Hari-hari yang berlalu terasa sangat cepat, membuat Alea semakin tersiksa. Dan hari itu akhirnya tiba, menyapa pagi hari Alea seperti mimpi buruk yang baru saja dimulai.
Setelah semalam kakak perempuannya, Karen menempelkan masker dan menyuruhnya berendam di bath up dengan kelopak bunga mawar bertebaran memenuhi permukaan air. Pagi itu Alea dibangunkan oleh pelayan yang diperintahkan Karen untuk memastikan bahwa ia tidak bangun terlambat. Tidak perlu dibangunkan, bahkan ia sudah membuka matanya sejak dua jam yang lalu, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan berharap selimut tebalnya mampu menyembunyikan tubuhnya hingga hari ini berakhir.
Terpaksa mengangkat tubuhnya dari kasur, Alea pun berlama-lama membersihkan diri di kamar mandi. Keluar satu jam kemudian setelah Karen menggedor kamar mandinya dengan panik karena mengira ia jatuh pingsan.
“Keributan apalagi ini, Karen?” Alea memasang ekspresi polosnya dan berpura tak tahu penyebab Karen bernapas terengah di depan wajahnya karena kepanikan. Kakaknya itu sudah menyelesaikan riasan di wajah dengan roll rambut yang masih memenuhi seluruh kepala. Ia bahkan belum
“Kenapa kau lama sekali di kamar mandi?!” sergah Karen.
“Ya, aku harus benar-benar membersihkan diriku di hari penting ini, bukan?” dusta Alea. Mengikat tali jubah mandinya dan berjalan keluar kamar mandi.
Karen mengekor di belakang Alea menuju meja rias. “Periasmu sudah menunggu di depan kamar, aku berharap mereka sangat ahli dan menutupi kantung matamu dengan sangat baik. Bersiaplah, aku akan menyuruh mereka masuk. Arsen juga menyuruhku memeriksa bungamu. Dia bilang akan datang sebentar lagi karena baru dipetik pagi-pagi sekali. Aku tak tahu calon suamimu orang yang begitu pemilih. Ia mengatur acara ini sebaik dan sesempurna mungkin. Bolehkah aku merasa sedikit iri padamu, Alea?” canda Karen.
Alea tak menanggapi ocehan Karen. Semua orang sibuk mempersiapkan hari pernikahannya tanpa memedulikan pergolakan batin yang menekan dan membuatnya tak bisa tidur selama seminggu penuh. Merasa iri padanya? Apakah ia boleh mengajukan pertanyaan yang sama pada Karen? Meski pernikahan kakak perempuannya itu juga salah satu kesepakatan bisnis Arsen, setidaknya Karen dan Kiano saling mencintai. Kiano dengan mudahnya membuat Karen jatuh cinta setelah mereka bertunangan. Sesuatu yang tak mungkin akan ia dapatkan. Karena satu-satunya pria yang Alea cintai adalah Arza. Dan Alea tak melihat kemungkinan perasaannya akan berubah. Apalagi berpikir untuk mencintai pria lain selain Arza.
Alea mengusap wajah yang masih basah dengan handuk yang menggantung di bahu. Menatap kantong mata yang terlihat seperti lebam di kedua matanya dan mendesah keras. Ia benar-benar terlihat kacau. Meski tak sungguh-sungguh menyesalkan hal tersebut.
“Tenanglah.” Karen menyentuh kedua pundak Alea, menyalurkan ketenangan untuk meredakan kegugupan yang disalahartikan oleh Karen. “Mulai malam ini aku yakin kau akan tidur dengan nyenyak. Kantung mata itu akan menghilang dalam beberapa hari. Atau akan menjadi lebih parah,” kikik Karen dengan maksud tersembunyi.
Alea menggoyangkan bahu menepis tangan Karen dari sana. “Diamlah, Karen. Kau membuatku semakin kacau. Kau bisa pergi sekarang.”
Tawa Karen nyaring hingga menutup mulut dengan telapak tangannya. “Baiklah. Aku akan keluar.”
Alea merasa lega. Keceriaan di wajah Karen membuat Alea semakin tertekan dan tak nyaman berhadap-hadapan secara langsung dengan Karen. Karena Alea pun enggan harus memasang senyum khas pengantin wanita secara terus-terusan untuk kakaknya itu. Kebahagian dalam pernikahan ini memang bukan miliknya.
