"Ugh!" Iola mendelik kesal sambil menggenggam garpunya. Reaksi yang di luar dugaan! Apakah Ivander sengaja? Kana memandang wajah suaminya itu yang kini menyeringai. Apakah kakak-beradik ini sedang adu gertak?
Ivander tiba-tiba mengangkat tangannya yang menggandeng tangan Kana."Kamu tidak lihat ini?" seru Ivander."Aku dan istriku saling mencintai. Jadi mau kau mengganggu kami seperti apapun, tidak akan mempan. Jangan buang-buang waktumu. Sebaiknya kembali saja ke London dan selesaikan sekolahmu!"Iola langsung berdesis."Kenapa kamu bahas itu lagi, sih?" gerutu Iola.Ivander hanya tersenyum miring sambil menarik Kana ke tempat duduknya."Duduklah di sebelahku, Sayang," ucap Ivander yang sekali lagi membuat Kana bergidik ngeri, tetapi wanita itu berusaha sebisa mungkin tersenyum bahagia seperti aturan di kontrak mereka. Kana hanya mengikuti ucapan Ivander.Ivander pun membalikkan piringnya, sementara Kana langsung berd"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Kana begitu mereka masuk ke dalam kamar Ivander. Pria yang kali ini tidak mengenakan gel rambutnya hingga rambut lurusnya agak mengembang menghela napas seraya menutup pintu kamar."Sepertinya kamu agak waspada denganku," kekeh Ivander sambil menghampiri nakas di samping tempat tidurnya. Ia membuka nakas tersebut dan mengambil sebuah map. Tatapan Kana menajam sambil mengawasi gerak-gerik Ivander. "Bukankah kamu mengajakku ke sini karena mau memberi perintah yang baru?" duga Kana yang mengundang senyum miring Ivander. "Ternyata kamu cukup pintar, Sayang," ucap Ivander sambil tersenyum. Reflek, Kana mundur satu langkah mendapati senyum angkuh seorang Ivander. "Katakan saja—" Ivander melempar dokumen di tangannya kepada Kana, untungnya Kana berhasil menangkapnya."Ambil dan baca itu baik-baik!" titah Ivander.Kana membuka map yang ternyata berisi beberapa lembar kertas. "Oh
Kana membaca dengan seksama daftar pertanyaan yang mungkin ditanyakan oleh ayah mertuanya. Dahinya mengernyit."Dia narsis atau apa, sih? Kenapa ini semua pertanyaan tentang pria kejam itu?" gerutu Kana agak enggan membacanya. Terlebih di sana Ivander terlalu memuji-muji dirinya sendiri. Kana pun meletakkan dokumen itu sambil memijat keningnya. Rasanya, ia mau istirahat dulu, baru setelah itu dia akan menghapal isi dokumen yang Ivander berikan. Namun ia memandang ke sekeliling, Kana hampir lupa bahwa ia ada di dalam kamar Ivander. Wanita berusia 21 tahun itupun beranjak dan hendak pergi ke pintu rahasia mereka sambil membawa dokumen, tetapi belum ada satu langkah, pintu Ivander diketuk. "Kana ...." Terdengar suara Iola dari luar. Dahi Kana mengernyit. "Kana ... Cepat keluar!" Kali ini ia agak membentak. Kana hampir lupa kalau adik perempuan Ivander itu membencinya. "Iya, sebentar!" sahut Kana yang meletakkan dokumen pemberian Ivander ke at
Reflek, Kana mendorong tangan Iola yang sedang menggenggam gawai pintarnya hingga benda canggih itu terlempar dan jatuh. Sontak Iola melempar tatapan penuh amarah pada kakak iparnya itu. "Apa yang kamu lakukan?" pekik Iola yang langsung membuat Kana membeku. Sejujurnya, ia tidak sengaja. Ia takut, jika Ivander tahu dia melanggar permnintaannya, maka ia akan semakin dekat dengan malapetaka. "Ma-maaf, aku—" "Dasar wanita rendahan!" hardik Iola yang langsung mengambil ponselnya. Ia memeriksa benda canggih itu. Layarnya gelap, tetapi untungnya tidak ada bagian yang pecah atau retak karena Iola memakai casing yang tebal. "Untung baik-baik saja!" ucap Iola. Masalahnya ponsel ini adalah hadiah dari Shein saat ulang tahunnya yang ke sembilan belas. Tunangannya itu bahkan rela mengirimkan hadiah sampai melintasi benua. Meskipun Iola juga tidak membalas ucapan ulang tahun dari Shein karena dia masih marah dengan tunangannya itu. "Ma-maaf, aku tidak bermaksud—" "Halah!" Iola langsung ber
