Lidah Kana kelu. Ia sama sekali tidak bisa memikirkan apapun selain kenangan buruk pertama kali bertemu Ivander. Dahi Kana mengernyit, bola matanya bergetar, bahkan peluhnya menetes di pelipis. "I-itu ...." Kana mengucap hal yang sama sekali lagi. Reynold yang melihat reaksi aneh Kana mengernyitkan dahi. "Apa pertemuan pertama kalian cukup tidak baik, Nak?" tanya Reynold. Sontak Kana terkesiap, benar kata Ivander, Reynold Harvey sangat teliti dan intuisinya ternyata juga tajam, bagaimana ia tahu kalau pertemuan pertama Kana dan Ivander bukanlah pertemuan yang baik, bahkan termasuk kenangan buruk dalam hidup Kana. "I-itu ...." "Tentu saja tidak baik, Ayah. Aku yakin, sebelum bertemu Ivander, dia pasti menjual dirinya, kemudian Ivander yang merasa iba dengan topeng sedihnya itu akhirnya menolongnya," sahut Iola malas. Sontak kepala Kana terangkat. Ia menatap lurus ke arah adik iparnya itu. Bagaimana bisa dia berpikir begitu. Kana menga
Apa maksud Reynold Harvey? Apakah Kana melakukan kesalahan. Kana pun melirik ke arah Ivander yang tengah mengeraskan rahangnya. Apakah Ivander akan meledak di meja makan ini? Bahkan, Kana bisa merasakan aura mencekam di sampingnya. Diam-diam, wanita itu meremas rok dress-nya."Bohong?" ulang Ivander kemudian terkekeh."Mana mungkin, Ayah," lanjutnya yang kini sudah kembali tersenyum lebar. Seketika aura mencekam barusan sirna. Kana pun bernapas lega."Lalu, kenapa kamu tidak bilang kalau Kana bukan mantan pegawai kita?" tanya Reynold. "Itu ... Dulu, sebelumnya Kana pernah bekerja di salah satu Restoran di sangraloka kita, Ayah. Iya, 'kan, Sayang?" Ivander langsung merangkul Kana sambil menendang kaki istrinya diam-diam di bawah meja. "Oh, i-iya, Ayah!" seru Kana yang bisa menyadari permainan Ivander. "Kana memang berpindah-pindah tempat kerja sejak SMA," jawab Kana. "Sejak SMA?" ulang Reynold lagi. Sontak Ivander melempar tatapan sinisnya ke arah Kana. "I-iya. Kana sudah part ti
"Ka-kamar? Un—" Ivander langsung meraih pinggang Kana dan mengangkat tubuh wanita berambut pendek itu ke atas pundaknya. "Ivander! Apa yang kamu lakukan? Turunkan aku!" panik Kana. Ivander menoleh ke arah Kana sambil tersenyum miring. "Apa lagi, Sayang? Tentu saja, aku mengangkatmu agar kamu tidak bisa kabur! Sekarang, ayo kita ke kamar!" seru Ivander. Sontak mata Kana membulat."Tidak!" Kana berusaha meronta-ronta, tetapi posisinya tak mendukungnya untuk melepaskan diri. "Ivander, turunkan aku! Kita mau apa ke kamarmu?" panik Kana. Mau bagaimana pun Ivander tetaplah pria dewasa yang pastinya punya hasrat pada wanita. "Kenapa kamu begitu takut, Sayang? Kamu hanya perlu tenang," timpal Ivander enteng sambil menaiki anak tangga menuju lantai dua—letak kamarnya berada. "Ba-bagaimana aku bisa tenang? Apa aku melakukan kesalahan? Kamu mau apa?" panik Kana yang membuat langkah Ivander berhenti. "Aku tidak salah dengar, Sayang? Kamu bertanya, kamu salah apa?" dingin Ivander yang melem
Kana langsung bersimpuh dan bersujud tepat di depan kaki Ivander."I-ivander. Aku mohon, maafkan aku. Ini kesalahanku. Aku yang tidak membaca dengan seksama dokumen yang kamu berikan, tetapi kumohon, kumohon, maafkan aku ...." ucap Kana gemetaran. Ia sama sekali tidak bisa menebak, hukuman apa yang akan dia dapatkan dari pria ini. "Maaf?" Ivander menendang Kana yang memohon di depan kakinya. Sontak, jantung Kana berhenti berdetak sesaat. Ia mengangkat kepalanya seraya memandang tatapan dingin Ivander. "Tapi kamu sudah mengacaukan pertemuan dengan Ayahku, Sayang," tutur Ivander yang kembali membuat Kana merinding. "Kepercayaan Ayahku, mungkin saja sudah berkurang padaku," lanjut Ivander lagi. Kana pun kini bersimpuh sambil menangkuokan kedua tangannya."Kumohon, aku akan berusaha memperbaikinya," mohon Kana. "Tidak perlu!" seru Ivander."Jika kamu memperbaikinya, maka kamu akan semakin mengacaukannya!" tukas Ivander. Kana
