Kana tertegun. Dia mengusap telinganya kemudian kembali menatap lurus ke arah Shein yang kini memasang wajah serius.
"Gak bisa?" ulang Kana yang langsung dijawab oleh anggukan kepala Shein."Aku gak bisa pura-pura gak tahu soal kesulitan kamu di sisi Ivander. Belum lagi, Iola yang selalu berusaha mojokin kamu," beber Shein.Dahi Kana mengernyit."Tapi kenapa, Shein?" bingung Kana. Wanita itu pun menarik napas dalam-dalam."Asal kamu tahu, Shein, kamu yang berusaha akrab sama aku, justru akan mempersulit keadaanku di rumah Ivander. Terutama di hadapan Iola. Kamu sadar, gak, sih?" Tiba-tiba suara Kana meninggi. Namun Shein tetap kukuh menatap lurus ke arah Kana."Jangan bohongin diri kamu sendiri, Kana," tutur Shein yang membuat Kana tertegun. Seketika jantungnya berdebar."Kamu juga ngerasain apa yang aku rasain, 'kan?" lirih Shein.Dahi Kana mengernyit."Apa maksud kamu, Shein?" dingin Kana."Ivander! Lepaskan aku! Kenapa kamu malah membiarkan Shein dan Kana bicara berdua?" cicit Iola sambil menoleh ke arah dalam kamar Shein, tetapi Ivander langsung menutup pintunya. "Katamu, Shein seperti itu karena Kana, 'kan?" ujar Ivander. "Iya! Gara-gara Kana, Shein jadi jatuh dari tangga!" ujar Iola membenarkan. "Maka dari itu, biarkan mereka bicara," cetus Ivander yang semakin membuat Iola naik darah. "Ivander!" geram Iola, sayang, ia tidak bisa teriak-teriak karena ini di rumah sakit. Wanita berambut pirang itu langsung mendekat pada Ivander. "Aku tidak mengerti jalan pikirmu! Jika kamu membiarkan Kana dan Shein berduaan, bisa saja Kana melakukan hal buruk pada Shein!" "Oh, iya?" tantang Ivander sambil melempar tatapan dingin pada adiknya sendiri. "Ya! Apakah kejadian ini tak cukup membuktikan bahwa istri gelandanganmu itu bisa menghancurkan kita satu per satu! Dia pasti menikahimu juga tergiur dengan hartamu,
Lidah Kana kelu. Dia menatap Ivander dengan bola mata bergetar. Sontak, Ivander mencengkram kedua lengab Kana dan mengguncang tubuh wanita yang lebih mungil darinya itu. "Kenapa? Kamu juga tidak bisa menceritakannya?" tekan Ivander. Dahi Kana mengernyit. Siapa lagi yang tidak bisa menjawab pertanyaan Ivander tadi? Kana bergumam."A-aku ... aku—""Apa?" serobot Ivander yang mengguncang tubuh Kana lagi hingga membuat Kana memejamkan matanya erat-erat. Tubuh wanita itu bergetar hebat sampai tabpa sadar dia malah meloloskan sebuah bulir bening dari sudut matanya. "Sial! Aku tidak butuh air matamu!" sarkas Ivander yang langsung melepaskan cengkramannya. Kana langsung memeluk tubuhnya sendiri sambil duduk memojok. Dia terisak dengan napas yang tersendat-sendat. Ivander benar-benar kesal mendengarnya."Apa kamu tidak bisa melakukan sesuatu selain menangis?" sinis Ivander yang membuang mukanya. "A-aku ... aku—" Suara Kana malah m
Ivander membeku saat membaca pesan tersebut. Namun kemudian dia malah tersenyum. "Jadi dia menantangku, huh?" gumam Ivander. "Ivander?" tegur Kana yang tiba-tiba ada di belakang Ivander. Pria tampan itu pun memutar tubuhnya tanpa menghapus senyum angkuhnya."Ada apa, Kana?" tanya Ivander. Kana memandang Ivander dari atas kepala hingga kaki."Uhm, apa ada masalah? Ada barang yang kelupaan?" tanya Kana. Namun Ivander menggeleng seraya menghampiri Kana. Pria itu malah mengelus pipi Kana lembut, membuat Kana melotot sambil was-was dengan gerak-gerik tangan Ivander. "Tidak, Sayang ...." ucap Ivander lembut, tetapi tatapannya langsung berubah jadi serius. "Sepertinya kita akan ubah strategi," umbar Ivander. Dahi Kana mengernyit."Ubah strategi? Maksudnya?" Ivander kembali tersenyum sambil menatap Kana dan membelai rambutnya dengan lembut. "Nanti kita bicarakan detailnya saat aku pulang, oke? Karena aku sudah terlambat, Sayang," ucap Ivander lembut sambil menarik kepala Kana kemudian
"Jenni!" seru Iola berlari menghampiri wanita yang selalu ia harapkan menjadi kakak iparnya. Jenni langsung membentangkan kedua tangannya dan Iola memeluk wanita bermabut kemerahan itu. "Ternyata kamu datang lebih cepat!" girang Iola sambil melepaskan pelukannya. Jenni tersenyum. "Kamu kenapa ada di rumah Ayah, Iola?" tanya Jenni yang juga menyebut Reynold Harvey dengan sebutan "Ayah". Iola langsung menggembungkan pipinya. "Ini semua karena Ivander. Aku sedang dikurung. Dan Ayah menyetujuinya!" gerutu Iola."Dikurung? Ini, 'kan di rumahmu sendiri," kekeh Jenni. Iola menggeleng."Ya, tapi apa artinya jika tidak memegang ponsel, tiak boleh keluar dan tidak boleh ada satu pun yang menemuiku. Bahkan Shein juga dilarang menemuiku!" adu Iola. "Tidak boleh ada yang menemuimu? Tapi aku sedang menemuimu, 'kan, Darling?" Iola mengangguk sambil cemberut."Itu kompensasi Ayah karena aku bersikap baik akhir-akhir ini. Entah sampai kapan aku akan dikurung begini. Aku bahkan tidak yakin bisa