"A-aku harus apa?" gemetar Kana. Sejujurnya, ia merasa kepalanya pening. Pekerjaan rumah tangga yang ia kerjakan hari ini cukup banyak, terlebih rumah Ivander yang sangat luas, sehingga membuat Kana tidak sempat minum atau makan. "Lihat map di meja itu!" titah Ivander lagi. Atensi Kana pun beralih ke meja kecil tersebut. Sontak ia langsung teringat apa tugasnya hari ini dari Ivander. Membaca dokumen yang berisi kemungkinan pertanyaan yang akan keluar saat pertemuan dengan Ayahnya Ivander. Kana langsung mengambil dokumen-dokumen tersebut. "Maaf! Aku lupa!" ujarnya. Ivander mendelik kesal."Lupa? Atau kamu main-main dengan celemekmu itu? Sok-sokan mau buat makan malam untukku? Memangnya kamu tahu seleraku, ha?" tukas Ivander. Kana pun memandang nanar wajah suaminya yang bersungut-sungut itu."Bu-bukannya kamu yang menyuruhku melakukan ini semua? Iola mengatakan kalau kamu memintaku mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Kamu
Otak Kana kosong. Ayah mertuanya datang ke rumah ini? Tunggu, apakah rumah sudah rapih? Bagaimana sarapan? Dia akan dipandang sebagai menantu apa jika tidak bisa melakukan semuanya? "Kenapa bengong?" tegur Ivander yang membuyarkan lamunan Kana. Kana pun memandang Ivander dengan penuh kebingungan."Sa-sarapan? Apakah Tuan—maksudku, Ayah akan sarapan di sini? Menu makanan apa yang disukai Ayah?" tanya Kana. Ivander menghela napas kasar. "Urusan rumah, termasuk makanan, adalah urusanku. Kamu berpenampilan saja yang natural, tetapi terlihat cantik. Terutama, bersihkan air liur di pipimu itu!" Kana terhenyak, ia buru-buru mengusap pipinya. Habis sudah, citranya di hadapan Ivander. "Wanita rendahan memang menjijikan!" tukasnya yang masih bisa didengar Kana. Kana hanya bisa menerima cibiran itu tanpa bisa membalasnya. "Sudah, aku tunggu kamu di bawah," pesan Ivander kemudian langsung pergi lewat pintu rahasia mereka.
"Me-menentang Ayah? Tentu saja tidak! Kenapa Iola menentang Ayah?" Iola langsung mengambil tangan Ayahnya dan memeluknya. Reynold malah memandang sinis putrinya sendiri."Itu buktinya! Kamu mau menantu Ayah keluar dari sini! Asal kamu tahu, Iola, Ayah datang ke sini untuk Kana, bukan untukmu ataupun Ivander!" beber Reynold. Sontak Iola tertohok, tetapi ia enggan menunjukkan wajahnya. "Hu-uh! Iya-iya, Ayah. Aku mengerti!" sungut Iola sambil menyandarkan kepalanya di pundak sang Ayah. "Bagus!" ujar Reynold. "Kalian juga! Siapapun yang mau mengusir Kana atau berusaha menyakiti hati Kana, maka dia berurusan dengan Ayah!" tegas Reynold. Diam-diam Kana tersenyum, setelah diperolok kemarin, ternyata muncul orang yang berjiwa malaikat seperti Ayah Mertuanya. "Mana mungkin aku mampu melakukan itu, Ayah?" Tiba-tiba Ivander memeluk Kana dari belakang, membuat wanita itu reflek memandang suaminya dengan heran. Ivander hanya mengedipkan mata pelan sebagai kode. Kana pun pasrah dipeluk oleh pr
