"Wah? Serius, Jenni? Kamu akan datang ke Indonesia? Kapan? Apakah lebih cepat dari rencanamu sebelumnya?" girang Iola yang membuat Shein terkesiap. Jenni akan datang lebih cepat. Untuk apa?
[Yah, kamu benar. Kedatanganku akan jadi kejutan, Darling. Yang pasti dalam waktu dekat. Kamu tahu, 'kan, aku harus membujuk Daddy agar bisa mengizinkanku menggunakan pesawatnya,] ujar Jenni di seberang.Seketika senyum Iola mengembang."Oke, Jenni. Aku akan menantikan kedatanganmu. Bela aku dan buat Ivander sadar. Aku lebih suka kamu yang jadi kakak iparku," cicit Iola.[Sure, Darling. Kalau begitu aku tutup dulu, see you, Darling.]"See you!" Panggilan pun diakhiri."Iola!" seru Shein. Iola melirik sinis ke arah tunangannya."Apa? Setelah membentakku, kamu mau ajak aku bicara?" sindir Iola."Membentak? Ugh ...." Shein ingin membela dirinya, tetapi bukan waktunya untuk berdebat dengan tunangannya ini."Maaf, Iola jIvander sempat terdiam, tetapi segera melempar senyum lebarnya."Sayangnya, Kana tidak ada di rumah, Shein," ujar Ivander. "Hah? Tidak ada di rumah? Dia ke mana?" cecar Shein."Liburan. Liburan selama tiga hari," jawab Ivander. Dahi Shein mengernyit. "Liburan selama tiga hari?" ulang Shein sambil terkekeh kemudian merangkul calon kakak iparnya itu. "Aku tidak salah dengar, Ivander? Jika Kana liburan, kenapa dia tidak berlibur bersamamu? Kalian, 'kan pasangan?" cecar Shein lagi. "Dia hanya ingin liburan sendiri. Kenapa memangnya?" jawab Ivander seadanya. Namun lagi-lagi Shein terkekeh."Hei, Ivander, dengar, kamu ini sudah menikah, itu berarti segalanya lebih menyenangkan dilakukan bersama-sama. Apa saat pacaran, kalian memang seperti ini?" penasaran Shein. Ivander sekali lagi melemparkan senyumnya. "Ya, kami menghargai waktu sendiri masing-masing. Lagipula, Iola sudah membuatnya agak kesulitan, jadi aku memberikannya waktu bersantai," pungkas Ivander. Shein mengangguk-angguk.
Ivander tertegun mendapati tubuh lemas Kana. Dahinya mengernyit, tubuh Kana terasa berat, seolah tak ada energi yang menopang tubuh wanita ini."Hey, Kana ... kamu pingsan?" tanya Ivander sambil mengguncangkan tubuh istrinya itu. "Kana—?" Tiba-tiba terdengar suara dengkuran dari Kana. "What?" seru Ivander sambil geleng-geleng kepala. "Dia tidur?" kaget Ivander. Pria ini tak sanggup berkata-kata. Ivander pun mengangkat tubuh Kana kemudian memandang wajah wanita itu. Alisnya naik sebelah mendapati mata istrinya itu yang terpejam. Tanpa berkata Ivander langsung membawa tubuh Kana ke tempat tidur yang berantakan, seolah tidak pernah dirapihkan selama ini. Ivander meletakkan istrinya yang tak sadarkan diri itu dengan sangat hati-hati seraya memandang wajah pucat dan bibir keringnya. "Dasar! Bisa-bisanya setelah menyebutku begitu, dia malah tidur," kekeh Ivander sambil menyingkirkan helai-helai rambut Kana yang menutupi wajahnya. Pria itu kemudi
Kana terkesiap, mulutnya sangat ingin menjawab pertanyaan Shein, tetapi entah kenapa mulutnya ini tidak bisa terbuka. Lagipula bagaimana Shein bisa menyadari sifat Ivander? Pria ini, sekalipun terkadang membelanya, Kana tahu, Shein selalu menurut dengan perintah Ivander. Jangan-jangan, karena Shein sangat mengenal Ivander, makanya dia bisa menyadari keanehan dari wajah Kana? Apakah Kana bisa bersandar pada pria ini?"Kak Kana?" tegur Shein lagi. Kana langsung mengerjapkan kedua matanya. "Uhm ... aku ....""Bagaimana liburanmu? Kemarin Ivander bilang, dia menyusulmu, makanya aku tidak datang. Iola juga masih menginap di rumah Stacy," terang Shein. Dahi Kana mengernyit. Apa maksud Shein? Liburan? Kemudian, siapa Stacy?"Ah, Stacy? Stacy sahabat masa kecil Iola. Kabarnya, dia akan jadi kandidat menantu ketiga setelah aku, Kak," beber Shein yang makin membuat Kana bingung. "Menantu ketiga?" ulang Kana."Loh? Jangan bilang
