenapa?"
"Cari perempuan lain, gak usah dia."
"No, Mama udah pilih dia. Dia adalah gadis yang baik, dan kayaknya anakmu juga suka."
"Aku tidak terima dengan keputusan Mama, pergi dari sini sekarang juga!"
Revalina tercengang, ia sudah menyetujui keinginan dari ibunya pria itu, karena demi uang untuk membayar hutang orang tuanya. Namun, ternyata pria yang harus dihadapinya sangat killer.
"Gak bisa gitu, dong. Ini keputusan Mama yang gak bisa diganggu gugat lagi!"
Anaknya menatap kesal pada sang Ibu yang kemudian berkata pada Revalina dengan sorot matanya yang sangat tajam, "Gadis pembawa sial! Penghancur hubungan saya!"
Ibunya menahan senyuman, ia merasa senang dengan apa yang baru saja di dengarnya. Ia berharap kalau mereka berdua akan renggang untuk selamanya.
Revalina tidak terima diperlakukan dengan tuduhan seperti itu, "Lho kok jadi nyalahin saya? Pacar bapak aja yang baperan, bukannya dengerin dulu penjelasan malah langsung ngambek kayak gitu, kalau saya jadi Bapak mending dibuang aja pacar kayak gitu nyari yang baru."
Lagi-lagi ibunya pria itu tersenyum mendengar ucapan Revalina. Namun, Barra menatap jengkel pada gadis tersebut, dengan beraninya Revalina menyarankan hal seburuk itu.
"Memangnya kamu pikir nyari pacar itu kayak nyari makan? Gadis gak tahu diri!"
"Heh, enak saja bilang saya gak tahu diri, memangnya situ tahu diri?"
Pria tersebut kesal, menarik tangan Revalina, lalu mendorongnya keluar rumah. Akibat perlakuannya, bukannya takut justru Revalina menjadi geram.
Ibunya berkata, "Felix! Kamu apa-apaan bersikap kasar sama Revalina?! Dia sangat membutuhkan pekerjaan demi menyambung hidupnya, dia juga gadis yang baik."
Felix Bratajaya, putra tunggal di keluarganya itu memandang jengkel pada ibunya. Kedua tangannya mengepal, hatinya berbicara bahwa tidak akan mengampuni gadis tersebut.
Sang Ibu berdeceh lalu berkata, "Kau tahu sendiri bagaimana anakmu, bukan? Dia satu-satunya wanita yang bisa merebut perhatian anakmu!"
Brak! Suara pintu dibuka dengan paksa, Revalina diseret masuk ke kamarnya oleh Felix, wajahnya sangat panik dan jantungnya berirama lebih kencang pun sekujur tubuh bergetar hebat. "Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?!" Felix mengintimidasinya. Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya, ia tidak mampu membuka mulut bahkan untuk sekedar menjawab. Felix melangkah menjadi lebih dekat membuatnya mundur beberapa langkah menjauhi."Katakan dengan jelas apa yang kau rencanakan di rumah ini?!" tegas pria matang itu sambil mencengkram lengan Revalina. “Mengapa kalian orang kaya suka sekali menekankan yang tidak berdaya!” peliknya melepas cengkraman tangan Felix.Apa Felix akan luluh dan bersikap manis, tentu saja tidak, “Berhenti basa-basi.” Lelaki itu mengira gadis itu sengaja mengikutinya.“Saya hanya menerima tawaran Nyonya sebagai baby sitter, Pak. Apa salah, saya butuh uang,” ujarnya mencoba menekan rasa takut.“Kau pikir aku percaya?” Netra Revalina membeliak, dia menelan saliva gugup.
