'Aku ingin bicara berdua denganmu, Jenni!'
Kana langsung menarik napas dalam-dalam begitu kalimat dari mulut Ivander terputar kembali di kepalanya. Dia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil seraya menatap ke luar jendela."Apa yang Ivander bicarakan bersama Jenni? Kenapa harus berduaan?" gumam Kana. Sejak pergi dari lokasi penculikan Iola, kalimat itu terus terputar di kepalanya dan pertanyaan yang sama juga selalu muncul dalam kepalanya.Mungkinkah Ivander sudah membuka hatinya untuk Jenni? Toh, Jenni berperan besar dalam penemuan Iola kali ini. Pasti hati Ivander perlahan terbuka. Mungkin saja Jenni sebenarnya memang wanita yang baik. Jika Ivander menyia-nyiakannya, Ivander pasti akan menyesal seumur hidup. Lantas, sekarang posisi Kana apa?Jika Ivander dan Jenni menyatukan hati mereka, maka fungsi Kana dalam kehidupan Ivander apa? Sebelumnya, dia adalah tameng Ivander dari Jenni, tetapi jika Jenni bukan lagi orang yang ingin Ivander hindari, maka KKana terhenyak. "I-itu ... aku tidak meninggalkanmu!" Dahi Ivander mengernyit. Dia berjalan mendekati Kana dan menarik lengan wanita itu dan membawanya agak menjauh dari tempat tidur Iola."Tidak meninggalkanku? Lalu, kenapa kamu tidak menungguku di tempatmu berdiri?" Kedua mata Kana mengerjap. "Bu-bukannya kamu tidak ingin aku ada di sana?" ucap Kana. "Hah?" tekan Ivander. "A-aku pikir—""Sejak kapan aku mengizinkanmu berpikir?" potong Ivander yang geram. Sontak Kana terkesiap mendengar ucapan Ivander. "Apakah kamu tidak ingat aturannya? Kamu harus menuruti semua perintahku!" tekan Ivander yang membuat Kana memejamkan matanya. "I-iya, aku ingat!" ucap Kana gemetaran. "Lalu, apa kamu tidak dengar apa perintahku?" Ivander menarik lengan Kana dan mendekatakan wajahnya. "A-aku dengar—""Apa? Apa perintahku?" lirih Ivander tepat di telinga Kana. "Ka-kamu tunggu di sini—" Ivander langsung melepas cengkramannya di lengan Kana dengan kasar hingga wanita itu hampir kehilangan kesei
Seketika suasana menegang. Ivander memandang lurus ke arah Kana. "Apa maksudmu berteriak padaku, Kana?" tanya Ivander dingin. Iola yang berada di samping Ivander, reflek menjauh. Suasana semakin tegang akibat suara dingin Ivander. Kana memandang Ivander dengan bola mata yang bergetar. Dia melirik ke arah Iola yang memandangnya kebingungan. Kana mengerjapkan matanya. "Aku ... aku hanya merasa bahwa sekarang bukan saatnya kamu menanyakan hal itu pada Iola," jujur Kana langsung menunduk. "Maaf, seharusnya aku tidak berteriak," lirih Kana sambil menggenggam tangannya ya g gemetaran. Dia menunduk."Aku adalah orang yang paling tidak berhak melakukan ini karena aku adalah penyebab Iola mengalami ini semua," lirih Kana lagi sambil meremas bajunya. Kemudian dia mengangkat kepalanya seraya menatap Iola dengan matanya yang menggenang. "Iola. Maafkan aku. Aku seharusnya lebih perhatian padamu. Aku egois! Aku tidur duluan tanpa tahu apakah kamu baik-baik saja. Kamu atau pun Ivander boleh men
Kana memandang punggung Ivander yang berjalan di depannya. Ia sendiri masih heran, kenapa Ivander malah mau menginap di cottage-nya?"Ivander!" Kana tahu-tahu melepas genggaman tangan Ivander, sontak pria itu memutar tubuhnya. "Kenapa?" tanya Ivander agak mengingimidasi. Hal itu membuat Kana hanya memandangnya saja. Ivander pun memegang kedua pundak Kana. "Ada yang mau kamu katakan?" cecar Ivander. Kana menunduk. "Uhm, i-itu ...." Kana mengangkat kepalanya dan kembali menatap wajah Ivander yang tengah menanti jawabannya. "Apa?" tekan Ivander lagi.Kana menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri untuk membuka mulutnya. "Ka-kamu ... kami yakin mau menginap di cottage-ku?" tanya Kana lagi. "Aku rasa aku sudah menjawab pertanyaan itu," jawab Ivander sarkas kemudian mendorong tubuh Kana dengan kasar. "Ta-tapi!" seru Kana yang membuat Ivander meliriknya sinis. "Kenapa? Kenapa kamu harus ikut ke cottage?" Ivander menghela napas kasar. "Apa aku harus jawab hal ini?" geram Ivand
