"A-aku harus apa?" gemetar Kana. Sejujurnya, ia merasa kepalanya pening. Pekerjaan rumah tangga yang ia kerjakan hari ini cukup banyak, terlebih rumah Ivander yang sangat luas, sehingga membuat Kana tidak sempat minum atau makan. "Lihat map di meja itu!" titah Ivander lagi. Atensi Kana pun beralih ke meja kecil tersebut. Sontak ia langsung teringat apa tugasnya hari ini dari Ivander. Membaca dokumen yang berisi kemungkinan pertanyaan yang akan keluar saat pertemuan dengan Ayahnya Ivander. Kana langsung mengambil dokumen-dokumen tersebut. "Maaf! Aku lupa!" ujarnya. Ivander mendelik kesal."Lupa? Atau kamu main-main dengan celemekmu itu? Sok-sokan mau buat makan malam untukku? Memangnya kamu tahu seleraku, ha?" tukas Ivander. Kana pun memandang nanar wajah suaminya yang bersungut-sungut itu."Bu-bukannya kamu yang menyuruhku melakukan ini semua? Iola mengatakan kalau kamu memintaku mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Kamu
Otak Kana kosong. Ayah mertuanya datang ke rumah ini? Tunggu, apakah rumah sudah rapih? Bagaimana sarapan? Dia akan dipandang sebagai menantu apa jika tidak bisa melakukan semuanya? "Kenapa bengong?" tegur Ivander yang membuyarkan lamunan Kana. Kana pun memandang Ivander dengan penuh kebingungan."Sa-sarapan? Apakah Tuan—maksudku, Ayah akan sarapan di sini? Menu makanan apa yang disukai Ayah?" tanya Kana. Ivander menghela napas kasar. "Urusan rumah, termasuk makanan, adalah urusanku. Kamu berpenampilan saja yang natural, tetapi terlihat cantik. Terutama, bersihkan air liur di pipimu itu!" Kana terhenyak, ia buru-buru mengusap pipinya. Habis sudah, citranya di hadapan Ivander. "Wanita rendahan memang menjijikan!" tukasnya yang masih bisa didengar Kana. Kana hanya bisa menerima cibiran itu tanpa bisa membalasnya. "Sudah, aku tunggu kamu di bawah," pesan Ivander kemudian langsung pergi lewat pintu rahasia mereka.
"Me-menentang Ayah? Tentu saja tidak! Kenapa Iola menentang Ayah?" Iola langsung mengambil tangan Ayahnya dan memeluknya. Reynold malah memandang sinis putrinya sendiri."Itu buktinya! Kamu mau menantu Ayah keluar dari sini! Asal kamu tahu, Iola, Ayah datang ke sini untuk Kana, bukan untukmu ataupun Ivander!" beber Reynold. Sontak Iola tertohok, tetapi ia enggan menunjukkan wajahnya. "Hu-uh! Iya-iya, Ayah. Aku mengerti!" sungut Iola sambil menyandarkan kepalanya di pundak sang Ayah. "Bagus!" ujar Reynold. "Kalian juga! Siapapun yang mau mengusir Kana atau berusaha menyakiti hati Kana, maka dia berurusan dengan Ayah!" tegas Reynold. Diam-diam Kana tersenyum, setelah diperolok kemarin, ternyata muncul orang yang berjiwa malaikat seperti Ayah Mertuanya. "Mana mungkin aku mampu melakukan itu, Ayah?" Tiba-tiba Ivander memeluk Kana dari belakang, membuat wanita itu reflek memandang suaminya dengan heran. Ivander hanya mengedipkan mata pelan sebagai kode. Kana pun pasrah dipeluk oleh pr
Lidah Kana kelu. Ia sama sekali tidak bisa memikirkan apapun selain kenangan buruk pertama kali bertemu Ivander. Dahi Kana mengernyit, bola matanya bergetar, bahkan peluhnya menetes di pelipis. "I-itu ...." Kana mengucap hal yang sama sekali lagi. Reynold yang melihat reaksi aneh Kana mengernyitkan dahi. "Apa pertemuan pertama kalian cukup tidak baik, Nak?" tanya Reynold. Sontak Kana terkesiap, benar kata Ivander, Reynold Harvey sangat teliti dan intuisinya ternyata juga tajam, bagaimana ia tahu kalau pertemuan pertama Kana dan Ivander bukanlah pertemuan yang baik, bahkan termasuk kenangan buruk dalam hidup Kana. "I-itu ...." "Tentu saja tidak baik, Ayah. Aku yakin, sebelum bertemu Ivander, dia pasti menjual dirinya, kemudian Ivander yang merasa iba dengan topeng sedihnya itu akhirnya menolongnya," sahut Iola malas. Sontak kepala Kana terangkat. Ia menatap lurus ke arah adik iparnya itu. Bagaimana bisa dia berpikir begitu. Kana menga
