Lidah Kana kelu. Dia menatap Ivander dengan bola mata bergetar. Sontak, Ivander mencengkram kedua lengab Kana dan mengguncang tubuh wanita yang lebih mungil darinya itu.
"Kenapa? Kamu juga tidak bisa menceritakannya?" tekan Ivander.Dahi Kana mengernyit. Siapa lagi yang tidak bisa menjawab pertanyaan Ivander tadi? Kana bergumam."A-aku ... aku—""Apa?" serobot Ivander yang mengguncang tubuh Kana lagi hingga membuat Kana memejamkan matanya erat-erat. Tubuh wanita itu bergetar hebat sampai tabpa sadar dia malah meloloskan sebuah bulir bening dari sudut matanya."Sial! Aku tidak butuh air matamu!" sarkas Ivander yang langsung melepaskan cengkramannya. Kana langsung memeluk tubuhnya sendiri sambil duduk memojok. Dia terisak dengan napas yang tersendat-sendat. Ivander benar-benar kesal mendengarnya."Apa kamu tidak bisa melakukan sesuatu selain menangis?" sinis Ivander yang membuang mukanya."A-aku ... aku—" Suara Kana malah mIvander membeku saat membaca pesan tersebut. Namun kemudian dia malah tersenyum. "Jadi dia menantangku, huh?" gumam Ivander. "Ivander?" tegur Kana yang tiba-tiba ada di belakang Ivander. Pria tampan itu pun memutar tubuhnya tanpa menghapus senyum angkuhnya."Ada apa, Kana?" tanya Ivander. Kana memandang Ivander dari atas kepala hingga kaki."Uhm, apa ada masalah? Ada barang yang kelupaan?" tanya Kana. Namun Ivander menggeleng seraya menghampiri Kana. Pria itu malah mengelus pipi Kana lembut, membuat Kana melotot sambil was-was dengan gerak-gerik tangan Ivander. "Tidak, Sayang ...." ucap Ivander lembut, tetapi tatapannya langsung berubah jadi serius. "Sepertinya kita akan ubah strategi," umbar Ivander. Dahi Kana mengernyit."Ubah strategi? Maksudnya?" Ivander kembali tersenyum sambil menatap Kana dan membelai rambutnya dengan lembut. "Nanti kita bicarakan detailnya saat aku pulang, oke? Karena aku sudah terlambat, Sayang," ucap Ivander lembut sambil menarik kepala Kana kemudian
"Jenni!" seru Iola berlari menghampiri wanita yang selalu ia harapkan menjadi kakak iparnya. Jenni langsung membentangkan kedua tangannya dan Iola memeluk wanita bermabut kemerahan itu. "Ternyata kamu datang lebih cepat!" girang Iola sambil melepaskan pelukannya. Jenni tersenyum. "Kamu kenapa ada di rumah Ayah, Iola?" tanya Jenni yang juga menyebut Reynold Harvey dengan sebutan "Ayah". Iola langsung menggembungkan pipinya. "Ini semua karena Ivander. Aku sedang dikurung. Dan Ayah menyetujuinya!" gerutu Iola."Dikurung? Ini, 'kan di rumahmu sendiri," kekeh Jenni. Iola menggeleng."Ya, tapi apa artinya jika tidak memegang ponsel, tiak boleh keluar dan tidak boleh ada satu pun yang menemuiku. Bahkan Shein juga dilarang menemuiku!" adu Iola. "Tidak boleh ada yang menemuimu? Tapi aku sedang menemuimu, 'kan, Darling?" Iola mengangguk sambil cemberut."Itu kompensasi Ayah karena aku bersikap baik akhir-akhir ini. Entah sampai kapan aku akan dikurung begini. Aku bahkan tidak yakin bisa
Kana menarik napas panjang begitu sampai di lobby salah satu hotel milik Ivander, Suralaya Hotel. Ivandee bilang, hotel ini adalah salah satu hotel bintang lima miliknya yang memiliki banyak fasilitas. Dia juga bekerja sama dengan beberapa perusahaan perawatan kecantikan, restoran dan fitness bahkan departemen store. Di sinilah Ivander menyuruh Kana untuk melakukan perawatan diri. Barusan, dia dijemput oleh supir khusus dari perusahaan Ivander. Tugasnya hanyalah melakukan serangkaian perawatan yang Ivander pesan setelah itu pulang. Kana pun pergi ke meja resepsionis. "Ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas resepsionis begitu ramah membuat hati Kana tersentuh. Rasanya setelah sekian lama.menerima cibiran selama tinggal di rumah Ivander, akhirnya ada juga orang yang berucap ramah dan menenangkan seperti resepsionis hotel ini. "Uhm, saya mau ambil reservasi di Juita spa," ujar Kana langsung menunjukkan bukti reservasinya. Petugas resepsionis itu langsung bisa membaca bahwa reservasi