Tunggu! Seharusnya tidak begini!"Turunkan aku, Ivander!" panik Kana, tetapi wanita itu malah memeluk pundak Ivandet dengan erat karena kakinya sama sekali tidak menapak lantai. "Sejak kapan kamu boleh memerintahku, Sayang?" kekeh Ivander yang berjalan menuju tempat tidur. Kana menatap wajah pria ini."Ivander, kamu jangan gila! Aku menjadi istrimu hanya sebagai tameng! Tidak ada kesepakatan tentang tidur bersama!" Tubuh Kana dihempaskan begitu saja ke atas tempat tidur hingga ranjang itu terguncang. Ivander langsung mengurung tubuh Kana. "Memang tidak ada di kontrak kita, Sayang, tetapi bukankah di sana tertulis aku bebas memperlakukanmu semauku?"Sontak Kana terkesiap. Dia menggeleng sambil menatap Ivander lekat-lekat. "Kumohon Ivander, kamu boleh memperlakukanku semaumu, tetapi jangan rebut kesucianku," lirih Kana yang membuat dahi Ivander mengernyit.Pria itu kemudian tersenyum sambil mengelus pipinya. "Merebut kesucianmu? Dibanding merebut, bukankah harusnya kau memberikanny
Setelah sarapan, Kana langsung pergi ke rumah sakit. Meskipun hatinya masih terasa gundah akibat obrolannya dengan Ivander tadi pagi dia tetap harus menjalankan perintah pria itu. Mau bagaimanapun, itulah aturan di hubungan ini. Lagipula, sebenarnya, tanpa disuruh pun, Kana tetap akan berusaha mendampingi Iola. Bahkan jika adik perempuan Ivander itu akan mengusirnya nanti. Setelah sampai di rumah sakit, Kana langsung pergi ke ruang rawat inap Iola. Begitu masuk, dia mendapati Iola yang sedang berbicara dengan dokter, tetapi dokternya berbeda dengan yang kemarin bicara denganya tentang kondisi Iola. "Baik, kalau begitu, saya permisi, Nona," ucap dokter itu mengakhiri. Tepat setelah itu sang dokter melempar senyum pada Kana dan keluar dari ruang rawat inap Iola. Kana segera menghampiri sang adik ipar. "Iola, apa yang barusan itu dokter psikiater?" tanya Kana. Iola mengangguk sambil tersenyum tipis, tetapi raut wajahnya langsung berubah jadi kecewa. Kana yang menyadari hal itu langsu
Kana terkesiap. "A-apa terdengar seperti itu?" Kana jadi kikuk. Iola mengangguk."Namun, dugaanmu juga bukan berarti hal yang keliru," ucap Iola lagi. "Ugh!" Wanita berambut pirang itu kembali mengacak-acak rambutnya."Andai saja aku ingat, siapa orang yang mendatangiku malam itu!" geramnya. Kana langsung menarik tangan Iola, menjauhkannya dari kepala. "Sudahlah, Iola. Jangan dipaksakan. Kamu sendiri harus tenang. Ingat kata-kataku tadi?" "Kesehatanku adalah prioritas," ucap Iola mengulang ucapan Kana membuat sebuah senyum terbit di wajah Kana yang biasanya terlihat sayu. Sontak mata Iola membulat. "Wah? Ternyata kamu manis juga saat tersenyum. Pantas Ivander, bahkan Shein juga suka padamu," takjub Iola dengan wajah yang berbinar. Dahi Kana mengernyit."Apa, sih yang kamu bicarakan, Iola? Bukankah aku sudah pernah bilang, Shein itu menyukaimu. Bukan aku," tekan Kana. "Tapi dia bersikap sangat
