Pria yang kini menggandeng Kana malah tertawa, membuat Kana semakin bingung.
"Hei, Ivander, kenapa kamu begitu serius? Kenapa pakai panggil nama lengkap segala? Panggil aja Shein! Kau ini terlalu formal. Kita, 'kan ada di rumahmu!" Pria berponi itu kemudian menoleh ke arah Kana yang masih bingung dengan situasinya."Oh, iya, Kakak Ipar, kamu juga boleh panggil aku, Shein. Shein White Serafim, itu namaku," sahutnya agak berbisik yang hanya mendapat anggukan kepala Kana, tetapi diam-diam Kana melirik ke arah Ivander yang tangannya mengepal dan sorot matanya semakin tajam"Uhm, sepertinya ...." Kana hendak melepaskan genggaman Shein, tetapi, Shein malah mengeratkan gandengannya."Hei, Shein, kau belum menjawab pertanyaanku!" tekan Ivander dengan sorot mata yang tajam, membuat Kana semakin merinding hingga reflek memegang lengan Shein."Oh, pertanyaanmu? Ya, tentu saja aku di sini untuk menyambut kedatangan Kakak Iparku," jawab Shein santai."Kakak ipar?" ulang Ivander geram."Ya! Kakak Ipar yang imut ini!" seru Shein tanpa memedulikan keberadaan Ivander yang kepalan tangannya semakin kuat, bahkan pria itu mengeraskan rahangnya. Cengkraman Kana di kemeja lengan Shein semakin erat."Tunggu!" Shein memperhatikan Kana dari atas kepala hingga bawah kaki."Kalau dipikir, Kakak Iparku memang imut!" Atensinya beralih ke arah Ivander yang masih berusaha menahan diri."Hey, Ivander! Aku baru tahu, kalau seleramu adalah perempuan imut begini! Pantas saja, kau tidak suka Jenni," gurau Shein yang malah tertawa sendiri. Namun Ivander sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Tatapan pria itu malah berubah semakin tajam hingga mampu mengoyak hati siapa saja yang melihatnya.Peluh Kana mulai menetes di pelipis mendengar deru napas yang begitu jelas dari Ivander. Kana pun menggoyangkan lengan Shein yang dipegangnya."Kenapa, Kak?" tanyanya penuh perhatian."Uhm, se-sebaiknya kita masuk," ucap Kana gemetaran. Atensi pria itu pun beralih pada Ivander yang masih setia menatapnya dengan sorot mata yang tajam."Ivander, kami mau masuk dulu, ya," izin Shein sambil membawa Kana melewati Ivander, tetapi tiba-tiba Ivander mencekal lengan Shein yang bebas."Masuk? Kau mau masuk ke mana?" sarkas Ivander."Haha, tentu aku mau membawa Kakak Ipar ke dalam. Di sini dingin, Ivander," jawab Shein malah mendapat cengkraman yang semakin kuat di lengannya."Memangnya aku mengizinkanmu?" sinis Ivander."Oh?" Shein pun menarik lengannya yang dicengkram Ivander hingga terlepas."Jadi, kau tidak mengizinkannya?" tanya pria itu enteng yang membuat Kana tercengang. Sebenarnya siapa pria ini? Kenapa dia begitu berani pada Ivander? Apa dia tidak tahu, malam ini Kana habis dicekik dan dibenturkan kepalanya hingga pingsan oleh pria yang ditantangnya?"Lepaskan tangan istriku!" titah Ivander dengan suara yang dingin."Istri? Ya, ampun ... Kamu benar-bebar menggemaskan!" seru Shein yang semakin membuat Kana bingung."Aku sedang tidak bercanda, Shein!" dingin Ivander."Lagipula, jangan seenaknya memanggil Calon Istriku dengan sebutan Kakak Ipar! Kau belum menikah dengan adikku! Jadi jangan berlagak kau adalah keluargaku!" tukas Ivander.Sontak mata Kana membulat, jadi pria ini bukanlah Adik Laki-laki Ivander? Kana hendak melepaskan gandengan tangannya, tetapi pria ini kembali mengeratkannya sambil tetap tersenyum pada Ivander."Aku memang belum menikah dengan Adikmu, Ivander. Namun, kami sudah bertunangan. Jadi, tetap aku adalah Adikmu juga!" serunya girang, tetapi semakin membuat Kana kaget. Bisa dibilang pria ini sudah jadi milik wanita lain. Namun, kenapa sikapnya pada Kana seolah seperti pria lajang?"Lepaskan tangan Istriku, Shein!" perintah Ivander dengan suara