"Dasar Pembawa Sial!" pekik sang Bibi sambil mencengkram kerah baju Kana ketika ia baru saja masuk ke dalam rumah. Wanita berusia 21 tahun itu langsung diseret paksa dan dihempaskan ke lantai hingga lutut dan telapak tangannya membentur lantai dengan keras.
Jantung dan napasnya seolah berhenti sesaat. Bahkan ia tak sempat merasakan sakit di lutut dan telapak tangannya. Matanya membelalak sambil menatap bayangan samarnya di lantai. Kana menatap Bibinya nanar."A-ada apa, Bibi?" lirihnya."Kamu masih tanya kenapa? Dasar Pembawa Sial!" Tiba-tiba sang Adik Sepupu muncul sambil berteriak histeris dari kamarnya dengan penuh derai air mata. Atensi Kana beralih. Kenapa sang Adik Sepupu menangis? Ia pun menoleh ke arah sang Bibi yang wajahnya memerah."Ka-kana benar-benar tidak mengerti? Apa yang terjadi? Paman ada dimana?" bingung Kana berusaha bangkit, tetapi sang Bibi menghampirinya kemudian menjambak rambut pendeknya hingga kepala Kana tertarik ke belakang."Bi-bi ... sa-sakit ..." rintih Kana sambil memegangi tangan sang Bibi agar tidak menarik rambutnya lebih kuat lagi."Sakit katamu?" lirih sang Bibi yang makin kuat menarik rambut Kana."Baru segini, kamu mengeluh sakit? Lalu bagaimana denganku yang harus menahan sepuluh tahun menampung Anak Pembawa Sial sepertimu?" pekik sang Bibi. Kana hanya bisa memejamkan matanya erat-erat mendengar pekikan yang menusuk hati itu.Disebut sebagai "Anak Pembawa Sial", sudah biasa ia dengar sejak pertama kali masuk ke rumah ini setelah kedua orang tuanya meninggal 14 tahun lalu. Sang Paman kukuh mengambil hak asuh atas dirinya karena hanya sang Paman lah satu-satunya keluarga Kana yang tersisa meskipun Bibi dan Sepupunya tidak setuju. Alhasil, setiap ada masalah di rumah ini, Kana selalu dijadikan penyebabnya."Bi-bi ... se-setidaknya, katakan, ada masalah apa? Apa yang terjadi? Apakah penagih hutang datang lagi?" Kana berusaha berpikir jernih meskipun hatinya sejak tadi sudah tersayat-sayat akibat ucapan dan perlakuan dari bibi dan adik sepupunya.Namun, rambutnya kembali dijambak hingga kali ini ia meringis."Dasar Anak Tak Tahu Diri! Kamu berkata seolah masalah akan selesai saat kamu bertanya?" Suara sang Bibi langsung meninggi. Wanita berkepala empat itu langsung menatapnya sambil melotot."Asal kamu tahu, suamiku ..." Suara wanita berkepala empat itu mulai bergetar."Gara-gara kamu ..." Napas wanita itu tercekat, suaranya tiba-tiba saja hilang. Kana benar-benar tidak bisa mendapatkan petunjuk apa yang sebenarnya terjadi selama ia bekerja."Dasar! Asal kamu tahu, gara-gara kamu, Ayah meninggal!" sergah sang Adik Sepupu yang lebih terdengar seperti sambaran petir baginya. Seketika seluruh energi Kana lenyap."Pa-paman? Me-meninggal?" Kana masih tidak percaya apa yang ia dengar. Tidak mungkin ini terjadi! Kedua tangannya langsung bergerak dan menutup telinganya."Tidak ... Ini gak mungkin!" histeris Kana yang langsung dapat tamparan keras dari Adik Sepupunya hingga jambakan sang Ibu terlepas dan