Iola berjalan masuk ke Paragon Sport Center yang terlihat sepi, padahal hari ini adalah akhir minggu. Tidak salah lagi, satu-satunya Pewaris Suralaya—Shein White Serafim pasti sedang menyewa tempat ini sendirian. Iola hapal betul tingkah tunangannya itu yang suka menyendiri jika ada sebuah masalah yang sulit ia hadapi. Dahulu, pria ini selalu duduk sendirian di perpustakaan pribadi rumahnya, tetapi akhir-akhir ini dia selalu memanfaatkan fasilitas milik korporasinya untuk kepentingan pribadi.Iola masuk ke kolam renang indoor setelah tidak menemukan tunangannya itu di lapangan basket, tennis, bulu tangkis, dan futsal. Belum sempat kakinya masuk ke kolam renang indoor itu, sudah terdengar bunyi percikan air. Itu pasti Shein. Iola pun masuk dengan percaya diri dan matanya langsung bisa menangkap sosok Shein yang memiliki rambut hitam pekat dan kulit putih bening sedang berenang dengan gaya kupu-kupu di kolam renang. Iola menghampiri sisi kolam renang dimana Shein ak
Kana berendam di dalam jacuzi setelah menjalani beberapa perawatan. Meskipun kali ini dia datang ke spa bersama Ivander, tetap saja dia menjalani semua perawatannya sendirian. Kana menghela napas sambil memainkan air, sesungguhnya, hati kecil Kana masih ingin memandangi wajah pria angkuh itu. Namun, Kana bisa berharap apa? Ah, kenapa akhir-akhir ini Kana jadi serakah? Dia sendiri yang memutuskan untuk memasang benteng besar di antara dirinya dan Ivander. Toh, dunia mereka berbeda, sehingga tidak mungkin ada jalan untuk bersama. Tunggu? Kana berpikir apa barusan? Sejak kapan dia mau hidup bersama pria kejam dan angkuh itu? Dia mau bunuh diri? Kana menggelengkan kepalanya, dia langsung melirik ke arah kotak yang berisi beberapa botol sabun warna-warni. Kana pun memilih sabun dengan berbagai aroma di sana. Sudah cukup lama dia menikmati air hangat yang mampu membuat tubuhnya rileks. Percikan-percikan air di jacuzi pun mampu memijat tubuhnya yang terasa lelah. Minggu ini adalah minggu ya
Seketika sekujur tubuh Kana terasa lemas. Tubuhnya langsung meluruh ke lantai tepat ketika Ivander keluar dari kamarnya. Kini dia tidak bisa lagi mengeluarkan air mata, tetapi dadanya terasa sangat sesak hingga ia sulit bernapas. "Kenapa rasanya sangat sakit ...." pedih Kana dengan suara tercekat. Apakah dia mulai mengharapkan cinta Ivander? Apa itu tidak terlalu serakah? Kenapa Kana menginginkan hal yang mustahil terjadi? Sementara itu, Ivander langsung menyandarkan punggungnya ke dinding setelah menutup pintu kamar Kana. Dia memejamkan matanya erat-erat sambil mengepalkan tangan. Ivander menggemerutukkan giginya. Napasnya kini terasa sesak. Dadanya terasa sangat gusar. Dia ingin menangis, tetapi tidak bisa menangis. "Sial ...." umpatnya sambil melepas kepalan tangannya, tetapi sang tangan malah bergetar hebat. Sebenarnya Ivander kenapa? Apakah perasaan yang selama ini ia belenggu di lubuk hatinya yang terdalam mulai memberontak keluar? Tidak, Ivander tidak boleh membiarkan rasa
Ivander terkesiap mendengar ucapan Iola. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Kana adalah istri Ivander, itu memang benar adanya. Sekalipun ada kontrak pernikahan yang mereka tanda tangani, tetapi mereka melaksanakan pernikahan yang sah dan diakui negara. Apa salahnya jika Ivander menganggap Kana istrinya?"Kenapa kamu diam, Ivander?" tegur Shein yang menatapnya dengan nanar. Entah kenapa melihat ekspresi wajah Shein yang agak "shock" membuat jantung Ivander terasa diremas. Apakah ia berbuat kesalahan? Kenapa Shein menatapnya begitu, bahkan Iola yang menatapnya dengan tajam.Iola menghela napas. "Oke, sekarang aku tanya satu hal!" ucap Kana yang menarik atensi Ivander. "Apa itu?" tanya Ivander.Iola langsung menatapnya dengab lurus."Jawab jujur dari hatimu, apakah bagimu Kana adalah wanita yang pantas menerima cintamu?" Dahi Ivander langsung mengernyit. "Cinta? Cinta apa? Jangan bercanda, Iola. Di hidupku mana ada yang namanya "Cinta". Kamu sangat tahu itu," kekeh Ivand