"Wah? Serius, Jenni? Kamu akan datang ke Indonesia? Kapan? Apakah lebih cepat dari rencanamu sebelumnya?" girang Iola yang membuat Shein terkesiap. Jenni akan datang lebih cepat. Untuk apa?[Yah, kamu benar. Kedatanganku akan jadi kejutan, Darling. Yang pasti dalam waktu dekat. Kamu tahu, 'kan, aku harus membujuk Daddy agar bisa mengizinkanku menggunakan pesawatnya,] ujar Jenni di seberang.Seketika senyum Iola mengembang. "Oke, Jenni. Aku akan menantikan kedatanganmu. Bela aku dan buat Ivander sadar. Aku lebih suka kamu yang jadi kakak iparku," cicit Iola. [Sure, Darling. Kalau begitu aku tutup dulu, see you, Darling.] "See you!" Panggilan pun diakhiri. "Iola!" seru Shein. Iola melirik sinis ke arah tunangannya. "Apa? Setelah membentakku, kamu mau ajak aku bicara?" sindir Iola. "Membentak? Ugh ...." Shein ingin membela dirinya, tetapi bukan waktunya untuk berdebat dengan tunangannya ini."Maaf, Iola j
Ivander sempat terdiam, tetapi segera melempar senyum lebarnya."Sayangnya, Kana tidak ada di rumah, Shein," ujar Ivander. "Hah? Tidak ada di rumah? Dia ke mana?" cecar Shein."Liburan. Liburan selama tiga hari," jawab Ivander. Dahi Shein mengernyit. "Liburan selama tiga hari?" ulang Shein sambil terkekeh kemudian merangkul calon kakak iparnya itu. "Aku tidak salah dengar, Ivander? Jika Kana liburan, kenapa dia tidak berlibur bersamamu? Kalian, 'kan pasangan?" cecar Shein lagi. "Dia hanya ingin liburan sendiri. Kenapa memangnya?" jawab Ivander seadanya. Namun lagi-lagi Shein terkekeh."Hei, Ivander, dengar, kamu ini sudah menikah, itu berarti segalanya lebih menyenangkan dilakukan bersama-sama. Apa saat pacaran, kalian memang seperti ini?" penasaran Shein. Ivander sekali lagi melemparkan senyumnya. "Ya, kami menghargai waktu sendiri masing-masing. Lagipula, Iola sudah membuatnya agak kesulitan, jadi aku memberikannya waktu bersantai," pungkas Ivander. Shein mengangguk-angguk.
Ivander tertegun mendapati tubuh lemas Kana. Dahinya mengernyit, tubuh Kana terasa berat, seolah tak ada energi yang menopang tubuh wanita ini."Hey, Kana ... kamu pingsan?" tanya Ivander sambil mengguncangkan tubuh istrinya itu. "Kana—?" Tiba-tiba terdengar suara dengkuran dari Kana. "What?" seru Ivander sambil geleng-geleng kepala. "Dia tidur?" kaget Ivander. Pria ini tak sanggup berkata-kata. Ivander pun mengangkat tubuh Kana kemudian memandang wajah wanita itu. Alisnya naik sebelah mendapati mata istrinya itu yang terpejam. Tanpa berkata Ivander langsung membawa tubuh Kana ke tempat tidur yang berantakan, seolah tidak pernah dirapihkan selama ini. Ivander meletakkan istrinya yang tak sadarkan diri itu dengan sangat hati-hati seraya memandang wajah pucat dan bibir keringnya. "Dasar! Bisa-bisanya setelah menyebutku begitu, dia malah tidur," kekeh Ivander sambil menyingkirkan helai-helai rambut Kana yang menutupi wajahnya. Pria itu kemudi
Kana terkesiap, mulutnya sangat ingin menjawab pertanyaan Shein, tetapi entah kenapa mulutnya ini tidak bisa terbuka. Lagipula bagaimana Shein bisa menyadari sifat Ivander? Pria ini, sekalipun terkadang membelanya, Kana tahu, Shein selalu menurut dengan perintah Ivander. Jangan-jangan, karena Shein sangat mengenal Ivander, makanya dia bisa menyadari keanehan dari wajah Kana? Apakah Kana bisa bersandar pada pria ini?"Kak Kana?" tegur Shein lagi. Kana langsung mengerjapkan kedua matanya. "Uhm ... aku ....""Bagaimana liburanmu? Kemarin Ivander bilang, dia menyusulmu, makanya aku tidak datang. Iola juga masih menginap di rumah Stacy," terang Shein. Dahi Kana mengernyit. Apa maksud Shein? Liburan? Kemudian, siapa Stacy?"Ah, Stacy? Stacy sahabat masa kecil Iola. Kabarnya, dia akan jadi kandidat menantu ketiga setelah aku, Kak," beber Shein yang makin membuat Kana bingung. "Menantu ketiga?" ulang Kana."Loh? Jangan bilang