"Ivander! Lepaskan aku! Kenapa kamu malah membiarkan Shein dan Kana bicara berdua?" cicit Iola sambil menoleh ke arah dalam kamar Shein, tetapi Ivander langsung menutup pintunya.
"Katamu, Shein seperti itu karena Kana, 'kan?" ujar Ivander."Iya! Gara-gara Kana, Shein jadi jatuh dari tangga!" ujar Iola membenarkan."Maka dari itu, biarkan mereka bicara," cetus Ivander yang semakin membuat Iola naik darah."Ivander!" geram Iola, sayang, ia tidak bisa teriak-teriak karena ini di rumah sakit. Wanita berambut pirang itu langsung mendekat pada Ivander."Aku tidak mengerti jalan pikirmu! Jika kamu membiarkan Kana dan Shein berduaan, bisa saja Kana melakukan hal buruk pada Shein!""Oh, iya?" tantang Ivander sambil melempar tatapan dingin pada adiknya sendiri."Ya! Apakah kejadian ini tak cukup membuktikan bahwa istri gelandanganmu itu bisa menghancurkan kita satu per satu! Dia pasti menikahimu juga tergiur dengan hartamu,Lidah Kana kelu. Dia menatap Ivander dengan bola mata bergetar. Sontak, Ivander mencengkram kedua lengab Kana dan mengguncang tubuh wanita yang lebih mungil darinya itu. "Kenapa? Kamu juga tidak bisa menceritakannya?" tekan Ivander. Dahi Kana mengernyit. Siapa lagi yang tidak bisa menjawab pertanyaan Ivander tadi? Kana bergumam."A-aku ... aku—""Apa?" serobot Ivander yang mengguncang tubuh Kana lagi hingga membuat Kana memejamkan matanya erat-erat. Tubuh wanita itu bergetar hebat sampai tabpa sadar dia malah meloloskan sebuah bulir bening dari sudut matanya. "Sial! Aku tidak butuh air matamu!" sarkas Ivander yang langsung melepaskan cengkramannya. Kana langsung memeluk tubuhnya sendiri sambil duduk memojok. Dia terisak dengan napas yang tersendat-sendat. Ivander benar-benar kesal mendengarnya."Apa kamu tidak bisa melakukan sesuatu selain menangis?" sinis Ivander yang membuang mukanya. "A-aku ... aku—" Suara Kana malah m
Ivander membeku saat membaca pesan tersebut. Namun kemudian dia malah tersenyum. "Jadi dia menantangku, huh?" gumam Ivander. "Ivander?" tegur Kana yang tiba-tiba ada di belakang Ivander. Pria tampan itu pun memutar tubuhnya tanpa menghapus senyum angkuhnya."Ada apa, Kana?" tanya Ivander. Kana memandang Ivander dari atas kepala hingga kaki."Uhm, apa ada masalah? Ada barang yang kelupaan?" tanya Kana. Namun Ivander menggeleng seraya menghampiri Kana. Pria itu malah mengelus pipi Kana lembut, membuat Kana melotot sambil was-was dengan gerak-gerik tangan Ivander. "Tidak, Sayang ...." ucap Ivander lembut, tetapi tatapannya langsung berubah jadi serius. "Sepertinya kita akan ubah strategi," umbar Ivander. Dahi Kana mengernyit."Ubah strategi? Maksudnya?" Ivander kembali tersenyum sambil menatap Kana dan membelai rambutnya dengan lembut. "Nanti kita bicarakan detailnya saat aku pulang, oke? Karena aku sudah terlambat, Sayang," ucap Ivander lembut sambil menarik kepala Kana kemudian
"Jenni!" seru Iola berlari menghampiri wanita yang selalu ia harapkan menjadi kakak iparnya. Jenni langsung membentangkan kedua tangannya dan Iola memeluk wanita bermabut kemerahan itu. "Ternyata kamu datang lebih cepat!" girang Iola sambil melepaskan pelukannya. Jenni tersenyum. "Kamu kenapa ada di rumah Ayah, Iola?" tanya Jenni yang juga menyebut Reynold Harvey dengan sebutan "Ayah". Iola langsung menggembungkan pipinya. "Ini semua karena Ivander. Aku sedang dikurung. Dan Ayah menyetujuinya!" gerutu Iola."Dikurung? Ini, 'kan di rumahmu sendiri," kekeh Jenni. Iola menggeleng."Ya, tapi apa artinya jika tidak memegang ponsel, tiak boleh keluar dan tidak boleh ada satu pun yang menemuiku. Bahkan Shein juga dilarang menemuiku!" adu Iola. "Tidak boleh ada yang menemuimu? Tapi aku sedang menemuimu, 'kan, Darling?" Iola mengangguk sambil cemberut."Itu kompensasi Ayah karena aku bersikap baik akhir-akhir ini. Entah sampai kapan aku akan dikurung begini. Aku bahkan tidak yakin bisa