"Jadi selama ini kalian hanya menikah kontrak?" Iola langsung berdiri begitu mendengar semua penjelasan Ivander tentang pernikahan mereka. Sementara Shein masih duduk tercengang dan sibuk dengan pikirannya sendiri."Ya. Itulah kenyataannya," jawab Ivander santai seolah tidak ada beban. Apa akan baik-baik saja jika Iola dan Shein diberitahu begini? Kana hanya bisa menghela napas.Iola kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa."Kalian gila! Tidak, kamu gila, Ivander!" tukas Iola. Ivander malah terkekeh."Bukankah kamu sudah tahu kalau aku ini gila," jawab Ivander malah geli sendiri. "Tapi ... kamu keteraluan, Ivander!" Shein mulai angkat bicara, membuat atensi Ivander beralih padanya."Kamu menjadikan Kana tameng dari Jenni! Kamu tahu sendiri, 'kan kalau melawan Jenni, maka Kana akan dalam bahaya!" tekan Shein. Ivander malah tersenyum seraya merangkul Kana yang duduk dengan tegang di sampingnya."Tenang. 'Kan ada aku. Aku yang akan melindunginya. Iya, 'kan, Sayang?" Kana terhenyak da
Kana terbangun duluan. Ternyata dia masih berada di dalam dekapan Ivander. Sampai akhirnya, setelah Kana puas menangis, mereka bercinta lagi. Kini, mereka berdua sama-sama tidak mengenakan sehelai benang pun dan hanya mendekap satu sama lain di bawah selimut agar tidak kedinginan. Kana paling suka saat-saat seperti ini, ketika Ivander masih terlelap dan dia bisa bebas memandangi wajah polos pria ini. Jari-jari kecilnya mulai menyentuh tiap inchi wajah tampan Ivander. Hal lain yang paling menyenangkan, adalah pria ini tidak akan protes karena masih terlelap. "Kenapa tidak cium saja, Sayang ...." Tiba-tiba Ivander bersuara, membuat Kana terhenyak. Wanita itu langsung terduduk sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. "Uhm, ma-maaf. Kalau begitu, aku pak—Ah!" Ivander malah menarik tubuh Kana hingga wanita itu kembali berakhir dalam dekapannya. "Siapa yang mengizinkanmu pergi, hm?" goda Ivander kemudian menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kana. "I-ivander ... geli," pro
Sudah berjam-jam berlalu saat Ivander memutuskan untuk tidur, tetapi tubuhnya tetap tak merasa nyaman. Sejak tadi, dia hanya bisa mengubah-ubah posisi tidurnya, tetapi matanya tidak mau terpejam. Jantungnya terus berdebar dan kepalanya terus berpikir. Sebuah pertanyaan di benaknya sampai sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan. Apa yang membuat Ivander terus merasa tidak tenang dari tadi semenjak Kana meninggalkannya sendirian?"Arrgh!" Ivander muak! Dia langsung terduduk sambil mengacak-acak rambutnya yang selalu ia sisir rapih sebelum tidur. "Sebenarnya apa yang wanita itu lakukan padaku?" geram Ivander seraya memandang ke arah lemari yang menghubungkan kamar mereka. Pria itu sempat terdiam cukup lama. Kira-kira, apakah Kana sudah tidur? Pakaian tidur apa yang dia kenakan? Bagaimana gaya tidurnya? Apakah dia mengenakan selimut? Jangan-jangan dia kedinginan? Tunggu, kenapa Ivander berpikir sejauh itu?Ivander kembali mengacak-acak rambutnya sambil