Lidah Kana kelu. Ia sama sekali tidak bisa memikirkan apapun selain kenangan buruk pertama kali bertemu Ivander. Dahi Kana mengernyit, bola matanya bergetar, bahkan peluhnya menetes di pelipis. "I-itu ...." Kana mengucap hal yang sama sekali lagi. Reynold yang melihat reaksi aneh Kana mengernyitkan dahi. "Apa pertemuan pertama kalian cukup tidak baik, Nak?" tanya Reynold. Sontak Kana terkesiap, benar kata Ivander, Reynold Harvey sangat teliti dan intuisinya ternyata juga tajam, bagaimana ia tahu kalau pertemuan pertama Kana dan Ivander bukanlah pertemuan yang baik, bahkan termasuk kenangan buruk dalam hidup Kana. "I-itu ...." "Tentu saja tidak baik, Ayah. Aku yakin, sebelum bertemu Ivander, dia pasti menjual dirinya, kemudian Ivander yang merasa iba dengan topeng sedihnya itu akhirnya menolongnya," sahut Iola malas. Sontak kepala Kana terangkat. Ia menatap lurus ke arah adik iparnya itu. Bagaimana bisa dia berpikir begitu. Kana menga
Apa maksud Reynold Harvey? Apakah Kana melakukan kesalahan. Kana pun melirik ke arah Ivander yang tengah mengeraskan rahangnya. Apakah Ivander akan meledak di meja makan ini? Bahkan, Kana bisa merasakan aura mencekam di sampingnya. Diam-diam, wanita itu meremas rok dress-nya."Bohong?" ulang Ivander kemudian terkekeh."Mana mungkin, Ayah," lanjutnya yang kini sudah kembali tersenyum lebar. Seketika aura mencekam barusan sirna. Kana pun bernapas lega."Lalu, kenapa kamu tidak bilang kalau Kana bukan mantan pegawai kita?" tanya Reynold. "Itu ... Dulu, sebelumnya Kana pernah bekerja di salah satu Restoran di sangraloka kita, Ayah. Iya, 'kan, Sayang?" Ivander langsung merangkul Kana sambil menendang kaki istrinya diam-diam di bawah meja. "Oh, i-iya, Ayah!" seru Kana yang bisa menyadari permainan Ivander. "Kana memang berpindah-pindah tempat kerja sejak SMA," jawab Kana. "Sejak SMA?" ulang Reynold lagi. Sontak Ivander melempar tatapan sinisnya ke arah Kana. "I-iya. Kana sudah part ti
Seketika sekujur tubuh Kana terasa lemas. Tubuhnya langsung meluruh ke lantai tepat ketika Ivander keluar dari kamarnya. Kini dia tidak bisa lagi mengeluarkan air mata, tetapi dadanya terasa sangat sesak hingga ia sulit bernapas. "Kenapa rasanya sangat sakit ...." pedih Kana dengan suara tercekat. Apakah dia mulai mengharapkan cinta Ivander? Apa itu tidak terlalu serakah? Kenapa Kana menginginkan hal yang mustahil terjadi? Sementara itu, Ivander langsung menyandarkan punggungnya ke dinding setelah menutup pintu kamar Kana. Dia memejamkan matanya erat-erat sambil mengepalkan tangan. Ivander menggemerutukkan giginya. Napasnya kini terasa sesak. Dadanya terasa sangat gusar. Dia ingin menangis, tetapi tidak bisa menangis. "Sial ...." umpatnya sambil melepas kepalan tangannya, tetapi sang tangan malah bergetar hebat. Sebenarnya Ivander kenapa? Apakah perasaan yang selama ini ia belenggu di lubuk hatinya yang terdalam mulai memberontak keluar? Tidak, Ivander tidak boleh membiarkan rasa
Ivander terkesiap mendengar ucapan Iola. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Kana adalah istri Ivander, itu memang benar adanya. Sekalipun ada kontrak pernikahan yang mereka tanda tangani, tetapi mereka melaksanakan pernikahan yang sah dan diakui negara. Apa salahnya jika Ivander menganggap Kana istrinya?"Kenapa kamu diam, Ivander?" tegur Shein yang menatapnya dengan nanar. Entah kenapa melihat ekspresi wajah Shein yang agak "shock" membuat jantung Ivander terasa diremas. Apakah ia berbuat kesalahan? Kenapa Shein menatapnya begitu, bahkan Iola yang menatapnya dengan tajam.Iola menghela napas. "Oke, sekarang aku tanya satu hal!" ucap Kana yang menarik atensi Ivander. "Apa itu?" tanya Ivander.Iola langsung menatapnya dengab lurus."Jawab jujur dari hatimu, apakah bagimu Kana adalah wanita yang pantas menerima cintamu?" Dahi Ivander langsung mengernyit. "Cinta? Cinta apa? Jangan bercanda, Iola. Di hidupku mana ada yang namanya "Cinta". Kamu sangat tahu itu," kekeh Ivand