Perias dan ketiga kaki tangan yang membantu menyempurnakan penampilan Alea, melakukan tugasnya dengan sangat baik. Riasan di wajah membuat kecantikan Alea yang sudah sempurna semakin sempurna. Gaun pengantin pun melekat di tubuh Alea dengan ukuran yang pas. Dan memikirkan bagaimana Alec melakukan ketepatan ukuran itu lagi-lagi membuat kesal Alea. Hatinya memanas, begitu pun seluruh wajahnya.
“Sudah selesai, Nona. Apakah ada yang membuat Nona tak nyaman? Kami akan memperbaikinya.”
Alea menggeleng. “Kalian bisa keluar sekarang.”
Keempat orang itu pun mulai membereskan peralatan-peralatannya dan bergegas keluar. Alea mengembuskan napas keras penuh kelegaan. Ia butuh sendiri. Butuh waktu untuk dirinya sendiri sebelum kehidupannya benar-benar menjadi milik Alec Cage.
‘Haruskah pernikahan ini terjadi?’
Lagi, pertanyaan itu muncul di kepala. Otaknya berputar mencari alasan yang tepat kenapa ia harus menikah dengan Alec. Karena Arza? Karena Arsen? Kenapa bukan untuk dirinya sendiri?
Alea melirik jam di dinding. Jam delapan pagi lebih dua puluh lima menit. Kuku Alea tak berhenti mengetuk permukaan meja riasnya karena kegugupan yang menguasainya terus menerus. Tiga puluh menit lagi, hidupnya akan menjadi milik Alec Cage. Seluruh tubuhnya bergidik ngeri membayangkan detik-detik yang terasa mencekam.
‘Ini bukan pernikahan yang kuinginkan!’ Alea menggelengkan kepala dengan keras. Menyerap kata-kata itu sekali lagi di hati dan pikirannya. Meyakinkan dirinya bahwa ia akan menentang keputusan Arsen ini.
Alea mengangkat ponselnya di meja. Menekan panggilan cepat nomor satu lalu menempelkannya di telinga. Ia harus berbicara dengan Arza.
“Alea?” Suara Arza menyahut dari seberang di deringan ketiga. Sepertinya Arza sibuk dengan para tamu mendengar keramaian di belakang suara kakak angkatnya tersebut. “Apa kau membutuhkan sesuatu?”
“Tidak.” Alea menggeleng.
“Apa semuanya berjalan dengan lancar?”
“Aku ... aku tidak ingin menikah!”
Arza terdiam. Cukup lama hingga akhirnya berkata, “Tunggu sebentar.”
Alea menunggu. Alea pikir Arza akan menutup telepon dan bergegas mendatangi kamarnya untuk menenangkan dirinya. Tetapi, Arza tak memutus panggilannya dan memanggil namanya tak lama kemudian.
“Alea?”
“Aku benar-benar tidak bisa melakukan ini.” Suara Alea yang bergetar berlumu kekalutan. Sudut matanya bahkan sudah mulai memanas.
“Tenanglah, Alea.”
“Aku tidak bisa tenang, Arza!” Suara Alea meninggi. Bisakah kau membawaku pergi saja. Lakukan sesuatu untuk membantuku pergi dari sini. Kumohon.”
“Semua akan baik-baik saja. Inilah yang terbaik untuk kita. Percaya padaku.”
“Aku tidak mencintainya. Aku hanya mencintaimu. Tolong aku, Arza.”
“Alea, kita tahu bahwa apa pun yang ada di antara kita sudah berakhir. Aku tak bisa memilikimu seperti aku tak bisa menghancurkan keluarga yang sudah menyelamatkan hidupku.”
“Arza ...”
“Pernikahan ini jauh lebih baik dari cintamu padaku.”
“Arza ...”
“Alea, Arsen memanggilku. Aku harus pergi.” Arza memutus panggilan sebelum Alea sempat berkata lagi.