Akhirnya mereka selesai dan kini berada di dalam mobil menuju rumah. Pada akhirnya, mereka melakukannya sampai tiga ronde dan ronde terakhir adalah yang paling gila karena Kana melakukannya di atas Ivander dan pria itu membiarkannya mendominasi. Padahal jika dilihat dari karakter pria angkuh ini, dia tidak suka jika orang lain mendominasinya. Namun mereka berdua tetap sama-sama menikmatinya. Kana tersenyum tiap memikirkan apa yang mereka berdua lakukan tadi. Mereka sudah sama-sama kehilangan akal. Namun senyum Kana sirna. Tiga kali mereka melakukannya, tiga kali juga Ivander memberikan harta berharganya pada Kana dan menyimpannya di perut ini. "Apakah aku akan hamil?" gumam Kana. Dia tidak boleh hamil anak Ivander! Jika sampai hamil, maka, hubungannya dengan Ivander akan semakin rumit. Kana kemudian memandang wajah plos Ivander yang tengah tertidur yang sejak tadi. Apakah bercinta membuatnya kelelahan? Namun, itu tidak masalah, jika pria ini tertidur, Kana bisa bebas memandanginya h
"Me-melakukan apa?" Kana mulai was-was, tetapi sesuatu di bawah sana mulai menyentuh bagian bawah tubuhnya, seolah berusaha memancing gejolak yang sejak tadi Kana tahan. Kana harus segera pergi dari sini. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan gejolak tersebut. Dia hendak melepaskan diri, tetapi Ivander menarik pipinya hingga wajah Kana berhadapan dengan wajah Ivander. Pria itu menatapnya lamat-lamat. "Aku selalu ingin melakukan ini denganmu, Kana. Hanya denganmu," ungkapnya dengan suara yang rendah. "Ivander ...." Pria itu tersenyum seraya memandang setiap inchi wajah Kana. "Aku merindukanmu, Kana. Sangat merindukanmu," ungkap Ivander tanpa melepas pandangannya pada Kana. Sontak Kana tertegun. "Me-merindukanku?" Itu adalah ucapan paling mustahil dari mulut Ivander. "Ke-kenapa?" Kana bingung. Apakah ini nyata? Ivander merindukannya? Ivander malah menarik tubuh Kana ke dalam dekapannya. Dia mulai membelai punggung Kana dengan lembut, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Ka
Kana berendam di dalam jacuzi setelah menjalani beberapa perawatan. Meskipun kali ini dia datang ke spa bersama Ivander, tetap saja dia menjalani semua perawatannya sendirian. Kana menghela napas sambil memainkan air, sesungguhnya, hati kecil Kana masih ingin memandangi wajah pria angkuh itu. Namun, Kana bisa berharap apa? Ah, kenapa akhir-akhir ini Kana jadi serakah? Dia sendiri yang memutuskan untuk memasang benteng besar di antara dirinya dan Ivander. Toh, dunia mereka berbeda, sehingga tidak mungkin ada jalan untuk bersama. Tunggu? Kana berpikir apa barusan? Sejak kapan dia mau hidup bersama pria kejam dan angkuh itu? Dia mau bunuh diri? Kana menggelengkan kepalanya, dia langsung melirik ke arah kotak yang berisi beberapa botol sabun warna-warni. Kana pun memilih sabun dengan berbagai aroma di sana. Sudah cukup lama dia menikmati air hangat yang mampu membuat tubuhnya rileks. Percikan-percikan air di jacuzi pun mampu memijat tubuhnya yang terasa lelah. Minggu ini adalah minggu ya
Iola berjalan masuk ke Paragon Sport Center yang terlihat sepi, padahal hari ini adalah akhir minggu. Tidak salah lagi, satu-satunya Pewaris Suralaya—Shein White Serafim pasti sedang menyewa tempat ini sendirian. Iola hapal betul tingkah tunangannya itu yang suka menyendiri jika ada sebuah masalah yang sulit ia hadapi. Dahulu, pria ini selalu duduk sendirian di perpustakaan pribadi rumahnya, tetapi akhir-akhir ini dia selalu memanfaatkan fasilitas milik korporasinya untuk kepentingan pribadi.Iola masuk ke kolam renang indoor setelah tidak menemukan tunangannya itu di lapangan basket, tennis, bulu tangkis, dan futsal. Belum sempat kakinya masuk ke kolam renang indoor itu, sudah terdengar bunyi percikan air. Itu pasti Shein. Iola pun masuk dengan percaya diri dan matanya langsung bisa menangkap sosok Shein yang memiliki rambut hitam pekat dan kulit putih bening sedang berenang dengan gaya kupu-kupu di kolam renang. Iola menghampiri sisi kolam renang dimana Shein ak