menyisakan helai rambut di tangan wanita berkepala empat itu."Ini semua karena kamu Kana!" tuding Adik Sepupunya yang kini menatapnya dengan mata menyalak."Ga-gara-gara aku?" ulang Kana yang memegangi pipi bekas tamparan."Dasar Anak Tak Tahu Diri!" Sang Bibi langsung menarik kerahnya."Kamu mau bersikap seolah tidak bersalah?" tukas sang Bibi."Tapi, Bi, apa penyebab Paman meninggal? I-ini pasti berita yang salah. Mungkin saja ini penipuan! Bibi juga tahu, 'kan, banyak penipuan beredar untuk mengeruk uang—" Tiba-tiba saja wajah Kana diludahi."Kamu berani berkata begitu? Aku bahkan sudah melihat tubuh kaku suamiku sendiri di pemulsaran jenazah!" pekik sang Bibi frustasi hingga napasnya terengah-engah. Wanita berkepala empat itu kembali mengangkat kepalanya sembari menatap dingin pada Kana."Dia meninggal sore ini setelah jadi korban tabrak lari sepulang dari mencari penjamin hutangnya!" pekik sang Bibi yang sekali lagi membuat tubuh Kana lemas. Cengkraman sang Bibi di kerahnya pun melemah. Wanita berkepala empat itu pun terduduk lemas di lantai."Andai saja ... Andai saja kami tidak harus memungutmu! Andai saja suamiku mendengarkanku ... Andai saja kau ikut mati bersama kedua orang tuamu ... Ini semua pasti tidak akan terjadi! Suamiku pasti tidak harus berhutang karena harus menanggung beban anak pungut sepertimu!" Suara Bibi memekik di kalimat terakhirnya, tetapi wanita itu pun juga sudah kehabisan energi. Ia hanya bisa memukul-mukuli lantai atas apa yang telah terjadi.Sebuah bulir bening menetes begitu saja melewati pipi Kana. Hatinya terasa remuk mendengar penuturan sang Bibi, tetapi dari lubuk hatinya pun berpendapat sama. Dulu orang tuanya yang harus meregang nyawa untuk mememuhi keinginannya berlibur di pegunungan, sekarang malah pamannya yang harus meregang nyawa demi mencukupi hidupnya."Ma-maafkan aku—" Tiba-tiba kerahnya kembali ditarik oleh Adik Sepupunya."Kalau kamu mau minta maaf, maka, serahkan semua gajimu!" titahnya yang membuat mata Kana membulat. Gaji? Benar, hari ini Kana baru saja gajian. Atensi sang Adik Sepupu beralih pada tas selempang yang masih menggantung di pundak Kana."Mana? Dimana kamu menyimpan gajimu?" Gadis berusia 18 tahun itu menarik tas selempang tersebut hingga terlepas dari pundak Kana kemudian mengobrak-abrik isinya dengan brutal."I-itu—""Ini dia!" Sang Adik Sepupu menemukan sebuah amplop putih yang agak tebal dengan bertuliskan nama Kana di sana. Adik Sepupunya menunjukkan amplop putih itu di depan wajah Kana."Anggap, ini adalah bayaran hidupmu selama ini!" sinisnya kemudian melemparkan kembali tas selempang lusuh itu pada Kana. Gadis berusia 18 tahun itu pun mengeluarkan isi amplop tersebut dan menghitungnya lembarnya."Hanya dua juta?" tekannya yang menarik perhatian sang Ibu."Gajimu hanya dua juta? Kamu pikir, berapa uang yang telah dihabiskan oleh ayahku sampai harus meregang nyawanya! Dasar Pembawa Sial!" Tubuh Kana didorong Adik Sepupunya sendiri dengan kasar hingga tersungkur ke