Genggaman Alea melemah dan ponsel di telinganya jatuh ke lantai. Air mata jatuh ketika kalimat-kalimat Arza yang diniatkan untuk menenangkan hatinya, tanpa pria itu sadari telah menghancurkan dunianya. Pernikahan ini jauh lebih baik dari cintamu padaku? Alea mengulang dalam hati dengan pedih. Apakah itu berarti Arza menganggap perasaan yang mereka miliki adalah sebuah permainan. Yang akan berakhir begitu saja saat mereka berdua kembali ke jalan masing-masing?
Tidak bisakah jalan mereka menjadi satu?
Jika Arza tidak berani mendatangi jalannya, maka dirinyalah yang akan berlari ke jalan pria itu. Alea berdiri, mengangkat bagian bawah gaunnya dan berjalan ke arah pintu. Membuka sedikit dan mengintip ke luar. Tidak ada siapa pun di sekitar sini. Sepertinya semua orang sibuk di halaman belakang dan dapur. Alea bergegas menuju tangga, menuruni anak tangga dengan cepat sebelum ada seseorang memergoki dirinya.
Pintu utama jelas bukan pilihan yang tepat untuk melarikan diri. Alea pun berbelok ke pintu halaman samping. Tempat kendaraan para tamu terparkir.
“Apa semua makanan sudah dikeluarkan?” Suara seorang pria membuat Alea segera merapat ke dinding. Mengintip dari jendela kaca di samping pintu dan melihat dua pria berpakaian hijau gelap dengan logo salah satu nama perusahaan catering paling terkenal di kota.
“Iya,” jawab temannya yang lain.
“Dapatkan tanda tangan kepala dapur, setelah itu kita pulang,” perintah pria yang lebih tinggi pada temannya. Alea bersembunyi di balik pintu besar ketika teman pria itu membawa buku dan masuk kembali ke rumah menuju ke area dapur.
Setelah pria itu menghilang di ujung lorong, Alea mengintip pria lainnya yang sudah masuk ke mobil. Tak menunggu lama, Alea menyelinap keluar menuju bagian belakang mobil box itu. Sambil mengamati di sekitarnya, Alea meraih pengait besi besar yang menghubungkan kedua pintu. Lalu membuka pintu mobil itu tanpa menimbulkan suara sekecil apa pun.
Semua makanan sudah dikeluarkan tapi Alea perlu menyingkirkan kotak-kotak besar yang sudah kosong untuk memberinya jalan. Untuk memanjat naik dengan gaun besar yang cukup mengganggu, Alea mengerahkan seluruh tenaganya. Dan berhasil melakukannya dengan lancar.
Tak lama, pria yang diutus temannya untuk mendapatkan tanda tangan kepala dapur muncul. Berjalan memutari bagian belakang mobil untuk bergabung dengan temannya. Dan langkahnya terhenti ketika melihat pintu mobil yang tidak tertutup dengan rapat.
Sesaat pria itu mengerutkan kening dengan pengait pintu yang tidak terkait ke penguncinya. Karena seingatnya, ia sudah menutup rapat kedua pintu itu ketika pelayan membawa makanan di boks terakhir. Tak ambil pusing, pria itu segera menutupnya kembali dan ikut bergabung dengan temannya untuk kembali dapur pusat melakukan pengiriman selanjutnya.