Kana menarik napas panjang begitu sampai di lobby salah satu hotel milik Ivander, Suralaya Hotel. Ivandee bilang, hotel ini adalah salah satu hotel bintang lima miliknya yang memiliki banyak fasilitas. Dia juga bekerja sama dengan beberapa perusahaan perawatan kecantikan, restoran dan fitness bahkan departemen store. Di sinilah Ivander menyuruh Kana untuk melakukan perawatan diri. Barusan, dia dijemput oleh supir khusus dari perusahaan Ivander. Tugasnya hanyalah melakukan serangkaian perawatan yang Ivander pesan setelah itu pulang. Kana pun pergi ke meja resepsionis. "Ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas resepsionis begitu ramah membuat hati Kana tersentuh. Rasanya setelah sekian lama.menerima cibiran selama tinggal di rumah Ivander, akhirnya ada juga orang yang berucap ramah dan menenangkan seperti resepsionis hotel ini. "Uhm, saya mau ambil reservasi di Juita spa," ujar Kana langsung menunjukkan bukti reservasinya. Petugas resepsionis itu langsung bisa membaca bahwa reservasi
"Baik, rapat hari ini selesai!" ucap Ivander menutup rapat dengan para manajer hotel. Tepat setelah semua orang bubar, sekretaris Ivander langsung mendatangi Ivander dan berbisik padanya."Tuan Ivander, supir yang bertanggungjawab untuk mengantar-jemput Nyonya Kana menanyakan jadwal Nyonya Kana. Karena sampai sekarang, Nyonya Kana masih belum terlihat keluar hotel." Dahi Ivander mengernyit sambil memeriksa jam tangannya."Harusnya dia sudah selesai. Lantas, dia ke mana?" Perasaan Ivander langsung tidak enak. 'Jangan-jangan dia menggunakan kesempatan ini untuk kabur!' duga Ivander dalam hati. Bagaimana tidak? Selama ini Kana diisolasi bahkan dari alat komunikasi untuk mencegah wanita itu melanggar kontrak. Keluarganya memang sudah memutuskan hubungan, tetapi siapa yang tahu kalau Kana punya hubungan dekat dengan orang lain."Kalau begitu, kita ke ruang CCTV! Kita periksa, ke mana wanita itu pergi!" ***Kana diam-diam mengambil ancang-ancang, jelas ia tidak kenal pria kekar berkulit e
'Sayangku, semakin besar penolakanmu, justru membuat gairahku semakin meningkat!' "Tidak! Tidak!" Dahi Kana mengerut, membuat atensi Ivander beralih padanya. "JANGAN!" Kana berteriak sampai terduduk, membuat Ivander yang sedang membuat minuman hangat tertegun. "Cih? Jangan?" cibir Ivander seraya menghampiri Kana. Pria itu memberikan segelas minuman hangat untuk wanita itu. Sontak Kana menoleh ke arah pria itu. Seketika senyum lega Kana terbit. "Ivander ...." lirihnya menyebut nama suaminya. "Minum!" titah Ivander sambil memandang jijik ke arah Kana.Kana pun mengambil gelas yang ada di tangan Ivander. Gelasnya hangat. Kana pun mencium aromanya kemudian mencicipi minuman hangat berwarna cokelat itu. Rasanya agak pahit dan teksturnya agak berat, tetapi bisa membuat Kana lebih tenang. "Minuman apa ini?" tanya Kana yang wajah pucatnya mulai memudar seraya memandang sekelilingnya. Ini jelas bukan di rumah Ivander. "Dan