lantangnya yang membuat pria berponi itu melirik."Waw! Kau menyebutnya Istri lagi!" seru Shein. Namun, tangan Kana yang digenggam oleh Shein langsung direbut oleh Ivander. Pria itu pun memegang tangan Calon Istrinya kuat-kuat."Pergi dari sini!" dingin Ivander yang melempar sorot matanya yang tajam pada Shein. Namun pria berponi itu malah tersenyum."Kau serius mengusirku? Padahal aku masih mau berbincang-bincang dengan Kakak Iparku," manja Shein seraya menatap lembut ke arah Kana. Ivander segera mendorong Kana untuk berdiri di belakangnya."Pergi kubilang!" usir Ivander lagi.Shein hanya menaikkan kedua sudut bibirnya semakin tinggi."Baiklah Kakak Ipar. Mau pergi sekarang atau nanti, besok aku juga akan hadir. Selamat atas pernikahanmu, ya," ucap Shein kemudian berusaha memandang Kana yang kini berdiri di belakang Ivander."Kakak Ipar! Aku pamit, ya!" serunya."Pergi sekarang juga!" usir Ivander lagi."Baiklah, aku akan pergi. Uhm, tapi, Kau jangan lupa, kalian menikah besok, jadi tahanlah sedikit lagi."Ivander berdesis"Anak ini benar-benar!"Tepat pada saat itu Shein langsung berlari sambil melambaikan tangannya dengan wajah ceria. Ivander pun menghela napas kasar."Kepribadiannya akhir-akhir ini berubah!" gerutunya kemudian memutar tubuhnya menghadap Kana yang masih gemetaran."Uhm, ma-maaf ... Aku kira, tadi itu adalah Adik Kandungmu," ucap Kana gemetaran tanpa berani menatap wajah Ivander."Sudahlah! Dia memang seperti itu. Lagipula, kamu tidak salah apa-apa .... Atau kamu mengira aku cemburu?"Sontak Kana mengangkat kepalanya."Ti-tidak! Bukan itu, hanya saja, tidak sepatutnya jika aku akrab dengan pria lain." Kana diam-diam melirik ke arah Ivander yang malah tersenyum miring."Itu kamu tahu! Untuk ke depannya jangan terlihat akrab dengan pria lain karena itu bisa jadi celah bagi Mantan Calon Istriku untuk menyingkirkanmu dan menikah denganku," pesan Ivander yang langsung dijawab dengan anggukan Kana."Sekarang, ayo ikut aku dan jangan berlagak sok manja!" Ivander melepaskan genggamannya di tangan Kana dan pergi duluan. Kana pun buru-buru mengikuti pria yang besok akan jadi suaminya itu.Kana dibawa ke sebuah kamar di lantai dua. Ivander membuka pintu kamar yang terletak dekat tangga. Ia menoleh ke arah Kana sebelum masuk."Ini akan jadi kamarmu, ayo masuk," ajak Ivander. Kana pun ikut masuk ke dalam kamar tersebut, tetapi ia langsung dikagetkan dengan isinya. Ternyata kamar ini benar-benar luas! Mungkin luasnya seperti luas rumah kontrakan Bibinya."Untuk sekarang dan ke depannya, ini adalah kamarmu." Ivander melirik ke arah Kana yang berdiri di sampingnya."Meskipun kita telah menikah, kamarmu tetap di sini, terpisah dariku. Kalau kamarku ada di samping," ujar Ivander yang membuat Kana menatapnya bingung."Jangan salah paham! Bagiku kau tetap tidak ada artinya. Kamarmu kutempatkan di samping kamarku untuk antisipasi jika Mantan Calon Istriku datang!""Aku mengerti. Aku hanya harus mengikuti perintah dan keinginanmu. Karena aku barang milikmu, 'kan?" imbuh Kana seraya menatap lamat-lamat ke arah Ivander. Seketika pria itu tertegun mendapati tatapan mendalam dari Kana."Ya, baguslah kamu mengerti!" Ivander memalingkan wajahnya. Kana hanya menghela napas, meskipun hatinya berdenyut mengucapkan kalimat barusan."Sekarang, ikuti aku! Kita akan membahas tentang kontrak pernikahan kita!" ujar Ivander yang langsung berbalik dan meninggalkan Kana sendiri. Wanita berambut pendek itu pun buru-buru mengejar calon suaminya yang melangkah dengan cepat.Kana kini duduk di hadapan Ivander yang menyodorkan sebuah dokumen. Pria itu menatap Kana dengan dingin sehingga wanita berusia 21 tahun itu tak sanggup mengangkat kepalanya. "Baca isi kontrak