lantai."Ma-maafkan aku ... Gajiku sebagai waiter hanya segi—" Tiba-tiba tangan Kana ditarik paksa oleh Bibinya."Bi-bi ....""Bangun!" perintah sang Bibi dengan suara dingin."Tapi, Bibi ...." lirih Kana seraya menatap sang Bibi dengan bola mata bergetar."Aku bilang bangun! Maka kamu harus bangun!" bentak sang Bibi lagi yang langsung membuat Kana berdiri. Tepat setelah itu, sang Bibi langsung menyeret Kana menuju pintu keluar."Bi-bi ... Bibi, kita mau ke mana?" bingung Kana."Mau ke mana kamu bilang? Sekarang adalah tugasmu untuk mencari sisa hutang pamanmu! Kamu lah yang harus membayarnya!" pekik sang Bibi."Ta-tapi, Bibi ... Ini sudah larut, dimana Kana harus mencari uang—""Lakukan apapun, sekalipun harus menjual dirimu! Yang penting kamu baru boleh kembali jika sudah mendapatkan uang lima ratus juta!" pekik sang Bibi lagi yang sekali lagi membuat mata Kana membulat."Li-lima ratus juta? Bukankah hutang Paman dua ratus tiga puluh juta?" Kana ingat, bahkan ia pernah membantu sang Paman untuk menyusun daftar nama orang yang dihutangi oleh Pamannya."Kamu pikir, hutang-hutang itu tak berbunga? Dasar Anak Tak Tahu Diuntung!" Sang Bibi membuka pintu dan langsung melempar Kana keluar rumahnya hingga tubuh yang tak lagi memiliki energi itu terlempar begitu saja, tetapi tiba-tiba ada sebuah tangan yang menangkapnya.Sontak Kana mengangkat kepalanya dan menemukan sesosok pria berambut klimis yang mengebakan baju turtle neck dan jaket kulit tengah menatap lurus ke arah Bibi dan Adik Sepupunya."Wah, wah, wah ... Ada apa ini? Apakah begini cara keluarga ini berkabung?"Dahi Kana mengernyit mendengar suara angkuh nan dingin Pria tersebut. Kana pun langsung buru-buru berdiri dan berbalik, melihat Bibi dan Adik Sepupunya yang kini berdiri mematung sambil membulatkan matanya. Aura Pria itu begitu kuat hingga membuat suasana jadi mencekam.Telunjuk sang Bibi yang gemeteran pun diangkat dan mengarah pada Pria yang kini berdiri di samping Kana."Si-siapa kamu?"Pria berambut klimis dan berjaket kulit yang berdiri di samping Kana hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum miring. "Siapa aku?" ulang pria itu sambil menyeringai. Kana yang berdiri di sampingnya pun menjauh. Perasaannya tidak enak mengenai pria ini. "Ya! Siapa kamu? Untuk apa datang malam-malam begini? Atau jangan-jangan ....""Apa kamu adalah penagih hutang?" seru Adik Sepupunya yang seketika membuat sang Ibu mematung. "Pe-penagih hutang?" gumam sang Bibi gemetaran. Kana yang mendengarnya, reflek menjauhkan dirinya, tetapi tangannya keburu ditarik oleh pria itu dengan kasar. Kana berusaha melepaskannya, tetapi cengkraman pria itu begitu kuat. "Ji-jika kamu adalah penagih hutang, maka, bawa saja dia!" tunjuk sang Bibi ke arah Kana. Sontak kedua mata Kana membulat. Ia tahu kalau dirinya harus mencari uang untuk membayar hutang Pamannya, tetapi jika ia diserahkan langsung begini pada penagih hutang, bukankah hal berbahaya mungkin akan terjadi padanya? "Dia? Maksudmu, perem