"Baik, rapat hari ini selesai!" ucap Ivander menutup rapat dengan para manajer hotel. Tepat setelah semua orang bubar, sekretaris Ivander langsung mendatangi Ivander dan berbisik padanya."Tuan Ivander, supir yang bertanggungjawab untuk mengantar-jemput Nyonya Kana menanyakan jadwal Nyonya Kana. Karena sampai sekarang, Nyonya Kana masih belum terlihat keluar hotel." Dahi Ivander mengernyit sambil memeriksa jam tangannya."Harusnya dia sudah selesai. Lantas, dia ke mana?" Perasaan Ivander langsung tidak enak. 'Jangan-jangan dia menggunakan kesempatan ini untuk kabur!' duga Ivander dalam hati. Bagaimana tidak? Selama ini Kana diisolasi bahkan dari alat komunikasi untuk mencegah wanita itu melanggar kontrak. Keluarganya memang sudah memutuskan hubungan, tetapi siapa yang tahu kalau Kana punya hubungan dekat dengan orang lain."Kalau begitu, kita ke ruang CCTV! Kita periksa, ke mana wanita itu pergi!" ***Kana diam-diam mengambil ancang-ancang, jelas ia tidak kenal pria kekar berkulit e
'Sayangku, semakin besar penolakanmu, justru membuat gairahku semakin meningkat!' "Tidak! Tidak!" Dahi Kana mengerut, membuat atensi Ivander beralih padanya. "JANGAN!" Kana berteriak sampai terduduk, membuat Ivander yang sedang membuat minuman hangat tertegun. "Cih? Jangan?" cibir Ivander seraya menghampiri Kana. Pria itu memberikan segelas minuman hangat untuk wanita itu. Sontak Kana menoleh ke arah pria itu. Seketika senyum lega Kana terbit. "Ivander ...." lirihnya menyebut nama suaminya. "Minum!" titah Ivander sambil memandang jijik ke arah Kana.Kana pun mengambil gelas yang ada di tangan Ivander. Gelasnya hangat. Kana pun mencium aromanya kemudian mencicipi minuman hangat berwarna cokelat itu. Rasanya agak pahit dan teksturnya agak berat, tetapi bisa membuat Kana lebih tenang. "Minuman apa ini?" tanya Kana yang wajah pucatnya mulai memudar seraya memandang sekelilingnya. Ini jelas bukan di rumah Ivander. "Dan
Ivander mempercepat langkahnya begitu dia sampai di sebuah bangunan tua di pinggir kota. Di belakangnya, ia diikuti oleh seorang pria berseragam khusus yang sejak dia tiba tadi sudah menyambutnya."Apakah dia sudah membuka mulutnya?" tanya Ivander pada pria tersebut. "Lapor! Masih belum, Tuan! Dia kukuh menutup mulutnya!" lapor pria tersebut. Ivander tersenyum miring."Begitu?" gumam Ivander. "Kalau begitu, tunjukkan jalannya padaku, di mana dia berada sekarang!" perintah Ivander. "Siap, Tuan! Sebelah sini!" ujar pria tersebut memimpin jalan. Belum jauh Ivander masuk ke dalam gedung tua itu, ia sudah bisa mendengar jeritan yang penuh dengan rasa derita dari tempatnya berdiri. Namun, pria itu malah tersenyum. "Sudah suruh dia minum semen panas?" tanya Ivander. "Belum, Tuan. Kami baru memukulnya dengan besi yang dibakar," lapor pria berseragam itu. "Begitu? Biar aku yang bertanya padanya, jika
Kana menatap tajam ke arah Iola, membuat wanita berambut pirang itu geram. "Dasar! Berani-beraninya kami menatapku seperti itu!" pekik Iola yang langsung mendorong tubuh Kana hingga ia terjatuh begitu saja ke lantai. Mata Kana melebar seraya memandang bayangannya sendiri yang terpantul dari lantai marmer rumah ini. Lagi-lagi dia diperlakukan seperti ini! Kana mengepalkan tangannya. Apakah boleh jika dia membalasnya kali ini? Iola sama sekali tidak pernah menolong Kana, justru sebaliknya. Kana sama sekali tidak punya hutang budi pada adik iparnya ini, tidak seperti pada keluarga Pamannya ataupun Ivander. Kini dada Kana dipenuhi oleh gejolak emosi yang membara—yang siap melahap siapa saja. "Dasar wanita rendahan!" hardik Iola yang langsung menginjak punggung tangan Kana dengan sepatu wedgesnya."Aargh!" rintih Kana, seketika keberaniannya untuk melawan Iola kandas. "Rasakan ini! Kamu pikir, kamu bisa melawanku? Berani-beraninya kamu menanta
Ivander keluar dari kamar Kana. Tepat saat itu kakinya langsung terasa lemas dan tubuhnya hampir meluruh ke lantai, tetapi dia bisa menahan tubuhnnya. "Sial! Aku kenapa?" umpatnya pada diri sendiri yang akhirnya bersandar di dinding. Napasnya bahkan tidak beraturan sekarang. Dia merasa dadanya terasa sangat sesak.hingga sulit bernapas. Ivander pun memukul-mukul dadanya. "Ayolah, Ivander! Apa yang terjadi padamu?" kesalnya. Dia tidak pernah merasa begini sebelumnya. Jika ingin menyiksa orang, maka dia akan menyiksanya tanpa reaksi apapun setelahnya. Namun kenapa kali ini berbeda? Apa karena Kana? Sebelumnya, dia juga sudah menghukum Kana dan tidak terjadi apa-apa, tetapi kenapa sekarang jantungnya serasa diremas saat melihat bulir bening dari sudut mata wanita itu jatuh? Ivander memejamkan matanya sambil terduduk di lantai dan menyandarkan kepalanya di dinding. 'Aku bersalah. Aku tidak pantas lagi jadi wanita yang berperan sebagai istrimu ....'Ivander mendelik kesal, saat terngiang