"Jadi selama ini kalian hanya menikah kontrak?" Iola langsung berdiri begitu mendengar semua penjelasan Ivander tentang pernikahan mereka. Sementara Shein masih duduk tercengang dan sibuk dengan pikirannya sendiri."Ya. Itulah kenyataannya," jawab Ivander santai seolah tidak ada beban. Apa akan baik-baik saja jika Iola dan Shein diberitahu begini? Kana hanya bisa menghela napas.Iola kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa."Kalian gila! Tidak, kamu gila, Ivander!" tukas Iola. Ivander malah terkekeh."Bukankah kamu sudah tahu kalau aku ini gila," jawab Ivander malah geli sendiri. "Tapi ... kamu keteraluan, Ivander!" Shein mulai angkat bicara, membuat atensi Ivander beralih padanya."Kamu menjadikan Kana tameng dari Jenni! Kamu tahu sendiri, 'kan kalau melawan Jenni, maka Kana akan dalam bahaya!" tekan Shein. Ivander malah tersenyum seraya merangkul Kana yang duduk dengan tegang di sampingnya."Tenang. 'Kan ada aku. Aku yang akan melindunginya. Iya, 'kan, Sayang?" Kana terhenyak da
Kana terbangun duluan. Ternyata dia masih berada di dalam dekapan Ivander. Sampai akhirnya, setelah Kana puas menangis, mereka bercinta lagi. Kini, mereka berdua sama-sama tidak mengenakan sehelai benang pun dan hanya mendekap satu sama lain di bawah selimut agar tidak kedinginan. Kana paling suka saat-saat seperti ini, ketika Ivander masih terlelap dan dia bisa bebas memandangi wajah polos pria ini. Jari-jari kecilnya mulai menyentuh tiap inchi wajah tampan Ivander. Hal lain yang paling menyenangkan, adalah pria ini tidak akan protes karena masih terlelap. "Kenapa tidak cium saja, Sayang ...." Tiba-tiba Ivander bersuara, membuat Kana terhenyak. Wanita itu langsung terduduk sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. "Uhm, ma-maaf. Kalau begitu, aku pak—Ah!" Ivander malah menarik tubuh Kana hingga wanita itu kembali berakhir dalam dekapannya. "Siapa yang mengizinkanmu pergi, hm?" goda Ivander kemudian menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kana. "I-ivander ... geli," pro
Sudah berjam-jam berlalu saat Ivander memutuskan untuk tidur, tetapi tubuhnya tetap tak merasa nyaman. Sejak tadi, dia hanya bisa mengubah-ubah posisi tidurnya, tetapi matanya tidak mau terpejam. Jantungnya terus berdebar dan kepalanya terus berpikir. Sebuah pertanyaan di benaknya sampai sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan. Apa yang membuat Ivander terus merasa tidak tenang dari tadi semenjak Kana meninggalkannya sendirian?"Arrgh!" Ivander muak! Dia langsung terduduk sambil mengacak-acak rambutnya yang selalu ia sisir rapih sebelum tidur. "Sebenarnya apa yang wanita itu lakukan padaku?" geram Ivander seraya memandang ke arah lemari yang menghubungkan kamar mereka. Pria itu sempat terdiam cukup lama. Kira-kira, apakah Kana sudah tidur? Pakaian tidur apa yang dia kenakan? Bagaimana gaya tidurnya? Apakah dia mengenakan selimut? Jangan-jangan dia kedinginan? Tunggu, kenapa Ivander berpikir sejauh itu?Ivander kembali mengacak-acak rambutnya sambil
