Wanita dengan rambut pirang itu berjalan dengan cepat menghampiri Shein.
"Dimana Ivander? Apa dia di sini?" cecarnya.Namun Shein hanya menatap wanita itu dengan senyum yang perlahan-lahan melebar."Shein?" tekan wanita itu lagi sambil melirik Shein sinis. Namun pria yang gemar tersenyum itu sama sekali tak menyahut."Shein! Apa kau mendengarku?" sahut wanita itu yang meninggikan suaranya. Sontak Shein tersentak."Eh? Iola!" serunya sambil mengerjapkan mata. Pria itu semakin melebarkan senyumnya."Kamu ... Kata Ivander, kamu tidak datang. Kapan kamu sampai dari London? Aku kira kamu akan datang setelah selesai ujian akhir," antusias Shein yang sama sekali tidak bisa berkedip.Wanita berambut pirang itu hanya memutar bola matanya."Bicara denganmu sama sekali tidak berguna!" sinis wanita bernama Iola itu sambil mendorong tubuh Shein. Untungnya pria tersebut tidak jatuh. Iola langsung berusaha membuka pintu rumah Ivander. Semen"Tunangan? Jadi, dia tunangan Shein? Itu berarti dia adiknya Ivander?" gumam Kana seraya memandang Shein yang kini mematung. Ia sama sekali tidak bisa memalingkan pandangannya dari wanita di belakang Kana yang kini wajahnya memerah dengan mata yang melotot. Meskipun begitu, Shein memandang wanita berambut pirang itu dengan tatapan nanar. Kana yang mendapatinya pun segera menutup bahunya yang tersingkap. Kemudian menarik ujung kemeja Shein hingga atensi pria itu kembali padanya. "Aku tidak apa-apa, Shein," ucap Kana yang mengundang senyum tipis Shein. Iola yang melihat itu semakin geram."Dasar wanita murahan!" pekik Iola yang mengambil langkah besar dan menyingkirkan Kana dari hadapan Shein hingga wanita berambut pendek itu jatuh tersungkur. Shein reflek menarik lengan Iola. "Iola? Apa yang kamu lakukan?" bentaknya, tetapi malah membuat Iola mengeraskan rahangnya. "Kamu membela wanita rendahan, murahan dan gelandangan itu dibanding ak
Kana langsung bergidik ngeri. Kenapa tiba-tiba Ivander membicarakan malam pengantin. Seharusnya hubungan mereka tidak berjalan seperti ini! Kana langsung melepaskan tangan Ivander dari pinggangnya. "Lepas!" serunya langsung menjauh dan berbalik menghadap Ivander. "Kamu ... Jangan macam-macam!" panik Kana yang hanya dibalas dengan tatapan datar oleh Ivander. "Bukankah aku ... tidak! Kita tidak boleh bersentuhan sembarangan! I-itu yang kamu bilang kemarin!" panik Kana. Ivander mengangguk."Aku garis bawahi, itu hanya berlaku untukmu!" tekan Ivander yang langsung membuat Kana terkesiap. "Apa?"Ivander mendelik kesal. "Sudahlah! Kamu yang begini jadi membuat mood-ku jelek!" tukas Ivander yang berjalan menuju pintu kamar Kana, tetapi pria itu tiba-tiba berhenti. "Oh, iya! Pakai baju yang sopan! Aku tidak tahu bagaimana pakaianmu selama ini, tetapi di rumahku ada aturan! Lusa, kau akan mengikuti kelas kepribadian pri
"Ugh!" Iola mendelik kesal sambil menggenggam garpunya. Reaksi yang di luar dugaan! Apakah Ivander sengaja? Kana memandang wajah suaminya itu yang kini menyeringai. Apakah kakak-beradik ini sedang adu gertak? Ivander tiba-tiba mengangkat tangannya yang menggandeng tangan Kana. "Kamu tidak lihat ini?" seru Ivander. "Aku dan istriku saling mencintai. Jadi mau kau mengganggu kami seperti apapun, tidak akan mempan. Jangan buang-buang waktumu. Sebaiknya kembali saja ke London dan selesaikan sekolahmu!" Iola langsung berdesis. "Kenapa kamu bahas itu lagi, sih?" gerutu Iola. Ivander hanya tersenyum miring sambil menarik Kana ke tempat duduknya. "Duduklah di sebelahku, Sayang," ucap Ivander yang sekali lagi membuat Kana bergidik ngeri, tetapi wanita itu berusaha sebisa mungkin tersenyum bahagia seperti aturan di kontrak mereka. Kana hanya mengikuti ucapan Ivander. Ivander pun membalikkan piringnya, sementara Kana langsung berd
"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Kana begitu mereka masuk ke dalam kamar Ivander. Pria yang kali ini tidak mengenakan gel rambutnya hingga rambut lurusnya agak mengembang menghela napas seraya menutup pintu kamar."Sepertinya kamu agak waspada denganku," kekeh Ivander sambil menghampiri nakas di samping tempat tidurnya. Ia membuka nakas tersebut dan mengambil sebuah map. Tatapan Kana menajam sambil mengawasi gerak-gerik Ivander. "Bukankah kamu mengajakku ke sini karena mau memberi perintah yang baru?" duga Kana yang mengundang senyum miring Ivander. "Ternyata kamu cukup pintar, Sayang," ucap Ivander sambil tersenyum. Reflek, Kana mundur satu langkah mendapati senyum angkuh seorang Ivander. "Katakan saja—" Ivander melempar dokumen di tangannya kepada Kana, untungnya Kana berhasil menangkapnya."Ambil dan baca itu baik-baik!" titah Ivander.Kana membuka map yang ternyata berisi beberapa lembar kertas. "Oh
