Seketika suasana menegang. Ivander memandang lurus ke arah Kana. "Apa maksudmu berteriak padaku, Kana?" tanya Ivander dingin. Iola yang berada di samping Ivander, reflek menjauh. Suasana semakin tegang akibat suara dingin Ivander. Kana memandang Ivander dengan bola mata yang bergetar. Dia melirik ke arah Iola yang memandangnya kebingungan. Kana mengerjapkan matanya. "Aku ... aku hanya merasa bahwa sekarang bukan saatnya kamu menanyakan hal itu pada Iola," jujur Kana langsung menunduk. "Maaf, seharusnya aku tidak berteriak," lirih Kana sambil menggenggam tangannya ya g gemetaran. Dia menunduk."Aku adalah orang yang paling tidak berhak melakukan ini karena aku adalah penyebab Iola mengalami ini semua," lirih Kana lagi sambil meremas bajunya. Kemudian dia mengangkat kepalanya seraya menatap Iola dengan matanya yang menggenang. "Iola. Maafkan aku. Aku seharusnya lebih perhatian padamu. Aku egois! Aku tidur duluan tanpa tahu apakah kamu baik-baik saja. Kamu atau pun Ivander boleh men
Kana memandang punggung Ivander yang berjalan di depannya. Ia sendiri masih heran, kenapa Ivander malah mau menginap di cottage-nya?"Ivander!" Kana tahu-tahu melepas genggaman tangan Ivander, sontak pria itu memutar tubuhnya. "Kenapa?" tanya Ivander agak mengingimidasi. Hal itu membuat Kana hanya memandangnya saja. Ivander pun memegang kedua pundak Kana. "Ada yang mau kamu katakan?" cecar Ivander. Kana menunduk. "Uhm, i-itu ...." Kana mengangkat kepalanya dan kembali menatap wajah Ivander yang tengah menanti jawabannya. "Apa?" tekan Ivander lagi.Kana menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri untuk membuka mulutnya. "Ka-kamu ... kami yakin mau menginap di cottage-ku?" tanya Kana lagi. "Aku rasa aku sudah menjawab pertanyaan itu," jawab Ivander sarkas kemudian mendorong tubuh Kana dengan kasar. "Ta-tapi!" seru Kana yang membuat Ivander meliriknya sinis. "Kenapa? Kenapa kamu harus ikut ke cottage?" Ivander menghela napas kasar. "Apa aku harus jawab hal ini?" geram Ivand
Tunggu! Seharusnya tidak begini!"Turunkan aku, Ivander!" panik Kana, tetapi wanita itu malah memeluk pundak Ivandet dengan erat karena kakinya sama sekali tidak menapak lantai. "Sejak kapan kamu boleh memerintahku, Sayang?" kekeh Ivander yang berjalan menuju tempat tidur. Kana menatap wajah pria ini."Ivander, kamu jangan gila! Aku menjadi istrimu hanya sebagai tameng! Tidak ada kesepakatan tentang tidur bersama!" Tubuh Kana dihempaskan begitu saja ke atas tempat tidur hingga ranjang itu terguncang. Ivander langsung mengurung tubuh Kana. "Memang tidak ada di kontrak kita, Sayang, tetapi bukankah di sana tertulis aku bebas memperlakukanmu semauku?"Sontak Kana terkesiap. Dia menggeleng sambil menatap Ivander lekat-lekat. "Kumohon Ivander, kamu boleh memperlakukanku semaumu, tetapi jangan rebut kesucianku," lirih Kana yang membuat dahi Ivander mengernyit.Pria itu kemudian tersenyum sambil mengelus pipinya. "Merebut kesucianmu? Dibanding merebut, bukankah harusnya kau memberikanny
Setelah sarapan, Kana langsung pergi ke rumah sakit. Meskipun hatinya masih terasa gundah akibat obrolannya dengan Ivander tadi pagi dia tetap harus menjalankan perintah pria itu. Mau bagaimanapun, itulah aturan di hubungan ini. Lagipula, sebenarnya, tanpa disuruh pun, Kana tetap akan berusaha mendampingi Iola. Bahkan jika adik perempuan Ivander itu akan mengusirnya nanti. Setelah sampai di rumah sakit, Kana langsung pergi ke ruang rawat inap Iola. Begitu masuk, dia mendapati Iola yang sedang berbicara dengan dokter, tetapi dokternya berbeda dengan yang kemarin bicara denganya tentang kondisi Iola. "Baik, kalau begitu, saya permisi, Nona," ucap dokter itu mengakhiri. Tepat setelah itu sang dokter melempar senyum pada Kana dan keluar dari ruang rawat inap Iola. Kana segera menghampiri sang adik ipar. "Iola, apa yang barusan itu dokter psikiater?" tanya Kana. Iola mengangguk sambil tersenyum tipis, tetapi raut wajahnya langsung berubah jadi kecewa. Kana yang menyadari hal itu langsu