Kana menarik napas panjang begitu sampai di lobby salah satu hotel milik Ivander, Suralaya Hotel. Ivandee bilang, hotel ini adalah salah satu hotel bintang lima miliknya yang memiliki banyak fasilitas. Dia juga bekerja sama dengan beberapa perusahaan perawatan kecantikan, restoran dan fitness bahkan departemen store. Di sinilah Ivander menyuruh Kana untuk melakukan perawatan diri. Barusan, dia dijemput oleh supir khusus dari perusahaan Ivander. Tugasnya hanyalah melakukan serangkaian perawatan yang Ivander pesan setelah itu pulang. Kana pun pergi ke meja resepsionis. "Ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas resepsionis begitu ramah membuat hati Kana tersentuh. Rasanya setelah sekian lama.menerima cibiran selama tinggal di rumah Ivander, akhirnya ada juga orang yang berucap ramah dan menenangkan seperti resepsionis hotel ini. "Uhm, saya mau ambil reservasi di Juita spa," ujar Kana langsung menunjukkan bukti reservasinya. Petugas resepsionis itu langsung bisa membaca bahwa reservasi
"Baik, rapat hari ini selesai!" ucap Ivander menutup rapat dengan para manajer hotel. Tepat setelah semua orang bubar, sekretaris Ivander langsung mendatangi Ivander dan berbisik padanya."Tuan Ivander, supir yang bertanggungjawab untuk mengantar-jemput Nyonya Kana menanyakan jadwal Nyonya Kana. Karena sampai sekarang, Nyonya Kana masih belum terlihat keluar hotel." Dahi Ivander mengernyit sambil memeriksa jam tangannya."Harusnya dia sudah selesai. Lantas, dia ke mana?" Perasaan Ivander langsung tidak enak. 'Jangan-jangan dia menggunakan kesempatan ini untuk kabur!' duga Ivander dalam hati. Bagaimana tidak? Selama ini Kana diisolasi bahkan dari alat komunikasi untuk mencegah wanita itu melanggar kontrak. Keluarganya memang sudah memutuskan hubungan, tetapi siapa yang tahu kalau Kana punya hubungan dekat dengan orang lain."Kalau begitu, kita ke ruang CCTV! Kita periksa, ke mana wanita itu pergi!" ***Kana diam-diam mengambil ancang-ancang, jelas ia tidak kenal pria kekar berkulit e
'Sayangku, semakin besar penolakanmu, justru membuat gairahku semakin meningkat!' "Tidak! Tidak!" Dahi Kana mengerut, membuat atensi Ivander beralih padanya. "JANGAN!" Kana berteriak sampai terduduk, membuat Ivander yang sedang membuat minuman hangat tertegun. "Cih? Jangan?" cibir Ivander seraya menghampiri Kana. Pria itu memberikan segelas minuman hangat untuk wanita itu. Sontak Kana menoleh ke arah pria itu. Seketika senyum lega Kana terbit. "Ivander ...." lirihnya menyebut nama suaminya. "Minum!" titah Ivander sambil memandang jijik ke arah Kana.Kana pun mengambil gelas yang ada di tangan Ivander. Gelasnya hangat. Kana pun mencium aromanya kemudian mencicipi minuman hangat berwarna cokelat itu. Rasanya agak pahit dan teksturnya agak berat, tetapi bisa membuat Kana lebih tenang. "Minuman apa ini?" tanya Kana yang wajah pucatnya mulai memudar seraya memandang sekelilingnya. Ini jelas bukan di rumah Ivander. "Dan
Ivander mempercepat langkahnya begitu dia sampai di sebuah bangunan tua di pinggir kota. Di belakangnya, ia diikuti oleh seorang pria berseragam khusus yang sejak dia tiba tadi sudah menyambutnya."Apakah dia sudah membuka mulutnya?" tanya Ivander pada pria tersebut. "Lapor! Masih belum, Tuan! Dia kukuh menutup mulutnya!" lapor pria tersebut. Ivander tersenyum miring."Begitu?" gumam Ivander. "Kalau begitu, tunjukkan jalannya padaku, di mana dia berada sekarang!" perintah Ivander. "Siap, Tuan! Sebelah sini!" ujar pria tersebut memimpin jalan. Belum jauh Ivander masuk ke dalam gedung tua itu, ia sudah bisa mendengar jeritan yang penuh dengan rasa derita dari tempatnya berdiri. Namun, pria itu malah tersenyum. "Sudah suruh dia minum semen panas?" tanya Ivander. "Belum, Tuan. Kami baru memukulnya dengan besi yang dibakar," lapor pria berseragam itu. "Begitu? Biar aku yang bertanya padanya, jika