Ivander tertegun mendapati tubuh lemas Kana. Dahinya mengernyit, tubuh Kana terasa berat, seolah tak ada energi yang menopang tubuh wanita ini.
"Hey, Kana ... kamu pingsan?" tanya Ivander sambil mengguncangkan tubuh istrinya itu."Kana—?" Tiba-tiba terdengar suara dengkuran dari Kana."What?" seru Ivander sambil geleng-geleng kepala."Dia tidur?" kaget Ivander. Pria ini tak sanggup berkata-kata. Ivander pun mengangkat tubuh Kana kemudian memandang wajah wanita itu. Alisnya naik sebelah mendapati mata istrinya itu yang terpejam. Tanpa berkata Ivander langsung membawa tubuh Kana ke tempat tidur yang berantakan, seolah tidak pernah dirapihkan selama ini. Ivander meletakkan istrinya yang tak sadarkan diri itu dengan sangat hati-hati seraya memandang wajah pucat dan bibir keringnya."Dasar! Bisa-bisanya setelah menyebutku begitu, dia malah tidur," kekeh Ivander sambil menyingkirkan helai-helai rambut Kana yang menutupi wajahnya. Pria itu kemudiKana terkesiap, mulutnya sangat ingin menjawab pertanyaan Shein, tetapi entah kenapa mulutnya ini tidak bisa terbuka. Lagipula bagaimana Shein bisa menyadari sifat Ivander? Pria ini, sekalipun terkadang membelanya, Kana tahu, Shein selalu menurut dengan perintah Ivander. Jangan-jangan, karena Shein sangat mengenal Ivander, makanya dia bisa menyadari keanehan dari wajah Kana? Apakah Kana bisa bersandar pada pria ini?"Kak Kana?" tegur Shein lagi. Kana langsung mengerjapkan kedua matanya. "Uhm ... aku ....""Bagaimana liburanmu? Kemarin Ivander bilang, dia menyusulmu, makanya aku tidak datang. Iola juga masih menginap di rumah Stacy," terang Shein. Dahi Kana mengernyit. Apa maksud Shein? Liburan? Kemudian, siapa Stacy?"Ah, Stacy? Stacy sahabat masa kecil Iola. Kabarnya, dia akan jadi kandidat menantu ketiga setelah aku, Kak," beber Shein yang makin membuat Kana bingung. "Menantu ketiga?" ulang Kana."Loh? Jangan bilang
"Hamil?" ulang Ivander yang tawanya langsung meledak, membuat Shein kebingungan. "Tidak. Itu tidak mungkin, Shein. Dia tidak hamil," ujar Ivander sambil mengerem tawanya. "Tapi, kenapa dia labil begitu, Ivander? Lagipula, kalian 'kan sudah menikah. Mana mungkin kalian belum melakukan hubungan suami-istri, 'kan?" Sontak Ivander tertohok. "Itu ...." "Jika dihitung dari hari pertama kalian menikah, harusnya sudah ada tanda-tandanya, 'kan?" tebak Shein. "Kami baru menikah lima hari, Shein. Harusnya, tanda-tanda itu muncul setelah satu minggu," ralat Ivander. "Oh, ya? Setelah satu minggu? Tapi, bukankah bisa saja kalian sudah melakukannya sebelum menikah—" "SHEIN!" Tiba-tiba suara Ivander meninggi. Sontak mulut Shein langsung terkunci. Seketika Ivander mengeluarkan aura intimidasinya seraya menatap calon adik iparnya itu dengan sorot mata yang tajam. "Aku bukan pria rendahan, Shein. Aku hanya akan menyentuh wanita yang kunikahi!" tekan Ivander. "Uhm, y-yah ... maaf, Ivande
"Aku hamil?" ulang Kana dengan suara tercekat seraya menatap Ivander dengan tatapan nanar. "Atas dasar apa kamu menuduhku hamil?" cecar Kana seraya menatap dalam-dalam mata Ivander. Ivander memalingkan pandangannya. "Siapa tahu?" Ivander kembali melirik Kana. "Bukankah kamu wanita rendahan?" ujarnya sambil menaikkan dagunya dan memandang Kana rendah. Hati Kana berdenyut. "Wanita Rendahan" adalah sebutan Iola untuk Kana, tetapi Kana tidak pernah menduga ucapan itu akan keluar dari mulut Ivander. Kana hanya menunduk. "Kenapa? Benar, kamu hamil?" cecar Ivander yang membuat Kana terkesiap. "Mana mungkin, Ivander?" sosor Kana. "Seharusnya kamu yang paling tahu akan hal itu!" tekan Kana yang rasanya emsoinya sudah berada di tenggorokan sehingga ia tak mampu bicara. Rasanya sekarang ia ingin menumoahkan air matanya lagi, tetapi Kana tahu, itu tak ada gunanya."Aku? Kenapa aku bisa tahu? Apa karena kamu mengira Pamanmu sudah me
