"Baik, rapat hari ini selesai!" ucap Ivander menutup rapat dengan para manajer hotel. Tepat setelah semua orang bubar, sekretaris Ivander langsung mendatangi Ivander dan berbisik padanya."Tuan Ivander, supir yang bertanggungjawab untuk mengantar-jemput Nyonya Kana menanyakan jadwal Nyonya Kana. Karena sampai sekarang, Nyonya Kana masih belum terlihat keluar hotel." Dahi Ivander mengernyit sambil memeriksa jam tangannya."Harusnya dia sudah selesai. Lantas, dia ke mana?" Perasaan Ivander langsung tidak enak. 'Jangan-jangan dia menggunakan kesempatan ini untuk kabur!' duga Ivander dalam hati. Bagaimana tidak? Selama ini Kana diisolasi bahkan dari alat komunikasi untuk mencegah wanita itu melanggar kontrak. Keluarganya memang sudah memutuskan hubungan, tetapi siapa yang tahu kalau Kana punya hubungan dekat dengan orang lain."Kalau begitu, kita ke ruang CCTV! Kita periksa, ke mana wanita itu pergi!" ***Kana diam-diam mengambil ancang-ancang, jelas ia tidak kenal pria kekar berkulit e
'Sayangku, semakin besar penolakanmu, justru membuat gairahku semakin meningkat!' "Tidak! Tidak!" Dahi Kana mengerut, membuat atensi Ivander beralih padanya. "JANGAN!" Kana berteriak sampai terduduk, membuat Ivander yang sedang membuat minuman hangat tertegun. "Cih? Jangan?" cibir Ivander seraya menghampiri Kana. Pria itu memberikan segelas minuman hangat untuk wanita itu. Sontak Kana menoleh ke arah pria itu. Seketika senyum lega Kana terbit. "Ivander ...." lirihnya menyebut nama suaminya. "Minum!" titah Ivander sambil memandang jijik ke arah Kana.Kana pun mengambil gelas yang ada di tangan Ivander. Gelasnya hangat. Kana pun mencium aromanya kemudian mencicipi minuman hangat berwarna cokelat itu. Rasanya agak pahit dan teksturnya agak berat, tetapi bisa membuat Kana lebih tenang. "Minuman apa ini?" tanya Kana yang wajah pucatnya mulai memudar seraya memandang sekelilingnya. Ini jelas bukan di rumah Ivander. "Dan
Ivander mempercepat langkahnya begitu dia sampai di sebuah bangunan tua di pinggir kota. Di belakangnya, ia diikuti oleh seorang pria berseragam khusus yang sejak dia tiba tadi sudah menyambutnya."Apakah dia sudah membuka mulutnya?" tanya Ivander pada pria tersebut. "Lapor! Masih belum, Tuan! Dia kukuh menutup mulutnya!" lapor pria tersebut. Ivander tersenyum miring."Begitu?" gumam Ivander. "Kalau begitu, tunjukkan jalannya padaku, di mana dia berada sekarang!" perintah Ivander. "Siap, Tuan! Sebelah sini!" ujar pria tersebut memimpin jalan. Belum jauh Ivander masuk ke dalam gedung tua itu, ia sudah bisa mendengar jeritan yang penuh dengan rasa derita dari tempatnya berdiri. Namun, pria itu malah tersenyum. "Sudah suruh dia minum semen panas?" tanya Ivander. "Belum, Tuan. Kami baru memukulnya dengan besi yang dibakar," lapor pria berseragam itu. "Begitu? Biar aku yang bertanya padanya, jika
Kana menatap tajam ke arah Iola, membuat wanita berambut pirang itu geram. "Dasar! Berani-beraninya kami menatapku seperti itu!" pekik Iola yang langsung mendorong tubuh Kana hingga ia terjatuh begitu saja ke lantai. Mata Kana melebar seraya memandang bayangannya sendiri yang terpantul dari lantai marmer rumah ini. Lagi-lagi dia diperlakukan seperti ini! Kana mengepalkan tangannya. Apakah boleh jika dia membalasnya kali ini? Iola sama sekali tidak pernah menolong Kana, justru sebaliknya. Kana sama sekali tidak punya hutang budi pada adik iparnya ini, tidak seperti pada keluarga Pamannya ataupun Ivander. Kini dada Kana dipenuhi oleh gejolak emosi yang membara—yang siap melahap siapa saja. "Dasar wanita rendahan!" hardik Iola yang langsung menginjak punggung tangan Kana dengan sepatu wedgesnya."Aargh!" rintih Kana, seketika keberaniannya untuk melawan Iola kandas. "Rasakan ini! Kamu pikir, kamu bisa melawanku? Berani-beraninya kamu menanta