Kana hanya menatap pria angkuh di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Wanita 21 tahun itu pun menyingkirkan telunjuk Ivander dari dagunya. "Jangan sentuh aku!" sarkas Kana yang langsung memalingkan wajahnya. Ivander pun menyunggingkan senyumnya. "Yah, sampai akhirnya kamu mengakui ucapanku barusan, 'kan?" tutur Ivander yang langsung menohok Kana. "Pantas saja, Pamanmu membuangmu—""Paman tidak mungkin melakukan itu!" potong Kana sambil menatap Ivander dengan bola mata bergetar. "Bibi ... Bibi mungkin membuangku, tetapi kalau itu Paman ...." Suara Kana tercekat. "Paman tidak mungkin membuangku, apalagi menjualku ... tidak, itu tidak mungkin." Bulir-bulir bening mulai membasahi pipi Kana. Dia menutup wajahnya. Ia tidak mau ada orang yang melihat dirinya yang tak berdaya, sekalipun Kana memang tidak memiliki daya apapun. "Itu kenyataannya, Sayang," ucap Ivander lagi yang memalingkan wajahnya dari Kana. Pria itu lebih memilih menatap keluar jendela dibanding menyaksikan isakan
"Ya, kau tidak salah dengar sama sekali," jawab Ivander dengan nada bicara datar. Namun Kana malah mengerjapkan mata sambil menggosok telinganya. "Istri ... Jika aku jadi Istri, maka ...." Kana kembali menoleh dan menatap Ivander. "Apa kita akan menikah?" duganya yang langsung dapat anggukan kepala dari Ivander. "Ya, kau benar. Kita akan menikah. Lebih tepatnya, kita akan menikah besok.""Apa?" sontak Kana kaget. "Besok? Kau gila, ya?" tukas Kana. Ivander menghela napas kasar sambil memutar bola matanya. Kemudian kembali melirik ke arah Kana."Aku tidak gila. Nyatanya, besok kita akan menikah. Jadi bersiaplah," titah Ivander."Ta-tapi ... tapi besok aku bekerja! Aku dapat shift pagi! Aku sudah bertukar shift dengan rekan kerjaku!" Ivander tersenyum miring mendengar penuturan Kana. "Kabar baiknya, kamu telah berhenti dari tempat kerjamu. Aku sudah menghubungi pemilik restoran tempatmu bekerja. Beruntungnya, kau masih diberikan gaji terakhir hari ini," ujar Ivander santai, tetap
Pria ini sama sekali tidak menganggap Kana sebagai seorang manusia! Sesungguhnya Kana benar-benar merinding menghadapi Ivander yang kini malah tersenyum sambil menaikkan dagunya. Namun ia mengeraskan rahangnya. "Tentu saja tameng agar aku tidak menikah dengan Mantan Calon Istriku," ungkap Ivander lagi enteng. Namun jawaban Ivander sama sekali tidak menjawab pertanyaan Kana. "Kenapa? Kenapa kamu tidak mau menikah dengan Calon Istrimu itu? Aku yakin, Calon Istrimu itu adalah wanita yang berkelas!" "Aku tekankan, dia Mantan Calon Istri!" tekan Ivander sambil melirik Kana sinis. "Oke, Mantan Calon Istri! Aku akan menyebutnya begitu!" timpal Kana sambil diam-diam mengumpat. Pria ini sungguh menjengkelkan. Ivander kembali menghela napasnya sambil menatap lurus ke depan. "Kau ... Kamu itu berbeda dengan mantan calon istriku," tambah Ivander seraya mengingat wajah Mantan Calon Istrinya hingga membuat tangannya mengepal kuat. Jelas hal itu tak luput dari perhatian Kana hingga terkesiap.