Ivander mempercepat langkahnya begitu dia sampai di sebuah bangunan tua di pinggir kota. Di belakangnya, ia diikuti oleh seorang pria berseragam khusus yang sejak dia tiba tadi sudah menyambutnya."Apakah dia sudah membuka mulutnya?" tanya Ivander pada pria tersebut. "Lapor! Masih belum, Tuan! Dia kukuh menutup mulutnya!" lapor pria tersebut. Ivander tersenyum miring."Begitu?" gumam Ivander. "Kalau begitu, tunjukkan jalannya padaku, di mana dia berada sekarang!" perintah Ivander. "Siap, Tuan! Sebelah sini!" ujar pria tersebut memimpin jalan. Belum jauh Ivander masuk ke dalam gedung tua itu, ia sudah bisa mendengar jeritan yang penuh dengan rasa derita dari tempatnya berdiri. Namun, pria itu malah tersenyum. "Sudah suruh dia minum semen panas?" tanya Ivander. "Belum, Tuan. Kami baru memukulnya dengan besi yang dibakar," lapor pria berseragam itu. "Begitu? Biar aku yang bertanya padanya, jika
Kana menatap tajam ke arah Iola, membuat wanita berambut pirang itu geram. "Dasar! Berani-beraninya kami menatapku seperti itu!" pekik Iola yang langsung mendorong tubuh Kana hingga ia terjatuh begitu saja ke lantai. Mata Kana melebar seraya memandang bayangannya sendiri yang terpantul dari lantai marmer rumah ini. Lagi-lagi dia diperlakukan seperti ini! Kana mengepalkan tangannya. Apakah boleh jika dia membalasnya kali ini? Iola sama sekali tidak pernah menolong Kana, justru sebaliknya. Kana sama sekali tidak punya hutang budi pada adik iparnya ini, tidak seperti pada keluarga Pamannya ataupun Ivander. Kini dada Kana dipenuhi oleh gejolak emosi yang membara—yang siap melahap siapa saja. "Dasar wanita rendahan!" hardik Iola yang langsung menginjak punggung tangan Kana dengan sepatu wedgesnya."Aargh!" rintih Kana, seketika keberaniannya untuk melawan Iola kandas. "Rasakan ini! Kamu pikir, kamu bisa melawanku? Berani-beraninya kamu menanta
Seketika sekujur tubuh Kana terasa lemas. Tubuhnya langsung meluruh ke lantai tepat ketika Ivander keluar dari kamarnya. Kini dia tidak bisa lagi mengeluarkan air mata, tetapi dadanya terasa sangat sesak hingga ia sulit bernapas. "Kenapa rasanya sangat sakit ...." pedih Kana dengan suara tercekat. Apakah dia mulai mengharapkan cinta Ivander? Apa itu tidak terlalu serakah? Kenapa Kana menginginkan hal yang mustahil terjadi? Sementara itu, Ivander langsung menyandarkan punggungnya ke dinding setelah menutup pintu kamar Kana. Dia memejamkan matanya erat-erat sambil mengepalkan tangan. Ivander menggemerutukkan giginya. Napasnya kini terasa sesak. Dadanya terasa sangat gusar. Dia ingin menangis, tetapi tidak bisa menangis. "Sial ...." umpatnya sambil melepas kepalan tangannya, tetapi sang tangan malah bergetar hebat. Sebenarnya Ivander kenapa? Apakah perasaan yang selama ini ia belenggu di lubuk hatinya yang terdalam mulai memberontak keluar? Tidak, Ivander tidak boleh membiarkan rasa
Ivander terkesiap mendengar ucapan Iola. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Kana adalah istri Ivander, itu memang benar adanya. Sekalipun ada kontrak pernikahan yang mereka tanda tangani, tetapi mereka melaksanakan pernikahan yang sah dan diakui negara. Apa salahnya jika Ivander menganggap Kana istrinya?"Kenapa kamu diam, Ivander?" tegur Shein yang menatapnya dengan nanar. Entah kenapa melihat ekspresi wajah Shein yang agak "shock" membuat jantung Ivander terasa diremas. Apakah ia berbuat kesalahan? Kenapa Shein menatapnya begitu, bahkan Iola yang menatapnya dengan tajam.Iola menghela napas. "Oke, sekarang aku tanya satu hal!" ucap Kana yang menarik atensi Ivander. "Apa itu?" tanya Ivander.Iola langsung menatapnya dengab lurus."Jawab jujur dari hatimu, apakah bagimu Kana adalah wanita yang pantas menerima cintamu?" Dahi Ivander langsung mengernyit. "Cinta? Cinta apa? Jangan bercanda, Iola. Di hidupku mana ada yang namanya "Cinta". Kamu sangat tahu itu," kekeh Ivand
