"Dasar Pembawa Sial!" pekik sang Bibi sambil mencengkram kerah baju Kana ketika ia baru saja masuk ke dalam rumah. Wanita berusia 21 tahun itu langsung diseret paksa dan dihempaskan ke lantai hingga lutut dan telapak tangannya membentur lantai dengan keras. Jantung dan napasnya seolah berhenti sesaat. Bahkan ia tak sempat merasakan sakit di lutut dan telapak tangannya. Matanya membelalak sambil menatap bayangan samarnya di lantai. Kana menatap Bibinya nanar."A-ada apa, Bibi?" lirihnya. "Kamu masih tanya kenapa? Dasar Pembawa Sial!" Tiba-tiba sang Adik Sepupu muncul sambil berteriak histeris dari kamarnya dengan penuh derai air mata. Atensi Kana beralih. Kenapa sang Adik Sepupu menangis? Ia pun menoleh ke arah sang Bibi yang wajahnya memerah. "Ka-kana benar-benar tidak mengerti? Apa yang terjadi? Paman ada dimana?" bingung Kana berusaha bangkit, tetapi sang Bibi menghampirinya kemudian menjambak rambut pendeknya hingga kepala Kana tertarik ke belakang. "Bi-bi ... sa-sakit ..." rin
Pria berambut klimis dan berjaket kulit yang berdiri di samping Kana hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum miring. "Siapa aku?" ulang pria itu sambil menyeringai. Kana yang berdiri di sampingnya pun menjauh. Perasaannya tidak enak mengenai pria ini. "Ya! Siapa kamu? Untuk apa datang malam-malam begini? Atau jangan-jangan ....""Apa kamu adalah penagih hutang?" seru Adik Sepupunya yang seketika membuat sang Ibu mematung. "Pe-penagih hutang?" gumam sang Bibi gemetaran. Kana yang mendengarnya, reflek menjauhkan dirinya, tetapi tangannya keburu ditarik oleh pria itu dengan kasar. Kana berusaha melepaskannya, tetapi cengkraman pria itu begitu kuat. "Ji-jika kamu adalah penagih hutang, maka, bawa saja dia!" tunjuk sang Bibi ke arah Kana. Sontak kedua mata Kana membulat. Ia tahu kalau dirinya harus mencari uang untuk membayar hutang Pamannya, tetapi jika ia diserahkan langsung begini pada penagih hutang, bukankah hal berbahaya mungkin akan terjadi padanya? "Dia? Maksudmu, perem
Kana hanya menatap pria angkuh di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Wanita 21 tahun itu pun menyingkirkan telunjuk Ivander dari dagunya. "Jangan sentuh aku!" sarkas Kana yang langsung memalingkan wajahnya. Ivander pun menyunggingkan senyumnya. "Yah, sampai akhirnya kamu mengakui ucapanku barusan, 'kan?" tutur Ivander yang langsung menohok Kana. "Pantas saja, Pamanmu membuangmu—""Paman tidak mungkin melakukan itu!" potong Kana sambil menatap Ivander dengan bola mata bergetar. "Bibi ... Bibi mungkin membuangku, tetapi kalau itu Paman ...." Suara Kana tercekat. "Paman tidak mungkin membuangku, apalagi menjualku ... tidak, itu tidak mungkin." Bulir-bulir bening mulai membasahi pipi Kana. Dia menutup wajahnya. Ia tidak mau ada orang yang melihat dirinya yang tak berdaya, sekalipun Kana memang tidak memiliki daya apapun. "Itu kenyataannya, Sayang," ucap Ivander lagi yang memalingkan wajahnya dari Kana. Pria itu lebih memilih menatap keluar jendela dibanding menyaksikan isakan
"Ya, kau tidak salah dengar sama sekali," jawab Ivander dengan nada bicara datar. Namun Kana malah mengerjapkan mata sambil menggosok telinganya. "Istri ... Jika aku jadi Istri, maka ...." Kana kembali menoleh dan menatap Ivander. "Apa kita akan menikah?" duganya yang langsung dapat anggukan kepala dari Ivander. "Ya, kau benar. Kita akan menikah. Lebih tepatnya, kita akan menikah besok.""Apa?" sontak Kana kaget. "Besok? Kau gila, ya?" tukas Kana. Ivander menghela napas kasar sambil memutar bola matanya. Kemudian kembali melirik ke arah Kana."Aku tidak gila. Nyatanya, besok kita akan menikah. Jadi bersiaplah," titah Ivander."Ta-tapi ... tapi besok aku bekerja! Aku dapat shift pagi! Aku sudah bertukar shift dengan rekan kerjaku!" Ivander tersenyum miring mendengar penuturan Kana. "Kabar baiknya, kamu telah berhenti dari tempat kerjamu. Aku sudah menghubungi pemilik restoran tempatmu bekerja. Beruntungnya, kau masih diberikan gaji terakhir hari ini," ujar Ivander santai, tetap
Pria ini sama sekali tidak menganggap Kana sebagai seorang manusia! Sesungguhnya Kana benar-benar merinding menghadapi Ivander yang kini malah tersenyum sambil menaikkan dagunya. Namun ia mengeraskan rahangnya. "Tentu saja tameng agar aku tidak menikah dengan Mantan Calon Istriku," ungkap Ivander lagi enteng. Namun jawaban Ivander sama sekali tidak menjawab pertanyaan Kana. "Kenapa? Kenapa kamu tidak mau menikah dengan Calon Istrimu itu? Aku yakin, Calon Istrimu itu adalah wanita yang berkelas!" "Aku tekankan, dia Mantan Calon Istri!" tekan Ivander sambil melirik Kana sinis. "Oke, Mantan Calon Istri! Aku akan menyebutnya begitu!" timpal Kana sambil diam-diam mengumpat. Pria ini sungguh menjengkelkan. Ivander kembali menghela napasnya sambil menatap lurus ke depan. "Kau ... Kamu itu berbeda dengan mantan calon istriku," tambah Ivander seraya mengingat wajah Mantan Calon Istrinya hingga membuat tangannya mengepal kuat. Jelas hal itu tak luput dari perhatian Kana hingga terkesiap.