"Kana! Awas!" Mata Kana langsung terbuka lebar ketika mendengar suara Shein, tepat pada saat itu tubuhnya jatuh ke dalam dekapan Shein dan Shein langsung memeluknya, tetapi justru mereka berdua malah jatuh bersama. "SHEIN!" pekik Iola dengan mata yang melotot.Shein memeluk Kana dengan erat sambil memejamkan matanya erat-erat. "Argh!" jerit Shein yang punggung dan tengkuknya membentur ujung anak tangga dan merosot ke bawah. Jantung Kana berhenti berdetak sesaat mendengar jeritan Shein yang penuh derita, tetapi dirinya tak berdaya. Kini mereka berdua berhenti merosot, pelukan Shein juga melemah. Kana mengerjap seraya menoleh. "Shein?" panggil Kana yang langsung menyingkir dari dekapan Shein dan memeriksa pria itu. Matanya terpejam dan tubuhnya terkulai lemas. "Shein, bangun!" histeris Kana, tetapi dia langsung tercengang begitu mendapati ada cairan kental berwarna merah yang mengalir dari belakamg kepala Shein."Shein!" jerit Iola yang tahu-tahu sudah ada di belakang Kana. "Kamu p
Alis Ivander naik sebelah sambil menatap Shein lurus."Bicara dengan Kana? Untuk apa?" selidik Ivander. "Ya, Shein!" seru Iola dengan mata yang melotot. Dia langsung menunjuk Kana ya g masih terduduk di lantai. "Kana yang menyebabkan kamu begini! Kenapa kamu masih mau bicara dengan pembunuh itu? Yang ada, keselamatanmu dipertaruhkan!" tuding Iola. Shein menggeleng. "Iola, sepertinya ada kesalahpahaman di sini," ujar Shein agak dingin hingga membuat Iola tersentak. Wanita berambut pirang itu langsung bungkam. "Kesalahpahaman?" Ivander memicingkan matanya seraya memandang Iola, kemuidan kembali memandamg Shein. "Apa maksudmu, Shein?" cecar Ivander. "Nanti aku jelaskan. Sekarang, please. Aku mau bicara berdua dengan Kana," kukuh Shein dingin. Ivander menghela napas. "Baiklah!" Pria itu melirik ke arah Kana dengan sinis."Jangan lama-lama," ujar Ivander. Iola langsung meraih lengan kakaknya."Ivander? Apa maksudmu? Kamu mengizinkan Kana bicara dengan Shein?" sewot Iola, tetapi I
Kana tertegun. Dia mengusap telinganya kemudian kembali menatap lurus ke arah Shein yang kini memasang wajah serius."Gak bisa?" ulang Kana yang langsung dijawab oleh anggukan kepala Shein. "Aku gak bisa pura-pura gak tahu soal kesulitan kamu di sisi Ivander. Belum lagi, Iola yang selalu berusaha mojokin kamu," beber Shein. Dahi Kana mengernyit. "Tapi kenapa, Shein?" bingung Kana. Wanita itu pun menarik napas dalam-dalam. "Asal kamu tahu, Shein, kamu yang berusaha akrab sama aku, justru akan mempersulit keadaanku di rumah Ivander. Terutama di hadapan Iola. Kamu sadar, gak, sih?" Tiba-tiba suara Kana meninggi. Namun Shein tetap kukuh menatap lurus ke arah Kana. "Jangan bohongin diri kamu sendiri, Kana," tutur Shein yang membuat Kana tertegun. Seketika jantungnya berdebar. "Kamu juga ngerasain apa yang aku rasain, 'kan?" lirih Shein. Dahi Kana mengernyit."Apa maksud kamu, Shein?" dingin Kana.
"Ivander! Lepaskan aku! Kenapa kamu malah membiarkan Shein dan Kana bicara berdua?" cicit Iola sambil menoleh ke arah dalam kamar Shein, tetapi Ivander langsung menutup pintunya. "Katamu, Shein seperti itu karena Kana, 'kan?" ujar Ivander. "Iya! Gara-gara Kana, Shein jadi jatuh dari tangga!" ujar Iola membenarkan. "Maka dari itu, biarkan mereka bicara," cetus Ivander yang semakin membuat Iola naik darah. "Ivander!" geram Iola, sayang, ia tidak bisa teriak-teriak karena ini di rumah sakit. Wanita berambut pirang itu langsung mendekat pada Ivander. "Aku tidak mengerti jalan pikirmu! Jika kamu membiarkan Kana dan Shein berduaan, bisa saja Kana melakukan hal buruk pada Shein!" "Oh, iya?" tantang Ivander sambil melempar tatapan dingin pada adiknya sendiri. "Ya! Apakah kejadian ini tak cukup membuktikan bahwa istri gelandanganmu itu bisa menghancurkan kita satu per satu! Dia pasti menikahimu juga tergiur dengan hartamu,
Lidah Kana kelu. Dia menatap Ivander dengan bola mata bergetar. Sontak, Ivander mencengkram kedua lengab Kana dan mengguncang tubuh wanita yang lebih mungil darinya itu. "Kenapa? Kamu juga tidak bisa menceritakannya?" tekan Ivander. Dahi Kana mengernyit. Siapa lagi yang tidak bisa menjawab pertanyaan Ivander tadi? Kana bergumam."A-aku ... aku—""Apa?" serobot Ivander yang mengguncang tubuh Kana lagi hingga membuat Kana memejamkan matanya erat-erat. Tubuh wanita itu bergetar hebat sampai tabpa sadar dia malah meloloskan sebuah bulir bening dari sudut matanya. "Sial! Aku tidak butuh air matamu!" sarkas Ivander yang langsung melepaskan cengkramannya. Kana langsung memeluk tubuhnya sendiri sambil duduk memojok. Dia terisak dengan napas yang tersendat-sendat. Ivander benar-benar kesal mendengarnya."Apa kamu tidak bisa melakukan sesuatu selain menangis?" sinis Ivander yang membuang mukanya. "A-aku ... aku—" Suara Kana malah m