Apa maksud Reynold Harvey? Apakah Kana melakukan kesalahan. Kana pun melirik ke arah Ivander yang tengah mengeraskan rahangnya. Apakah Ivander akan meledak di meja makan ini? Bahkan, Kana bisa merasakan aura mencekam di sampingnya. Diam-diam, wanita itu meremas rok dress-nya."Bohong?" ulang Ivander kemudian terkekeh."Mana mungkin, Ayah," lanjutnya yang kini sudah kembali tersenyum lebar. Seketika aura mencekam barusan sirna. Kana pun bernapas lega."Lalu, kenapa kamu tidak bilang kalau Kana bukan mantan pegawai kita?" tanya Reynold. "Itu ... Dulu, sebelumnya Kana pernah bekerja di salah satu Restoran di sangraloka kita, Ayah. Iya, 'kan, Sayang?" Ivander langsung merangkul Kana sambil menendang kaki istrinya diam-diam di bawah meja. "Oh, i-iya, Ayah!" seru Kana yang bisa menyadari permainan Ivander. "Kana memang berpindah-pindah tempat kerja sejak SMA," jawab Kana. "Sejak SMA?" ulang Reynold lagi. Sontak Ivander melempar tatapan sinisnya ke arah Kana. "I-iya. Kana sudah part ti
"Ka-kamar? Un—" Ivander langsung meraih pinggang Kana dan mengangkat tubuh wanita berambut pendek itu ke atas pundaknya. "Ivander! Apa yang kamu lakukan? Turunkan aku!" panik Kana. Ivander menoleh ke arah Kana sambil tersenyum miring. "Apa lagi, Sayang? Tentu saja, aku mengangkatmu agar kamu tidak bisa kabur! Sekarang, ayo kita ke kamar!" seru Ivander. Sontak mata Kana membulat."Tidak!" Kana berusaha meronta-ronta, tetapi posisinya tak mendukungnya untuk melepaskan diri. "Ivander, turunkan aku! Kita mau apa ke kamarmu?" panik Kana. Mau bagaimana pun Ivander tetaplah pria dewasa yang pastinya punya hasrat pada wanita. "Kenapa kamu begitu takut, Sayang? Kamu hanya perlu tenang," timpal Ivander enteng sambil menaiki anak tangga menuju lantai dua—letak kamarnya berada. "Ba-bagaimana aku bisa tenang? Apa aku melakukan kesalahan? Kamu mau apa?" panik Kana yang membuat langkah Ivander berhenti. "Aku tidak salah dengar, Sayang? Kamu bertanya, kamu salah apa?" dingin Ivander yang melem
Kana langsung bersimpuh dan bersujud tepat di depan kaki Ivander."I-ivander. Aku mohon, maafkan aku. Ini kesalahanku. Aku yang tidak membaca dengan seksama dokumen yang kamu berikan, tetapi kumohon, kumohon, maafkan aku ...." ucap Kana gemetaran. Ia sama sekali tidak bisa menebak, hukuman apa yang akan dia dapatkan dari pria ini. "Maaf?" Ivander menendang Kana yang memohon di depan kakinya. Sontak, jantung Kana berhenti berdetak sesaat. Ia mengangkat kepalanya seraya memandang tatapan dingin Ivander. "Tapi kamu sudah mengacaukan pertemuan dengan Ayahku, Sayang," tutur Ivander yang kembali membuat Kana merinding. "Kepercayaan Ayahku, mungkin saja sudah berkurang padaku," lanjut Ivander lagi. Kana pun kini bersimpuh sambil menangkuokan kedua tangannya."Kumohon, aku akan berusaha memperbaikinya," mohon Kana. "Tidak perlu!" seru Ivander."Jika kamu memperbaikinya, maka kamu akan semakin mengacaukannya!" tukas Ivander. Kana
"Wah? Serius, Jenni? Kamu akan datang ke Indonesia? Kapan? Apakah lebih cepat dari rencanamu sebelumnya?" girang Iola yang membuat Shein terkesiap. Jenni akan datang lebih cepat. Untuk apa?[Yah, kamu benar. Kedatanganku akan jadi kejutan, Darling. Yang pasti dalam waktu dekat. Kamu tahu, 'kan, aku harus membujuk Daddy agar bisa mengizinkanku menggunakan pesawatnya,] ujar Jenni di seberang.Seketika senyum Iola mengembang. "Oke, Jenni. Aku akan menantikan kedatanganmu. Bela aku dan buat Ivander sadar. Aku lebih suka kamu yang jadi kakak iparku," cicit Iola. [Sure, Darling. Kalau begitu aku tutup dulu, see you, Darling.] "See you!" Panggilan pun diakhiri. "Iola!" seru Shein. Iola melirik sinis ke arah tunangannya. "Apa? Setelah membentakku, kamu mau ajak aku bicara?" sindir Iola. "Membentak? Ugh ...." Shein ingin membela dirinya, tetapi bukan waktunya untuk berdebat dengan tunangannya ini."Maaf, Iola j