"Hamil?" ulang Ivander yang tawanya langsung meledak, membuat Shein kebingungan. "Tidak. Itu tidak mungkin, Shein. Dia tidak hamil," ujar Ivander sambil mengerem tawanya. "Tapi, kenapa dia labil begitu, Ivander? Lagipula, kalian 'kan sudah menikah. Mana mungkin kalian belum melakukan hubungan suami-istri, 'kan?" Sontak Ivander tertohok. "Itu ...." "Jika dihitung dari hari pertama kalian menikah, harusnya sudah ada tanda-tandanya, 'kan?" tebak Shein. "Kami baru menikah lima hari, Shein. Harusnya, tanda-tanda itu muncul setelah satu minggu," ralat Ivander. "Oh, ya? Setelah satu minggu? Tapi, bukankah bisa saja kalian sudah melakukannya sebelum menikah—" "SHEIN!" Tiba-tiba suara Ivander meninggi. Sontak mulut Shein langsung terkunci. Seketika Ivander mengeluarkan aura intimidasinya seraya menatap calon adik iparnya itu dengan sorot mata yang tajam. "Aku bukan pria rendahan, Shein. Aku hanya akan menyentuh wanita yang kunikahi!" tekan Ivander. "Uhm, y-yah ... maaf, Ivande
"Aku hamil?" ulang Kana dengan suara tercekat seraya menatap Ivander dengan tatapan nanar. "Atas dasar apa kamu menuduhku hamil?" cecar Kana seraya menatap dalam-dalam mata Ivander. Ivander memalingkan pandangannya. "Siapa tahu?" Ivander kembali melirik Kana. "Bukankah kamu wanita rendahan?" ujarnya sambil menaikkan dagunya dan memandang Kana rendah. Hati Kana berdenyut. "Wanita Rendahan" adalah sebutan Iola untuk Kana, tetapi Kana tidak pernah menduga ucapan itu akan keluar dari mulut Ivander. Kana hanya menunduk. "Kenapa? Benar, kamu hamil?" cecar Ivander yang membuat Kana terkesiap. "Mana mungkin, Ivander?" sosor Kana. "Seharusnya kamu yang paling tahu akan hal itu!" tekan Kana yang rasanya emsoinya sudah berada di tenggorokan sehingga ia tak mampu bicara. Rasanya sekarang ia ingin menumoahkan air matanya lagi, tetapi Kana tahu, itu tak ada gunanya."Aku? Kenapa aku bisa tahu? Apa karena kamu mengira Pamanmu sudah me
"Kana! Awas!" Mata Kana langsung terbuka lebar ketika mendengar suara Shein, tepat pada saat itu tubuhnya jatuh ke dalam dekapan Shein dan Shein langsung memeluknya, tetapi justru mereka berdua malah jatuh bersama. "SHEIN!" pekik Iola dengan mata yang melotot.Shein memeluk Kana dengan erat sambil memejamkan matanya erat-erat. "Argh!" jerit Shein yang punggung dan tengkuknya membentur ujung anak tangga dan merosot ke bawah. Jantung Kana berhenti berdetak sesaat mendengar jeritan Shein yang penuh derita, tetapi dirinya tak berdaya. Kini mereka berdua berhenti merosot, pelukan Shein juga melemah. Kana mengerjap seraya menoleh. "Shein?" panggil Kana yang langsung menyingkir dari dekapan Shein dan memeriksa pria itu. Matanya terpejam dan tubuhnya terkulai lemas. "Shein, bangun!" histeris Kana, tetapi dia langsung tercengang begitu mendapati ada cairan kental berwarna merah yang mengalir dari belakamg kepala Shein."Shein!" jerit Iola yang tahu-tahu sudah ada di belakang Kana. "Kamu p