***
Kepalan sangat keras mengebaskan rasa sakit di telapak tangan Alec. Alea Mahendra. Wanita itu bukan hanya menolak keberadaannya. Melainkan telah menghina dan mempermalukan dirinya di hadapan umum.Dada Alec bergetar, oleh gemuruh kemarahan yang mengaduk-aduk isi hatinya. Tak peduli akan tatapan bertanya tamu undangan yang dipenuhi ekspresi bertanya dengan kedatangan pengantin wanita yang terlambat datang, Alec menuruni altar dan melintasi karpet merah. Berjalan cepat menuju pintu samping kediaman Mahendra. Keamanan di rumah ini memang tak bisa diandalkan. Pertama majikan mereka hampir mati tenggelam di kolam renang. Kedua majikan mereka kabur di hari pernikahan dan tak ada satu pun penjaga yang tahu. Satu-satunya penyesalan Alec adalah memutuskan pernikahan itu di rumah Arsen karena ia berpikir Alea perlu mengucapkan selamat tinggal sebelum membawa pergi wanita itu ke rumahnya.Sialan, wanita itu tak butuh dikasihani. Sedikit saja rasa iba Alec untuk wanita dibayar den
“Pergilah. Buat alasan semeyakinkan mungkin untuk mengulur pernikahan ini setidaknya untuk satu dua jam ke depan.”Alec mendengus dan membuang muka dengan keyakinan kuat Arsen untuk membujuknya bahwa pernikahan ini harus tetap terlaksana. Ia sedikit tersentuh dengan kepercayaan diri Alec yang masih terpasang erat di wajah setenang air danau itu. Tetapi tidak semudah itu penghinaan ia lupakan begitu saja.Arsen mengambil tempat duduk di seberang Alec setelah perlu dua kali memberi isyarat pada Arza untuk segera keluar dari ruangan ini dan meninggalkannya sendirian dengan Alec. “Kita tetap pada rencana ini meski sedikit meleset, atau ...”“Atau?” Salah satu sudut bibir Alec tertarik menyeringai sinis. “Kauingin mengancamku? Apa aku perlu mengingatkanmu posisimu saat ini, Arsen? Aku sama sekali belum menandatangani kesepatakan kita.”“Ya, itu mengijinkanku untuk membuat kesepakatan dengan pihak lain. Kupi
“Jangan!” jerit Alea dengan air mata yang mulai merebak. Wajahnya pucat dan matanya menatap ngeri ke arah Alec yang ada di atas tubuhnya. “Kumohon, jangan lakukan ini padaku.”“Apa yang membuatmu berhak memerintahku, Alea?”“Aku ... aku akan menikah denganmu. Maafkan aku.”“Semua sudah terlambat. Kau sudah mengacaukan pernikahan kita dan mempermalukan keluargaku dengan cara paling hina. Aku tak pernah merasa sehina ini seumur hidupku.”“Aku mohon ... aku minta maaf. Aku bersalah padamu dan aku menyesal.”“Permohonan, permintamaafan, rasa bersalah, dan penyesalanmu. Sepertinya semua masih tak sebanding dengan penghinaan“Kali ini saja, tolong ampuni aku, Alec. Aku akan memberikan tubuhku untukmu dengan sukarela. Tapi ...”“Aku harus menikahimu lebih dulu?” cemooh Alec dengan dengusan sinisnya.Alea mengangguk putus asa. Arsen be
Kepedihan di manik Arza sama besarnya dengan yang Alea rasakan. Pria itu berpaling membawa semua kehancuran di hatinya. Memendamnya dalam-dalam di dasar hatinya adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki. Ia tak memiliki apa-apa sebelum keluarga ini menerima dirinya dengan tangan terbuka. Memberinya tempat tinggal dan sebuah kehidupan. Sudah seharusnya ia menahan hatinya kuat-kuat agar tak kehilangan keluarganya.“Apa acaranya sudah usai?” Alea berucap gugup dengan wajahnya yang tiba-tiba memucat menatap punggung Arza menjauh. “Aku ... aku ingin kembali ke kamarku.”“Pergilah. Aku perlu menyapa temanku.” Alec mengangguk singkat menyadari keberadaan Roy yang tampak menundukkan kepala menjaga kesopanan karena melihatnya mencium Alea di tempat umum seperti ini. Di saat para sanak saudara dan tamu yang masih menikmati hidangan di sekitar meja Alec dan Alea.Alea bangkit berdiri dan meninggalkan pesta melewati jalanan setapak berba
Resepsi berlangsung dengan sangat meriah. Semua tamu undangan berasal hanya dari kalangan elit dan artis-artis ternama, yang meskipun dibatasi hanya beberapa undangan penting, tetap saja para tamu memenuhi aula gedung Cage Group yang luas.Alea memasang senyum palsu dengan sikap enggan. Kebanyakan para tamu yang sering ia jumpai, adalah konglomerat yang sudah sering menyatakan cinta padanya. Senyum mereka tak benar-benar tulus saat memberikan selamat padanya. Dan ia yakin para gadis yang bergerombol di beberapa sudut juga tengah mengobrolkan dirinya. Dari wajah mereka sudah jelas yang mereka bahas hanyalah kejelekannya.“Kau benar-benar menikah?” Suara wanita cantik dengan gaun menyentuh lantai berwarna hitam yang menampakkan belahan kaki dan seluruh kulit telanjang punggungnya, menyapa Alec. Rambutnya yang bergelombang dicat merah dan dibiarkan terurai, dengan hiasan mutiara berwarna hitam yang disusun membentuk gelombang. Wanita itu melirik sinis ke arah
