Alea mematut pantulan wajahnya di cermin tinggi yang disediakan di ruang ganti. Gaun malam itu sangat indah seperti yang ia sukai. Warna merah gelap dengan hiasan permata di sepanjang lengan, kainnya yang lembut menempel ketat di tubuh bagian atasnya sebelum mengembang jatuh ke pinggang dan kaki membuat Alea tampak sangat cantik seperti biasanya. Hanya saja, belahan samping yang akan memamerkan kaki telanjangnya di samping kananlah satu-satunya hal yang ia sesali. Kulit pahanya tentu akan terekspos begitu jelas saat ia melangkah.
“Apa kau sudah siap?” Pantulan tubuh Alec yang bersandar di pinggiran pintu membuyarkan lamunan Alea ketika memikirkan bagaimana cara agar kakinya tak terlalu kelihatan saat ia berjalan nanti. Selalu saja, keberadaan Alec membuat tubuh Alea bereaksi waspada dan ketegangan seketika membuat tulang punggungnya tak nyaman. Ruang ganti yang seharusnya tak bisa dimasuki sesuka hati oleh pelanggan lain pun sama sekali tak memberi batasan pada Alec untuk muncul tiba-tiba tanpa peringatan seperti saat ini. Ah, Alea lupa. Mungkin saja Alec menyewa seluruh butik hanya untuk mempersiapkan dirinya di acara makan malam dengan keluarga pria itu. Jika Arsen saja mampu melakukan hal semacam ini, Alec pun lebih dari sekedar mampu, bukan.
“Kau selalu terlihat cantik mengenakan pakaian apa pun.” Pandangan Alec begitu jeli menelusuri tubuh Alea dari atas hingga bawah. “Aku sedikit penasaran, apakah kau akan secantik ini juga saat tak mengenakan apa pun?”
Alea meremas belahan di samping kanan pahanya. Pujian Alec lebih mengarah ke sebuah pelecehan dan hatinya bergemuruh oleh rasa panas. Kemarahan yang bahkan tak mampu ia perlihatkan mengingat Alec lah penguasan tempat ini untuk sekarang.
“Tenanglah, Alea. Aku tak akan menelanjangimu di sini atau pun saat ini. Aku akan menepati kesepatakanku dengan Arsen dan menghormatimu sebagai seorang wanita. Aku hanya merasa sedikit menyesal menentukan hari pernikahan kita yang seharusnya bisa dilakukan lebih cepat.”
Alea bersyukur dan sedikit bisa bernapas dengan lega, satu-satunya hal yang menahan Alec untuk tidak berbuat mesum dan kurang ajar padanya adalah pernikahan mereka yang akan dilakukan minggu depan. Ia tak bisa membayangkan jika semua batasan itu tak ada dan Alec bebas melakukan apa pun padanya. Melecehkannya, memperkosanya. Alea tak mampu berpikir sejauh dan semengerikan itu.
“Cepatlah!” Alec mengulurkan tangan sebagai isyarat agar Alea segera mendekat. “Mobil sudah menunggu.”
Alea pun melangkah mendekat dengan setiap langkah yang dipenuhi kewaspadaan. Hingga mereka duduk di bagian belakang mobil, sepanjang perjalanan, dan turun di restoran bintang lima yang tak asing baginya. Sedikit pun Alea tak berhenti bersikap waspada.
Seharusnya Alea tak terkejut melihat Arsen duduk di salah satu kursi di ruang pribadi yang ia dan Alec masuki. Kakaknya itu tengah sibuk berbincang dengan wanita paruh baya yang tak asing baginya. Rambut gelap yang lurus dan rapi tergerai membingkai wajah cantik dan terawat milik wanita itu. Alea langsung mengenali wanita itu sebagai ibu tiri yang dikatakan oleh Alec. Jean Cage.
“Kalian terlambat,” ucap Jean dengan senyuman ringan menyambut kedatangan Alec dan Alea.