Alis Ivander naik sebelah sambil menatap Shein lurus."Bicara dengan Kana? Untuk apa?" selidik Ivander. "Ya, Shein!" seru Iola dengan mata yang melotot. Dia langsung menunjuk Kana ya g masih terduduk di lantai. "Kana yang menyebabkan kamu begini! Kenapa kamu masih mau bicara dengan pembunuh itu? Yang ada, keselamatanmu dipertaruhkan!" tuding Iola. Shein menggeleng. "Iola, sepertinya ada kesalahpahaman di sini," ujar Shein agak dingin hingga membuat Iola tersentak. Wanita berambut pirang itu langsung bungkam. "Kesalahpahaman?" Ivander memicingkan matanya seraya memandang Iola, kemuidan kembali memandamg Shein. "Apa maksudmu, Shein?" cecar Ivander. "Nanti aku jelaskan. Sekarang, please. Aku mau bicara berdua dengan Kana," kukuh Shein dingin. Ivander menghela napas. "Baiklah!" Pria itu melirik ke arah Kana dengan sinis."Jangan lama-lama," ujar Ivander. Iola langsung meraih lengan kakaknya."Ivander? Apa maksudmu? Kamu mengizinkan Kana bicara dengan Shein?" sewot Iola, tetapi I
Kana tertegun. Dia mengusap telinganya kemudian kembali menatap lurus ke arah Shein yang kini memasang wajah serius."Gak bisa?" ulang Kana yang langsung dijawab oleh anggukan kepala Shein. "Aku gak bisa pura-pura gak tahu soal kesulitan kamu di sisi Ivander. Belum lagi, Iola yang selalu berusaha mojokin kamu," beber Shein. Dahi Kana mengernyit. "Tapi kenapa, Shein?" bingung Kana. Wanita itu pun menarik napas dalam-dalam. "Asal kamu tahu, Shein, kamu yang berusaha akrab sama aku, justru akan mempersulit keadaanku di rumah Ivander. Terutama di hadapan Iola. Kamu sadar, gak, sih?" Tiba-tiba suara Kana meninggi. Namun Shein tetap kukuh menatap lurus ke arah Kana. "Jangan bohongin diri kamu sendiri, Kana," tutur Shein yang membuat Kana tertegun. Seketika jantungnya berdebar. "Kamu juga ngerasain apa yang aku rasain, 'kan?" lirih Shein. Dahi Kana mengernyit."Apa maksud kamu, Shein?" dingin Kana.
Seketika sekujur tubuh Kana terasa lemas. Tubuhnya langsung meluruh ke lantai tepat ketika Ivander keluar dari kamarnya. Kini dia tidak bisa lagi mengeluarkan air mata, tetapi dadanya terasa sangat sesak hingga ia sulit bernapas. "Kenapa rasanya sangat sakit ...." pedih Kana dengan suara tercekat. Apakah dia mulai mengharapkan cinta Ivander? Apa itu tidak terlalu serakah? Kenapa Kana menginginkan hal yang mustahil terjadi? Sementara itu, Ivander langsung menyandarkan punggungnya ke dinding setelah menutup pintu kamar Kana. Dia memejamkan matanya erat-erat sambil mengepalkan tangan. Ivander menggemerutukkan giginya. Napasnya kini terasa sesak. Dadanya terasa sangat gusar. Dia ingin menangis, tetapi tidak bisa menangis. "Sial ...." umpatnya sambil melepas kepalan tangannya, tetapi sang tangan malah bergetar hebat. Sebenarnya Ivander kenapa? Apakah perasaan yang selama ini ia belenggu di lubuk hatinya yang terdalam mulai memberontak keluar? Tidak, Ivander tidak boleh membiarkan rasa
Ivander terkesiap mendengar ucapan Iola. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Kana adalah istri Ivander, itu memang benar adanya. Sekalipun ada kontrak pernikahan yang mereka tanda tangani, tetapi mereka melaksanakan pernikahan yang sah dan diakui negara. Apa salahnya jika Ivander menganggap Kana istrinya?"Kenapa kamu diam, Ivander?" tegur Shein yang menatapnya dengan nanar. Entah kenapa melihat ekspresi wajah Shein yang agak "shock" membuat jantung Ivander terasa diremas. Apakah ia berbuat kesalahan? Kenapa Shein menatapnya begitu, bahkan Iola yang menatapnya dengan tajam.Iola menghela napas. "Oke, sekarang aku tanya satu hal!" ucap Kana yang menarik atensi Ivander. "Apa itu?" tanya Ivander.Iola langsung menatapnya dengab lurus."Jawab jujur dari hatimu, apakah bagimu Kana adalah wanita yang pantas menerima cintamu?" Dahi Ivander langsung mengernyit. "Cinta? Cinta apa? Jangan bercanda, Iola. Di hidupku mana ada yang namanya "Cinta". Kamu sangat tahu itu," kekeh Ivand
