Sudah berjam-jam berlalu saat Ivander memutuskan untuk tidur, tetapi tubuhnya tetap tak merasa nyaman. Sejak tadi, dia hanya bisa mengubah-ubah posisi tidurnya, tetapi matanya tidak mau terpejam. Jantungnya terus berdebar dan kepalanya terus berpikir. Sebuah pertanyaan di benaknya sampai sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan. Apa yang membuat Ivander terus merasa tidak tenang dari tadi semenjak Kana meninggalkannya sendirian?"Arrgh!" Ivander muak! Dia langsung terduduk sambil mengacak-acak rambutnya yang selalu ia sisir rapih sebelum tidur. "Sebenarnya apa yang wanita itu lakukan padaku?" geram Ivander seraya memandang ke arah lemari yang menghubungkan kamar mereka. Pria itu sempat terdiam cukup lama. Kira-kira, apakah Kana sudah tidur? Pakaian tidur apa yang dia kenakan? Bagaimana gaya tidurnya? Apakah dia mengenakan selimut? Jangan-jangan dia kedinginan? Tunggu, kenapa Ivander berpikir sejauh itu?Ivander kembali mengacak-acak rambutnya sambil
Kana terbangun duluan. Ternyata dia masih berada di dalam dekapan Ivander. Sampai akhirnya, setelah Kana puas menangis, mereka bercinta lagi. Kini, mereka berdua sama-sama tidak mengenakan sehelai benang pun dan hanya mendekap satu sama lain di bawah selimut agar tidak kedinginan. Kana paling suka saat-saat seperti ini, ketika Ivander masih terlelap dan dia bisa bebas memandangi wajah polos pria ini. Jari-jari kecilnya mulai menyentuh tiap inchi wajah tampan Ivander. Hal lain yang paling menyenangkan, adalah pria ini tidak akan protes karena masih terlelap. "Kenapa tidak cium saja, Sayang ...." Tiba-tiba Ivander bersuara, membuat Kana terhenyak. Wanita itu langsung terduduk sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. "Uhm, ma-maaf. Kalau begitu, aku pak—Ah!" Ivander malah menarik tubuh Kana hingga wanita itu kembali berakhir dalam dekapannya. "Siapa yang mengizinkanmu pergi, hm?" goda Ivander kemudian menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kana. "I-ivander ... geli," pro
"Jadi selama ini kalian hanya menikah kontrak?" Iola langsung berdiri begitu mendengar semua penjelasan Ivander tentang pernikahan mereka. Sementara Shein masih duduk tercengang dan sibuk dengan pikirannya sendiri."Ya. Itulah kenyataannya," jawab Ivander santai seolah tidak ada beban. Apa akan baik-baik saja jika Iola dan Shein diberitahu begini? Kana hanya bisa menghela napas.Iola kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa."Kalian gila! Tidak, kamu gila, Ivander!" tukas Iola. Ivander malah terkekeh."Bukankah kamu sudah tahu kalau aku ini gila," jawab Ivander malah geli sendiri. "Tapi ... kamu keteraluan, Ivander!" Shein mulai angkat bicara, membuat atensi Ivander beralih padanya."Kamu menjadikan Kana tameng dari Jenni! Kamu tahu sendiri, 'kan kalau melawan Jenni, maka Kana akan dalam bahaya!" tekan Shein. Ivander malah tersenyum seraya merangkul Kana yang duduk dengan tegang di sampingnya."Tenang. 'Kan ada aku. Aku yang akan melindunginya. Iya, 'kan, Sayang?" Kana terhenyak da
Ivander terkesiap mendengar ucapan Iola. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Kana adalah istri Ivander, itu memang benar adanya. Sekalipun ada kontrak pernikahan yang mereka tanda tangani, tetapi mereka melaksanakan pernikahan yang sah dan diakui negara. Apa salahnya jika Ivander menganggap Kana istrinya?"Kenapa kamu diam, Ivander?" tegur Shein yang menatapnya dengan nanar. Entah kenapa melihat ekspresi wajah Shein yang agak "shock" membuat jantung Ivander terasa diremas. Apakah ia berbuat kesalahan? Kenapa Shein menatapnya begitu, bahkan Iola yang menatapnya dengan tajam.Iola menghela napas. "Oke, sekarang aku tanya satu hal!" ucap Kana yang menarik atensi Ivander. "Apa itu?" tanya Ivander.Iola langsung menatapnya dengab lurus."Jawab jujur dari hatimu, apakah bagimu Kana adalah wanita yang pantas menerima cintamu?" Dahi Ivander langsung mengernyit. "Cinta? Cinta apa? Jangan bercanda, Iola. Di hidupku mana ada yang namanya "Cinta". Kamu sangat tahu itu," kekeh Ivand