Supir mobil Ivander langsung keluar dan pergi entah ke mana setelah meminggirkan mobil ke bahu jalan. Di dalam mobil, tinggal Kana dan Ivander berduaan. Ivander sejak tadi menarik napas panjang-panjang sambil mengepalkan tangannya. Sementara Kana hanya menatapnya dengan peluh yang menetes di pelipis. Pria di sampingnya ini bergeming, tetapi berhasil membuat Kana bergidik ngeri. Kana diam-diam menjauh dari Ivander hingga tangannya meraih kunci pintu mobil. Ia pun inisiatif membuka kunci mobil, tetapi ditahan oleh Ivander. "Kamu mau ke mana?" ucapnya sarkas hingga membuat Kana semakin bergidik ngeri. Sontak Kana menoleh dan mendapati wajah dingin penuh intimidasi dari Ivander. Kana menelan salivanya. "A-aku—" Kana terkesiap ketika tangan besar Ivander mengapit kedua pipinya dan menekan kepalanya ke kaca jendela mobil. "Kau tahu, apa yang barusan kamu lakukan?" sinis Ivander. Namun wanita itu malah menatap pria tersebut dengan tajam sambil mencen
Pria yang kini menggandeng Kana malah tertawa, membuat Kana semakin bingung. "Hei, Ivander, kenapa kamu begitu serius? Kenapa pakai panggil nama lengkap segala? Panggil aja Shein! Kau ini terlalu formal. Kita, 'kan ada di rumahmu!" Pria berponi itu kemudian menoleh ke arah Kana yang masih bingung dengan situasinya. "Oh, iya, Kakak Ipar, kamu juga boleh panggil aku, Shein. Shein White Serafim, itu namaku," sahutnya agak berbisik yang hanya mendapat anggukan kepala Kana, tetapi diam-diam Kana melirik ke arah Ivander yang tangannya mengepal dan sorot matanya semakin tajam "Uhm, sepertinya ...." Kana hendak melepaskan genggaman Shein, tetapi, Shein malah mengeratkan gandengannya. "Hei, Shein, kau belum menjawab pertanyaanku!" tekan Ivander dengan sorot mata yang tajam, membuat Kana semakin merinding hingga reflek memegang lengan Shein. "Oh, pertanyaanmu? Ya, tentu saja aku di sini untuk menyambut kedatangan Kakak Iparku," jawab Shein santai.
Kana kini duduk di hadapan Ivander yang menyodorkan sebuah dokumen. Pria itu menatap Kana dengan dingin sehingga wanita berusia 21 tahun itu tak sanggup mengangkat kepalanya. "Baca isi kontrak itu baik-baik!" titah Ivander. Dahi Kana mengernyit."Ko-kontrak?" Wanita itu mengangkat kepalanya dan kembali bertemu dengan tatapan dingin Ivander. "Ya, kontrak sekaligus aturan dalam pernikahan kita!" tutur Ivander. Atensi Kana kembali pada dokumen di hadapannya kemudian membacanya dengan seksama. "Asal kau tahu, Sayang ..." cetus Ivander yang membuat Kana menelan salivanya. Panggilan "Sayang" dari mulut pria ini selalu berhasil membuat bulu kuduknya berdiri. Kana kembali mengangkat kepalanya dengan ragu-ragu. "Ta-tahu apa?" tanyanya gemetaran. Kejadian di dalam mobil tadi masih berbekas dalam ingatannya hingga membuat Kana waspada pada tiap ucapan dan gerak-gerik Ivander."Sebaiknya kamu langsung pergi ke halaman terk