Supir mobil Ivander langsung keluar dan pergi entah ke mana setelah meminggirkan mobil ke bahu jalan. Di dalam mobil, tinggal Kana dan Ivander berduaan. Ivander sejak tadi menarik napas panjang-panjang sambil mengepalkan tangannya. Sementara Kana hanya menatapnya dengan peluh yang menetes di pelipis. Pria di sampingnya ini bergeming, tetapi berhasil membuat Kana bergidik ngeri. Kana diam-diam menjauh dari Ivander hingga tangannya meraih kunci pintu mobil. Ia pun inisiatif membuka kunci mobil, tetapi ditahan oleh Ivander. "Kamu mau ke mana?" ucapnya sarkas hingga membuat Kana semakin bergidik ngeri. Sontak Kana menoleh dan mendapati wajah dingin penuh intimidasi dari Ivander. Kana menelan salivanya. "A-aku—" Kana terkesiap ketika tangan besar Ivander mengapit kedua pipinya dan menekan kepalanya ke kaca jendela mobil. "Kau tahu, apa yang barusan kamu lakukan?" sinis Ivander. Namun wanita itu malah menatap pria tersebut dengan tajam sambil mencen
Pria yang kini menggandeng Kana malah tertawa, membuat Kana semakin bingung. "Hei, Ivander, kenapa kamu begitu serius? Kenapa pakai panggil nama lengkap segala? Panggil aja Shein! Kau ini terlalu formal. Kita, 'kan ada di rumahmu!" Pria berponi itu kemudian menoleh ke arah Kana yang masih bingung dengan situasinya. "Oh, iya, Kakak Ipar, kamu juga boleh panggil aku, Shein. Shein White Serafim, itu namaku," sahutnya agak berbisik yang hanya mendapat anggukan kepala Kana, tetapi diam-diam Kana melirik ke arah Ivander yang tangannya mengepal dan sorot matanya semakin tajam "Uhm, sepertinya ...." Kana hendak melepaskan genggaman Shein, tetapi, Shein malah mengeratkan gandengannya. "Hei, Shein, kau belum menjawab pertanyaanku!" tekan Ivander dengan sorot mata yang tajam, membuat Kana semakin merinding hingga reflek memegang lengan Shein. "Oh, pertanyaanmu? Ya, tentu saja aku di sini untuk menyambut kedatangan Kakak Iparku," jawab Shein santai.
Kana kini duduk di hadapan Ivander yang menyodorkan sebuah dokumen. Pria itu menatap Kana dengan dingin sehingga wanita berusia 21 tahun itu tak sanggup mengangkat kepalanya. "Baca isi kontrak itu baik-baik!" titah Ivander. Dahi Kana mengernyit."Ko-kontrak?" Wanita itu mengangkat kepalanya dan kembali bertemu dengan tatapan dingin Ivander. "Ya, kontrak sekaligus aturan dalam pernikahan kita!" tutur Ivander. Atensi Kana kembali pada dokumen di hadapannya kemudian membacanya dengan seksama. "Asal kau tahu, Sayang ..." cetus Ivander yang membuat Kana menelan salivanya. Panggilan "Sayang" dari mulut pria ini selalu berhasil membuat bulu kuduknya berdiri. Kana kembali mengangkat kepalanya dengan ragu-ragu. "Ta-tahu apa?" tanyanya gemetaran. Kejadian di dalam mobil tadi masih berbekas dalam ingatannya hingga membuat Kana waspada pada tiap ucapan dan gerak-gerik Ivander."Sebaiknya kamu langsung pergi ke halaman terk
Wanita dengan rambut pirang itu berjalan dengan cepat menghampiri Shein."Dimana Ivander? Apa dia di sini?" cecarnya. Namun Shein hanya menatap wanita itu dengan senyum yang perlahan-lahan melebar."Shein?" tekan wanita itu lagi sambil melirik Shein sinis. Namun pria yang gemar tersenyum itu sama sekali tak menyahut. "Shein! Apa kau mendengarku?" sahut wanita itu yang meninggikan suaranya. Sontak Shein tersentak. "Eh? Iola!" serunya sambil mengerjapkan mata. Pria itu semakin melebarkan senyumnya. "Kamu ... Kata Ivander, kamu tidak datang. Kapan kamu sampai dari London? Aku kira kamu akan datang setelah selesai ujian akhir," antusias Shein yang sama sekali tidak bisa berkedip. Wanita berambut pirang itu hanya memutar bola matanya. "Bicara denganmu sama sekali tidak berguna!" sinis wanita bernama Iola itu sambil mendorong tubuh Shein. Untungnya pria tersebut tidak jatuh. Iola langsung berusaha membuka pintu rumah Ivander. Semen