Seketika sekujur tubuh Kana terasa lemas. Tubuhnya langsung meluruh ke lantai tepat ketika Ivander keluar dari kamarnya. Kini dia tidak bisa lagi mengeluarkan air mata, tetapi dadanya terasa sangat sesak hingga ia sulit bernapas. "Kenapa rasanya sangat sakit ...." pedih Kana dengan suara tercekat. Apakah dia mulai mengharapkan cinta Ivander? Apa itu tidak terlalu serakah? Kenapa Kana menginginkan hal yang mustahil terjadi? Sementara itu, Ivander langsung menyandarkan punggungnya ke dinding setelah menutup pintu kamar Kana. Dia memejamkan matanya erat-erat sambil mengepalkan tangan. Ivander menggemerutukkan giginya. Napasnya kini terasa sesak. Dadanya terasa sangat gusar. Dia ingin menangis, tetapi tidak bisa menangis. "Sial ...." umpatnya sambil melepas kepalan tangannya, tetapi sang tangan malah bergetar hebat. Sebenarnya Ivander kenapa? Apakah perasaan yang selama ini ia belenggu di lubuk hatinya yang terdalam mulai memberontak keluar? Tidak, Ivander tidak boleh membiarkan rasa
"Dasar Pembawa Sial!" pekik sang Bibi sambil mencengkram kerah baju Kana ketika ia baru saja masuk ke dalam rumah. Wanita berusia 21 tahun itu langsung diseret paksa dan dihempaskan ke lantai hingga lutut dan telapak tangannya membentur lantai dengan keras. Jantung dan napasnya seolah berhenti sesaat. Bahkan ia tak sempat merasakan sakit di lutut dan telapak tangannya. Matanya membelalak sambil menatap bayangan samarnya di lantai. Kana menatap Bibinya nanar."A-ada apa, Bibi?" lirihnya. "Kamu masih tanya kenapa? Dasar Pembawa Sial!" Tiba-tiba sang Adik Sepupu muncul sambil berteriak histeris dari kamarnya dengan penuh derai air mata. Atensi Kana beralih. Kenapa sang Adik Sepupu menangis? Ia pun menoleh ke arah sang Bibi yang wajahnya memerah. "Ka-kana benar-benar tidak mengerti? Apa yang terjadi? Paman ada dimana?" bingung Kana berusaha bangkit, tetapi sang Bibi menghampirinya kemudian menjambak rambut pendeknya hingga kepala Kana tertarik ke belakang. "Bi-bi ... sa-sakit ..." rin
Pria berambut klimis dan berjaket kulit yang berdiri di samping Kana hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum miring. "Siapa aku?" ulang pria itu sambil menyeringai. Kana yang berdiri di sampingnya pun menjauh. Perasaannya tidak enak mengenai pria ini. "Ya! Siapa kamu? Untuk apa datang malam-malam begini? Atau jangan-jangan ....""Apa kamu adalah penagih hutang?" seru Adik Sepupunya yang seketika membuat sang Ibu mematung. "Pe-penagih hutang?" gumam sang Bibi gemetaran. Kana yang mendengarnya, reflek menjauhkan dirinya, tetapi tangannya keburu ditarik oleh pria itu dengan kasar. Kana berusaha melepaskannya, tetapi cengkraman pria itu begitu kuat. "Ji-jika kamu adalah penagih hutang, maka, bawa saja dia!" tunjuk sang Bibi ke arah Kana. Sontak kedua mata Kana membulat. Ia tahu kalau dirinya harus mencari uang untuk membayar hutang Pamannya, tetapi jika ia diserahkan langsung begini pada penagih hutang, bukankah hal berbahaya mungkin akan terjadi padanya? "Dia? Maksudmu, perem
Kana hanya menatap pria angkuh di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Wanita 21 tahun itu pun menyingkirkan telunjuk Ivander dari dagunya. "Jangan sentuh aku!" sarkas Kana yang langsung memalingkan wajahnya. Ivander pun menyunggingkan senyumnya. "Yah, sampai akhirnya kamu mengakui ucapanku barusan, 'kan?" tutur Ivander yang langsung menohok Kana. "Pantas saja, Pamanmu membuangmu—""Paman tidak mungkin melakukan itu!" potong Kana sambil menatap Ivander dengan bola mata bergetar. "Bibi ... Bibi mungkin membuangku, tetapi kalau itu Paman ...." Suara Kana tercekat. "Paman tidak mungkin membuangku, apalagi menjualku ... tidak, itu tidak mungkin." Bulir-bulir bening mulai membasahi pipi Kana. Dia menutup wajahnya. Ia tidak mau ada orang yang melihat dirinya yang tak berdaya, sekalipun Kana memang tidak memiliki daya apapun. "Itu kenyataannya, Sayang," ucap Ivander lagi yang memalingkan wajahnya dari Kana. Pria itu lebih memilih menatap keluar jendela dibanding menyaksikan isakan