Dalam satu jam, semua perintah Jean Cage dilaksanakan dengan cepat dan tanggap. Semua pengawal dan pelayan melakukan tugas mereka tanpa hambatan sedikit pun. Dan di sinilah saat ini Alea berada. Di ruang tidur Alec, yang sudah dihias dengan segalam macam pernak-pernik khas kamar pengantin baru.Bunga-bunga hampir di setiap meja dan sudut kamar. Kelopak bunga mawar yang disebar di seluruh ranjang. Dan lampu kamar yang diatur dengan cahaya temaram. Alea mengalihkan pikirannya dari segala macam hiasan di kamar. Tampak gugup menatap penampilannya di depan cermin.Matanya terpejam ketika membuka jubah tidurnya dan melihat tubuhnya yang hanya berbalut kain tipis berenda berwarna peach. Kain itu sama sekali tak menutupi kulitnya sedikit pun. Desahan keras lolos dari bibirnya dan jantungnya berdegup dengan kencang. Tak mampu membayangkan apa yang akan dilakukan Alec pada tubuhnya.Kilasan ketika Alec mendorong tubuhnya berbaring di meja kerja pria itu kembali melintas.
Rasa sakit dan remuk di seluruh tulang-tulangnya membangunkan Alea dari tidurnya yang terlalu lelap. Ia tahu di mana dirinya berada dan dengkur halus siapa yang berhembus di ujung kepala bagian belakangnya. Sambil menahan ringisan karena rasa nyeri yang berpusat di pangkal paha, Alea berusaha memindahkan lengan Alec yang melingkari pinggangnya sepelan mungkin. Mendesah lega melihat Alec yang masih terlelap dalam tidurnya ketika berhasil duduk dan memisahkan tubuh dari Alec.Alea memegang selimut menutupi ketelanjangannya hingga di dada, kepalanya melongok ke lantai mencari kain di sekitarnya. Bersyukur jubah tidurnya teronggok tak jauh dari kakinya. Setelah mengenakan kain untuk menutupi kulitnya, Alea turun dari ranjang dengan hati-hati. Kepalanya menoleh ketika mendengar getar ringan dari arah nakas sebelum ia sempat berdiri. Ia pun memungut benda persegi berwarna merah muda tersebut dan berdiri. Rasa sakit di antara kedua kaki membuat Alea sedikit kesusahan mencapai pintu
Alea menatap ponselnya dengan muka terlipat ke bawah. Ia tak bisa menghubungi siapa pun, tapi itu lebih baik daripada Arsen yang akan terus merecokinya dengan berbagai pertanyaan yang menyebalkan. Lalu, bagaimana ia bisa bicara dengan Arza? Mungkin ia akan ke kantor Arsen dan mengajak Arza untuk membeli ponsel baru.“Aku akan membelikanmu ponsel baru.” Suara Alec memecah rencana yang baru saja tersusun rapi dalam batinnya.Alea mendongak, melihat Alec yang sudah mengenakan pakaian santainya keluar dari walk in closed. Lalu, ia menggeleng dan menjawab, “Tidak perlu.”“Aku tak suka ditolak.”Ketegasan dalam suara dan tatapan Alec mau tak mau membuat Alea mengangguk setelah diam sejenak. Sepertinya rencananya dengan Arza tak akan berjalan mulus.“Dan maaf aku tak bisa memberimu liburan bulan madu. Aku baru saja kembali ke perusahaan dan segudang pekerjaan benar-benar menyita waktuku. Pernikahan ini be
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?” Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu, Alec Cage. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.” “Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.” “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.” “Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.” “Aku tahu.” “Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.” Saga menelengkan kepala menatap Alec, se
Alec memegang tangan di dalam genggamannya. Basah dan licin. Meremas tangannya begitu kuat. Sekuat tenaga yang mampu dikerahkan. Wajah basah yang dipenuhi peluh itu menoleh ke arahnya. Alec menyematkan dukungan lewat tatapannya. Mempersembahkan cintanya yang begitu besar lewat sinar di matanya. Alea membalasnya dengan seulas senyum tipis di wajahnya yang pucat.Ia ingin penderitaan ini cepat berakhir. Ia benci melihat Alea tidak berdaya seperti ini. Pun dengan kerapuhan wanita itu yang ternyata menyimpan kekuatan teramat besar. Alec memohon semua ini bisa cepat berakhir.Harapannya terkabul. Satu dorongan yang begitu kuat, kemudian kepala Alea terhentak ke belakang, dan kemudian suara tangis bayi bergema memenuhi ruangan.“Aku berhasil,” gumam Alea sangat lirih dengan mata terpejam.Alec menunduk. Mengecup kening Alea yang basah dengan kecupan yang sangat dalam seraya mengangguk. “Ya, kau berhasil melakukannya.”