Kana membaca dengan seksama daftar pertanyaan yang mungkin ditanyakan oleh ayah mertuanya. Dahinya mengernyit."Dia narsis atau apa, sih? Kenapa ini semua pertanyaan tentang pria kejam itu?" gerutu Kana agak enggan membacanya. Terlebih di sana Ivander terlalu memuji-muji dirinya sendiri. Kana pun meletakkan dokumen itu sambil memijat keningnya. Rasanya, ia mau istirahat dulu, baru setelah itu dia akan menghapal isi dokumen yang Ivander berikan. Namun ia memandang ke sekeliling, Kana hampir lupa bahwa ia ada di dalam kamar Ivander. Wanita berusia 21 tahun itupun beranjak dan hendak pergi ke pintu rahasia mereka sambil membawa dokumen, tetapi belum ada satu langkah, pintu Ivander diketuk. "Kana ...." Terdengar suara Iola dari luar. Dahi Kana mengernyit. "Kana ... Cepat keluar!" Kali ini ia agak membentak. Kana hampir lupa kalau adik perempuan Ivander itu membencinya. "Iya, sebentar!" sahut Kana yang meletakkan dokumen pemberian Ivander ke at
Reflek, Kana mendorong tangan Iola yang sedang menggenggam gawai pintarnya hingga benda canggih itu terlempar dan jatuh. Sontak Iola melempar tatapan penuh amarah pada kakak iparnya itu. "Apa yang kamu lakukan?" pekik Iola yang langsung membuat Kana membeku. Sejujurnya, ia tidak sengaja. Ia takut, jika Ivander tahu dia melanggar permnintaannya, maka ia akan semakin dekat dengan malapetaka. "Ma-maaf, aku—" "Dasar wanita rendahan!" hardik Iola yang langsung mengambil ponselnya. Ia memeriksa benda canggih itu. Layarnya gelap, tetapi untungnya tidak ada bagian yang pecah atau retak karena Iola memakai casing yang tebal. "Untung baik-baik saja!" ucap Iola. Masalahnya ponsel ini adalah hadiah dari Shein saat ulang tahunnya yang ke sembilan belas. Tunangannya itu bahkan rela mengirimkan hadiah sampai melintasi benua. Meskipun Iola juga tidak membalas ucapan ulang tahun dari Shein karena dia masih marah dengan tunangannya itu. "Ma-maaf, aku tidak bermaksud—" "Halah!" Iola langsung ber
"A-aku harus apa?" gemetar Kana. Sejujurnya, ia merasa kepalanya pening. Pekerjaan rumah tangga yang ia kerjakan hari ini cukup banyak, terlebih rumah Ivander yang sangat luas, sehingga membuat Kana tidak sempat minum atau makan. "Lihat map di meja itu!" titah Ivander lagi. Atensi Kana pun beralih ke meja kecil tersebut. Sontak ia langsung teringat apa tugasnya hari ini dari Ivander. Membaca dokumen yang berisi kemungkinan pertanyaan yang akan keluar saat pertemuan dengan Ayahnya Ivander. Kana langsung mengambil dokumen-dokumen tersebut. "Maaf! Aku lupa!" ujarnya. Ivander mendelik kesal."Lupa? Atau kamu main-main dengan celemekmu itu? Sok-sokan mau buat makan malam untukku? Memangnya kamu tahu seleraku, ha?" tukas Ivander. Kana pun memandang nanar wajah suaminya yang bersungut-sungut itu."Bu-bukannya kamu yang menyuruhku melakukan ini semua? Iola mengatakan kalau kamu memintaku mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Kamu
Otak Kana kosong. Ayah mertuanya datang ke rumah ini? Tunggu, apakah rumah sudah rapih? Bagaimana sarapan? Dia akan dipandang sebagai menantu apa jika tidak bisa melakukan semuanya? "Kenapa bengong?" tegur Ivander yang membuyarkan lamunan Kana. Kana pun memandang Ivander dengan penuh kebingungan."Sa-sarapan? Apakah Tuan—maksudku, Ayah akan sarapan di sini? Menu makanan apa yang disukai Ayah?" tanya Kana. Ivander menghela napas kasar. "Urusan rumah, termasuk makanan, adalah urusanku. Kamu berpenampilan saja yang natural, tetapi terlihat cantik. Terutama, bersihkan air liur di pipimu itu!" Kana terhenyak, ia buru-buru mengusap pipinya. Habis sudah, citranya di hadapan Ivander. "Wanita rendahan memang menjijikan!" tukasnya yang masih bisa didengar Kana. Kana hanya bisa menerima cibiran itu tanpa bisa membalasnya. "Sudah, aku tunggu kamu di bawah," pesan Ivander kemudian langsung pergi lewat pintu rahasia mereka.