Kana terkesiap. "A-apa terdengar seperti itu?" Kana jadi kikuk. Iola mengangguk."Namun, dugaanmu juga bukan berarti hal yang keliru," ucap Iola lagi. "Ugh!" Wanita berambut pirang itu kembali mengacak-acak rambutnya."Andai saja aku ingat, siapa orang yang mendatangiku malam itu!" geramnya. Kana langsung menarik tangan Iola, menjauhkannya dari kepala. "Sudahlah, Iola. Jangan dipaksakan. Kamu sendiri harus tenang. Ingat kata-kataku tadi?" "Kesehatanku adalah prioritas," ucap Iola mengulang ucapan Kana membuat sebuah senyum terbit di wajah Kana yang biasanya terlihat sayu. Sontak mata Iola membulat. "Wah? Ternyata kamu manis juga saat tersenyum. Pantas Ivander, bahkan Shein juga suka padamu," takjub Iola dengan wajah yang berbinar. Dahi Kana mengernyit."Apa, sih yang kamu bicarakan, Iola? Bukankah aku sudah pernah bilang, Shein itu menyukaimu. Bukan aku," tekan Kana. "Tapi dia bersikap sangat
Iola berjalan masuk ke Paragon Sport Center yang terlihat sepi, padahal hari ini adalah akhir minggu. Tidak salah lagi, satu-satunya Pewaris Suralaya—Shein White Serafim pasti sedang menyewa tempat ini sendirian. Iola hapal betul tingkah tunangannya itu yang suka menyendiri jika ada sebuah masalah yang sulit ia hadapi. Dahulu, pria ini selalu duduk sendirian di perpustakaan pribadi rumahnya, tetapi akhir-akhir ini dia selalu memanfaatkan fasilitas milik korporasinya untuk kepentingan pribadi.Iola masuk ke kolam renang indoor setelah tidak menemukan tunangannya itu di lapangan basket, tennis, bulu tangkis, dan futsal. Belum sempat kakinya masuk ke kolam renang indoor itu, sudah terdengar bunyi percikan air. Itu pasti Shein. Iola pun masuk dengan percaya diri dan matanya langsung bisa menangkap sosok Shein yang memiliki rambut hitam pekat dan kulit putih bening sedang berenang dengan gaya kupu-kupu di kolam renang. Iola menghampiri sisi kolam renang dimana Shein ak
Kana berendam di dalam jacuzi setelah menjalani beberapa perawatan. Meskipun kali ini dia datang ke spa bersama Ivander, tetap saja dia menjalani semua perawatannya sendirian. Kana menghela napas sambil memainkan air, sesungguhnya, hati kecil Kana masih ingin memandangi wajah pria angkuh itu. Namun, Kana bisa berharap apa? Ah, kenapa akhir-akhir ini Kana jadi serakah? Dia sendiri yang memutuskan untuk memasang benteng besar di antara dirinya dan Ivander. Toh, dunia mereka berbeda, sehingga tidak mungkin ada jalan untuk bersama. Tunggu? Kana berpikir apa barusan? Sejak kapan dia mau hidup bersama pria kejam dan angkuh itu? Dia mau bunuh diri? Kana menggelengkan kepalanya, dia langsung melirik ke arah kotak yang berisi beberapa botol sabun warna-warni. Kana pun memilih sabun dengan berbagai aroma di sana. Sudah cukup lama dia menikmati air hangat yang mampu membuat tubuhnya rileks. Percikan-percikan air di jacuzi pun mampu memijat tubuhnya yang terasa lelah. Minggu ini adalah minggu ya
"Me-melakukan apa?" Kana mulai was-was, tetapi sesuatu di bawah sana mulai menyentuh bagian bawah tubuhnya, seolah berusaha memancing gejolak yang sejak tadi Kana tahan. Kana harus segera pergi dari sini. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan gejolak tersebut. Dia hendak melepaskan diri, tetapi Ivander menarik pipinya hingga wajah Kana berhadapan dengan wajah Ivander. Pria itu menatapnya lamat-lamat. "Aku selalu ingin melakukan ini denganmu, Kana. Hanya denganmu," ungkapnya dengan suara yang rendah. "Ivander ...." Pria itu tersenyum seraya memandang setiap inchi wajah Kana. "Aku merindukanmu, Kana. Sangat merindukanmu," ungkap Ivander tanpa melepas pandangannya pada Kana. Sontak Kana tertegun. "Me-merindukanku?" Itu adalah ucapan paling mustahil dari mulut Ivander. "Ke-kenapa?" Kana bingung. Apakah ini nyata? Ivander merindukannya? Ivander malah menarik tubuh Kana ke dalam dekapannya. Dia mulai membelai punggung Kana dengan lembut, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Ka