“Semuanya baik-baik saja. Hanya tekanan dalam perut. Tidak ada darah dan bukan kontraksi ataupun tanda-tanda keguguran.” Alea nyaris menangis lega mendengar penjelasan dokter.“Sebaiknya sang ibu menghindari tindakan-tindakan keras semacam ini lagi. Beruntung tidak terjadi kecelakaan yang serius,” lanjut sang dokter setelah menanyakan tentang rambut berantakan Alea dan sudut bibir wanita yang sedikit robek. Juga luka cakaran di lengan.Alea meringis menahan malu. Mengelus rambut di samping kepalanya mencari kesibukan.“Baik, Dok.”“Suami harus tetap membuat keadaan mood ibu hamil tetap stabil. Tekanan dan stres juga bisa memanding kontraksi yang tidak kita inginkan.”Sekali lagi Arza mengangguk.Dibantu Arza untuk turun dari ranjang pasien. Saat itulah ia baru menyadari tidak membawa sepatu. Sepatunya entah hilang di mana dalam pertarungannya dengan Naina. Tadi Arzalah yang menggendongnya naik
Setelah merengek beberapa kali kalau kakinya pegal dan tak kuat berdiri lebih lama lagi, akhirnya Alec mengijinkan Alea pergi ke dekat kolam renang untuk beristirahat. Satu-satunya tempat di rumah ini yang sepi dari tamu undangan.Alea duduk di pinggiran kolam, merendam telapak kakinya yang pegal. Dan udara malam yang berhembus, seketika melenyapkan kegerahannya.Ternyata wanita bernama Sesil itu bukan siapa-siapa, tak henti-hentinya Alea tersenyum mengingat fakta tersebut. Mengulang momen ketika Alec berkata, ‘Apa aku pernah mengatakan itu anakku?’Rasanya dada Alea mengembang dan ingin meledak.‘Bolehkah ia sedikit berharap pada hubungan mereka?’Berharap bahwa Alec memang begitu peduli padanya. Bukan sebagai istri. Bukan sebagai pengandung anak pria itu.‘Apakah harapannya terlalu berlebihan?’Alea takut jika harapannya yang terlalu tinggi, rasa kecewa yang akan didapatkannya saat terhem
Alec pulang lebih malam dan Alea masih duduk di sofa menonton televisi. Pria itu mengambil remote TV dan langsung mematikannya.“Sudah malam, Alea. Pergilah tidur.”“Aku masih ingin menonton.”Alec menatap Alea sejenak. “Naiklah ke tempat tidur dan hanya lima belas menit.”Alea ingin membantah, tapi ia memilih diam dan menurut. Berpindah ke tempat tidur.Alec menyalakan TV kembali dan meletakkan remotenya di nakas samping Alea.“Apa kau sudah minum vitaminmu?” Alec membuka laci tempat tablet vitamin Alea disimpan. Memastikan jumlahnya berkurang.Alea mengangguk meski tahu pria itu pasti sudah tahu dari laporan pelayan.Alec memasukkan kembali tablet di tangannya ke nakas. Melonggarkan dasinya ketika hendak membalikkan tubuh.“Alec?” Alea menahan lengan pria itu.Alec menoleh.Alea diam sejenak. “A-apa ... kau akan memiliki anak dengan wanita
“Bangun, Alea.”Alea hanya diam ketika Alec menggoyangkan pundak untuk membangunkannya.“Kau harus makan.” Alec tahu wanita itu berpura-pura tertidur. Ia bahkan sudah hendak naik ke mobilnya untuk berangkat ke kantor ketika pelayan melaporkan bahwa Alea tidak memakan makan pagi di saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Yang seharusnya sudah satu jam yang lalu wanita itu menghabiskannya, saat ia masih disibukkan panggilan di ruang kerja.“Apa kauingin makan dari mulutku seperti anak kecil?”Mata Alea membuka, seketika dia bangun terduduk.Alec duduk di pinggir kasur dan mulai menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Alea. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu di saat ia sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor, dan bukannya malah membujuk istrinya yang tengah merajuk. “Buka mulutmu.”“Aku bisa makan sendiri.” Alea mengambil piring nasi di tangan Alec.Alec membiarkan