Ivander keluar dari kamar Kana. Tepat saat itu kakinya langsung terasa lemas dan tubuhnya hampir meluruh ke lantai, tetapi dia bisa menahan tubuhnnya. "Sial! Aku kenapa?" umpatnya pada diri sendiri yang akhirnya bersandar di dinding. Napasnya bahkan tidak beraturan sekarang. Dia merasa dadanya terasa sangat sesak.hingga sulit bernapas. Ivander pun memukul-mukul dadanya. "Ayolah, Ivander! Apa yang terjadi padamu?" kesalnya. Dia tidak pernah merasa begini sebelumnya. Jika ingin menyiksa orang, maka dia akan menyiksanya tanpa reaksi apapun setelahnya. Namun kenapa kali ini berbeda? Apa karena Kana? Sebelumnya, dia juga sudah menghukum Kana dan tidak terjadi apa-apa, tetapi kenapa sekarang jantungnya serasa diremas saat melihat bulir bening dari sudut mata wanita itu jatuh? Ivander memejamkan matanya sambil terduduk di lantai dan menyandarkan kepalanya di dinding. 'Aku bersalah. Aku tidak pantas lagi jadi wanita yang berperan sebagai istrimu ....'Ivander mendelik kesal, saat terngiang
Alhasil, Kana berakhir di mobil Shein. Dia tidak bisa melepas pandangannya dari luar jendela. Rasanya sangat menyegarkan setelah selama lima hari ini dia tidak melihat keramaian jalanan dan kendaraan yang berlalu lalang. Kana bahkan tidak bisa bohong jika ia merindukan berhadapan dengan orang lain selain Ivander, Iola dan Shein. Tanpa sadar sebuah senyum terlukis di wajah Kana. "Bagaimana? Pikiran jadi lebih fresh, 'kan?" tegur Shein yang ternyata dari tadi meliriknya secara diam-diam. Kana pun menoleh ke arah Shein sambil melempar senyumnya. Dia mengangguk. "Aku jadi kangen, sebelum menikah aku benar-benar sibuk seharian, pulang ke rumah kalau hari sudah larut, tetapi harus berangkat lagi di pagi buta," cerita Kana sambil memejamkan matanya untuk mengenang masa lalu. Shein diam-diam tersenyum. "Ternyata kehidupanmu sebelas dua belas seperti Ivander," beber Shein. Sontak Kana menegakkan tubuhnya."Hah? Sebelas dua belas bagaimana
Kana tercengang melihat sosok Shein yang tiba-tiba berteriak padanya. "She-shein ... aku—"Shein berdesis sambil menjambak rambutnya sendiri. Kemudian atensinya kembali pada Kana."Kana, aku dari tadi berusaha menahan rasa penasaran ini, tapi kamu udah keteraluan!" tukas Shein dengan suaranya yang lantang. Kana masih memandang Shein dengan mata yang melebar."Ke-keteraluan?" "Ya, aku ... aku gak ngerti lagi sama kamu, Kana! Menjual ginjal? Yang benar saja? Ivander akan semarah apa sampai kamu harus menjual ginjal, ha?" Kana menggigit bibir bawahnya."Mungkin dia akan menceraikanku, Shein," ungkap Kana. "Ce-cerai?" Seketika suara Shein mengecil. Pria itu langsung kembali duduk di samping Kana. "Kamu bilang, Ivander akan menceraikanmu? Kenapa? Memangnya kesalahan apa yang kamu perbuat?" cecar Shein. "Kesucianku hampir direbut oleh pria asing, Shein ...." umbar Kana yang sama sekali tidak berani menat
Ivander menatap Kana secara mendalam seraya mengelus pipi istrinya lembut. Sementara Kana melirik ke arah tangan Ivander masih dengan bola mata bergetar. 'A-apa yang mau dilakukan pria ini?' panik Kana dalam hati, tetapi tubuhnya sama sekali tidak bisa bergerak. Jari-jemari Ivander yang menyentuh pipinya bergerak perlahan-lahan hingga memegang ujung dagu Kana. Pria itu langsung menarik dagu Kana ke atas agar dia bisa melihat wajah wanita itu lebih jelas. Kemudian Ivander menyeringai."Kenapa, Sayang?" Napas Kana tercekat mendengar panggilan itu lagi. Dia langsung memejamkan matanya erat-erat, enggan memandang wajah angkuh Ivander. Ivander yang tidak mendapat jawaban pun menghela napas berat. Pria itu kemudian melepas tangabnya daei dagu Kana lalu berdiri. "Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu, Sayang," ucap Ivander. Sontak Kana membuka matanya, dia langsung memandang Ivander yang kini berdiri sambil membelakanginya. "Be-beneran?" ragu Kana. "Ya ...." jawab Ivander sambil ter