'Drama akan segera dimulai,' batin Revalina kala melihat tangga yang menjulang tinggi di depan matanya. Felix melirik gadis yang masih berbaju pengantin itu yang justru dibalas lirikan oleh ibunya. Pria itu mencoba tersenyum sambil merangkul pundak Revalina. Revalina memperhatikan dengan perasannya yang mulai tidak nyaman. "Kita akan istirahat duluan, Ma. Iya, kan sayang?" Gadis yang sudah tertekan itu terpaksa memasang senyuman sambil mengangguk. "Ya pergilah istirahat," jawab Vina membalas senyumannya. Kepergian dua insan itu membuat Vina tersenyum lebar. Ya, wanita tua itu memikirkan kalau Revalina adalah gadis yang cukup bodoh, menikah dengan alasan uang. Ia gadis miskin yang bisa dikendalikan dengan uang, sehingga Revalina tidak akan mungkin bisa menguasai harta. 'Revalina ataupun keluarganya juga sama-sama bodohnya, anaknya bisa dibeli begitu saja. Mereka hanya menginginkan uang, tapi tidak punya pemikiran maju untuk bisa mendapatkan uang tanpa menjual diri.'Sementara, di
Teriakkan Revalina berhenti sampai di sana kala melihat Heri menyuruh kedua anak buahnya menghadapi orang yang telah berhasil membuatnya tertantang. Bugh! Bugh!Pukulan demi pukulan dilayangkan oleh dua pria itu pada orang tersebut. Jago beladiri, tampan, kaya, dan berwibawa, itulah Felix. Ia berhasil melumpuhkan pria-pria itu dengan mudah tanpa membuat dirinya terluka. Si pak tua tidak tinggal diam, kini gilirannya yang maju menghadapi Felix. Bugh, satu pukulan di perutnya yang buncit seperti orang hamil tujuh bulan itu pun telah membuatnya kesakitan. "Pergi dari sini atau ..." Belum selesai Felix berbicara, ketiganya berlari terbirit-birit masuk mobil meninggalkan tempat tersebut. Revalina merasa lega setelah melihat mereka tiada dalam pandangannya. "Terima kasih karena sudah menyelematkan saya, Pak.""Kamu jangan terlalu percaya diri, saya menolongmu bukan karena takut kau terluka, tapi karena ibu saya," bisik Felix di telinga gadis itu. Sang Ayah langsung berlari memeluk put
Di tengah ramainya toko barang-barang branded itupun Revalina mencoba bangkit. "Kak, Kak Siska. Tolong kembalikan, barang itu bukan milikku, aku harus memberikan pada pemilik yang sebenarnya." Siska, Kakak kandung Revalina tidak menggubris ucapan itu sama sekali, bahkan ketika adiknya berusaha mengejar, wanita 25 tahun tersebut dengan cepat memasuki taksi. Revalina menarik nafas beratnya, wajahnya mencerminkan rasa takut yang mendalam kala ia kembali ke apartemen milik suaminya. Tak lama, Felix datang bersama Raisa. Keduanya menatap heran kala menemukan keberadaannya. "Sayang, kamu yakin tinggal sama dia satu ruangan seperti ini?" "Ya semuanya aku lakukan demi hubungan kita sayang," jawab Felix dengan nada suaranya yang berat. "Tapi kamu bisa menginap di apartemen aku, gak harus di sini sama dia." Felix menolak saran dari kekasihnya karena dianggap tidak aman. Sebab, ia takut kalau ibunya akan memeriksa keadaan di apartemennya kapan saya ia mau. Bagi Felix, Vina memang tidak bi