"Jadi selama ini kalian hanya menikah kontrak?" Iola langsung berdiri begitu mendengar semua penjelasan Ivander tentang pernikahan mereka. Sementara Shein masih duduk tercengang dan sibuk dengan pikirannya sendiri."Ya. Itulah kenyataannya," jawab Ivander santai seolah tidak ada beban. Apa akan baik-baik saja jika Iola dan Shein diberitahu begini? Kana hanya bisa menghela napas.Iola kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa."Kalian gila! Tidak, kamu gila, Ivander!" tukas Iola. Ivander malah terkekeh."Bukankah kamu sudah tahu kalau aku ini gila," jawab Ivander malah geli sendiri. "Tapi ... kamu keteraluan, Ivander!" Shein mulai angkat bicara, membuat atensi Ivander beralih padanya."Kamu menjadikan Kana tameng dari Jenni! Kamu tahu sendiri, 'kan kalau melawan Jenni, maka Kana akan dalam bahaya!" tekan Shein. Ivander malah tersenyum seraya merangkul Kana yang duduk dengan tegang di sampingnya."Tenang. 'Kan ada aku. Aku yang akan melindunginya. Iya, 'kan, Sayang?" Kana terhenyak da
Kana terbangun duluan. Ternyata dia masih berada di dalam dekapan Ivander. Sampai akhirnya, setelah Kana puas menangis, mereka bercinta lagi. Kini, mereka berdua sama-sama tidak mengenakan sehelai benang pun dan hanya mendekap satu sama lain di bawah selimut agar tidak kedinginan. Kana paling suka saat-saat seperti ini, ketika Ivander masih terlelap dan dia bisa bebas memandangi wajah polos pria ini. Jari-jari kecilnya mulai menyentuh tiap inchi wajah tampan Ivander. Hal lain yang paling menyenangkan, adalah pria ini tidak akan protes karena masih terlelap. "Kenapa tidak cium saja, Sayang ...." Tiba-tiba Ivander bersuara, membuat Kana terhenyak. Wanita itu langsung terduduk sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. "Uhm, ma-maaf. Kalau begitu, aku pak—Ah!" Ivander malah menarik tubuh Kana hingga wanita itu kembali berakhir dalam dekapannya. "Siapa yang mengizinkanmu pergi, hm?" goda Ivander kemudian menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kana. "I-ivander ... geli," pro
Sudah berjam-jam berlalu saat Ivander memutuskan untuk tidur, tetapi tubuhnya tetap tak merasa nyaman. Sejak tadi, dia hanya bisa mengubah-ubah posisi tidurnya, tetapi matanya tidak mau terpejam. Jantungnya terus berdebar dan kepalanya terus berpikir. Sebuah pertanyaan di benaknya sampai sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan. Apa yang membuat Ivander terus merasa tidak tenang dari tadi semenjak Kana meninggalkannya sendirian?"Arrgh!" Ivander muak! Dia langsung terduduk sambil mengacak-acak rambutnya yang selalu ia sisir rapih sebelum tidur. "Sebenarnya apa yang wanita itu lakukan padaku?" geram Ivander seraya memandang ke arah lemari yang menghubungkan kamar mereka. Pria itu sempat terdiam cukup lama. Kira-kira, apakah Kana sudah tidur? Pakaian tidur apa yang dia kenakan? Bagaimana gaya tidurnya? Apakah dia mengenakan selimut? Jangan-jangan dia kedinginan? Tunggu, kenapa Ivander berpikir sejauh itu?Ivander kembali mengacak-acak rambutnya sambil