Alec menarik satu kursi di samping Arsen dan mempersilahkan Alea duduk sambil menjawab, “Aku hanya berjanji akan datang. Bukan datang tepat waktu.”
Sedikit pun, Jean tak merasa tersinggung dengan jawaban dingin putra tirinya. Senyumnya semakin melebar ketika beralihke arah Alea dan menyapa, “Hai, Alea. Malam ini kau terlihat cantik sekali.”
Alea hanya mengangguk tak nyaman. Selama ini, sosok Jean Cage baginya hanyalah nama yang ia kenali sebagai nyonya besar keluarga Cage. Salah satu nama keluarga yang cukup besar dan sangat dikenal, dikagumi, dan dihormati oleh orang-orang di kalangan atas. Selain itu, Alea tak tahu lebih banyak dan sama sekali tak berniat mencari tahu. Apalagi mencoba lebih akrab dengan wanita yang mungkin akan menjadi mertuanya.
“Apa yang kalian obrolkan?” tanya Alec sambil duduk di satu-satunya kursi kosong yang terletak di samping Jean Cage dan Arsen.
“Arsen akan membuka cabang baru di Singapore. Kurasa inilah sebabnya ayahmu mempercayakan CGH padanya. Meskipun harus merelakan nama besar kita untuk mengangkat nama Mahendra, kupikir hanya orang sepertinyalah yang pantas jadi pimpinan MH.”
Alec berdecak sekali dan tersenyum tipis dengan pujian berlebih Jean Cage. Jean Cagelah satu-satunya orang yang menarik dirinya dari lubang persembunyian dan mendorong dirinya menduduki tahta milik ayahnya. Sekaligus merebut kembali MH dari genggaman Arsen karena merasa ayahnya telah menganaktirikan dirinya dengan posisi CEO yang diduduki oleh Arsen. Apa pun niat yang dimiliki Jean Cage, Alec tak peduli. Selama hal itu tidak mengganggu kehidupan pribadi atau mengusik dirinya. Alec pun sudah memastikan bahwa semua aset dan saham yang diwariskan padanya sama sekali tak ada yang mencurigakan. Pemberian ayahnya semasa hidup terhadap Jean Cage pun lebih dari cukup bagi wanita itu untuk hidup bermewah-mewahan hingga mati. Kecuali, jika Jean Cage mulai bersikap serakah dan menyentuh miliknya melewati batas tanpa tahu malu. Alec pun akan mulai memikirkan tindakan selanjutnya.
“Bolehkah aku sedikit khawatir kau akan menggerogoti Cage Group dengan rencana pernikahan ini, Arsen?” Pertanyaan Alec mendadak memudarkan senyum di wajah Jean dan Arsen. Alea pun yang merasa menjadi pion Arsen ikut terpaku akan pertanyaan Alec yang tanpa basa-basi menusuk tepat ke sasaran. Suasana mendadak diliputi kecanggungan selama beberapa saat.
“Aku tak pernah menyentuh apa yang bukan milikku, Cage. Aku sudah menyerahkan satu-satunya hal terpenting di hidupku padamu.” Arsen berhenti sejenak, tangannya menyentuh bahu Alea tanpa melepaskan tatapan matanya yang terpaku dengan manik Alec. “Tidakkah itu cukup menunjukkan ketulusanku untuk berteman denganmu?”
Alec mengedipkan mata. Menertawakan Arsen yang terlalu serius menanggapi candaannya.
Jean berdehem. Memecah ketegangan di antara Alec dan Arsen serta kecanggungan Alea. “Sepertinya ini pembicaraan yang cukup berat untuk acara makan malam keluarga. Setelah menunggu kalian berdua, sebaiknya kita tak melewatkan makan malam sebelum kembali pulang, kan?” Jean mengangkat satu tangan kanan memanggil dua pelayan yang menunggu instruksi darinya di depan pintu. Kedua pelayan itu bergegas mendekat, salah satu meletakkan menu di tangannya ke masing-masing kursi sedangkan yang lain bersiap mencatat pesanan.