Felix dan Revalina melongok keluar melihat apa yang terjadi. Keduanya melihat seorang pegawai apartemen sedang membawakan segelas kopi di atas nampan yang jatuh ke lantai tepat di depan pintu. "Apa yang terjadi?" tanya Felix pada pria yang sedang sibuk membersihkan lantai tersebut. Pria muda itu mengatakan kalau tadi sempat ada pria tidak dikenal menabraknya sehingga kopi yang dibawanya tersenggol. Ia juga sempat meminta maaf pada sepasang suami istri itu karena ditakutkan menganggu istirahat mereka. Itu adalah hal yang tidak begitu penting bagi Felix, tetapi berbeda dengan Revalina yang tiba-tiba memiliki perasaan tidak enak. Di tempat yang agak jauh dari sana, tampaklah seorang pria bertopi menutupi wajahnya menatap ke arah Revalina. Namun, ketika Revalina melihat ke arah tersebut orangnya sudah pergi, tetapi perasaan masih tidak nyaman. ***Sementara, di tempat lain, Siska sedang belanja banyak barang-barang untuk keperluannya. Semua uang yang dikeluarkannya adalah hasil dari m
Waktu sudah mulai malam, Revalina dan Felix baru saja tiba di apartemen. Ketika masuk kamar Revalina menanyakan perihal kepergian Felix tanpa alasan kala berada di rumah mertuanya. "Kamu bisa meminta uang pada saya kapan saja kamu mau, tapi saya tidak bisa memberikan uang secara cuma-cuma walaupun itu hasil kerja keras kamu." "Cuma-cuma gimana, Pak? Bapak sudah tahu dengan jelas kalau adik saya membutuhkan uang." Ucapannya bagaikan angin yang berlalu bagi seorang pria berusia 35 tahun itu. Berbeda dengan di tempat lain, kekasihnya sedang menghadiri acara reuni bersama teman kuliahnya. Mereka tampak senang apalagi dengan Raisa yang banyak memamerkan kekayaannya, terlebih memiliki kekasih sekaya Felix. Ya walaupun duda beranak satu, tetapi itu tidaklah masalah bagi Raisa yang terpenting pria mapan berkedudukan tinggi. Bagaimana tidak kaya, Felix adalah putra satu-satunya yang akan menjadi pemilik tunggal dari perusahaan yang dahulu dikelola oleh ayahnya. Bukan hanya itu, kekayaannya
Suasana kampus dirasa begitu mencekam bagi sepasang suami istri ketika berbalik menemukan adik Revalina berdiri di belakang. Gadis itu menautkan alisnya melihat mereka berdua yang hanya memandanginya dengan aneh. "Apa kamu mendengar ucapan kita?" "Nggak, Kak. Tadi temanku melambaikan tangannya pada saat aku melihat Kakak." "Lalu, sekarang di mana temanmu?" "Gak tahu, soalnya aku tidak menggubris lambainnya lagi." Dua insan itu menarik nafas lega, jantungnya yang hampir copot itu pun bisa diselamatkan kembali. Akan sangat berbahaya jika rahasianya terbongkar oleh gadis itu karena pasti akan disampaikan pada orang tuanya. "Tapi Kakak ngapain ke sini?" tanyanya penasaran. Sang Kakak pun menjelaskan tentang biaya kuliah adiknya yang telah dilunasi oleh Felix. Akibat terlalu senang, gadis remaja itu memeluk dua insan itu secara bergantian. Pria tersebut tidak membalas pelukannya sedikitpun karena tidak merasa mempunyai adik. Felix mendorong pelan melepaskan pelukan adik ipar
Aroma harum semerbak memasuki setiap ruang dekat dapur yang dipakai oleh juru masak yang biasa memasak makanan untuk keluarga Felix. Revalina juga ikut berbaur dengan dua wanita yang sedang sibuk itu. Namun, kehadirannya di sana justru diketahui oleh Felix. "Kamu ngapain ada di sini?" tanya Felix dengan raut wajahnya menandakan ketidaksukaannya. "Saya cuma masak, Pak. Bantu-bantu mereka aja gak ada yang lain," jawab gadis itu dengan gugup karena melihat ekspresinya. Felix menarik lengannya menjauhi dua wanita lainnya, ia berbisik di sebelah telinga istrinya, "Jangan ikut campur urusan dapur ataupun yang lainnya, kamu di sini cuma numpang. Kamu gak berhak bersikap layaknya istri yang suka memasak untuk suami atau keluarganya." "Tapi Pak ..." Revalina menjeda ucapannya kala mertua perempuannya datang menyapa. Felix yang tidak mau sang Ibu mencurigainya, ia menyentuh bahu Revalina sambil tersenyum, lalu menyelipkan anak rambut gadis ke telinganya. "Sayang, kamu itu gak usah masak