itu baik-baik!" titah Ivander. Dahi Kana mengernyit."Ko-kontrak?" Wanita itu mengangkat kepalanya dan kembali bertemu dengan tatapan dingin Ivander. "Ya, kontrak sekaligus aturan dalam pernikahan kita!" tutur Ivander. Atensi Kana kembali pada dokumen di hadapannya kemudian membacanya dengan seksama. "Asal kau tahu, Sayang ..." cetus Ivander yang membuat Kana menelan salivanya. Panggilan "Sayang" dari mulut pria ini selalu berhasil membuat bulu kuduknya berdiri. Kana kembali mengangkat kepalanya dengan ragu-ragu. "Ta-tahu apa?" tanyanya gemetaran. Kejadian di dalam mobil tadi masih berbekas dalam ingatannya hingga membuat Kana waspada pada tiap ucapan dan gerak-gerik Ivander."Sebaiknya kamu langsung pergi ke halaman terk
Wanita dengan rambut pirang itu berjalan dengan cepat menghampiri Shein."Dimana Ivander? Apa dia di sini?" cecarnya. Namun Shein hanya menatap wanita itu dengan senyum yang perlahan-lahan melebar."Shein?" tekan wanita itu lagi sambil melirik Shein sinis. Namun pria yang gemar tersenyum itu sama sekali tak menyahut. "Shein! Apa kau mendengarku?" sahut wanita itu yang meninggikan suaranya. Sontak Shein tersentak. "Eh? Iola!" serunya sambil mengerjapkan mata. Pria itu semakin melebarkan senyumnya. "Kamu ... Kata Ivander, kamu tidak datang. Kapan kamu sampai dari London? Aku kira kamu akan datang setelah selesai ujian akhir," antusias Shein yang sama sekali tidak bisa berkedip. Wanita berambut pirang itu hanya memutar bola matanya. "Bicara denganmu sama sekali tidak berguna!" sinis wanita bernama Iola itu sambil mendorong tubuh Shein. Untungnya pria tersebut tidak jatuh. Iola langsung berusaha membuka pintu rumah Ivander. Semen
"Tunangan? Jadi, dia tunangan Shein? Itu berarti dia adiknya Ivander?" gumam Kana seraya memandang Shein yang kini mematung. Ia sama sekali tidak bisa memalingkan pandangannya dari wanita di belakang Kana yang kini wajahnya memerah dengan mata yang melotot. Meskipun begitu, Shein memandang wanita berambut pirang itu dengan tatapan nanar. Kana yang mendapatinya pun segera menutup bahunya yang tersingkap. Kemudian menarik ujung kemeja Shein hingga atensi pria itu kembali padanya. "Aku tidak apa-apa, Shein," ucap Kana yang mengundang senyum tipis Shein. Iola yang melihat itu semakin geram."Dasar wanita murahan!" pekik Iola yang mengambil langkah besar dan menyingkirkan Kana dari hadapan Shein hingga wanita berambut pendek itu jatuh tersungkur. Shein reflek menarik lengan Iola. "Iola? Apa yang kamu lakukan?" bentaknya, tetapi malah membuat Iola mengeraskan rahangnya. "Kamu membela wanita rendahan, murahan dan gelandangan itu dibanding ak
Kana langsung bergidik ngeri. Kenapa tiba-tiba Ivander membicarakan malam pengantin. Seharusnya hubungan mereka tidak berjalan seperti ini! Kana langsung melepaskan tangan Ivander dari pinggangnya. "Lepas!" serunya langsung menjauh dan berbalik menghadap Ivander. "Kamu ... Jangan macam-macam!" panik Kana yang hanya dibalas dengan tatapan datar oleh Ivander. "Bukankah aku ... tidak! Kita tidak boleh bersentuhan sembarangan! I-itu yang kamu bilang kemarin!" panik Kana. Ivander mengangguk."Aku garis bawahi, itu hanya berlaku untukmu!" tekan Ivander yang langsung membuat Kana terkesiap. "Apa?"Ivander mendelik kesal. "Sudahlah! Kamu yang begini jadi membuat mood-ku jelek!" tukas Ivander yang berjalan menuju pintu kamar Kana, tetapi pria itu tiba-tiba berhenti. "Oh, iya! Pakai baju yang sopan! Aku tidak tahu bagaimana pakaianmu selama ini, tetapi di rumahku ada aturan! Lusa, kau akan mengikuti kelas kepribadian pri