"Jadi selama ini kalian hanya menikah kontrak?" Iola langsung berdiri begitu mendengar semua penjelasan Ivander tentang pernikahan mereka. Sementara Shein masih duduk tercengang dan sibuk dengan pikirannya sendiri."Ya. Itulah kenyataannya," jawab Ivander santai seolah tidak ada beban. Apa akan baik-baik saja jika Iola dan Shein diberitahu begini? Kana hanya bisa menghela napas.Iola kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa."Kalian gila! Tidak, kamu gila, Ivander!" tukas Iola. Ivander malah terkekeh."Bukankah kamu sudah tahu kalau aku ini gila," jawab Ivander malah geli sendiri. "Tapi ... kamu keteraluan, Ivander!" Shein mulai angkat bicara, membuat atensi Ivander beralih padanya."Kamu menjadikan Kana tameng dari Jenni! Kamu tahu sendiri, 'kan kalau melawan Jenni, maka Kana akan dalam bahaya!" tekan Shein. Ivander malah tersenyum seraya merangkul Kana yang duduk dengan tegang di sampingnya."Tenang. 'Kan ada aku. Aku yang akan melindunginya. Iya, 'kan, Sayang?" Kana terhenyak da
Kana terbangun duluan. Ternyata dia masih berada di dalam dekapan Ivander. Sampai akhirnya, setelah Kana puas menangis, mereka bercinta lagi. Kini, mereka berdua sama-sama tidak mengenakan sehelai benang pun dan hanya mendekap satu sama lain di bawah selimut agar tidak kedinginan. Kana paling suka saat-saat seperti ini, ketika Ivander masih terlelap dan dia bisa bebas memandangi wajah polos pria ini. Jari-jari kecilnya mulai menyentuh tiap inchi wajah tampan Ivander. Hal lain yang paling menyenangkan, adalah pria ini tidak akan protes karena masih terlelap. "Kenapa tidak cium saja, Sayang ...." Tiba-tiba Ivander bersuara, membuat Kana terhenyak. Wanita itu langsung terduduk sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. "Uhm, ma-maaf. Kalau begitu, aku pak—Ah!" Ivander malah menarik tubuh Kana hingga wanita itu kembali berakhir dalam dekapannya. "Siapa yang mengizinkanmu pergi, hm?" goda Ivander kemudian menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kana. "I-ivander ... geli," pro
Sudah berjam-jam berlalu saat Ivander memutuskan untuk tidur, tetapi tubuhnya tetap tak merasa nyaman. Sejak tadi, dia hanya bisa mengubah-ubah posisi tidurnya, tetapi matanya tidak mau terpejam. Jantungnya terus berdebar dan kepalanya terus berpikir. Sebuah pertanyaan di benaknya sampai sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan. Apa yang membuat Ivander terus merasa tidak tenang dari tadi semenjak Kana meninggalkannya sendirian?"Arrgh!" Ivander muak! Dia langsung terduduk sambil mengacak-acak rambutnya yang selalu ia sisir rapih sebelum tidur. "Sebenarnya apa yang wanita itu lakukan padaku?" geram Ivander seraya memandang ke arah lemari yang menghubungkan kamar mereka. Pria itu sempat terdiam cukup lama. Kira-kira, apakah Kana sudah tidur? Pakaian tidur apa yang dia kenakan? Bagaimana gaya tidurnya? Apakah dia mengenakan selimut? Jangan-jangan dia kedinginan? Tunggu, kenapa Ivander berpikir sejauh itu?Ivander kembali mengacak-acak rambutnya sambil