Makan malam itu berlangsung tenang, sedikit menyinggung persiapan pernikahan yang sudah tertangani lima puluh persen dan diperkirakan akan secepatnya selesai. Penanganan yang mengejutkan bagi Alea karena baru dua hari yang lalu tanggal pernikahan diputuskan. Rupanya Alec benar-benar bertekad menikahinya. Bahkan gaun pengantin sudah mulai dibuat dan dipastikan selesai sehari menjelang hari pernikahan. Alea tak akan bertanya darimana pria itu memilihkan ukuran yang tepat untuk tubuhnya, tapi Alea berharap ukuran itu meleset dan sedikit mengacaukan rencana karena pilihan yang diambil tanpa sedikit pun mempertanyakan keputusan darinya sebagai calon pengantin wanita.
“Apa yang akan kaulakukan jika aku benar-benar kabur tepat di hari pernikahan?” tanya Alea dalam perjalanan pulang di dalam mobil Arsen.
Arsen mendesah bosan sambil melonggarkan dasi dan membuka kancing kemeja teratasnya. “Apa aku harus menempatkan empat pengawal sekaligus untuk mengawasimu, Alea? Agar kau melupakan rencana konyolmu itu?”
“Apa kaupikir aku tak bisa melakukannya?” tantang Alea.
“Kupikir, kau harus ke rumah sakit untuk memberitahu mama tentang kabar bahagia ini, Alea. Akhir-akhir ini keadaan mama memburuk, mungkin mendengar putri bungsunya menikah akan sedikit memberinya semangat untuk bangun dari tidur panjangnya.”
Seketika, dalam sedetik penentangan di wajah Alea lenyap. Tubuhnya membeku dan kesedihan yang begitu kental menyebar memenuhi permukaan wajah Alea.
“Dan jika kau benar-benar kabur di hari pernikahanmu, lalu Alec memutuskan jabatanku serta mengambil semua yang dimilikinya dariku. Apa kaupikir aku akan mampu membiayai perawatan mama dengan semua alat-alatnya yang tidak murah itu?”
Bibir Alea terkatup rapat. Sudut matanya memanas dan tatapannya mulai berkaca-kaca.
“Jadi, pikirkan sekali lagi saat kau memutuskan untuk menentang pernikahan ini, karena di detik itu jugalah kau membunuh mama. Apa kau masih memiliki niat untuk kabur sekarang, Alea?”
***
Satu-satunya suara yang memecah ketenangan ruang perawatan itu, adalah bunyi mesin monitor yang secara konstan menampilkan angka dan garis-garis grafik organ tubuh pasien. Mulai dari detak jantung, kadar oksigen dalam darah, dan tekanan darah. Suara detak jantung yang menggemadari mesin itu memastikan bahwa tubuh yang tengah berbaring di kasur masihlah bernapas, meskipun masih begitu betah dengan tidur panjangnya.Alea berjalan mendekat, duduk di kursi samping ranjang. Menyentuh tangan mamanya yang dingin tetapi menyalurkan kehangatan di hati Alea. Merangkul hati Alea dengan kasih sayang khas orang tua yang membuat hati Alea menjadi sejuk dan sangat tenang.Dengan alat bantu pernapasan yang menutupi hidung dan mulut mamanya, dengan mata terpejam erat, dan dengan pipinya yang tirus. Di matanya, mamanya adalah wanita tercantik di dunia. Mamanya adalah sosok hangat, lemah lembut, dan penyayang seperti sebelum kepergian papanya bertahun-tahun yang lalu.Mamanya mema