Akhirnya mereka selesai dan kini berada di dalam mobil menuju rumah. Pada akhirnya, mereka melakukannya sampai tiga ronde dan ronde terakhir adalah yang paling gila karena Kana melakukannya di atas Ivander dan pria itu membiarkannya mendominasi. Padahal jika dilihat dari karakter pria angkuh ini, dia tidak suka jika orang lain mendominasinya. Namun mereka berdua tetap sama-sama menikmatinya. Kana tersenyum tiap memikirkan apa yang mereka berdua lakukan tadi. Mereka sudah sama-sama kehilangan akal. Namun senyum Kana sirna. Tiga kali mereka melakukannya, tiga kali juga Ivander memberikan harta berharganya pada Kana dan menyimpannya di perut ini. "Apakah aku akan hamil?" gumam Kana. Dia tidak boleh hamil anak Ivander! Jika sampai hamil, maka, hubungannya dengan Ivander akan semakin rumit. Kana kemudian memandang wajah plos Ivander yang tengah tertidur yang sejak tadi. Apakah bercinta membuatnya kelelahan? Namun, itu tidak masalah, jika pria ini tertidur, Kana bisa bebas memandanginya h
"Me-melakukan apa?" Kana mulai was-was, tetapi sesuatu di bawah sana mulai menyentuh bagian bawah tubuhnya, seolah berusaha memancing gejolak yang sejak tadi Kana tahan. Kana harus segera pergi dari sini. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan gejolak tersebut. Dia hendak melepaskan diri, tetapi Ivander menarik pipinya hingga wajah Kana berhadapan dengan wajah Ivander. Pria itu menatapnya lamat-lamat. "Aku selalu ingin melakukan ini denganmu, Kana. Hanya denganmu," ungkapnya dengan suara yang rendah. "Ivander ...." Pria itu tersenyum seraya memandang setiap inchi wajah Kana. "Aku merindukanmu, Kana. Sangat merindukanmu," ungkap Ivander tanpa melepas pandangannya pada Kana. Sontak Kana tertegun. "Me-merindukanku?" Itu adalah ucapan paling mustahil dari mulut Ivander. "Ke-kenapa?" Kana bingung. Apakah ini nyata? Ivander merindukannya? Ivander malah menarik tubuh Kana ke dalam dekapannya. Dia mulai membelai punggung Kana dengan lembut, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Ka
Kana berendam di dalam jacuzi setelah menjalani beberapa perawatan. Meskipun kali ini dia datang ke spa bersama Ivander, tetap saja dia menjalani semua perawatannya sendirian. Kana menghela napas sambil memainkan air, sesungguhnya, hati kecil Kana masih ingin memandangi wajah pria angkuh itu. Namun, Kana bisa berharap apa? Ah, kenapa akhir-akhir ini Kana jadi serakah? Dia sendiri yang memutuskan untuk memasang benteng besar di antara dirinya dan Ivander. Toh, dunia mereka berbeda, sehingga tidak mungkin ada jalan untuk bersama. Tunggu? Kana berpikir apa barusan? Sejak kapan dia mau hidup bersama pria kejam dan angkuh itu? Dia mau bunuh diri? Kana menggelengkan kepalanya, dia langsung melirik ke arah kotak yang berisi beberapa botol sabun warna-warni. Kana pun memilih sabun dengan berbagai aroma di sana. Sudah cukup lama dia menikmati air hangat yang mampu membuat tubuhnya rileks. Percikan-percikan air di jacuzi pun mampu memijat tubuhnya yang terasa lelah. Minggu ini adalah minggu ya
Iola berjalan masuk ke Paragon Sport Center yang terlihat sepi, padahal hari ini adalah akhir minggu. Tidak salah lagi, satu-satunya Pewaris Suralaya—Shein White Serafim pasti sedang menyewa tempat ini sendirian. Iola hapal betul tingkah tunangannya itu yang suka menyendiri jika ada sebuah masalah yang sulit ia hadapi. Dahulu, pria ini selalu duduk sendirian di perpustakaan pribadi rumahnya, tetapi akhir-akhir ini dia selalu memanfaatkan fasilitas milik korporasinya untuk kepentingan pribadi.Iola masuk ke kolam renang indoor setelah tidak menemukan tunangannya itu di lapangan basket, tennis, bulu tangkis, dan futsal. Belum sempat kakinya masuk ke kolam renang indoor itu, sudah terdengar bunyi percikan air. Itu pasti Shein. Iola pun masuk dengan percaya diri dan matanya langsung bisa menangkap sosok Shein yang memiliki rambut hitam pekat dan kulit putih bening sedang berenang dengan gaya kupu-kupu di kolam renang. Iola menghampiri sisi kolam renang dimana Shein ak