Akhirnya mereka selesai dan kini berada di dalam mobil menuju rumah. Pada akhirnya, mereka melakukannya sampai tiga ronde dan ronde terakhir adalah yang paling gila karena Kana melakukannya di atas Ivander dan pria itu membiarkannya mendominasi. Padahal jika dilihat dari karakter pria angkuh ini, dia tidak suka jika orang lain mendominasinya. Namun mereka berdua tetap sama-sama menikmatinya. Kana tersenyum tiap memikirkan apa yang mereka berdua lakukan tadi. Mereka sudah sama-sama kehilangan akal. Namun senyum Kana sirna. Tiga kali mereka melakukannya, tiga kali juga Ivander memberikan harta berharganya pada Kana dan menyimpannya di perut ini. "Apakah aku akan hamil?" gumam Kana. Dia tidak boleh hamil anak Ivander! Jika sampai hamil, maka, hubungannya dengan Ivander akan semakin rumit. Kana kemudian memandang wajah plos Ivander yang tengah tertidur yang sejak tadi. Apakah bercinta membuatnya kelelahan? Namun, itu tidak masalah, jika pria ini tertidur, Kana bisa bebas memandanginya h
"Me-melakukan apa?" Kana mulai was-was, tetapi sesuatu di bawah sana mulai menyentuh bagian bawah tubuhnya, seolah berusaha memancing gejolak yang sejak tadi Kana tahan. Kana harus segera pergi dari sini. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan gejolak tersebut. Dia hendak melepaskan diri, tetapi Ivander menarik pipinya hingga wajah Kana berhadapan dengan wajah Ivander. Pria itu menatapnya lamat-lamat. "Aku selalu ingin melakukan ini denganmu, Kana. Hanya denganmu," ungkapnya dengan suara yang rendah. "Ivander ...." Pria itu tersenyum seraya memandang setiap inchi wajah Kana. "Aku merindukanmu, Kana. Sangat merindukanmu," ungkap Ivander tanpa melepas pandangannya pada Kana. Sontak Kana tertegun. "Me-merindukanku?" Itu adalah ucapan paling mustahil dari mulut Ivander. "Ke-kenapa?" Kana bingung. Apakah ini nyata? Ivander merindukannya? Ivander malah menarik tubuh Kana ke dalam dekapannya. Dia mulai membelai punggung Kana dengan lembut, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Ka
Kana berendam di dalam jacuzi setelah menjalani beberapa perawatan. Meskipun kali ini dia datang ke spa bersama Ivander, tetap saja dia menjalani semua perawatannya sendirian. Kana menghela napas sambil memainkan air, sesungguhnya, hati kecil Kana masih ingin memandangi wajah pria angkuh itu. Namun, Kana bisa berharap apa? Ah, kenapa akhir-akhir ini Kana jadi serakah? Dia sendiri yang memutuskan untuk memasang benteng besar di antara dirinya dan Ivander. Toh, dunia mereka berbeda, sehingga tidak mungkin ada jalan untuk bersama. Tunggu? Kana berpikir apa barusan? Sejak kapan dia mau hidup bersama pria kejam dan angkuh itu? Dia mau bunuh diri? Kana menggelengkan kepalanya, dia langsung melirik ke arah kotak yang berisi beberapa botol sabun warna-warni. Kana pun memilih sabun dengan berbagai aroma di sana. Sudah cukup lama dia menikmati air hangat yang mampu membuat tubuhnya rileks. Percikan-percikan air di jacuzi pun mampu memijat tubuhnya yang terasa lelah. Minggu ini adalah minggu ya
Iola berjalan masuk ke Paragon Sport Center yang terlihat sepi, padahal hari ini adalah akhir minggu. Tidak salah lagi, satu-satunya Pewaris Suralaya—Shein White Serafim pasti sedang menyewa tempat ini sendirian. Iola hapal betul tingkah tunangannya itu yang suka menyendiri jika ada sebuah masalah yang sulit ia hadapi. Dahulu, pria ini selalu duduk sendirian di perpustakaan pribadi rumahnya, tetapi akhir-akhir ini dia selalu memanfaatkan fasilitas milik korporasinya untuk kepentingan pribadi.Iola masuk ke kolam renang indoor setelah tidak menemukan tunangannya itu di lapangan basket, tennis, bulu tangkis, dan futsal. Belum sempat kakinya masuk ke kolam renang indoor itu, sudah terdengar bunyi percikan air. Itu pasti Shein. Iola pun masuk dengan percaya diri dan matanya langsung bisa menangkap sosok Shein yang memiliki rambut hitam pekat dan kulit putih bening sedang berenang dengan gaya kupu-kupu di kolam renang. Iola menghampiri sisi kolam renang dimana Shein ak