Hari-hari yang berlalu terasa sangat cepat, membuat Alea semakin tersiksa. Dan hari itu akhirnya tiba, menyapa pagi hari Alea seperti mimpi buruk yang baru saja dimulai.Setelah semalam kakak perempuannya, Karen menempelkan masker dan menyuruhnya berendam di bath up dengan kelopak bunga mawar bertebaran memenuhi permukaan air. Pagi itu Alea dibangunkan oleh pelayan yang diperintahkan Karen untuk memastikan bahwa ia tidak bangun terlambat. Tidak perlu dibangunkan, bahkan ia sudah membuka matanya sejak dua jam yang lalu, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan berharap selimut tebalnya mampu menyembunyikan tubuhnya hingga hari ini berakhir.Terpaksa mengangkat tubuhnya dari kasur, Alea pun berlama-lama membersihkan diri di kamar mandi. Keluar satu jam kemudian setelah Karen menggedor kamar mandinya dengan panik karena mengira ia jatuh pingsan.“Keributan apalagi ini, Karen?” Alea memasang ekspresi polosnya dan berpura tak tahu penyebab Ka
Kepalan sangat keras mengebaskan rasa sakit di telapak tangan Alec. Alea Mahendra. Wanita itu bukan hanya menolak keberadaannya. Melainkan telah menghina dan mempermalukan dirinya di hadapan umum.Dada Alec bergetar, oleh gemuruh kemarahan yang mengaduk-aduk isi hatinya. Tak peduli akan tatapan bertanya tamu undangan yang dipenuhi ekspresi bertanya dengan kedatangan pengantin wanita yang terlambat datang, Alec menuruni altar dan melintasi karpet merah. Berjalan cepat menuju pintu samping kediaman Mahendra. Keamanan di rumah ini memang tak bisa diandalkan. Pertama majikan mereka hampir mati tenggelam di kolam renang. Kedua majikan mereka kabur di hari pernikahan dan tak ada satu pun penjaga yang tahu. Satu-satunya penyesalan Alec adalah memutuskan pernikahan itu di rumah Arsen karena ia berpikir Alea perlu mengucapkan selamat tinggal sebelum membawa pergi wanita itu ke rumahnya.Sialan, wanita itu tak butuh dikasihani. Sedikit saja rasa iba Alec untuk wanita dibayar den
“Pergilah. Buat alasan semeyakinkan mungkin untuk mengulur pernikahan ini setidaknya untuk satu dua jam ke depan.”Alec mendengus dan membuang muka dengan keyakinan kuat Arsen untuk membujuknya bahwa pernikahan ini harus tetap terlaksana. Ia sedikit tersentuh dengan kepercayaan diri Alec yang masih terpasang erat di wajah setenang air danau itu. Tetapi tidak semudah itu penghinaan ia lupakan begitu saja.Arsen mengambil tempat duduk di seberang Alec setelah perlu dua kali memberi isyarat pada Arza untuk segera keluar dari ruangan ini dan meninggalkannya sendirian dengan Alec. “Kita tetap pada rencana ini meski sedikit meleset, atau ...”“Atau?” Salah satu sudut bibir Alec tertarik menyeringai sinis. “Kauingin mengancamku? Apa aku perlu mengingatkanmu posisimu saat ini, Arsen? Aku sama sekali belum menandatangani kesepatakan kita.”“Ya, itu mengijinkanku untuk membuat kesepakatan dengan pihak lain. Kupi
“Jangan!” jerit Alea dengan air mata yang mulai merebak. Wajahnya pucat dan matanya menatap ngeri ke arah Alec yang ada di atas tubuhnya. “Kumohon, jangan lakukan ini padaku.”“Apa yang membuatmu berhak memerintahku, Alea?”“Aku ... aku akan menikah denganmu. Maafkan aku.”“Semua sudah terlambat. Kau sudah mengacaukan pernikahan kita dan mempermalukan keluargaku dengan cara paling hina. Aku tak pernah merasa sehina ini seumur hidupku.”“Aku mohon ... aku minta maaf. Aku bersalah padamu dan aku menyesal.”“Permohonan, permintamaafan, rasa bersalah, dan penyesalanmu. Sepertinya semua masih tak sebanding dengan penghinaan“Kali ini saja, tolong ampuni aku, Alec. Aku akan memberikan tubuhku untukmu dengan sukarela. Tapi ...”“Aku harus menikahimu lebih dulu?” cemooh Alec dengan dengusan sinisnya.Alea mengangguk putus asa. Arsen be