Akhirnya mereka selesai dan kini berada di dalam mobil menuju rumah. Pada akhirnya, mereka melakukannya sampai tiga ronde dan ronde terakhir adalah yang paling gila karena Kana melakukannya di atas Ivander dan pria itu membiarkannya mendominasi. Padahal jika dilihat dari karakter pria angkuh ini, dia tidak suka jika orang lain mendominasinya. Namun mereka berdua tetap sama-sama menikmatinya. Kana tersenyum tiap memikirkan apa yang mereka berdua lakukan tadi. Mereka sudah sama-sama kehilangan akal. Namun senyum Kana sirna. Tiga kali mereka melakukannya, tiga kali juga Ivander memberikan harta berharganya pada Kana dan menyimpannya di perut ini. "Apakah aku akan hamil?" gumam Kana. Dia tidak boleh hamil anak Ivander! Jika sampai hamil, maka, hubungannya dengan Ivander akan semakin rumit. Kana kemudian memandang wajah plos Ivander yang tengah tertidur yang sejak tadi. Apakah bercinta membuatnya kelelahan? Namun, itu tidak masalah, jika pria ini tertidur, Kana bisa bebas memandanginya h
"Me-melakukan apa?" Kana mulai was-was, tetapi sesuatu di bawah sana mulai menyentuh bagian bawah tubuhnya, seolah berusaha memancing gejolak yang sejak tadi Kana tahan. Kana harus segera pergi dari sini. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan gejolak tersebut. Dia hendak melepaskan diri, tetapi Ivander menarik pipinya hingga wajah Kana berhadapan dengan wajah Ivander. Pria itu menatapnya lamat-lamat. "Aku selalu ingin melakukan ini denganmu, Kana. Hanya denganmu," ungkapnya dengan suara yang rendah. "Ivander ...." Pria itu tersenyum seraya memandang setiap inchi wajah Kana. "Aku merindukanmu, Kana. Sangat merindukanmu," ungkap Ivander tanpa melepas pandangannya pada Kana. Sontak Kana tertegun. "Me-merindukanku?" Itu adalah ucapan paling mustahil dari mulut Ivander. "Ke-kenapa?" Kana bingung. Apakah ini nyata? Ivander merindukannya? Ivander malah menarik tubuh Kana ke dalam dekapannya. Dia mulai membelai punggung Kana dengan lembut, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Ka
Kana berendam di dalam jacuzi setelah menjalani beberapa perawatan. Meskipun kali ini dia datang ke spa bersama Ivander, tetap saja dia menjalani semua perawatannya sendirian. Kana menghela napas sambil memainkan air, sesungguhnya, hati kecil Kana masih ingin memandangi wajah pria angkuh itu. Namun, Kana bisa berharap apa? Ah, kenapa akhir-akhir ini Kana jadi serakah? Dia sendiri yang memutuskan untuk memasang benteng besar di antara dirinya dan Ivander. Toh, dunia mereka berbeda, sehingga tidak mungkin ada jalan untuk bersama. Tunggu? Kana berpikir apa barusan? Sejak kapan dia mau hidup bersama pria kejam dan angkuh itu? Dia mau bunuh diri? Kana menggelengkan kepalanya, dia langsung melirik ke arah kotak yang berisi beberapa botol sabun warna-warni. Kana pun memilih sabun dengan berbagai aroma di sana. Sudah cukup lama dia menikmati air hangat yang mampu membuat tubuhnya rileks. Percikan-percikan air di jacuzi pun mampu memijat tubuhnya yang terasa lelah. Minggu ini adalah minggu ya
Iola berjalan masuk ke Paragon Sport Center yang terlihat sepi, padahal hari ini adalah akhir minggu. Tidak salah lagi, satu-satunya Pewaris Suralaya—Shein White Serafim pasti sedang menyewa tempat ini sendirian. Iola hapal betul tingkah tunangannya itu yang suka menyendiri jika ada sebuah masalah yang sulit ia hadapi. Dahulu, pria ini selalu duduk sendirian di perpustakaan pribadi rumahnya, tetapi akhir-akhir ini dia selalu memanfaatkan fasilitas milik korporasinya untuk kepentingan pribadi.Iola masuk ke kolam renang indoor setelah tidak menemukan tunangannya itu di lapangan basket, tennis, bulu tangkis, dan futsal. Belum sempat kakinya masuk ke kolam renang indoor itu, sudah terdengar bunyi percikan air. Itu pasti Shein. Iola pun masuk dengan percaya diri dan matanya langsung bisa menangkap sosok Shein yang memiliki rambut hitam pekat dan kulit putih bening sedang berenang dengan gaya kupu-kupu di kolam renang. Iola menghampiri sisi kolam renang dimana Shein ak