“Sepertinya pergelangan kaki istrimu terkilir di kolam renang, Alec,” beritahu Jean Cage ketika Alec masuk ke kamar.Alec duduk di pinggiran ranjang menggantikan Jean Cage, memeriksa pergelangan kaki kanan Alea dan menyentuhnya pelan lalu mendengar ringis kesakitan Alea. “Apakah sakit sekali?”Alea mengangguk.“Sebelah sini?” Alec menekan dengan hati-hati. Mencari pusat rasa sakit tersebut.Sekali lagi Alea mengangguk.Alec kembali mengamati pergelangan kaki Alea dengan lebih teliti. Kemudian menyentuhnya dengan kedua tangan di atas dan bawah, dan secara tiba-tiba menekannya ke arah yang tepat dengan gerakan yang secepat kilat dan perhitungan yang pasti. Ia sudah sering kali mengalami dan menangani kaki atau tangannya yang terkilir, tentu saja hal seperti ini tidak ada artinya.Alea menjerit, tersentak kaget dengan rasa sakit yang lebih besar seperti menghantam pergelangan kakinya dengan keras, sebel
“P-perutku,” tahan Alea ketika Alec nyaris menimpakan seluruh tubuh pria itu di atasnya.Alec langsung mengangkat tubuhnya, menyentuh perut Alea dengan hati-hati. “Apakah sakit?”“Sedikit.” Alea mengangguk pelan. “Lakukan dengan pelan-pelan.”“Katakan jika aku membuatmu tak nyaman.”Ada sesuatu yang berbeda dalam keintiman mereka kali ini. Penyerahan Alea yang sepenuhnya menjadi miliknya. Semua sentuhan, kecupan, ciuman, dan rayuan wanita itu dipersembahkan untuknya. Setiap tetes keringat wanita itu karena demi kesenangannya.Alec belum pernah merasakan kepuasan sebesar ini terhadap diri Alea. Keduanya saling memuaskan satu sama lainnya. Bersama-sama memberi kepuasan untuk yang lain. Juga untuk diri mereka sendiri. Mencapai puncak bersama dan saling menjeritkan nama yang lain. Dalam gelombang kenikmatan yang meledak dan berakhir dengan desahan puas.Tubuh Alec jatuh di atas Alea. Me
Alec menghambur ke arah Alea dalam dua langkah yang lebar, menyambar pergelangan tangan wanita itu terlalu kuat lalu menyeretnya keluar balkon. Menyeruak di antara kerumunan para tamu yang menatap keduanya penuh ingin tahu. Mengabaikan rintih kesakitan wanita itu ketika melintasi lorong menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Alec mendorong Alea lebih dulu dan Naina menyusul.Naina terlihat sangat gembira dengan adegan yang terpampang di hadapannya. Kilatan licik tak henti-hentinya melintasi bola mata gelap wanita itu. mencari sudut terbaik melihat ekspresi tersiksa Alea.Alec mengeluarkan kunci dari saku jasnya dan langsung memasukkannya ke lubang di bawah deretan angka. Alea mengenali kunci itu seperti yang dimiliki Arsen. Lift itu meluncur turun dengan sangat mulut tanpa hambatan. Tak akan berhenti hingga sampai di lantai yang tuju. Dan tentu saja tak akan ada seorang pun yang akan merecoki amarah Alec terhadap Alea.“Sakit, Alec,” rintih Alea men