Kepedihan di manik Arza sama besarnya dengan yang Alea rasakan. Pria itu berpaling membawa semua kehancuran di hatinya. Memendamnya dalam-dalam di dasar hatinya adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki. Ia tak memiliki apa-apa sebelum keluarga ini menerima dirinya dengan tangan terbuka. Memberinya tempat tinggal dan sebuah kehidupan. Sudah seharusnya ia menahan hatinya kuat-kuat agar tak kehilangan keluarganya.“Apa acaranya sudah usai?” Alea berucap gugup dengan wajahnya yang tiba-tiba memucat menatap punggung Arza menjauh. “Aku ... aku ingin kembali ke kamarku.”“Pergilah. Aku perlu menyapa temanku.” Alec mengangguk singkat menyadari keberadaan Roy yang tampak menundukkan kepala menjaga kesopanan karena melihatnya mencium Alea di tempat umum seperti ini. Di saat para sanak saudara dan tamu yang masih menikmati hidangan di sekitar meja Alec dan Alea.Alea bangkit berdiri dan meninggalkan pesta melewati jalanan setapak berba
Resepsi berlangsung dengan sangat meriah. Semua tamu undangan berasal hanya dari kalangan elit dan artis-artis ternama, yang meskipun dibatasi hanya beberapa undangan penting, tetap saja para tamu memenuhi aula gedung Cage Group yang luas.Alea memasang senyum palsu dengan sikap enggan. Kebanyakan para tamu yang sering ia jumpai, adalah konglomerat yang sudah sering menyatakan cinta padanya. Senyum mereka tak benar-benar tulus saat memberikan selamat padanya. Dan ia yakin para gadis yang bergerombol di beberapa sudut juga tengah mengobrolkan dirinya. Dari wajah mereka sudah jelas yang mereka bahas hanyalah kejelekannya.“Kau benar-benar menikah?” Suara wanita cantik dengan gaun menyentuh lantai berwarna hitam yang menampakkan belahan kaki dan seluruh kulit telanjang punggungnya, menyapa Alec. Rambutnya yang bergelombang dicat merah dan dibiarkan terurai, dengan hiasan mutiara berwarna hitam yang disusun membentuk gelombang. Wanita itu melirik sinis ke arah
Dalam satu jam, semua perintah Jean Cage dilaksanakan dengan cepat dan tanggap. Semua pengawal dan pelayan melakukan tugas mereka tanpa hambatan sedikit pun. Dan di sinilah saat ini Alea berada. Di ruang tidur Alec, yang sudah dihias dengan segalam macam pernak-pernik khas kamar pengantin baru.Bunga-bunga hampir di setiap meja dan sudut kamar. Kelopak bunga mawar yang disebar di seluruh ranjang. Dan lampu kamar yang diatur dengan cahaya temaram. Alea mengalihkan pikirannya dari segala macam hiasan di kamar. Tampak gugup menatap penampilannya di depan cermin.Matanya terpejam ketika membuka jubah tidurnya dan melihat tubuhnya yang hanya berbalut kain tipis berenda berwarna peach. Kain itu sama sekali tak menutupi kulitnya sedikit pun. Desahan keras lolos dari bibirnya dan jantungnya berdegup dengan kencang. Tak mampu membayangkan apa yang akan dilakukan Alec pada tubuhnya.Kilasan ketika Alec mendorong tubuhnya berbaring di meja kerja pria itu kembali melintas.
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men