"Ugh!" Iola mendelik kesal sambil menggenggam garpunya. Reaksi yang di luar dugaan! Apakah Ivander sengaja? Kana memandang wajah suaminya itu yang kini menyeringai. Apakah kakak-beradik ini sedang adu gertak? Ivander tiba-tiba mengangkat tangannya yang menggandeng tangan Kana. "Kamu tidak lihat ini?" seru Ivander. "Aku dan istriku saling mencintai. Jadi mau kau mengganggu kami seperti apapun, tidak akan mempan. Jangan buang-buang waktumu. Sebaiknya kembali saja ke London dan selesaikan sekolahmu!" Iola langsung berdesis. "Kenapa kamu bahas itu lagi, sih?" gerutu Iola. Ivander hanya tersenyum miring sambil menarik Kana ke tempat duduknya. "Duduklah di sebelahku, Sayang," ucap Ivander yang sekali lagi membuat Kana bergidik ngeri, tetapi wanita itu berusaha sebisa mungkin tersenyum bahagia seperti aturan di kontrak mereka. Kana hanya mengikuti ucapan Ivander. Ivander pun membalikkan piringnya, sementara Kana langsung berd
"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Kana begitu mereka masuk ke dalam kamar Ivander. Pria yang kali ini tidak mengenakan gel rambutnya hingga rambut lurusnya agak mengembang menghela napas seraya menutup pintu kamar."Sepertinya kamu agak waspada denganku," kekeh Ivander sambil menghampiri nakas di samping tempat tidurnya. Ia membuka nakas tersebut dan mengambil sebuah map. Tatapan Kana menajam sambil mengawasi gerak-gerik Ivander. "Bukankah kamu mengajakku ke sini karena mau memberi perintah yang baru?" duga Kana yang mengundang senyum miring Ivander. "Ternyata kamu cukup pintar, Sayang," ucap Ivander sambil tersenyum. Reflek, Kana mundur satu langkah mendapati senyum angkuh seorang Ivander. "Katakan saja—" Ivander melempar dokumen di tangannya kepada Kana, untungnya Kana berhasil menangkapnya."Ambil dan baca itu baik-baik!" titah Ivander.Kana membuka map yang ternyata berisi beberapa lembar kertas. "Oh
Kana membaca dengan seksama daftar pertanyaan yang mungkin ditanyakan oleh ayah mertuanya. Dahinya mengernyit."Dia narsis atau apa, sih? Kenapa ini semua pertanyaan tentang pria kejam itu?" gerutu Kana agak enggan membacanya. Terlebih di sana Ivander terlalu memuji-muji dirinya sendiri. Kana pun meletakkan dokumen itu sambil memijat keningnya. Rasanya, ia mau istirahat dulu, baru setelah itu dia akan menghapal isi dokumen yang Ivander berikan. Namun ia memandang ke sekeliling, Kana hampir lupa bahwa ia ada di dalam kamar Ivander. Wanita berusia 21 tahun itupun beranjak dan hendak pergi ke pintu rahasia mereka sambil membawa dokumen, tetapi belum ada satu langkah, pintu Ivander diketuk. "Kana ...." Terdengar suara Iola dari luar. Dahi Kana mengernyit. "Kana ... Cepat keluar!" Kali ini ia agak membentak. Kana hampir lupa kalau adik perempuan Ivander itu membencinya. "Iya, sebentar!" sahut Kana yang meletakkan dokumen pemberian Ivander ke at
Reflek, Kana mendorong tangan Iola yang sedang menggenggam gawai pintarnya hingga benda canggih itu terlempar dan jatuh. Sontak Iola melempar tatapan penuh amarah pada kakak iparnya itu. "Apa yang kamu lakukan?" pekik Iola yang langsung membuat Kana membeku. Sejujurnya, ia tidak sengaja. Ia takut, jika Ivander tahu dia melanggar permnintaannya, maka ia akan semakin dekat dengan malapetaka. "Ma-maaf, aku—" "Dasar wanita rendahan!" hardik Iola yang langsung mengambil ponselnya. Ia memeriksa benda canggih itu. Layarnya gelap, tetapi untungnya tidak ada bagian yang pecah atau retak karena Iola memakai casing yang tebal. "Untung baik-baik saja!" ucap Iola. Masalahnya ponsel ini adalah hadiah dari Shein saat ulang tahunnya yang ke sembilan belas. Tunangannya itu bahkan rela mengirimkan hadiah sampai melintasi benua. Meskipun Iola juga tidak membalas ucapan ulang tahun dari Shein karena dia masih marah dengan tunangannya itu. "Ma-maaf, aku tidak bermaksud—" "Halah!" Iola langsung ber